Pagi itu, sinar matahari yang lembut menyelinap lewat celah tirai kamar. Vio membuka mata perlahan dan mengalihkan pandangan ke arah jam meja—angka digital menunjukkan pukul 08.30. Aroma sedap masakan hangat menyambutnya dari lantai bawah.
“Sudah lama sejak terakhir kali papa dan mama pulang… Mereka selalu sibuk di luar negeri, dan hanya pulang sesekali. Tapi setiap pulang, mereka selalu menyempatkan cuti panjang. Satu minggu… kadang lebih.” pikir Vio saat menuruni tangga.
Di meja makan, sarapan sudah tersaji rapi. Papa dan mama tengah duduk bersama Hilda, suasana terasa hangat dan akrab.
Setelah makan, percakapan pun mengalir. Mereka menanyakan kabar Hilda dan Vio, tentang hari pertama sekolah Vio, serta perkembangan kuliah Hilda. Suara tawa dan canda ringan sesekali terdengar.
Tiba-tiba, Hilda membuka suara.
“Berapa lama papa dan mama akan di sini?” tanyanya.
“Kami akan tinggal dua minggu,” jawab mama sambil tersenyum. “Dan malam ini… ada seseorang yang ingin kami kenalkan kepada kalian.”
Hilda dan Vio hanya saling pandang, lalu mengangguk setuju. Setelah itu, papa dan mama mengeluarkan hadiah dari luar negeri—kaus bergaya retro untuk Hilda dan sebuah headset studio untuk Vio.
Namun di balik senyumnya, Vio menyembunyikan sesuatu.
“Mereka belum tahu aku melakukan siaran… Kak Hilda juga belum. Mungkin ini bukan saatnya untuk memberitahu.”
Siang menjelang. Hilda sibuk dengan bukunya, dan Vio hanya duduk santai di ruang tamu.
“Vio, kamu tidak ada kegiatan hari Minggu ini?” tanya mama yang muncul dari dapur.
“Tidak ada…” jawab Vio lesu.
“Kalau begitu, bantu mama antar bingkisan ini ke rumah nenek, dekat kuil ya.”
“Baiklah,” jawab Vio, mengambil tas kain kecil dari tangan mamanya.
Perjalanan menuju kuil membawa kenangan tersendiri. Saat kecil, ia sering ke sana bersama Hilda. Bahkan, konon kuil itu adalah tempat pelarian mama setiap habis bertengkar dengan papa. Vio tersenyum kecil saat mengingatnya.
“Hoho, cucu nenek datang. Masuklah, sayang.”
Vio mencium pipi nenek dan duduk di ruang tamu. Nenek menyuguhkan teh hangat dan kue beras khas buatannya.
“Nenek, kabarmu baik-baik saja, kan?” tanya Vio lembut.
“Tenang saja, nak. Nenek masih kuat,” jawab nenek sambil tertawa kecil.
Vio memijat lembut bahu nenek. “Tapi nenek seharusnya tidak tinggal sendirian terus…”
“Ah, nenek tak ingin merepotkan kalian,” jawab nenek lirih.
“Oh ya, papa dan mama pulang. Nanti kalau sempat, mereka akan mampir.”
“Benarkah? Sampaikan salam nenek untuk mereka, ya.”
Sore hari, Vio berpamitan dan berjalan pulang. Dalam perjalanan, ia melewati sebuah toko alat musik kecil di ujung jalan. Toko itu sepi, tapi tampak elegan. Vio sempat berhenti, menatap jendela toko… namun melihat jam tangannya, ia memilih untuk tidak mampir. “Lain kali saja.”
Sesampainya di rumah, ia menyampaikan salam dari nenek lalu bergegas mandi dan bersiap karena tamu yang dimaksud orang tuanya akan segera tiba.
Ia membantu Hilda menyiapkan ruang tamu, menyusun minuman, merapikan bantal, hingga akhirnya—
Ding dong.
Bel berbunyi. Hilda membuka pintu.
Saat tamu masuk, Vio terkejut.
“Tissa?!” serunya refleks.
