Tujuh Belas

Sore telah tiba, Deviana terbangun dari tidurnya. Perlahan ia mengucek matanya yang terlihat sembab karena menangis akibat ulah suaminya. Wanita itu merubah posisi tidurnya, sekarang ia menghadap kearah Syafiq yang juga tertidur di samping.

"Darah."

Lagi-lagi Deviana menyaksikan hidung lelaki itu berdarah. Segera mungkin ia beranjak dari atas ranjang untuk mengambil selembar tisu. Dengan perlahan ia mengusap noda darah diarea hidung Syafiq agar tidak membangunkan suaminya.

"Kenapa dengan laki-laki ini. Apa aku harus percaya bahwa dia sedang sakit?" tanya Deviana pada dirinya sendiri.

"Tapi enggak mungkin. Bisa aja dia bohong." Ucap Deviana.

"Kalau dia sakit, rugi sekali aku menikah dengan lelaki penyakitan."

Tubuh Syafiq bereaksi sejenak, Deviana pun menjauhkan tangannya dari lelaki itu.

"Nasib mu memang buruk, Syafiq. Memiliki saudara seperti Emir dan istri seperti diriku."

Deviana melemparkan tisu di tong sampah kemudian ia keluar dari dalam kamar. Rasanya lapar sekali setelah bangun dari tidur akibat pertengkaran dengan suaminya.

"Lho ... Ada tamu ya, Ma?" tanya Deviana.

"Enggak ... Memangnya kenapa?" tanya Ambar.

"Ini koper siapa?"

"Agung udah siap, Ma." Ucap seorang lelaki yang keluar dari dalam kamarnya. "Kakak ..."

"Agung, kamu mau ke mana bawa koper sebesar ini?"

"Liburan." Ucap pria itu tersenyum simpul.

"Liburan! Kok nggak ngajakin Ana sih?"

"Nggak liburan sayang." Ucap seorang pria yang juga hadir ditengah-tengah mereka. "Papa ada kerjaan di luar kota untuk beberapa hari ini."

"Terus Ana ditinggalin sendiri?"

"Kamu ini ya!" Ucap Ambar terkekeh geli. "Syafiq 'kan ada."

"Tapi, Ma—"

"Kak ... Semoga kepergian kami ini Kakak dan Abang bisa secepatnya punya bayi."

"Syafiq!" kesal Deviana. "Kamu masih kecil belum tau apa-apa. Jangan ngomong gitu."

"Kami sekarang mau berangkat. Tolong bilangin ke Syafiq ya."

"Ana ikut, Pa."

"Udah besar panjang masih manja hm?" tanya Kamal.

"Papa 'kan tau Ana penakut. Masak ditinggal sendirian di rumah."

"Ya tuhan anak ini ... Kamu udah punya suami, nggak baik ngikut orang tua mulu."

"Tapi, Ma—"

"Udah, udah ... Jangan membantah. Ayo, kita pergi sekarang."

"Kak, buatin Agung keponakan lucu-lucu ya."

"Kamu!"

Deviana sangat kesal karena ditinggal begitu saja. Dia memperhatikan keluarga kecilnya berlalu pergi dari rumah itu. Matanya berkaca-kaca memandangi kepergian orangtuanya.

"Ana!!!"

"Syafiq." Ucap Deviana menoleh ke dalam rumah.

Tanpa sadar wanita itu langsung berlari menuju kamarnya. Dia memperhatikan suaminya tidak ada di dalam sana. Melihat pintu kamar mandi terbuka, wanita itu segera melangkahkan kakinya.

"Ana, tolongin aku."

"Ya tuhan! Kamu menyusahkan banget sih." Deviana dengan kekesalannya namun masih mencoba membantu suaminya untuk berdiri.

"Kepeleset?"

"Iya ... Ada sabun tadi."

"Eummm ... Aku nggak sengaja tumpahin tadi." Deviana pun memapah tubuh suaminya untuk berjalan kearah ranjang. "Aku nggak sempat siram lagi."

"Teledor banget jadi istri. Sekarang suaminya dapat musibah."

"Aku bukan istri mu." Tegas Deviana.

"Eh, mau ke mana?" tanya Syafiq menghentikan langkah kakinya.

"Keluar lah, kaki kamu 'kan sakit."

"Aku mau ke toilet sayang, belum juga selesai kencing."

Deviana memantung sejenak.

"Bantuin aku ya."

"Iiih, jorok banget." Deviana langsung melepaskan rangkulannya pada pinggang Syafiq.

Syafiq memutar bola mata malas. "Aku ini suami mu. Kamu nggak usah malu."

"Siapa juga yang malu."

"Terus apa?" tanya Syafiq.

"Udah, ah. Aku mau keluar aja."

"Bantu pegangin ya."

Deviana membulatkan matanya. "Kamu mau aku tampar?"

Syafiq terkekeh geli melihat tingkah sang istri. "Ya ampun istriku ini suka suudzon. Kamu bantu pegangin aku, biar nggak jatuh. Kaki ku sakit."

"Emangnya nggak bisa sendiri apa?"

"Enggak bisa sayang ... Atau mau aku minta bantuan sama Mama?"

"Jangan kurang ajar kamu Syafiq."

Lelaki itu mengedikan bahunya, ia sama sekali tidak peduli dengan ucapan sang istri.

"Mama!" Teriak Syafiq tiba-tiba.

"Sialan kamu, Syafiq!" Umpat Deviana. "Iya, iya ... Aku bantuin, lagian Papa sama Mama nggak di sini."

"Belum pulang?" tanya Syafiq yang mulai melangkahkan kakinya.

"Ada kerjaan di luar kota, Agung juga ikut. Sekarang di rumah ini cuma tinggal kita berdua."

"Ternyata kamu nggak rela ya ada yang lihat aku di toilet."

"Syafiq!" Kesal Deviana menatap tajam suaminya. "Awas aja kalau kamu macam-macam."

"Eummm ... Kamu nggak nyaman ya kita tinggal berdua? Kalau enggak mau, kita nginap di rumah Umi aja."

"Aku enggak mau ke sana. Aku benci sama Emir."

"Terus maunya gimana?" tanya Syafiq.

"Ya di sini ... Berhubung Mama sama Papa nggak ada. Kamu jangan tidur di kamar ku ya."

"Terus aku di mana dong?" Tanya Syafiq kebingungan.

"Ya terserah, di ruang tamu, di kamar tamu atau di gudang juga boleh. Hehehe ..."

"Kita pulang ke rumah aja." Ucap Syafiq lagi.

"Aku nggak mau! Kamu denger nggak sih!"

"Oke ... Kita di sini."

Akhirnya mereka sampai di toilet. "Balik badan atau mau lihat?" tanya Syafiq menahan senyumnya.

"Beneran mau iseng?" tanya Deviana sambil memainkan alis matanya. "Kaki kamu lagi sakit lho, apa aja bisa aku lakukan sekarang."

"Ampun sayang, Mas nyerah."

"Diiih!"

[] [] []

Dilain tempat Putri dan Luna tengah berada di halaman rumah. Keduanya sedang membereskan tanaman yang ada di sana. Merapikan bunga-bunga hingga memotong rumput dan menyiramnya.

"Gimana dengan pernikahan kalian?" tanya Putri saat menyiram tanaman.

"Baik, Umi. Kenapa Umi nanya gitu?"

"Ya cuma memastikan aja. Kalian berdua nikah 'kan tanpa adanya persetujuan dari kami."

"Jadi Umi belum merestui hubungan Luna sama Mas Emir?" tanya wanita itu.

"Saya nggak bilang seperti itu. Tapi kalau kamu berpikir dengan demikian, itu artinya sangat bagus. Berarti kamu sadar diri."

"Tolong terima Luna, Umi ... Ini juga bukan kesalahan Luna sepenuhnya. Kalau Luna yang membuat keluarga ini hancur, Luna minta maaf." Lirih wanita itu.

"Dari pada Luna tersiksa dengan hubungan ini. Luna ikhlas, Umi boleh meminta Mas Emir untuk menceraikan Luna."

Wanita itu pun melepaskan kaos tangan yang ia genggam dan membuangnya begitu saja. "Luna permisi."

Putri memperhatikan menantunya pergi begitu saja dari hadapannya. "Selagi Syafiq masih belum bahagia dengan pernikahannya, aku memang nggak bisa terima pernikahan kalian."

"Tapi bukan berarti aku menginginkan kalian berpisah. Aku hanya mencoba memberikan ujian kecil untuk mu, Ana."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!