Dialog

“Bang Rizal ga papa tuh?” tanya Susi, matanya menyelidik. Naima tampak agak terganggu melihat sikap Rizal yang tampaknya belum benar-benar mereda.

Naima mengerutkan kening, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Ga papa kali, laki-laki kan biasa berantem,” jawabnya sambil berusaha bersikap tenang, meskipun ada sedikit rasa cemas yang menggerayangi hatinya. Ia tidak suka terlibat dalam urusan seperti itu.

Susi mengangguk, tapi ada senyum kecil yang bermain di bibirnya. “Ah, Malik selain ganteng juga kayaknya jago berantem ya, Aim,” katanya dengan nada yang sulit dibaca, antara penasaran dan sedikit nakal.

Naima menggelengkan kepala dan membola, bingung harus merespons apa. "Ha, tiba-tiba banget," jawabnya dengan canggung. Ia merasa seperti terjebak dalam percakapan yang tidak biasa baginya. Membicarakan laki-laki tidak pernah mudah untuknya.

Susi tersenyum dengan mata berbinar, sedikit menjaili. “Menurut Lo Malik gimana?”

Naima mendelik sejenak. “Yaaa, ga gimana-gimana,” jawabnya sambil mengalihkan pandangan, tidak nyaman dengan arah pembicaraan. Baginya, membicarakan laki-laki selalu terasa aneh. “Kenapa, Lo suka ya?” ucap Naima, mencoba mengalihkan perhatian dengan sedikit bergurau.

Susi sedikit tertawa, namun matanya tajam, seolah ada sesuatu yang lebih dalam yang ia coba gali. “Ya wajar kan kalo tertarik sama lawan jenis,” jawabnya santai, meskipun nada suaranya menunjukkan bahwa ia serius. “Tapi ya, sebenarnya gw penasaran aja sih pendapat Lo.”

Naima menatapnya, merasa terjebak dalam pertanyaan yang makin mengarah ke dirinya. "Penasaran banget?" tanyanya dengan nada tak acuh, meskipun hatinya mulai sedikit berdebar. Ada rasa gugup yang perlahan menggelayuti pikirannya.

“Iya,” Susi mengangguk, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Soalnya Lo tuh," dia berhenti sejenak, berpikir keras. "Ya gimana ya. Duh susah deh ngegambarin Lo," tambahnya sambil tersenyum lugu.

Naima memutar mata, merasa semakin canggung. "Menurut Lo gimana tuh, si Malik?" tanyanya balik, berusaha menyembunyikan rasa gelisah yang mulai merayap.

Susi menyandarkan punggungnya ke pohon, menyilangkan tangan di dada, tampak serius meski ada senyum di ujung bibirnya. "Hem, menurut pandangan gw Malik itu humoris. Liat aja deh, baru beberapa bulan gabung sama kita, tapi yang lain udah antusias banget tuh sama dia. Selain itu dia juga tanggung. Lo inget kan waktu si Mikaya hampir jatuh? Dia loh yang nolongin. Terus dia cekatan, semua hal yang dia kerjain tuh beres."

Naima melirik Susi, matanya terfokus pada ekspresi serius teman di depannya. "Beh, segitunya Lo merhatiin," ujarnya, berusaha meredakan ketegangan dengan candaan, meskipun hatinya tak begitu yakin apa yang sebenarnya dirasakannya.

Susi terkekeh. "Target baru nih?" Naima nyengir nakal, memberi pertanyaan yang mungkin lebih untuk menutupi rasa canggungnya.

Susi tertawa ringan, menggelengkan kepala. "Ha-ha, gue sadar diri lah," jawabnya santai, meskipun ada kerlingan di matanya yang menunjukkan dia tidak sepenuhnya serius. "Lagian gw udah suka sama yang lain kok."

Naima terkejut, kue di depannya terasa semakin hambar. "Siapa tuh?" tanyanya penasaran, meskipun hatinya sedikit berdebar—sebuah perasaan aneh yang mulai muncul.

Susi memalingkan muka, seolah tiba-tiba merasa tidak nyaman dengan percakapan ini. "Ah, udah ah," ucapnya dengan canggung. "Kenapa jadi gw yang kena sih?" Susi bangkit dari tempat duduknya, dengan cepat mengambil wadah kue yang kosong untuk dibuang, berusaha mengalihkan perhatian Naima.

