Kematian Selir Agung

Ruangan tempat jasad Selir Agung Yi-Ang dibaringkan dipenuhi dengan aroma dupa dan bunga segar, tetapi suasana duka terasa menyesakkan. Di atas ranjang berhias sutra putih, tubuh Yi-Ang terbaring dengan tenang, wajahnya seolah-olah hanya sedang tertidur. Zharagi Hyugi berdiri di sampingnya, tangannya gemetar saat menyentuh jemari dingin sang selir yang dulu memberinya begitu banyak kehangatan.

Hujan di luar terus mengguyur, menyatu dengan kepedihan di hatinya. Semua orang, termasuk para pelayan, telah meninggalkan ruangan atas perintah Zharagi. Dia ingin menghabiskan momen terakhir ini sendirian bersama wanita yang begitu dicintainya.

"Yi-Ang..." bisiknya pelan, suaranya bergetar. "Mengapa kau pergi begitu cepat?"

Air mata mengalir perlahan di pipinya. Dia jarang menangis, apalagi di depan orang lain. Namun, di hadapan wanita ini, dia tidak lagi peduli pada harga dirinya sebagai seorang raja.

"Aku berjanji akan melindungi kalian. Aku berjanji..." suaranya pecah, dan dia jatuh berlutut di samping ranjang. "Tapi aku gagal. Aku tidak bisa menyelamatkanmu."

Dia menundukkan kepala, membenamkan wajahnya di tangan Yi-Ang yang tak lagi hangat. Hatinya terasa hancur, bukan hanya karena kehilangan istrinya, tetapi juga karena rasa bersalah yang tak terhingga.

"Putera kita..." katanya lagi, suaranya nyaris tak terdengar. "Dia adalah satu-satunya hal yang tersisa darimu. Aku bersumpah, Yi-Ang, aku akan menjaganya. Aku akan memastikan dia mendapatkan apa yang seharusnya menjadi miliknya."

Zharagi mengangkat kepalanya, menatap wajah damai Yi-Ang dengan tatapan penuh cinta dan kesedihan. "Putera kita akan menjadi raja. Aku akan melawan siapa pun yang mencoba menghentikannya, bahkan jika itu berarti aku harus melawan seluruh dunia."

Hujan di luar semakin deras, seolah ikut menangisi kepergian Selir Agung. Zharagi menghapus air matanya dengan kasar, menguatkan diri. Dia tidak boleh terlihat lemah, meskipun hatinya terluka.

"Sampai kita bertemu lagi, Yi-Ang," bisiknya. "Aku akan menjalankan semua janjiku untukmu. Tidurlah dengan tenang."

Dia mencium keningnya untuk terakhir kalinya, lalu berdiri dengan langkah yang berat. Ketika dia membuka pintu, para pelayan yang menunggu di luar menundukkan kepala mereka.

"Siapkan prosesi pemakaman yang layak untuk Selir Agung," perintahnya dengan suara tegas, meskipun matanya masih merah. "Pastikan seluruh kerajaan tahu bahwa dia adalah wanita yang paling kucintai."

Para pelayan mengangguk dan segera bergegas. Zharagi menoleh sekali lagi ke arah tubuh Yi-Ang, menguatkan hatinya untuk pergi. Namun, dalam hatinya, dia tahu bahwa cinta dan kehilangan ini akan menjadi beban yang dia bawa seumur hidupnya.

Hujan masih belum berhenti, dan istana terasa lebih sunyi dari biasanya. Kematian Selir Agung Yi-Ang membawa duka yang mendalam, tetapi bagi Raja Zharagi Hyugi, malam itu bukan hanya soal kehilangan. Ini adalah awal dari pertarungan besar untuk mempertahankan tahta dan melindungi Putera Mahkota yang baru lahir.

Di aula utama, para penasihat dan petinggi klan sudah berkumpul. Wajah-wajah mereka tampak tegang, sebagian menyiratkan ketidaksetujuan atas kelahiran Putera Mahkota dari rahim seorang selir. Suasana semakin mencekam ketika Ratu Hwa melangkah masuk dengan anggun, mengenakan jubah sutra emasnya.

Zharagi berdiri di atas singgasananya, memandangi mereka dengan tatapan tajam. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, mencoba menahan kemarahan yang membara di dadanya.

"Yang Mulia," seorang petinggi klan bernama Lord Cheng membuka suara. "Kami turut berduka atas kepergian Selir Agung Yi-Ang. Namun, ada hal penting yang perlu kita bicarakan."

Zharagi menatapnya dingin. "Bicaralah, Cheng."

