Blood In The Hell
Pagi itu adalah pagi yang mendung. Langit di penuhi oleh gulungan awan ke abu-abuan hampir terlalu gelap. Angin yang berhembus begitu dingin. Cuaca yang terasa begitu berbeda dengan cuaca mendung biasanya. Sebab, kelihatannya langit tak menunjukkan tanda- tanda akan segera hujan meski sudah begitu terlihat gelap.
Violetta yang sudah duduk di dalam mobil menuju ke sekolahnya termenung di sepanjang jalan. Matanya memandangi jalanan kota yang di penuhi aktivitas pagi. Ekspresi nya menampilkan kesedihan yang tidak bisa di tutup-tutupi. Bahkan kedua mata nya masih terlihat sembab karena menangis semalaman.
Sementara itu, Pak Rahman, supir pribadi keluarga nya yang memang rutin bertugas mengantar Violetta ke sekolah setiap pagi terlihat memutar kenop volume radio mobil demi bisa mendengar lebih jelas suara penyiar berita dan topik-topik terkini yang sedang d bawakan.
"Berita pagi ini, " Suara penyiar radio terdengar, Violetta yang sedang bertumpu dagu melirik ke depan, sementara mobil mulai berbelok ke persimpangan sebelah kanan, " Sebuah virus misterius yang dilaporkan telah menjangkit sejumlah warga ibu kota sejak bulan april, kini mendapati kenaikan jumlah besar orang yang terjangkit. Maka dari itu pemerintah sangat menghimbau masyarakat untuk tetap tenang dan mengikuti protokol kesehatan yang telah di anjurkan, sementara para peneliti masih terus mencoba mempelajari dan mencoba mencari solusi cara pencegahanya. Namun masyarakat juga di harapkan untuk segera melaporkan jika ada yang menunjukan tanda-tanda sakit yang tidak biasa."
"Ya ampun, virus macam apa lagi ini ya?" Pak Rahman bergumam sendiri, sementara tangannya memutar setir untuk berbelok memasuki kawasan sekolah elite dimana Violetta akan belajar sebelum akhirnya berhenti di halaman depan sekolah tersebut.
"Non, sudah sampai." Pak Rahman menoleh, menyadarkan Violetta dari lamunannya.
Violetta mengerjabkan pelan, kemudian menyeka sudut mata nya yang berair dengan cepat, berusaha menyembunyikan tanda-tanda emosinya. Tanpa sepata kata, Violetta bergegas membuka pintu mobil dan segera keluar.
Setelah itu mobil yang mengantarnya kembali bergerak, melaju meninggalkan area depan sekolah sekaligus Violetta yang masih bergeming di tempatnya berpijak, mengatur napasnya dan mencoba menampilkan ekspresi sebiasa mungkin.
Setelah menarik napas dan membuangnya perlahan, menahan gejolak perasaan yang berhimpitan di dada nya, Violetta menggerakkan kaki nya untuk melangkah memasuki koridor utama sekolah seperti murid-murid lainya.
Namun, baru beberapa kali kakinya mengambil langkah, Violetta mendapati seseorang yang tak asing berdiri di ujung tangga teras koridor utama. Seseorang yang menjadi salah satu penyebab suasana hati buruk Violetta pagi ini. Flora.
Flora berdiri canggung, menunggu Violetta mendekat. Wajahnya menunjukan ekspresi bersalah, terlihat jelas dari sorot matanya dan sikap gelisahnya.
Sementara itu, Violetta terdengar mendesah panjang, merasa ada gelombang emosi yang mendidih kembali. Ia segera membuang muka, berpura-pura tidak melihat dan mempercepat langkah kaki nya begitu melihat Flora mendekati seraya memanggilnya.
Violetta tidak ingin lagi berurusan dengan Flora untuk saat ini atau mungkin selamanya.
"Vio.... Tunggu, dengerin penjelasan gue dulu. Please." Tapi kelihatannya Flora memang keras kepala. Ia mengikuti Violetta dengan langkah tergesa-gesa bahkan mencoba meraih tangan Violetta untuk menghentikan langkahnya, "Lo cuman salah paham."
"Salah paham gimana maksud lo?!" Violeta berhenti, menyentakan tangan Flora dengan keras. Wajahnya merah padam dengan mata yang menyala penuh emosi. Ia berdiri dengan tubuh bergetar di depan Flora yang mencoba kembali meraih tangannya, "Semua yang gue lihat udah jelas, Flora! Lo selingkuh sama pacar gue! Pacar temen lo sendiri!!" Violetta mendorong-dorong bahu Flora dengan jari telunjuknya, suaranya bergetar antara marah dan terluka.