Naima melirik Susi yang tiba-tiba mengalihkan perhatian. “Tunggu, Lo nggak bisa kabur gitu aja,” Naima berkata dengan nada menggoda, meski hatinya masih terasa canggung. "Siapa tuh yang Lo suka?"

Susi hanya tertawa sambil melangkah pergi, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar candaan. “Nggak ada yang perlu Lo tahu, Aim. Lagi pula, Lo yang lebih misterius dari gue," jawab Susi sambil melambaikan tangan, menandakan percakapan ini selesai.

Naima terdiam, merasa sedikit tertinggal. Susi memang selalu bisa mengalihkan perhatian dengan mudah. Namun, hatinya kembali terarah pada Malik—perasaan yang bahkan ia sendiri tak tahu harus disebut apa.

Brugh.

Naima tersentak ke belakang, tubuhnya terhuyung beberapa langkah. "Eh, maaf," ucapnya refleks, tangannya buru-buru menepuk rok yang tak terlihat kotor, lebih karena gugup daripada alasan sebenarnya.

"Ow, it's okay. Kamu nggak papa?" Suara itu terdengar lembut namun tegas.

Naima mendongakkan kepala dengan cepat, hampir tanpa berpikir. Malik? Matanya membesar seketika. Tubuhnya terasa beku di tempat. Ia langsung memalingkan wajah, berharap Malik tidak menangkap ekspresinya yang mungkin tampak terlalu terkejut.

"Kamu nggak papa?" ulang Malik, kali ini suaranya terdengar lebih khawatir, seolah-olah Naima benar-benar jatuh.

Naima menegakkan diri, berusaha terlihat biasa saja meskipun jantungnya seperti genderang perang. "Iya, aku baik-baik aja," jawabnya terburu-buru. "Maaf."

Malik mengangkat alis, tersenyum kecil. "Kamu udah bilang itu sebelumnya, loh." Ada nada ringan dalam ucapannya, membuat Naima semakin salah tingkah.

Belum sempat ia merespons, suara lain memotong suasana.

"Malik!"

Naima refleks menoleh ke arah suara itu, dan menemukan Mikaya berdiri tak jauh, melambaikan tangan dengan semangat. Oh, Mikaya. Tentu saja. Naima menggigit bibirnya tanpa sadar, sesuatu yang tak ia kenali perlahan mencengkeram dadanya.

Malik menoleh ke sumber suara, namun hanya sebentar sebelum kembali menatap Naima. "Kamu yakin nggak apa-apa?" tanyanya lagi, seolah belum puas dengan jawaban sebelumnya.

Naima mengangkat bahu ringan, berusaha terlihat setenang mungkin. "Kamu dipanggil tuh," ucapnya, mengisyaratkan Mikaya dengan dagunya. "Aku duluan ya."

Sebelum Malik sempat menjawab, Naima sudah berbalik, melangkah cepat menjauh. Namun, ia tak bisa mengabaikan suara langkahnya yang terasa lebih berat dari biasanya.

Di belakangnya, suara Malik terdengar samar, "Oh, oke. Hati-hati ya."

Naima menahan napas, tidak berbalik, hanya terus melangkah. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, seperti sebuah percikan emosi yang belum sepenuhnya ia pahami. Ia melangkah cepat berharap langkah cepatnya mampu mengusir perasaan aneh itu.

Siapa sangka dia akan bicara dengan Malik. Malik. Ah, bagi Naima, sosok itu hanya orang baru. Ya, baru—seperti kedatangannya dua bulan lalu tanpa permisi, mengetuk pintu rumahnya dan membawa angin perubahan yang tidak diinginkan. Naima tak pernah menanyakan bagaimana mereka bisa saling mengenal, siapa yang memperkenalkan mereka, atau mengapa kehadirannya terasa begitu mendesak. Semua terasa begitu tiba-tiba, sangat mendadak.

Jika boleh lari, ia ingin lari. Jauh. Sejauh mungkin, hingga nafasnya habis. Agar hatinya tidak lagi terluka. Tapi kenyataannya, dia tidak bisa. Ada Abi di sana, di depan matanya, ada keluarganya yang kini saling berbincang dengan keluarga Malik. Jika Naima melarikan diri, Abi akan malu. Semua orang akan tahu betapa besar jarak yang dia ciptakan, betapa menolaknya dia terhadap kehadiran orang-orang yang bahkan belum sepenuhnya ia kenal.

