*Episode 12

Sebenarnya, Arya bukanlah seorang bajingan. Dia adalah pria yang baik. Hanya saja, dia adalah pria yang telah salah langkah di masa lalu. Kesalahan yang menimbulkan bekas terlalu nyata.

Singkatnya, siapa yang tidak pernah punya salah di masa lalu? Mungkin, tidak ada. Karena manusia adalah tempatnya kesalahan. Kita bukan makhluk suci yang selalu bersih dari noda. Walau sedikit, kesalahan itu pasti pernah kita perbuat.

Namun, yang beruntung adalah orang yang sadar akan kesalahan, lalu menyesalinya. Bukan orang yang sudah tahu salah, tapi tetap melakukannya karena beranggapan sudah terlanjur salah, lalu ingin tetap berbuat salah.

Hidup itu berat. Jadi, seberat apapun hidup itu, harus tetap di hadapi. Karena setelah hidup, harus berani menghadapi. Meski dengan penyesalan, bekas dari kesalahan itu tidak akan menghilang. Tapi itu akan lebih baik.

......

Zoya terbangun ketika sayup adzan menyapa kupingnya. Dengan perasaan berat, dia membuka mata. Namun, saat itulah Zoya sadar akan keberadaan tempat di mana dia berbaring yang sudah berpindah posisi.

Dengan perasaan gugup, Zoya menoleh. Tapi, apa yang dia takutkan tidak ada di sampingnya. Siapa lagi kalau bukan Arya? Awalnya, Zoya pikir, Arya yang telah memindahkan dirinya untuk tidur bersama-sama di atas satu ranjang yang sama. Tapi, keberadaan Arya yang tidak dia temukan membuat hatinya yang kesal mendadak berubah merasa agak bersalah.

Tempat tidur di sampingnya yang masih rapi membuat Zoya langsung mengalihkan pandangan ke sofa sudut kamar. Ya, di sana, Arya masih tertidur dengan lelap tanpa selimut sambil memeluk tubuhnya dengan tangannya sendiri. Terlihat sekali kalau Arya mungkin sedang kedinginan saat ini.

Rasa bersalah dalam hati Zoya semakin bertambah. Dia pun memilih untuk memberikan Arya selimut. Namun, saat dirinya sudah berhasil menyelimuti tubuh Arya yang masih mengenakan kemeja tanpa menggantikannya ke piyama tidur, tangan Arya langsung menahan tangan Zoya.

Jantung Zoya pun berdetak tak beraturan karena terkejut. Arya yang membuka mata dengan cemas semakin membuat Zoya merasa gugup.

"Aku-- "

"Terima kasih. Tapi aku tidak ingin selimut lagi, Aya. Ini sudah subuh."

"Ah, iy-- iya. Maaf, aku lupa memberikan kamu selimut tadi malam, mas. Aku pikir-- "

"Bolehkah kita sholat berjamaah dengan aku sebagai imam mu, Aya?"

Satu pertanyaan yang langsung membuat Zoya bungkam. Tiba-tiba, pikiran Zoya memutar ingatan masa lalu di mana Arya berjanji untuk menjadi imam di saat Zoya sholat.

"Ak-- aku .... "

"Aku akan menepati kata-kata ku, Aya. Tapi, jika kamu masih belum bersedia, aku gak papa. Kita bisa sholat secara terpisah."

"Aku tahu masa lalu ku yang tidak baik, Aya. Aku-- "

"Lupakan saja. Aku bersedia." Zoya menjawab dengan cepat.

Setelah drama pagi yang berat itu usai, Zoya masih harus melanjutkan drama yang lebih berat lagi. Setelah selesai sarapan, Zoya harus mendatangi rumah mertuanya. Rumah di mana Arya dan sang mama tinggal selama beberapa tahun terakhir.

Ketika mobil yang membawa mereka berhenti di depan sebuah rumah yang tidak lagi asing bagi Zoya, jantung Zoya kini mendadak semakin gugup saja. Setelah suasana diam di dalam mobil selama bersama Arya, sekarang, Zoya harus bersikap manis di depan suaminya. Selayak pasangan yang baru menikah pada umumnya.

"Apa kamu sudah siap, Aya?"

Satu pertanyaan dari Arya menyadarkan Zoya dari lamunan. Di depan pintu, sang mama sudah menunggu dengan senyum manis yang terus menghiasi bibir.

Zoya menoleh untuk melihat Arya.

"Aku siap."

Mereka pun langsung turun setelah kata siap yang Zoya ucapkan terdengar. Drama berat akhirnya harus Zoya perankan. Dengan senyum semanis mungkin, dia gandeng tangan Arya meski dengan penolakan hati yang sangat kuat.

"Mama."

"Zoya. Ayo masuk!"

Sama seperti sebelumnya. Sambutan dari sang mertua sangat hangat. Zoya yang menerimanya sedikit dibuat merasa bersalah. Karena rasanya saat ini, dia sedang mbohongi orang tua tersebut.

"Udah sarapan belum, Aya?"

"Udah, Ma."

"Kita sarapan dulu tadi sebelum ke sini."

"Aish, ya sudah kalo gitu. Makan siang di rumah mama. Jangan pulang sebelum makan siang yah."

"Ah, tidak. Jangan pulang sebelum makan malam."

"Ah, atau, nginap sini aja malam ini yah, Nak."

Arya yang mendengar hal itu langsung menjawab. "Aduh, mama. Gak bisa dong. Kan, kamar pengantinnya gak boleh di tinggal sebelum tiga malam berturut-turut."

"Ah, iya. Mama lupa." Si mama berucap dengan wajah cemberut. Tapi hanya sesaat saja. Karena detik berikutnya, wajah itu langsung berubah. "Setelah tiga malam, kalian pulang rumah mama yah. Nginap di sini. Mama pengen ngobrol banyak sama Aya."

Zoya yang gugup tentu tidak bisa menjawab. Hasilnya, Arya lagi yang pasang badan untuk melindungi istrinya dari perasaan curiga sang mama.

"Hm, nanti kita pertimbangkan yah, Ma."

"Apaan sih, Ar. Masa itu aja mau dipertimbangkan? Kalian harus nginap di sini setelah malam ketiga."

Arya yang semakin tidak enak dengan Zoya tentu saja tidak ingin membuat wanitnya terluka. Meskipun di satu sisi, dia tidak ingin mengecewakan hati sang mama. Tapi Zoya tidak mungkin untuk dia paksa. Sebab, hubungannya dengan Zoya bak telur di tepian meja. Sedikit saja gerakan, maka telur itu pasti akan jatuh.

"Ma-- "

"Iya, Mah. Kami akan nginap setelah malam ketiga. Mama tenang saja." Zoya menjawab dengan cepat.

Seberat apapun hati Zoya, dia juga tidak ingin membuat wanita yang telah melahirkan Arya terluka hatinya. Urusan dirinya dengan Arya, biarlah jadi urusan mereka. Kesalahan Arya, mungkin tidak harus melibatkan orang tuanya.

Zoya masih bisa menyingkirkan egonya demi wanita tersebut.

Sementara itu, Arya yang tidak percaya akan kata-kata itu keluar dari bibir Zoya, tentu saja langsung memberikan tatapan lekat ke arah sang istri. Sebaliknya, wajah bahagia dari sang mama langsung terlihat. Karena itu, Arya langsung merasa bahagia akan hal tersebut.

Ngobrol beberapa saat, sang mama pun langsung meminta mereka istirahat.

"Kalian pengantin baru. Jangan lelah. Istirahat gih ke kamar."

"Gak lelah kok, Ma." Zoya menjawab dengan cepat sambil menahan perasaan tak nyaman.

Sang mama malah tersenyum manis.

"Aduh, anak ini yah."

"Arya. Tunggu apa lagi? Bawa Zoya ke kamar kamu."

Gugup, Arya tidak punya pilihan lain.

"Iy-- iya, Ma."

"Ayo, Ay. Ke kamar."

Karena permintaan sang mama. Lagi-lagi, Zoya berusaha bersikap pasrah. Mereka pun beranjak dari ruang keluarga menuju kamar Arya. Untuk yang pertama kalinya, dia akan memasuki kamar seorang pria selain dari kamar kakak tercintanya.

Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya mereka tiba di kamar yang letaknya paling ujung. Sebelumnya, dia sudah tahu itu kamar Arya. Tapi, tidak pernah masuk ke dalam.

Ya kali Zoya masuk kamar calon suami. Ada-ada saja. Meski datang berulang kali ke rumah tersebut, untuk masuk kamar itu tidak sedikitpun terlintas dalam benaknya. Karena saat itu, walau berjalan bersama, tentu saja masih ada batasan yang harus di jaga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!