Malam harinya, naura yang tengah menyelesaikan pekerjaan kantornya menghentikan aktivitasnya, pikirannya melayang mengingat ucapan jendral.
"Apakah lelaki itu bisa dipercaya?" tanyanya dalam hati, namun ia takut terluka dan malah terjebak semakin jauh.
drrrttt drrrttt
Bunyi ponsel membuatnya menghentikan lamunan panjangnya, tertera nama bunda astrid di layar tersebut, ia menghela nafas panjang sebelum menggeser tombol hijau pada aplikasi tersebut.
"Hallo bunda, assalamu'alaikum," sapa Naura, setelah menempelkan benda pipih itu ditelinga kirinya.
"Benar pernikahanmu batal? Nak," tanya bunda disebrang telepon yang terdengar begitu panik dan cemas.
Naura yakin pasti ada yang memberitahukannya, ia yakin anak itu, anak rahasianya dari mantan suaminya.
Anak itu sempat bertanya padanya, tentang arfan, dan saat itulah ia memberi tahukan pada putranya bahwa ia tak jadi menikah.
Naura tak tahu, putranya akan mengatakannya pada bunda.
"Iya, bun. Titip gala sebentar, setelah selesai urusanku, aku pulang dan cuti beberapa hari," ucap naura tanpa memberitahukan alasannya.
"Kenapa nak? Alasannya apa? Jangan-jangan kamu masih mencintai jendral? Iya," tanya bunda bertubi-tubi.
Bunda tahu betul, naura selalu membentengi diri dari setiap laki-laki yang mendekatinya.
Karena luka itu, membuat naura trauma untuk berhubungan dengan lelaki manapun, hingga arfan datang dan mendekatinya sampai ke panti asuhan.
Awalnya ia menolak mentah-mentah, tapi bunda mengatakan kalau putranya terus-menerus bertanya tentang papanya, tentu naura tak ingin gala tahu siapa ayah kandungnya.
Bukan menutupi, tapi jika mengingat masa lalu belum tentu pria itu mau menerima kehadiran putranya. Merahasiakannya lebih baik dari pada nanti membuatnya terluka, begitulah pikirnya.
"Enggak, bun, Bukan itu alasannya, nanti aku cerita ke bunda," ucap naura mengelak.
"Naura, sampai kapan kamu bersikap begitu? Nak. Arfan itu lelaki yang baik, dia juga sudah menerima anakmu dengan baik, lalu apa lagi yang kamu harapkan, nak," geram bunda astrid.
Mendengar itu, naura rasanya ingin menjerit, dn menangis keras meluapkan segala luka yang menghimpit dadanya.
"Andai bunda tahu, jika arfan lebih buruk dari jendral," batin naura, menahan tangis disaat sambungan telepon masih terhubung.
"Nak, kamu masih disana?" tanya bunda disebrang telepon.
"Iya, bun. ada apa ?" sahut naura.
"Bunda cuma mau mengingatkan kamu, agar membuka hati dan lupakan jendral, ya," ucap bunda dengan suara lembutnya.
"Iya, bun. Kalo gitu aku kerja dulu, pekerjaan aku masih numpuk," pamit naura.
Setelah mendapat deheman dari wanita paruh baya itu, ia segera menutup sambungan teleponnya. Ia tak kuat lagi untuk berbicara dengan wanita yang sudah membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu.
Naura menggigit bibirnya, menahan rasa yang membuat sesaknya semakin menjadi, ia tak ingin menikah lagi. Apa salahnya? Ia ingin fokus pada karir dan gala saja.
Tapi, kenapa dunia ini begitu kejam padanya?
Mengenalkannya pada pria yang sama sekali memberikannya cinta yang palsu, cinta yang hanya akan memberinya luka yang mungkin lebih dalam bukan kebahagiaan.
Ingin ia sudahi semua ini, secepatnya dan berharap hari esok segera tiba dan usai dengan pernikahan yang gagal.