Naima menghela napas panjang. Rasanya ada beban berat yang mengendap di dadanya. Perlahan, ia memberanikan diri duduk di antara orang tuanya, berhadapan langsung dengan Malik dan keluarganya.

Malik—lelaki itu, dengan senyum ramahnya yang selalu ia kenali. Tapi bagi Naima, senyum itu hanya terasa seperti ejekan. Seolah ia sedang dilihat dengan cara yang tidak seharusnya. Seolah ia hanya sebuah objek di hadapan Malik, tanpa memahami betapa setiap tatapan itu terasa seperti beban yang semakin menekan.

Abi menggenggam tangan Naima, memberinya sedikit kenyamanan. Sentuhan itu terasa seperti Dejavu yang luar biasa, membuatnya mengingat kembali saat-saat ketika ia merasa tak berdaya di masa lalu. Ada perasaan yang tak bisa ia hindari, sebuah ketakutan yang mulai menggelayuti dirinya.

Dia ingin melarikan diri. Melarikan diri jauh-jauh. Namun, perasaan itu segera tergantikan oleh perasaan bersalah yang menguasai hatinya. Ia tak bisa. Di depannya, ada ayahnya, ada keluarganya, ada banyak mata yang memperhatikannya.

Ia menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri, menepis perasaan yang mendalam itu. Namun, semakin lama ia duduk di sana, semakin terasa seperti dinding yang menekan dirinya. Sesuatu yang tak bisa ia hindari. Suasana ini begitu menyesakkan.

Di sisi lain, Malik telah kehilangan senyumnya. Sebuah teka-teki muncul di kepalanya. Raut wajahnya terlihat khawatir. Ketidaknyamanan Naima terpancar dari gelagatnya.

"Naima," suara Abi lembut, namun ada nada khawatir di sana.

Naima tersadar dari pikirannya. Dia menatap tangannya yang terjepit erat di antara tangan Abi. Senyum Abi yang hangat seolah memberikan sedikit ketenangan. Namun, hati Naima tetap bergemuruh.

"Mereka bertanya pendapatmu. Apa kamu menerima Malik?”

Naima menghela napas berat, dia hanya bisa menggeleng pelan. Logikanya masih bersarang di kepala. Tapi tertanam rasa ragu untuk bersuara. Mulutnya terkunci. Apapun yang dia utarakan pasti akan mendapatkan bantahan. Tolong hentikan sekarang juga.

“Kenapa?” tanya Malik, suaranya penuh kebingungan, matanya memandang Naima dengan tatapan yang tak bisa dipahami.

Naima hanya bisa menundukkan wajahnya, berusaha menahan gejolak yang datang begitu mendalam. Namun, seketika, setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya, meluncur tanpa bisa ditahan.

“Eh—!” Naima terkejut dengan dirinya sendiri, matanya membulat seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Pikiran Naima kosong, hanya ada gejolak emosi yang berputar cepat, menghantam setiap sudut kepalanya. Air mata itu adalah wujud dari rasa cemas, marah, dan frustasi yang menguasai dirinya.

“Aim, kenapa?” Sarah, yang melihat Naima terisak, langsung mendekat, membungkuk sedikit untuk melihat lebih dekat. Sarah melirik ke arah suaminya, Abraham, seakan mencari petunjuk tentang apa yang harus dilakukan. "Mas?"

Abraham, dengan tatapan serius, berdiri perlahan, matanya yang biasanya tenang kini penuh dengan kekhawatiran. “Bawa Naima ke kamar, Sar,” ucapnya, suaranya tegas namun penuh perhatian.

Sarah segera menuntun Naima, yang hampir tak mampu berjalan dengan tenang. Langkahnya berat, tubuhnya terasa seperti kosong, di luar kendali. Mereka berdua meninggalkan ruang tamu, meninggalkan Malik dan keluarga lainnya yang masih terdiam, bingung dengan kejadian yang baru saja terjadi.

Di tempat itu, hanya ada kesunyian. Raut wajah Malik terlihat bingung—ada kebingungannya yang mendalam, dan sedikit rasa khawatir. Tapi ia tetap diam, seakan menunggu penjelasan lebih lanjut.