Mendengar semua yang dikatakan Violetta membuat Flora membeku, bibirnya bergetar mencari kata-kata untuk menyangkal, namun tidak ada yang berhasil lolos dari mulutnya. Flora tahu Violetta benar. Apapun yang ia katakan tidak akan mengubah kenyataan dan rasa bersalah itu menghantamnya lebih keras.
"Vio, gue.... Gue gak pernah bermaksud buat nyakitin lo, " Flora berbisik, suara nya terdengar penuh penyesalan. Alih-alih membuat keadaan lebih baik, perkataannya itu justru membuat Violetta semakin tersulut emosi.
"Apa lo bilang? Gak bermaksud?" Violetta berdecih sinis, merasa perkataan Flora adalah sebuah lelucon lucu hingga membuatnya merasa tak habis pikir," Lo sadar gak sih? Yang lo lakuin ke gue itu lebih dari nyakitin, Flora! Gue anggap lo sahabat, tapi ternyata lo penghianat!" Violetta berkata dengan nada tinggi, meluapkan segala perasaan kecewa dan sakit hati nya.
Perdebatan yang terjadi di antara Violetta dan Flora di koridor saat ini tentu saja menarik perhatian murid-murid lainnya yang sedang berlalu-lalang . Beberapa terlihat sengaja melambatkan langkah mereka, beberapa terang- terangan berhenti untuk menonton. Ekspresi-ekspresi penasaran tercetak jelas dan tatapan ingin tahu mereka tunjukkan kepada Violetta dan Flora.
"Vio, gue tau gue salah, " Flora mencoba lagi, suaranya sedikit lebih keras untuk melawan gemuruh emosi di sekitarnya, " Gue minta maaf. Please, kita bisa omongin ini baik-baik, kan?”
"Udah gak ada yang perlu di omongi!" Sela Violetta, suara nya penuh dengan kemarahan yang menggema, "Gue udah gak mau denger apapun alasan lo dan lo bukan lagi temen gue, Flora!"
Flora sontak terdiam, matanya berkaca-kaca, ia merasa begitu sakit hati mendengar bagaimana Violetta memutuskan hubungan persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak mereka Sd.
Sementara itu Violetta sudah melengos pergi membawa semua perasaan kecewa, sakit hati dan amarah nya meninggalkan Flora. Ia juga tidak peduli dengan tatapan-tatapan yang di tunjukan kepada nya.
Violetta menghela napas panjang begitu ia akhirnya tiba di dalam kelas. Suasana yang biasanya terasa biasa saja kini terasa semakin berat baginya. Ia meletakan tasnya dengan kasar, mendudukan dirinya. Punggungnya baru saja ingin disandarkan ke kursi mencoba untuk menenangkan diri sejenak. Namun, sebelum Violetta bisa benar-benar melepaskan lelah, Amara yang merupakan teman dekatnya di kelas datang menghampiri, menyodorkannya kertas ulangan miliknya yang sudah di periksa.
Violetta memandang kertas ulangan yang baru saja di terimanya, matanya terfokus pada nilai merah yang terpampang jelas di bagian atas, membuatnya mendesah gusar. Nilai itu seolah sedang mengejeknya.
Amara yang masih berdiri di depan meja Violetta menatap gadis itu dengan gelengan kepala. Ia tahu mengenai pertengkaran yang terjadi antara Violetta dan Flora pagi ini, sebab tak butuh waktu lama untuk membuatnya menjadi gosip pagi seantero sekolah. Apalagi selama ini hubungan Violetta dan pacarnya, ralat, mantan pacarnya, Zean, cukup terkenal di sekolah. Keduanya sempat dijuluki sebagai couple goals. Amara juga tadinya berencana untuk bertanya bagaimana bisa temannya ini bertengkar dengan Flora. Ya, ia sudah tahu sih mengenai Flora yang diam-diam berpacaran dengan Zean di belakang Violetta, tapi bukannya sudah beberapa hari sejak Violetta mengetahuinya, ia berusaha keras untuk menghindari kedua nya. Tapi, melihat bagaimana ekspresi yang di tunjukan oleh Violetta saa ini membuat Amara menjadi urung untuk bertanya.