Lord Cheng melirik Ratu Hwa sejenak sebelum melanjutkan. "Kelahiran Putera Mahkota dari seorang selir adalah situasi yang... rumit. Para petinggi klan telah berdiskusi, dan kami merasa bahwa posisi sebagai pewaris tahta perlu dipertimbangkan lebih matang."

"Apa maksudmu?" suara Zharagi rendah, tetapi penuh ancaman.

Lord Cheng melangkah maju, menunduk sedikit sebelum berbicara lagi. "Kami hanya ingin memastikan bahwa dinasti ini tetap stabil. Jika Putera Mahkota diakui, itu akan memicu konflik di antara klan. Kami berharap Yang Mulia bisa mengambil keputusan yang bijaksana demi kestabilan kerajaan."

Ratu Hwa tersenyum kecil, tetapi tetap berpura-pura netral. "Yang Mulia, tentu saja keputusan ada di tanganmu. Namun, ingatlah, aku adalah ratu, dan aku tidak akan membiarkan dinasti ini hancur hanya karena kesalahan penilaian."

Zharagi menatapnya tajam. "Kesalahan penilaian? Kelahiran Putera Mahkota adalah berkah bagi kerajaan ini. Dia adalah darah dagingku, penerus yang sah!"

Ratu Hwa mendekat, suaranya penuh sindiran. "Sah menurut siapa, Yang Mulia? Menurut tradisi, pewaris harus lahir dari seorang ratu, bukan dari seorang selir, betapapun agungnya dia."

Suasana di aula memanas. Para petinggi mulai berbisik satu sama lain. Zharagi mengepalkan tangannya lebih erat.

"Tidak ada perdebatan dalam hal ini!" suara Zharagi menggema di seluruh aula. "Putera Mahkota akan diakui, dan dia akan mewarisi tahta ini. Jika ada yang menentang, anggap itu sebagai pemberontakan terhadap dinasti Huang."

Kata-kata Zharagi membuat para petinggi terdiam. Namun, Lord Cheng tetap berdiri teguh. "Yang Mulia, kami tidak berniat memberontak. Kami hanya khawatir akan konsekuensi yang datang jika keputusan ini diambil terburu-buru."

Sebelum Zharagi bisa menjawab, seorang penjaga masuk dengan tergesa-gesa, membungkuk dalam-dalam. "Ampun, Yang Mulia! Ada kabar dari perbatasan. Sejumlah penduduk hilang tanpa jejak, dan desa-desa kecil di sana mulai gelisah."

Zharagi mengerutkan kening. "Apa maksudmu penduduk hilang?"

Penjaga itu menegakkan tubuhnya. "Mereka pergi ke hutan untuk berburu atau mencari kayu, tetapi tidak pernah kembali. Beberapa saksi mengklaim mendengar suara aneh dan melihat bayangan besar di malam hari."

Zharagi menarik napas panjang. Konflik di istana belum selesai, dan sekarang perbatasan kerajaan mulai bergejolak.

"Perintahkan pasukan untuk memperkuat penjagaan di perbatasan. Kirim penyelidik untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi," perintah Zharagi dengan tegas.

"Baik, Yang Mulia." Penjaga itu segera pergi.

Ratu Hwa kembali angkat bicara. "Lihatlah, Yang Mulia. Masalah datang dari segala arah. Apakah ini saat yang tepat untuk menimbulkan lebih banyak keretakan dengan pengakuan atas Putera Mahkota?"

Zharagi menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangannya ke seluruh aula. "Aku tidak butuh saran dari siapa pun yang ingin memecah belah kerajaan ini. Aku akan menjaga tahta ini, keluargaku, dan seluruh rakyat Dinasti Huang. Jika ada yang berani melawan, mereka akan berhadapan langsung denganku."

Suasana mencekam memenuhi aula. Para petinggi dan Ratu Hwa saling bertukar pandang, menyadari bahwa Zharagi tak akan mundur sedikit pun. Namun, di dalam hati masing-masing, rencana-rencana baru mulai terbentuk, membawa konflik yang lebih besar di masa depan.

Langit di perbatasan Dinasti Huang terasa lebih gelap dari biasanya, seolah-olah awan membawa pesan buruk. Pasukan istana yang dipimpin oleh Jenderal Han segera tiba di desa yang disebut-sebut sebagai tempat hilangnya para penduduk. Suasana desa lengang. Tidak ada aktivitas penduduk, hanya beberapa rumah dengan pintu terbuka, seakan-akan ditinggalkan secara tiba-tiba.

Jenderal Han menatap sekeliling dengan cermat, tangannya memegang gagang pedangnya. "Apa yang terjadi di sini?" tanyanya kepada seorang prajurit yang datang melapor.

"Jenderal, kami tidak menemukan penduduk sama sekali. Hanya ada jejak kaki yang menuju ke hutan, tetapi jejak itu berhenti begitu saja," jawab prajurit itu dengan suara gemetar.

