Satu minggu kemudian, tepat pukul 08:00 pagi, Resa dan Tina sedang membantu kakaknya untuk memindahkan barang ke rumah barunya. Di tengah sibuknya kegiatan mereka, terlihat seseorang menghampiri Nenek Nur yang sedang duduk di atas kursi yang berada di teras depan rumahnya.
"Tumben Wina lewat sini?" gumam Tina, menyipitkan mata. Terlihat kerutan dari wajahnya dengan pikiran tanda tanya di benaknya. Tetapi tangannya tak beralih memindahkan barang yang akan ia angkut ke rumah kakaknya.
"Pagi, Nek. Wati-nya ada?" sapa Wina mengangguk dengan senyuman ramahnya.
"Pagi, Neng. Wati sudah berangkat dari tadi. Nenek kira dia berangkat bareng kamu, kan biasanya?" ujar Nenek Nur dengan menyunggingkan senyum di bibinya.
"Enggak, Nek. Soalnya udah tiga hari ini Wati gak masuk kerja! Makanya saya kesini," jelas Dewi membuat Nenek Nur melebarkan kelopak matanya terkejut.
"Masa iya, Neng? Padahal tiap hari Wati selalu berangkat dari rumah! Lalu perginya kemana kalau gak kerja?" raut muka yang sudah tak mudah itu menyiratkan rasa khawatir kepada cucu kesayangannya.
Sedangkan Tina yang mendengar perbincangan mereka menghentikan aktivitasnya sejenak. Namun tak membuat dirinya kaget karena kejadian seperti ini sudah ia duga sebelumnya.
"Udah gue tebak sih. Kelakuannya gak pernah bener. Malu-maluin aja," gerutu Tina dalam hati.
"Saya kira Wati lagi sakit. Soalnya gak ngabarin sama sekali, mau di telpon juga saya gak punya nomor HP-nya. Ini juga sekalian di suruh nanyain kabar Wati sama yang punya toko," jelas perempuan yang berpenampilan rapi mengenakan pakaian kekinian yang lagi tren di masanya.
"Tuh kan, berulah lagi dia. Udah diingetin juga jangan bikin malu yang bawa," gumam Tina, namun Resa menyenggol lengan adiknya agar diam.
"Engga ko... siapa tahu hari ini beneran berangkat kerja. Nanti Nenek tanya kalau Wati-nya udah pulang," kata Resa.
"Ya sudah kalau begitu... mari, Nek, Tina, Resa," pamit wanita itu melenggang pergi dari kediaman Nenek Nur.
"Iya, silakan," jawab mereka bersama.
"Orang kaya dia mah gak bisa diharapkan... kelakuannya na'uzubilah," gumam Tina yang melangkah pergi meninggalkan kediamannya.
"Ada apa, Mak?" tanya Komala yang menyadari kedatangan ibunya dan menyusul duduk di atas kursi yang ada di ruang tamu.
"Itu si Wati, katanya sudah tiga hari gak masuk kerja. Padahal dari rumah selalu berangkat. Coba deh kamu telpon dia, ada di mana sekarang," jelas Nenek Nur terlihat guratan amarah dari wajah sepuhnya yang membuat Komala bergegas mengambil gawai yang ia letakan di dalam kamar.
Beberapa kali panggilannya tak dijawab, Komala mulai merasakan kegundahan. Segelintir pertanyaan berseliweran di pikiran nya yang membuat kepalanya berdenyut.
Sedangkan di kediaman Rima, rumah yang baru selesai dibangun itu terlihat sederhana, namun nyaman untuk ditempati. Angin yang sejuk membuat suasana kakak beradik merasa betah berlama-lama di kediaman itu. Setelah selesai bebenah, keempat kakak beradik itu duduk lesehan di atas karpet sambil berbincang.
"Teteh heran deh sama si Wati. Gak nyangka kelakuannya kaya gitu. Teteh kira, keadaan kalian baik-baik aja saat tinggal bareng mereka. Kamu juga, Resa, masa diam aja sering di salahin Mamah? Kenapa gak pernah cerita sama Teteh! Kamu itu harus bisa membela diri agar tak mudah di tindas orang," cecar Rima, raut mukanya menyiratkan amarah yang membuncah.
Andai dia mengetahui kejadian yang menimpa adiknya, mungkin dia lah yang akan membela ke-3 adiknya saat ada yang berprilaku tidak baik terhadap mereka.
"Iya, Teh Rima. Benar itu, Teh Resa sama Dian mah cuman diam aja, padahal sering di serang keadaan, tapi gak bisa nyerang balik. Palingan bisanya nangis doang," ejek Tina ikut memanasi keadaan yang mulai terlihat tegang.
"Ck, mentang-mentang kamu bisa ngelawan, Tin. Kalau cuman bicara di belakang aja, Teteh juga bisa, Tin. Palingan telinganya Mamah akan terasa panas sekarang, karena sedang kita ghibahin," dengus Resa memicing ke arah adiknya yang sedang cengengesan.
Namun, di tengah perbincangan mereka terdengar suara teriakan seseorang yang memanggil salah satu dari mereka. Wanita paruh baya dengan penampilan syar'i dan suara khasnya yang memekik telinga.
"Rim... Rima!" teriaknya mendorong daun pintu agar terbuka lebar.
"Hadeuh, nambah satu lagi ini. Siap-siap tutup telinga, dah. Sebentar lagi bakalan ada ceramah dadakan. Mana kaya TOA aja, suaranya menggema," usil gadis ayu yang berwajah bulat dengan khas bulu matanya yang lentik itu menyambut kekeh an ke-3 saudaranya.
"Iya, Nek. Sini masuk," Rima menyambut kedatangan neneknya yang sudah berada di ambang pintu, di susul oleh ke-3 adiknya yang bergantian menyalami sang nenek dengan takzim.
"Itu, kamu beli paralon baru deh, buat aliran air ke rumah kamu. Sekalian sama punya Nenek di ganti, paralon yang lama udah usang. Banyak sambungan jadi sering tersendat," pintanya sambil mengeluhkan keadaan yang sebenarnya tak mengganggu aliran air itu sama sekali.
"Pake yang ada aja dulu, Nek. Aku baru pindahan loh ini. Kalau sekarang, aku belum ada uang buat beli yang baru," usul Rima dengan suara kesal yang tertahan. Karena neneknya itu selalu mempermasalahkan hal sekecil apapun menjadi masalah besar yang akan terus diungkit sebelum keinginannya terpenuhi.
"Kamu ini... kalau di bilangin suka membantah. Itu buat keperluan kamu juga, jangan suka perhitungan sama orang tua, gak seberapa ini," dengusnya tak menerima penolakan. Padahal jelas dia tahu keadaan cucunya saat ini seperti apa.
"Iya, Nek. Nanti deh, kalau udah ada uangnya baru beli. Kalau sekarang belum bisa. Karena suamiku juga belum mulai jualan lagi," jelas Rima meminta pengertian sang nenek yang ternyata tak bisa mengerti keadaan cucunya.
"Halah, alasan kamu aja itu. Bilang aja gak mau modal sendiri," umpatnya beranjak dari tempat duduknya, menghampiri cucu yang lainnya. Rima mengekor dengan perasaan dongkol.
"Lagi pada ngumpul disini ternyata. Kalian kemana aja? Sekarang jarang ke rumah Nenek. Apa lagi kamu, Resa. Mentang-mentang sudah kerja, lupa sama Nenek kamu. Gak inget apa, dari kecil Nenek yang susah payah ngurusin," katanya dengan nada yang sedikit meninggi.
Meraka berempat hanya saling lirik beradu pandang, merasa jengah dengan pembahasan yang menurut mereka sepele tapi selalu di besar besar kan sama neneknya.
"Yang benar saja. Apa katanya, ngurusin? Lah dia, cuman omong doang," batin Tina mengalihkan pandangan dari neneknya yang terlihat berpakaian rapih mengenakan gamis dan kerudung lebar yang menutupi sampai area bolongnya.
Suara Adzan terdengar menyerukan ajakan sholat ashar. Resa dan kedua adiknya berpamit pulang karena harus menjalankan kewajibannya, untuk menuntut ilmu di tempat pengajian seperti biasa.
Saat di perjalanan pulang, Tina bercerita tentang keinginannya pada sang kakak yang berjalan di sampingnya. "Teh, kayanya minggu depan aku mau kerja juga deh. Soalnya, udah libur sekolah, tinggal menunggu kelulusan. Nanti, aku tanya Wina siapa tahu ada lowongan di Plaza," ucap Tina memberi tahukan maksudnya.
"Sebaiknya ngobrol dulu sama Bapak, Tin. Baiknya gimana!" perintah gadis yang berparas cantik itu mengulurkan tangan putihnya untuk mengelus pundak sang adik.
"Ah.. iya, Teh. Aku jadi inget si Wati. Ngomong-ngomong, saat dia pulang pasti bakal di brondong banyak pertanyaan. Terus di ceramah in," girang Tina saat mengingat sesuatu yang tiba-tiba melintas dalam benaknya.