"Gue gak ngerti lagi deh, Ra" Violetta mengeluh, suaranya penuh keputusasaan. Ia menyandarkan punggungnya lebih dalam ke kursi yang ia duduki, seolah ingin melarikan diri dari hari yang penuh dengan tekanan ini, "Kenapa hari ini rasanya nyebelin banget, sih! Udah Flora bikin gue badmood pagi-pagi, ditambah lagi ini," ia mengangkat kertas ulangannya di udara kemudian mendengus sebal.
Amara menarik kursi di depan meja Violetta lalu mendudukinya, " Lo belum berhasil juga membujuk Arshanan untuk ngajarin lo fisika?"
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Amara menambah sakit kepala Violetta saja. Kepalanya terasa semakin berdenyut-denyut. Pasalnya, Arshanan itu sombong sekaligus ketus tiap kali Violetta berusaha mengajaknya mengobrol, " Susah banget, Asli! Gak ada orang lain aja apa? Siapa kek asal jangan dia," Keluhnya dengan nada kesal. Violetta benar-benar merasa frustasi tiap kali mengingat bagaimana dirinya begitu berusaha untuk mengajak cowok kulkas itu berbicara.
Amara mengerti betul situasi yang ada. Ia juga tahu betul bagaimana watak Arshanan yang cenderung tertutup, bahkan terkesan sombong dan sulit di dekati. Ia juga tidak menyalakan bagaimana Arshanan yang selalu mengabaikan Violetta. Sebab selama ini, Violetta tidak pernah sedikitpun berinteraksi dengan Arshanan dan kemudian tiba-tiba saja Violetta mendekati nya karena ada maunya. Kesannya malah seperti ingin di manfaat kan.
Amara menatap Violetta yang kini semakin cemberut, "Gue ngerti," Kata Amara, " Tapi kita semua tau orang yang paling cocok untuk ngajarin lo ya cuman Arshanan. lagian Buk Meta juga menyarankan supaya belajar bareng dia, kan."
"Iya," Violetta menghela napas, merasa semakin tertekan, " Tapi gimana caranya, coba? Dia aja kayak ngindarin gue mulu. Keliatan banget gak suka gue deketin."
Amara jadi ikut menghela napas. Ia juga tidak tau harus bagaimana. Sementara itu, diluar mendung semakin menjadi-jadi, namun hujan tak juga kunjung turun.
" Arsahanan...."
Seruan itu terdengar dari luar yang mana membuat Violetta maupun Amara langsung menoleh, melihat siluet Arshanan di balik jendela kelas sedang berhenti dan menoleh ke seseorang yang memanggilnya.
"Ini, makasih ya udah Pinjemin."
"Oh, iya. Sama-sama."
Violetta melirik Amara seolah bertanya pada Amara dari tatapan matanya siapa gerangan gadis yang baru aja mengembalikan buku pada Arshanan, namun temannya itu mengedikan bahunya seraya menggeleng ringan. Mengatakan bahwa iia juga tidak tau.
Kemudian tanpa aba-aba, Violetta beranjak berdiri, melangkah lebar keluar kelas. Ia ingin mengejar langkah Arshanan.
"Arshanan!"
Si empunya nama menoleh lagi. Namun kali ini setelah tahu siapa yang memanggilnya, ia mendengus malas dan langsung mengalihkan pandangannya, melanjutkan langkah nya tanpa sepatah katapun.
Violetta berdecak kesal. Lagi- lagi ia di abaikan. "Arshanan, tungguin!" kemudian Violetta mencoba mempercepat langkahnya, berusaha menyusul Arshanan yang terlihat sama sekali tidak peduli.
"Tadi itu siapa?" Violetta melontarkan tanya begitu ia berhasil menyesuaikan langkah kaki Arshanan dan berjalan di samping cowok itu.
Arsahanan bergeming. Seolah pertanyaan yang dilontarkan Violetta barusan bukan ditunjukkan kepadanya.
Violetta menghembuskan napasnya dengan kasar, menekan perasaan dongkolnya lebih dalam, "Em... Bye the way, Lo kapan punya waktu? Gue janji bakal bayar berapapun yang lo mau. Jadi please bantuin gue belajar."
Arshanan mendengus, seperti ia benar-benar terganggu dengan perkataan gadis disampingnya ini, "Gue gak punya waktu," katanya, " dan gue gak butuh duit lo!"
Violetta bedecak, benar-benar merasa dongkol. Ia kemudian melangkah kan kakinya lebih cepat, demi menghalangi langkah Arsahanan, " Kenapa sih lo sombong banget?!" Sungutnya setelah berdiri di depan Arshanan.