Han mengerutkan kening. "Kumpulkan seluruh pasukan. Kita akan menyusuri hutan. Tidak ada yang bergerak sendirian."

Sementara itu, di istana, Zharagi duduk di ruang kerjanya dengan wajah penuh ketegangan. Surat laporan dari Jenderal Han baru saja diterima, dan isinya membuatnya semakin gelisah.

Ratu Hwa masuk tanpa diundang, membawa secangkir teh. "Yang Mulia, kau terlihat begitu tegang. Apakah masalah perbatasan benar-benar separah itu, atau kau hanya cemas pada ancaman yang ada di dalam istana ini?"

Zharagi meliriknya sekilas, lalu kembali membaca laporan. "Aku tidak punya waktu untuk permainan kata-katamu, Hwa. Jika kau tidak punya sesuatu yang penting, lebih baik kau pergi."

Ratu Hwa tersenyum kecil, duduk di kursi seberangnya. "Aku hanya peduli, Yang Mulia. Bagaimanapun, kita adalah pasangan."

"Pasangan?" Zharagi mendengus. "Kau dan aku hanya berbagi gelar, tidak lebih."

Hwa terkekeh pelan. "Sungguh menyedihkan, Yang Mulia, kau tidak melihatku sebagai sekutu. Kau tahu, para petinggi klan mendukungku. Dengan sedikit upaya, mereka bisa menjadi kekuatan yang menguntungkan untukmu."

Zharagi meletakkan surat di tangannya dan menatap Hwa tajam. "Aku tidak membutuhkan dukungan mereka, apalagi jika mereka mengancam putraku. Jika mereka ingin memberontak, biarkan mereka mencoba."

Hwa mendekatkan tubuhnya, suaranya berubah lembut. "Aku tidak ingin memberontak, Yang Mulia. Aku hanya ingin memastikan dinasti ini tetap kokoh. Kelahiran Putera Mahkota tidak harus menjadi alasan perpecahan. Kita bisa mengaturnya... dengan cara yang tepat."

"Apa maksudmu?" tanya Zharagi curiga.

Hwa menyandarkan tubuhnya di kursi, tangannya memainkan cangkir teh. "Anak itu terlalu kecil untuk memikul beban takhta. Mungkin lebih baik jika dia dibesarkan jauh dari istana, agar tidak menimbulkan ketegangan dengan para klan."

Zharagi berdiri, tatapannya penuh kemarahan. "Cukup, Hwa! Putraku adalah pewaris takhta ini, dan dia akan tetap di istana. Jangan pernah kau usulkan hal semacam itu lagi."

Ratu Hwa tersenyum tipis, meskipun matanya memancarkan kilatan dingin. "Baiklah, Yang Mulia. Aku hanya mencoba membantu."

Setelah Hwa pergi, Zharagi kembali duduk, tangannya mengepal di meja. Di luar, malam semakin larut, tetapi pikirannya terus dipenuhi oleh ancaman dari dalam dan luar istana.

Di hutan perbatasan, Jenderal Han dan pasukannya bergerak perlahan, mengikuti jejak kaki yang samar. Malam terasa lebih sunyi dari biasanya, hingga tiba-tiba terdengar suara aneh—dalam, bergetar, dan menggema di antara pepohonan.

"Berhenti!" seru Han, mengangkat tangannya. Semua prajurit menghentikan langkah mereka, mendengarkan dengan saksama.

Suara itu semakin mendekat. Dari kegelapan, sosok besar muncul. Matanya bersinar merah, tubuhnya diliputi bayangan pekat yang bergerak seolah hidup. Para prajurit mundur dengan panik, tetapi Han berdiri teguh, menghunus pedangnya.

"Siapa kau?" seru Han dengan lantang.

Sosok itu tidak menjawab, hanya menggeram dengan suara yang membuat tanah di sekitar mereka bergetar. Tiba-tiba, sosok itu menyerang, dan Han hanya memiliki sepersekian detik untuk mengangkat pedangnya.

Di istana, Zharagi merasakan getaran aneh di dadanya, seolah-olah firasat buruk tengah mendekat. Dia berdiri dan memandang ke luar jendela, hujan yang belum berhenti terasa seperti pertanda bahwa sesuatu yang lebih besar akan datang.