"Hadeh,gak bermanfaat banget kita meng-ghibah orang terus, Tin. Kaya kita udah bener aja ya," kata Resa.
"Halah, gak asik banget, Teh Resa mah baru juga bahas dikit, udah ceramah aja," delik Tina namun tangannya merangkul sebelah tangan Resa yang menuntun sang adik di tangan yang satunya lagi.
Sedangkan Dian hanya terkekeh, mendengarkan celotehan ke-2 kakaknya. "Dian, kamu itu diem diem bae. Harus di ketok, baru bunyi," ujar Tina mencondongkan badannya karena terhalang oleh Resa yang berada di tengah ke-2 adiknya.
"Apanya yang di ketok, Teh?" tanya Dian mendongak, wajah polosnya terlihat jelas, sedangkan sang kakak hanya terkekeh saat melihat adik yang satunya mendelik karena ucapannya tak dimengerti oleh sang adik.
"Maksudnya, kamu harus di tanya dulu, baru bicara, Dian. Kalau nggak, ya seperti itu. Kamu hanya diam menyimak aja," ucap Tina menjelaskan.
"Jangan pernah merasa sendiri, yah, kamu punya kita. Apapun dan kapan pun, kamu bisa cerita tentang keluh kesah kamu," timpal Resa sambil menyunggingkan senyum di bibirnya, yang direspon Dian dengan mengangguk.
Setibanya di rumah, mereka segera mandi bergantian, lalu berangkat ke pengajian bersama. Disusul dengan adik tirinya yang mengejar langkah mereka, karena tertinggal, sambil mulut yang kumat-kamit menggerutu.
"Dia kenapa? Kaya yang lagi baca mantra aja. Kumat-kamit begitu," usil Tina, matanya memicing pada dia yang sedang berjalan tergesa menyusulnya.
"Kalau berani, mah sini. Dihadapan orangnya, kalau cuman ngomongin di belakang doang mah gak bikin aku ketar-ketir," sindirnya saat samar-samar mendengar dirinya disebutkan.
"Eh, eh... kepedean banget kamu. Bukannya situ yah yang hobi jelekin kita. Lagian, situ komat-kamit aja. Bikin orang berpikiran jelek tau!" dengus Tina meladeni ucapan Wanti yang sudah menatap garang.
"Ck... apa sih, jangan usil deh. Aku lagi hapalin, buat setor hapalan tahfiz, belum lancar," jelasnya yang akhirnya mengalah dan berjalan mendahului kakaknya, sambil menyeret Dian agar mengikuti nya.
"Haduh, gawat ini, Teh. Gimana dong, aku lupa belum menghafal buat setoran tahfidz lagi. Ini gara-gara si Kang Nathan, yang bikin gabut. Jadinya aku lupa menghapal buat setoran hari ini," keluh Tina merasa gusar.
"Sudah tau di jadiin bahan gabut. Bukannya cabut, eh malah di ajakin ribut. Dari awal Teteh udah peringati kamu, Tin," saut Resa dan terkekeh melihat ekspresi adiknya yang malah terlihat menggemaskan saat pipinya menggembung karena cemberut.
"Ah... Teteh mah, malah ngeledek lagi. Alamat di setrap ini mah," kesal Tina sambil memukulkan buku yang dipegangnya pada gadis berkerudung ungu muda yang selalu terlihat anggun saat dipandang.
Tanpa sepengetahuan keduanya, seseorang yang duduk di teras mesjid selalu menunggu hanya untuk sekedar melihat salah satu gadis yang telah menarik perhatiannya.
"Ku lihat senyum cantikmu yang menggoda. Ingin rasanya aku menyapa. Namun rasanya tak pantas diriku tuk dirinya. Bagai sinaran pelangi, penuh warna-warni menghiasi diri, kamu membuat semua orang terpana. Melihat parasmu, senyummu sungguh aku mengagumi...... Ya Tuhan, ku serahkan padamu. Ku doakan dia, di sepertiga malamku," lamunan pria tersebut, saat gadis itu melewati dirinya.
Siapakah gerangan gadis incarannya? Dan lamunannya buyar, saat mendengar dehem an seseorang. Pemuda itu mengusap tengkuknya merasa malu, karena ketahuan telah menatap orang yang bukan mahramnya. Lalu ia bangkit dari duduknya menghampiri sosok pria yang bertubuh tegak yang mengenakan koko dan sarung itu membuat orang segan namun menjadi panutan di kampungnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
wati bolos kerja udah 3 hari. kemana ituuu?
2025-02-14
1
Tini Timmy
waduhh, kemana si wati...
2025-02-01
0
Taurus girls
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2025-02-09
2