Tissa, dengan ekspresi tak kalah kaget, membalas, “Oh! You're the one who helped find Vizmel!”
“Heh? I didn't really help. The cat came to me,” jawab Vio sambil tersenyum kecil.
Tissa menunduk, lalu tertawa kecil. “Still, thank you so much.”
Melihat mereka sudah saling mengenal, papa dan mama menjelaskan: Tissa adalah sepupu mereka yang akan tinggal untuk sementara waktu agar bisa bersekolah di kota ini.
Vio mematung sejenak. “Dia sepupuku? Dunia ini sempit sekali…”
Suasana ruang tamu menjadi agak canggung sejenak setelah pengumuman itu. Vio masih mencerna kenyataan bahwa gadis yang secara tak sengaja ia bantu beberapa waktu lalu kini akan tinggal serumah dengannya.
Tissa duduk dengan tenang di sofa, tatapannya berkeliling menyapu interior rumah.
“Maaf ya kalau mendadak. Tissa baru pindah minggu ini karena sekolah barunya mulai Senin besok,” ujar papa sambil menyodorkan secangkir teh hangat.
“Thank you, uncle.” jawab Tissa sopan.
Hilda yang duduk di samping Vio, menyenggol adiknya pelan.
“Kamu kenal dia dari mana?” bisiknya penasaran.
Vio berdeham. “Ceritanya… agak aneh. Aku cuma bantu dia cari kucing yang hilang.”
“Vizmel, namanya,” potong Tissa cepat. “Long-haired white cat.”
“Dan sangat lincah,” tambah Vio sambil tertawa kecil.
Tawa kecil itu memecah ketegangan. Mama tersenyum lega, lalu berdiri.
“Karena kalian sudah saling kenal, akan lebih mudah menyesuaikan diri. Tissa akan tinggal di kamar tamu atas. Hilda, bantu Tissa nanti ya.”
“Siap,” jawab Hilda sambil tersenyum ramah.
Malamnya, setelah makan malam yang meriah, Vio kembali ke kamarnya. Ia duduk di meja belajarnya, menyalakan laptop dan melihat pesan-pesan dari komunitas pendengarnya.
“Mereka menunggu siaran minggu malam ini… Tapi bagaimana aku bisa siaran kalau di rumah sekarang ramai begini?”
Ia memandang mikrofon kecil di pojok meja, lalu menutup laptop perlahan. “Tidak malam ini.”
Ketika hendak mematikan lampu kamar, terdengar ketukan lembut di pintu.
Tok. Tok.
“Vio? May I enter??” suara itu milik Tissa.
Vio cepat-cepat merapikan meja dan menjawab, “yah”
Tissa masuk sambil membawa bantal kecil.
“Sorry, I can't sleep yet... this house feels strange. Can we talk for a while?”
Vio mengangguk. “sure”
Mereka berbincang ringan. Tissa bercerita tentang kota asalnya, sekolah lamanya, dan bagaimana ia selalu merasa kesepian karena sering berpindah tempat tinggal. Vio mendengarkan dengan tenang, merasa ada kesamaan dalam rasa itu.
“You like music, right?” tanya Tissa tiba-tiba, matanya menatap ke arah headset studio yang diberikan papa.
Vio sedikit terkejut. “how do you know?”
“You have a unique taste in music. When I was looking for Vizmel, I heard you humming. It wasn't a song I usually hear..”
Vio tertawa pelan, mencoba meredam rasa paniknya.
“it's just a song that i've heard.”
“The song is calming” jawab Tissa.
Hening sesaat. Lalu, Vio mengalihkan pandangan ke jendela.
“Mungkin… dia tak akan keberatan kalau suatu saat aku berbagi lebih.” ujar Vio dalam hati
“Thank you for chatting with me. ” ujar Tissa sambil berdiri. “I'll go back to the room now.”
Vio mengangguk. “Good night”
Begitu pintu tertutup, Vio menatap mikrofon di mejanya lagi.
“Mungkin malam ini bukan untuk siaran… tapi aku merasa seperti menemukan pendengar baru, di dunia nyata.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments