BAB 3: Risiko Kerja

Sulay mengambil speaker bluetooth gue yang tiba-tiba nyala lagi setelah tadi mati tiba-tiba. Dia menaruhnya di pojok lantai dan menatap gue.

"Lo sempat melihat mukanya nggak?"

"Hah? Muka siapa, Pak?"

Sulay mengambil pecahan kaca di lantai.

"Gini, ya ... Do. Pertama, gak usah ngomong formal sama gue. Kedua, gue mau lo jawab jujur demi pekerjaan kita sekarang. Lo melihat muka cewek tadi nggak?"

Gue mencoba mengingat kejadian sebelum gue menyapu.

"Waktu gue bersih-bersih tadi, gue nemu foto cewek di lantai."

Gue mengeluarkan foto itu dari saku celana. Sulay segera mengambilnya. Sulay menarik napas panjang berulang kali. Dia tampak gelisah. Setelah dia mengembalikan foto itu ke tangan gue, dia berpaling dan menelepon seseorang.

"Maaf, Bos. Kita dalam masalah."

Gue memperhatikan foto cewek itu lebih detil. Seorang cewek berbaju merah, berambut panjang dengan poni menutupi dahi dan wajah tersenyum manis. Kalau dilihat-lihat lagi, kelopak mata cewek ini berbeda dari kebanyakan cewek lainnya. Seakan terlalu banyak tertawa, atau terlalu banyak menangis. Sulay kembali menghadap gue.

"Kita harus panggil dia lagi ke sini."

"Dia? Dia siapa, Pak?"

Sulay menunjuk foto di tangan gue.

Gue melihat jam, sudah tepat jam 11 malam. Sulay duduk bersila dengan mata terpejam. Mulutnya seperti sedang mengucapkan sesuatu tapi tidak bersuara. Speaker bluetooth gue tiba-tiba mati lagi. Asap obat nyamuk kembali menebal. Terdengar kembali suara-suara bisikkan yang sebelumnya gue kira suara serangga malam. Di antara suara itu, gue mendengar suara:

"Te! Te sate ...!"

Sulay langsung membuka matanya. Kami serempak memandang ke sumber suara.

"TE! TE SATE ...! UWOH!"

"Siapa, tuh!?" Sulay mulai terganggu. Gue mulai lapar.

"Tukang sate, Pak."

"Suruh diam! Gue harus konsentrasi, nih!"

"Caranya?"

"Terserah! Pikirin sendiri! Cepetan!"

Gue berjalan mendatangi sumber suara.

Dari suaranya yang entah kenapa terasa semakin menjauh ke dalam pemakaman, gue mulai curiga bahwa tukang sate ini juga adalah mata-mata yang sedang mengawasi kami. Dan itu artinya kami sedang di mata-matai. Setelah menyadari itu, gue langsung berbelok ke belakang batu nisan yang sangat besar. Batu nisannya terbuat dari batu yang tampak sangat kokoh. Di sana tertulis:

Terbaring dengan tenang:

Orang Nomor Satu di Kuburan: Tesates

Gue sangat kagum. Ternyata juga ada peringkat di kuburan ini. Otak gue tiba-tiba kembali mengeluarkan perdebatan: kuburan atau pemakaman? Dan dengan cerdas gue mencoba menganalisisnya. Kalau tempat ini disebut kuburan, maka orang-orang di sini adalah orang-orang yang terkubur atau dalam bahasa lain yaitu tertimbun. Juga bisa berarti tempat ini adalah tempat orang mengubur kenangan.

Lalu kalau disebut pemakaman, artinya orang-orang ini adalah orang-orang yang dimakamkan atau dalam bahasa sehari-hari yaitu orang yang meninggal lalu ditempatkan di tempat khusus. Gue memikirkannya sampai-sampai gue baru menyadari kalau batu nisan di belakang gue ini bersinar oleh cahaya bulan. Karena semakin terang, terlihat beberapa tulisan lainnya:

Tak terkalahkan sepanjang hidupnya, bersama pedang yang dibawa sampai ajalnya.

"Te! Te sate ...!"

Bukan gerobak sate yang gue lihat sekarang. Gue yakin itu adalah seorang pria tinggi yang sedang menenteng pedang berdiri membelakangi gue yang bersandar di sebuah batu nisan. Saat cahaya bulan meredup tertutupi awan, dia berbalik badan dan menatap gue. Gue bisa melihat wajahnya. Wajah seorang pria berkumis lebat, yang gue rasa pernah lihat sebelumnya entah di mana.

Pergerakan awan di atas sana membuat cahaya bergerak dramatis. Pria itu tersinari cahaya bulan mulai dari kakinya, naik ke atas hingga wajahnya terlihat jelas. Tidak terlihat ramah untuk seorang tukang sate. Dia berjalan ke arah gue, dan cahaya bulan bergerak menyinari pedangnya.

Dia berdiri tepat di depan gue. Karena tubuhnya yang tinggi, atau karena gue yang terlalu pendek, gue merasa terpojok. Dia membalikkan pedangnya, membuat cahaya bulan memantul ke mata gue yang membuat silau pandangan. Sebagai seorang mata-mata yang hampir profesional, gue segera memakai kacamata hitam gue. Anjir! Masih silau!

"Te ... Te sate ...."

"E-enggak lapar, Pak."

"Mau berapa tusuk?"

Dia menggoreskan pedangnya ke batu nisan di belakang gue. Menimbulkan suara berdecit yang tidak enak.

"Orang nomor satu di kuburan!? Omong kosong!" katanya.

Dia menggores tulisan itu, dan serpihan batunya jatuh di atas kepala gue.

"70 tahun bertarung di dunia, 83 peperangan, tidak pernah tertebas fatal oleh pedang mana pun. Kalian sebut orang nomor satu di kuburan!?"

Gue nggak tahu kenapa dia jadi ngomel-ngomel sendiri. Gue melihat cahaya bulan menerangi sebuah jalan ke kiri dan sepertinya ada tempat sembunyi. Melihat ada peluang, gue segera kabur ke tempat itu. Dan anehnya, dia gak peduli. Dia masih aja bicara sendiri di depan batu nisan yang sejak tadi dia gores dengan pedangnya.

Gue tiarap di antara dua kuburan yang agak tinggi. Di belakang gue, gue bisa mendengar suara musik yang gue yakin berasal dari speaker bluetooth gue di tempat Sulay. Gue melepas kacamata yang sepertinya tidak terlalu berguna. Gue melihat pria itu telah berhenti bicara sendiri. Lalu, dengan satu ayunan pedang, dia membelah dua batu nisan itu seperti tukang rujak membelah pepaya!

Dia menengok ke segala arah. Gue takut dia akan ke sini dan juga membelah gue jadi dua. Untungnya, karena gelap, dia malah berjalan ke arah berlawanan. Gue lega banget. Rasanya kayak habis kentut setelah seminggu tidak keluar. Karena membayangkan kentut, tanpa terencana gue kentut beneran! Nyaring dan bau!

Pria itu langsung berbalik ke arah gue dengan cepat. Walaupun ada sedikit keyakinan dia akan pingsan karena gas beracun yang gue hasilkan, nyatanya ketakutan gue lebih besar dari itu. Gue semakin panik saat dia berdiri di sebelah gue. Sambil memejamkan mata karena sudah hampir pasrah, gue mendengar suara langkah kaki dari arah yang berbeda.

Gue berharap seseorang datang, entah menyelamatkan gue atau karena dia sedang sial sehingga harus berhadapan dengan pria tinggi yang membawa pedang, gue gak peduli. Yang penting gue bisa selamat aja dulu. Pria berpedang itu melangkah ke arah yang gue maksud tadi. Baru aja dua langkah, HP gue tiba-tiba memutar musik!

Lebih tepatnya, koneksi bluetoothnya mati dari speaker di tempat Sulay. Jadinya suaranya pindah ke HP gue langsung. Lagu yang diputar adalah lagu dari girlband Korea, aespa, yang berjudul 'Forever'. Tentu aja, pria berpedang itu langsung menusuk-nusukkan pedangnya ke arah gue!

Gue juga gak ngerti kenapa serangannya banyak yang meleset. Mungkin karena gelap, atau karena bau kentut gue sebelumnya. Gue segera menggulingkan diri ke depan, dan tiba-tiba kaki gue kena tebas! Sumpah perih banget! Baru kali ini gue kena sayatan pedang sepanjang 1 meter. Gue teriak kesakitan sambil berusaha kabur.

Gue menengok ke belakang, dan pria itu berjalan mengejar gue sambil tersenyum tidak bersahabat. Pedangnya dia goreskan ke tanah, dan sering terkena batu nisan lainnya. Membuat suara yang mengganggu. Gue melihat kaki kanan gue yang berdarah, dan terus aja mencoba berlari ke arah yang gue juga gak tahu ke mana.

Gue tersandung botol-botol di samping kuburan. Aneh juga, kenapa banyak botol di kuburan yang satu ini. Gue terjatuh, dan pria berpedang itu sudah sangat dekat. Gue melemparinya dengan botol-botol itu. Semuanya bisa dia tangkis dengan pedangnya. Keren banget. Kanapa gue malah kagum!?

"Sekarang coba bilang lagi. Orang nomor satu di kuburan!? Saya ini orang nomor satu di dunia!"