...****************...
H-1 Pernikahan ...
Naura berjalan masuk kekubikelnya, ditangannya ada beberapa undangan yang ia sisakan untuk teman kantornya, berusaha tegar dan kuat wanita itu menghela nafas panjang dan berusaha tersenyum sebahagia mungkin.
Dia berjalan mendekati meja-meja rekan kantornya, lalu membagikan undangan pernikahannya esok hari, tentu semuanya begitu antusias menerima undangan pernikahan naura, kecuali reva.
Rekannya yang paling dekat itu, segera membawa naura ke tempat sepi. Menariknya ke balkon yang terbilang sunyi.
"Elo yakin dengan ini?" tanya reva sambil menunjukkan undangan tersebut, dan naura hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Gak, naura. Elo lihat sendiri dia selingkuh, mana bisa lo memaafkan pria brengsek itu begitu saja. Elo boleh jatuh cinta, tapi jangan karena cinta elo jadi bego," ujar reva memberi ultimatum sembari menunjuk-nunjuk ke sembarang arah, seakan ia menunjuk-nunjuk pada lelaki itu.
"Datang saja, aku pasti bahagia dan akan sangat bahagia, jika kamu datang dan menjadi saksi pernikahanku," ucap naura dengan tenang menjawab.
Reva menggelengkan kepalanya, mendengar reaksi temannya itu yang tetap tenang, padahal ia tahu persis malam itu naura sempat menangis.
Ingin rasanya ia menonjok pria bernama arfan itu, yang membuat temannya itu menjadi buta.
"Naura! Gue gak percaya, elo sebodoh ini soal cinta," ujar reva dengan nada yang membentak.
Reva membalikkan badan dan pergi meninggalkan naura sendiri di balkon, dengan menghentakkan kakinya saan berjalan.
Sementara naura, ia menggenggam undangan yang tersisa satu lagi dengan kuat, hingga menjadi lipatan kecil yang remuk. Kalau bukan karena rasa penasaran dengan rencana jendral, ia juga sudah membakar semua surat undangan tersebut.
Siang harinya ...
Naura duduk terdiam di kursi kerjanya, menatap kosong kearah komputer yang menyala, wanita itu masih berpikir tentang pernikahannya esok hari.
Semua orang sudah pergi ke kantin untuk makan siang sekaligus beristirahat, namun dia masih mengerjakan sesuatu, siang ini ia merasa tak ada nafsu untuk mengisi perutnya.
"Sampai kapan elo ngelamun? Naura ayu," suara reva membuyarkan lamunannya.
"Sudah balik" ujarnya menoleh sejenak, lalu kembali menatap ke arah layar persegi itu.
"Ini makan, elo harus kuat. Kan lo besok menikah," ujar reva.
Rekan kerjanya itu, menaruh boks kecil dengan nama merk makanan kesukaan naura.
Naura melihatnya, kemudian melirik ke arah reva, meski sempat kaget dengan kepedulian temannya ia tetap tersenyum menerimanya.
"Makasih" Naura tersenyum dan memberikan jari yang berbentuk saranghaeyo pada reva.
Sedangkan reva, wanita muda itu malah merasakan amarahnya yang semakin menjadi.
"Dasar elo, Naura. Bikin gue was-was aja," geram reva, lalu tersenyum senang setelahnya.
Dibalik ketenangan itu, reva paham apa yang dipikirkan sahabatnya itu, meski tak suka dengan arfan, setelah tahu perselingkuhannya reva juga penasaran dengan apa yang akan naura lakukan di hari penting itu.
Dia percaya naura merencanakan sesuatu yang tak pernah orang duga, seperti biasanya, ketika rapat kerja naura selalu memberi kejutan yang membuat atasannya menganga.
Jadi, mungkin kali ini pun begitu, pikir reva. Terlebih naura sudah bercerita bahwa ia punya bukti perselingkuhan calon suaminya.
...****************...