Abraham menghela napas panjang, seolah ingin melepaskan ketegangan yang tiba-tiba melanda ruangan itu. “Maafkan aku, sungguh,” ucap Abraham, tatapannya penuh penyesalan. “Maafkan aku, Malik. Sepertinya Naima masih terguncang dengan kegagalan pernikahannya.” ucap Abraham. Raut wajahnya mendung seperti keadaan langit saat itu.

Terpopuler

Comments

gamingmato channel

gamingmato channel

Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕

2025-01-03

1

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 Ulang Tahun
3 Dialog
4 Ditolak
5 Bicara
6 Turun Gunung
7 penyelamatan
8 Duo Jail
9 Aku Serius
10 Wejenang tak Terduga
11 Bertemu
12 Sebuah Titik di Horizon
13 Saudara
14 Menghindar
15 Yudha dan Naima
16 Ragu
17 Ajakan
18 Main ke Rumah
19 Pencerahan
20 Canggung
21 Tentang Lamaran
22 Pengejaran
23 Lupakan Itu
24 Persidangan
25 Warung makan
26 Pemberontak
27 Halte Bus
28 Bicara Berdua
29 Panti Asuhan
30 Ada Apa
31 Luka
32 Festival
33 Berita
34 Kasus
35 Yasmin
36 Sekar
37 Adopsi
38 Informasi
39 Mengintai
40 Kejar-kejaran
41 Baku Hantam
42 Tamu Tidak Diundang
43 Hasilnya
44 Akhirnya
45 Truth or Sirup ABC
46 Pergi
47 Perpisahan
48 Tentang Yudha
49 Jalan Masing-Masing
50 Merenung
51 Kembali
52 Kamu berubah ya…
53 keputusan
54 Selamat, Little Brother.
55 Mengusik
56 Dia yang datang dari masa lalu
57 Kenangan
58 Selamat
59 Bertamu
60 Teman imajiner
61 Menikah
62 Kehidupan Baru
63 Pertemuan Pertama
64 Naima
65 Teman
66 Teror
67 Dia Milik Gw
68 kencan
69 Surat Cinta
70 Seberapa Mudah Ia Terbaca
71 Orang Seperti Malik
72 Peduli
73 Membujuk
74 Apa Kabar, Nai?
75 Aku sudah menunggu kalian
76 Penyergapan
77 Pengadilan
78 Akhirnya
79 Pamit
80 Aku masih Yudha yang sama
81 Aku Tidak Sendirian
Episodes

Updated 81 Episodes

1
Prolog
2
Ulang Tahun
3
Dialog
4
Ditolak
5
Bicara
6
Turun Gunung
7
penyelamatan
8
Duo Jail
9
Aku Serius
10
Wejenang tak Terduga
11
Bertemu
12
Sebuah Titik di Horizon
13
Saudara
14
Menghindar
15
Yudha dan Naima
16
Ragu
17
Ajakan
18
Main ke Rumah
19
Pencerahan
20
Canggung
21
Tentang Lamaran
22
Pengejaran
23
Lupakan Itu
24
Persidangan
25
Warung makan
26
Pemberontak
27
Halte Bus
28
Bicara Berdua
29
Panti Asuhan
30
Ada Apa
31
Luka
32
Festival
33
Berita
34
Kasus
35
Yasmin
36
Sekar
37
Adopsi
38
Informasi
39
Mengintai
40
Kejar-kejaran
41
Baku Hantam
42
Tamu Tidak Diundang
43
Hasilnya
44
Akhirnya
45
Truth or Sirup ABC
46
Pergi
47
Perpisahan
48
Tentang Yudha
49
Jalan Masing-Masing
50
Merenung
51
Kembali
52
Kamu berubah ya…
53
keputusan
54
Selamat, Little Brother.
55
Mengusik
56
Dia yang datang dari masa lalu
57
Kenangan
58
Selamat
59
Bertamu
60
Teman imajiner
61
Menikah
62
Kehidupan Baru
63
Pertemuan Pertama
64
Naima
65
Teman
66
Teror
67
Dia Milik Gw
68
kencan
69
Surat Cinta
70
Seberapa Mudah Ia Terbaca
71
Orang Seperti Malik
72
Peduli
73
Membujuk
74
Apa Kabar, Nai?
75
Aku sudah menunggu kalian
76
Penyergapan
77
Pengadilan
78
Akhirnya
79
Pamit
80
Aku masih Yudha yang sama
81
Aku Tidak Sendirian

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!