Episodes
1 Kelahiran Putera Mahkota
2 Kematian Selir Agung
3 Kesedihan yang Membakar
4 Putera Mahkota Terancam
5 Ratu Hwa Mengambil Alih Pengasuhan Putera Mahkota
6 Kemenangan di Senja Terakhir
7 Perjalanan Pulang
8 Suasana Istana Menegang
9 Mei Li Menjadi Ibu Susuan Putera Mahkota
10 Tentang Mei Li
11 Tuduhan Terhadap Mei Li
12 Intrik
13 Kemarahan Raja Zharagi
14 Siasat Lady Ira
15 Percakapan di Ruang Rahasia
16 Raja Menyamar
17 Terdesak
18 Ingatan Yang Hangat
19 Keputusan Yang Mengubah Segalanya
20 Pesona Mei Li
21 Perang Yang Tak Bisa Diabaikan
22 Pengkhianatan Lady Ira
23 Strategi Pembalasan
24 Pulang dengan Kemenangan
25 Malam Hangat Raja dengan Selir Hwa
26 Peringatan Keras
27 Manuver Ratu Hwa
28 Tarei, Nyaris Saja
29 Intrik di Balik Eksekusi
30 Menuai Krisis
31 Meruncing
32 Tak Terduga
33 Bukan Pengkhianatan
34 Serangan dari Sisi Lainnya di Noshira
35 Hwa, Apakah Aku Menyakitimu?
36 Aku Akan Beristirahat di Kediaman Ratu
37 Dua Wanita Disisi Raja
38 Kemurkaan Raja kepada Selir
39 Terusik
40 Keputusan Berani
41 Keputusan Berat
42 Resiko yang Diambil Mei Li
43 Permainan Mei Li
44 Terkekang
45 Kesepakatan Ratu Hwa dengan Mei Li
46 Peringatan dari Ratu
47 Pengaruh di Balik Tahta
48 Bayangan di Balik Kekuasaan
49 Jejak Pengkhianatan Baru
50 Jaringan Pengkhianatan
51 Tersusun Rapi
52 Penyusup
53 Mencurigai Selir
54 Kecurigaan Semakin Besar dengan Kedatangan Pangeran Zhidai
55 Siapa yang Berani Menyusup?
56 Bayangan Itu?
57 Insiden di Gerbang Utama
58 Larut Malam
59 Dendam Lama Bayangan Hitam
60 Dibalik Bayangan Raja yang Murka
61 Pedang di Tangan Raja
62 Tak Terampuni
63 Perang Terakhir
Episodes

Updated 63 Episodes

1
Kelahiran Putera Mahkota
2
Kematian Selir Agung
3
Kesedihan yang Membakar
4
Putera Mahkota Terancam
5
Ratu Hwa Mengambil Alih Pengasuhan Putera Mahkota
6
Kemenangan di Senja Terakhir
7
Perjalanan Pulang
8
Suasana Istana Menegang
9
Mei Li Menjadi Ibu Susuan Putera Mahkota
10
Tentang Mei Li
11
Tuduhan Terhadap Mei Li
12
Intrik
13
Kemarahan Raja Zharagi
14
Siasat Lady Ira
15
Percakapan di Ruang Rahasia
16
Raja Menyamar
17
Terdesak
18
Ingatan Yang Hangat
19
Keputusan Yang Mengubah Segalanya
20
Pesona Mei Li
21
Perang Yang Tak Bisa Diabaikan
22
Pengkhianatan Lady Ira
23
Strategi Pembalasan
24
Pulang dengan Kemenangan
25
Malam Hangat Raja dengan Selir Hwa
26
Peringatan Keras
27
Manuver Ratu Hwa
28
Tarei, Nyaris Saja
29
Intrik di Balik Eksekusi
30
Menuai Krisis
31
Meruncing
32
Tak Terduga
33
Bukan Pengkhianatan
34
Serangan dari Sisi Lainnya di Noshira
35
Hwa, Apakah Aku Menyakitimu?
36
Aku Akan Beristirahat di Kediaman Ratu
37
Dua Wanita Disisi Raja
38
Kemurkaan Raja kepada Selir
39
Terusik
40
Keputusan Berani
41
Keputusan Berat
42
Resiko yang Diambil Mei Li
43
Permainan Mei Li
44
Terkekang
45
Kesepakatan Ratu Hwa dengan Mei Li
46
Peringatan dari Ratu
47
Pengaruh di Balik Tahta
48
Bayangan di Balik Kekuasaan
49
Jejak Pengkhianatan Baru
50
Jaringan Pengkhianatan
51
Tersusun Rapi
52
Penyusup
53
Mencurigai Selir
54
Kecurigaan Semakin Besar dengan Kedatangan Pangeran Zhidai
55
Siapa yang Berani Menyusup?
56
Bayangan Itu?
57
Insiden di Gerbang Utama
58
Larut Malam
59
Dendam Lama Bayangan Hitam
60
Dibalik Bayangan Raja yang Murka
61
Pedang di Tangan Raja
62
Tak Terampuni
63
Perang Terakhir

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!