Arshanan baru saja ingin menyahuti Violetta, namun suara riuh dari lapangan sekolah lebih dulu menarik perhatiannya.
"Apaan tuh?" Violetta ikut menoleh. Kemudian ia segera ikut berlari mengikuti Arsahanan menuju ke lapangan.
Dibawah langit mendung dan angin yang bertiup dingin, lapangan sekolah ramai oleh guru-guru serta murid-murid yang hampir semua nya berkumpul dan entah mengapa hal itu membawa suasana yang mencengkam. Wajah-wajah penasaran serta bisikan-bisikan terdengar di sekitar ketika Violetta berusaha keras mengekor in Arsahanan yang membelah kerumunan, namun tangannya sudah lebih dulu di tarik oleh Amara yang terlihat pucat pasih.
"Lo kenapa deh? Terus ini ada apa sih?" Tanya Violetta keheranan. Ia belum bisa mencerna situasi yang sedang terjadi saat ini. Sementara Amara terlihat bergetar.
"Sumpah, serem banget!" nada suara Amara terdengar bergetar. dan perkataannya sama sekali tidak menjawab kebingungan dan rasa penasaran Violetta, " Vi, kita harus pulang sekarang! Gue mau pulang!" Amara terlihat hampir menangis. Sementara Violetta mengeryitkan dahinya sebab ia masih tidak tahu apa-apa.
"Memangnya kenapa?"
"Virus itu udah menyebar di kota, orang-orang yang terjangkit jadi gila!"
Violetta masih tidak bisa mencerna perkataan Amara. Otaknya mendadak tidak bisa di gunakan untuk berpikir.
"Pegangi-pegangi"
Violetta menoleh ketika suara riuh itu terdengar lebih jelas. Ia menjenjangkan lehernya, melihat seorang murid laki-laki sedang berusaha keras di pegangi beberapa murid lainnya dan di sisi lain anggota PMR terlihat sedang membopong seorang guru yang berdarah-darah di bagian lehernya.
Violetta menelan ludahnya tanpa sadar, melihat mulut murid laki-laki itu belepotan darah membuatnya bergidik ngeri, "Reno kenapa?"
Amara mengigit bibirnya, matanya melirik ke tengah lapangan, "Kemungkinan Reno gak sadar kalau dia terjangkit virus itu. Katanya tadi sewaktu pelajaran olahraga dia pingsan, tapi... gak lama dia bangun, Vi. Bangun dengan cara yang gak normal."
Violetta masih merasa tidak mengerti, "Maksud nya gimana? Pingsan terus bangun? Bukannya itu wajar?"
Amara menggelengkan kepalanya, memotong kata-kata Violetta dengan cepat, " Enggak, Vi. Enggak wajar sama sekali! setelah dia bangun, dia langsung nyerang Pak Sebastian dan Andrew yang nyoba buat nolongin dia! Reno kayak-kayak orang kesurupan!"
Violetta merasa bulu kuduknya meremang mendengar penjelasan Amara, ditambah pula suasana dilapangan yang semakin ricuh. Kepala sekolah serta guru-guru berteriak mendikte para murid-muridnya untuk kembali ke dalam kelas dan tidak panik. Pihak sekolah juga sudah menghubungi ambulan dan pihak berwajib, Amara dan Violetta serta murid-murid lainnya bergegas ingin kembali ke kelas masing-masing, namun suara teriakan dari ruang kesehatan menghentikan langkah semua orang.
Terlihat dari ruang kesehatan, beberapa petugas berlari berhamburan. Dua orang memegangi tangannya yang terluka dan berdarah. Kemudian dari tengah lapangan, mungkin karena lengah, Reno menyerang seorang murid lainnya, menggigit pipinya hingga murid tersebut menjerit kesakitan.
Keadaan berubah menjadi benar-benar tidak kondusif. Orang-orang yang terkena gigitan terjatuh dan kejang-kejang sebelum akhirnya kembali bangkit dengan begitu agresif untuk menyerang yang lainnya.
Amara sudah melarikan diri entah kemana, sementara Violetta mematung di tempatnya setelah tidak sengaja melihat Zean menarik lengan Flora untuk melindunginya dari murid yang sudah berubah menjadi agresif.
Perasaan sakit hatinya kembali bergemuruh, Violetta tetap bergeming di tengah-tengah yang lainnya mencoba menyelamatkan diri mereka.
"Lo bego apa gimana sih?!"
Syukurnya Arsahanan berinisiatif menariknya menjauh dari lapangan dan membawa nya untuk bersembunyi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 10 Episodes
Comments