Dia berdiri di atas gue. Mengangkat pedangnya, dan siap menusuk gue! Tinggal sedikit lagi dan pedang itu berhasil menusuk dada gue. Sebelum itu kejadian, Sulay tiba-tiba datang dan menangkis pedangnya. Sulay menoleh sedikit ke arah gue. Cahaya bulan menyinari pakaiannya.

"Biar gue yang lawan dia," katanya, dengan lagu Korea yang masih bermain.

Terpopuler

Comments

Hanazawa

Hanazawa

anjay keren banget. vibes horornya tetep dapet walaupun make kalimat humor di seluruh kata²nya. best dah bang lanjutkan 👏👏

2025-02-24

1

Minartie

Minartie

cerita yg berani tampil beda...bagus thor ....lanjut ...aku suka

2025-02-03

1

Ryoma Echizen

Ryoma Echizen

Gak kebayang gimana lanjutannya!

2025-01-05

1

lihat semua
Episodes
1 BAB 1: Ingin Kerja
2 BAB 2: Rekan Kerja
3 BAB 3: Risiko Kerja
4 BAB 4: Kontrak Kerja
5 BAB 5: Pulang Kerja
6 BAB 6: Efek Kerja
7 BAB 7: Masuk Kerja
8 BAB 8: Latihan Kerja
9 BAB 9: Mulai Kerja
10 BAB 10: Cara Kerja
11 BAB 11: Dampak Kerja
12 BAB 12: Racun Kerja
13 BAB 13: Api Kerja
14 BAB 14: Warna Kerja
15 BAB 15: Spirit Kerja
16 BAB 16: Awal Kerja
17 BAB 17: Dandanan Kerja
18 BAB 18: Bulan Kerja
19 BAB 19: Amarah Kerja
20 BAB 20: Rencana Kerja
21 BAB 21: Mery dan Lukanya
22 BAB 22: Berkas dan Nasi Gorengnya
23 BAB 23: Dea dan Perasaannya
24 BAB 24: Es Krim dan Bayangannya
25 BAB 25: Bunga Kuning dan Wujudnya
26 BAB 26: Kotak dan Pitanya
27 BAB 27: Kuyang dan Kekuatannya
28 BAB 28: Senyuman dan Langkahnya
29 BAB 29: Sihir dan Warnanya
30 BAB 30: Pasar Gaib dan Uangnya
31 BAB 31: Kuda dan Topengnya
32 BAB 32: Air Mata dan Kecepatannya
33 BAB 33: Bulan Pucat dan Alasannya
34 BAB 34: Perebutan dan Jawabannya
35 BAB 35: Naya dan Sayapnya
36 BAB 36: Asap Hijau dan Aromanya
37 BAB 37: Latihan dan Waktunya
38 BAB 38: Bambu dan Suaranya
39 BAB 39: Bandara dan Kemauannya
40 BAB 40: Torgol dan Misinya
41 BAB 41: Sebuah Perjalanan
42 BAB 42: Sebuah Rumah
43 BAB 43: Sebuah Cerita
44 BAB 44: Sebuah Tanggal
45 BAB 45: Sebuah Pohon
46 BAB 46: Sebuah Rooftop
47 BAB 47: Sebuah Ambisi
48 BAB 48: Sebuah Persiapan
49 BAB 49: Sebuah Pertemuan
50 BAB 50: Sebuah Perbincangan
51 BAB 51: Sebuah Informasi
52 BAB 52: Sebuah Patahan
53 BAB 53: Sebuah Pengobatan
54 BAB 54: Sebuah Gaji
55 BAB 55: Sebuah Perkumpulan
56 BAB 56: Sebuah Bank
57 BAB 57: Sebuah Gambaran
58 BAB 58: Sebuah Warna
59 BAB 59: Sebuah Pencurian
60 BAB 60: Sebuah Batu
61 BAB 61: Cerita Material Itu
62 BAB 62: Cerita Buku Itu
63 BAB 63: Cerita Mobil Itu
64 BAB 64: Cerita Pasar Itu
65 BAB 65: Cerita Penangkapan Itu
66 BAB 66: Cerita Pelarian Itu
67 BAB 67: Cerita Mbah Itu
68 BAB 68: Cerita Sekolah Itu
69 BAB 69: Cerita Cewek Itu
70 BAB 70: Cerita Bubur Itu
71 BAB 71: Cerita Dinding Itu
72 BAB 72: Cerita Sungai Itu
73 BAB 73: Cerita Penempa Itu
74 BAB 74: Cerita Pedang Itu
75 BAB 75: Cerita Luka Itu
76 BAB 76: Cerita Serangan Itu
77 BAB 77: Cerita Pertikaian Itu
78 BAB 78: Cerita Video Itu
79 BAB 79: Cerita Gang Itu
80 BAB 80: Cerita Kucing Itu
81 BAB 81: Tentang Vivin dan Nita
82 BAB 82: Tentang Gosip di Kantor
83 BAB 83: Tentang Mencari Barang
84 BAB 84: Tentang Sebuah Flashdisk
85 BAB 85: Tentang Hantu yang Kecewa
Episodes

Updated 85 Episodes

1
BAB 1: Ingin Kerja
2
BAB 2: Rekan Kerja
3
BAB 3: Risiko Kerja
4
BAB 4: Kontrak Kerja
5
BAB 5: Pulang Kerja
6
BAB 6: Efek Kerja
7
BAB 7: Masuk Kerja
8
BAB 8: Latihan Kerja
9
BAB 9: Mulai Kerja
10
BAB 10: Cara Kerja
11
BAB 11: Dampak Kerja
12
BAB 12: Racun Kerja
13
BAB 13: Api Kerja
14
BAB 14: Warna Kerja
15
BAB 15: Spirit Kerja
16
BAB 16: Awal Kerja
17
BAB 17: Dandanan Kerja
18
BAB 18: Bulan Kerja
19
BAB 19: Amarah Kerja
20
BAB 20: Rencana Kerja
21
BAB 21: Mery dan Lukanya
22
BAB 22: Berkas dan Nasi Gorengnya
23
BAB 23: Dea dan Perasaannya
24
BAB 24: Es Krim dan Bayangannya
25
BAB 25: Bunga Kuning dan Wujudnya
26
BAB 26: Kotak dan Pitanya
27
BAB 27: Kuyang dan Kekuatannya
28
BAB 28: Senyuman dan Langkahnya
29
BAB 29: Sihir dan Warnanya
30
BAB 30: Pasar Gaib dan Uangnya
31
BAB 31: Kuda dan Topengnya
32
BAB 32: Air Mata dan Kecepatannya
33
BAB 33: Bulan Pucat dan Alasannya
34
BAB 34: Perebutan dan Jawabannya
35
BAB 35: Naya dan Sayapnya
36
BAB 36: Asap Hijau dan Aromanya
37
BAB 37: Latihan dan Waktunya
38
BAB 38: Bambu dan Suaranya
39
BAB 39: Bandara dan Kemauannya
40
BAB 40: Torgol dan Misinya
41
BAB 41: Sebuah Perjalanan
42
BAB 42: Sebuah Rumah
43
BAB 43: Sebuah Cerita
44
BAB 44: Sebuah Tanggal
45
BAB 45: Sebuah Pohon
46
BAB 46: Sebuah Rooftop
47
BAB 47: Sebuah Ambisi
48
BAB 48: Sebuah Persiapan
49
BAB 49: Sebuah Pertemuan
50
BAB 50: Sebuah Perbincangan
51
BAB 51: Sebuah Informasi
52
BAB 52: Sebuah Patahan
53
BAB 53: Sebuah Pengobatan
54
BAB 54: Sebuah Gaji
55
BAB 55: Sebuah Perkumpulan
56
BAB 56: Sebuah Bank
57
BAB 57: Sebuah Gambaran
58
BAB 58: Sebuah Warna
59
BAB 59: Sebuah Pencurian
60
BAB 60: Sebuah Batu
61
BAB 61: Cerita Material Itu
62
BAB 62: Cerita Buku Itu
63
BAB 63: Cerita Mobil Itu
64
BAB 64: Cerita Pasar Itu
65
BAB 65: Cerita Penangkapan Itu
66
BAB 66: Cerita Pelarian Itu
67
BAB 67: Cerita Mbah Itu
68
BAB 68: Cerita Sekolah Itu
69
BAB 69: Cerita Cewek Itu
70
BAB 70: Cerita Bubur Itu
71
BAB 71: Cerita Dinding Itu
72
BAB 72: Cerita Sungai Itu
73
BAB 73: Cerita Penempa Itu
74
BAB 74: Cerita Pedang Itu
75
BAB 75: Cerita Luka Itu
76
BAB 76: Cerita Serangan Itu
77
BAB 77: Cerita Pertikaian Itu
78
BAB 78: Cerita Video Itu
79
BAB 79: Cerita Gang Itu
80
BAB 80: Cerita Kucing Itu
81
BAB 81: Tentang Vivin dan Nita
82
BAB 82: Tentang Gosip di Kantor
83
BAB 83: Tentang Mencari Barang
84
BAB 84: Tentang Sebuah Flashdisk
85
BAB 85: Tentang Hantu yang Kecewa

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!