Hari yang ditunggu akhirnya tiba, cuaca yang cerah dengan burung-burung berkicau riang seakan bahagia dengan pernikahan mereka. Namun, tidak bagi naura yang berada di kamarnya bersama arfan, bibirnya terkunci dan menatap pantulan wajahnya didalam cermin.
Tak ada suara pujian yang ia dengar dari bibir calon suaminya itu, melainkan sebuah ancaman untuk patuh.
Padahal hari ini dia sangat berbeda dengan dandanan make up artis yang disewa arfan, tangannya terkepal kuat menahan sesuatu yang sudah meletup-letup, saat ia mendengar calon suaminya justru menghubungi elviana dengan senyum mengembang.
Lagi-lagi ia terjatuh kedalam jurang yang penuh duri dan menyebabkan luka dibatinnya, dalam hatinya ia hanya memanggil satu nama yang ia percaya akan menggagalkan pernikahannya.
"Jendral" gumamnya pelan bahkan hampir tak terdengar.
Jantungnya berdegub kencang, kala arfan pergi entah kemana bersamaan dengan bunyi ponselnya, naura meraih benda pipih tersebut melihat layar yang tertera adalah no yang tidak dikenal.
"Hallo" sapa naura, setelah menggeser tombol hijau dalam aplikasi chat.
"Tenanglah, jangan tegang," ucap seorang laki-laki disebrang sana yang naura kenal siapa pemiliknya.
....
....
....
Suasana di balroom sudah ramai, beberapa tamu sudah hadir dan menunggu acara sakral tersebut, disudut lain, terlihat pengantin pria begitu bahagia melihat pernikahannya yang tinggal beberapa menit lagi, begitu juga keluarganya.
Tak lupa arfan menyambut hangat tamu istimewanya, yaitu orang tua elviana yang menjadi investor bisnis barunya, tentu saja elviana hadir dalam acara sakral sang kekasihnya.
Wanita itu tersenyum mengedipkan sebelah mata, melihat penampilan arfan yang begitu tampan dimatanya, tanpa orang tahu dua jiwa itu diam-diam saling memberi kode.
"Jangan lupa nanti malam," bisik elviana, saat melewati arfan yang kemudian bergabung dengan orang tua dan tamu lainnya.
Acara ijab kabul-pun dimulai ...
Penghulu dan dua saksi duduk di kursi yang sudah disediakan, begitu juga pengantin pria, arfan harlan dengan senyum mengembang, ia beberapa kali menghela nafas berat.
Panitia acara pun membuka pintu, dimana pengantin wanita sudah berdiri dibalik pintu tersebut. Naura menatap lurus, lalu berjalan dengan pelan menuju kursi dimana disana akan menjadi tempat untuk mengikat janji sakral itu.
Ibunda arfan memuji kecantikan naura, ia begitu berseri-seri melihat calon menantunya yang begitu bersinar pagi ini.
Tapi, tidak bagi pengantin pria yang begitu biasa saja dan malah menatap ke arah sang kekasih hatinya yang kemudian tersenyum.
Naura duduk dikursinya dibantu panitia, lalu kain transparan itu memayungi kepalanya dan kepala calon suaminya sebagai tanda ijab kabul akan dimulai.
Arfan berjabat tangan dengan wali hakim dan siap untuk mengucapkan ikrar pernikahan yang akan mengikat keduanya.
"Ananda arfan harlan, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan naura ayu binti fulan, dengan mas kawin satu set perhiasan dan uang 5 juta rupiah dibayar tunai," ucap wali tersebut dengan tegas.
Jantung naura berdebar-debar, kala ucapan itu terdengar lantang dan jelas menggema diruangan luas itu, hatinya masih memanggil satu nama yang kini ia percaya kedatangannya.
"Jendral" batinnya sembari memejamkan matanya berharap laki-laki itu menepati janjinya.
"Jendral" gumamnya lagi tentunya dalam hati.
Akankah pernikahan mereka terjadi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments