Ting! Tong!
Terdengar suara bel rumah berbunyi, Deviana semakin mengkhawatirkan dirinya sendiri. Saatnya untuk berpura-pura santai sebelum nanti orangtuanya mengetahui kejadian di dalam kamar.
Deviana pun menyelimuti Syafiq agar tidak ada yang curiga nantinya. Tidak lupa dengan darah di sekitar bibir Syafiq yang ia bersihkan menggunakan selembar tissue. Bahkan noda darah yang ada di lantai juga dihilangkan oleh Deviana untuk mengamankan dirinya sendiri.
Gadis itu berlari kearah luar, tidak lupa ia menutup pintu kamar. Khawatirnya semakin menjadi-jadi ketika mulai mendekati pintu depan.
Ceklek!
Deviana mengernyitkan keningnya melihat tamu yang tidak ia duga. Saat hendak berbicara, gadis itu mendapatkan tamparan dari sang tamu.
Plak!
Maura dengan ringan mengangkat tangannya kepada Deviana, tatapannya sangat tajam kepada wanita itu. "Apa maksud semua ini?" tanya Maura. "Kamu dan Syafiq—"
Deviana hanya tersenyum simpul. Kedua wanita itu memang memiliki permasalahan sewaktu menempuh pendidikan bersama di salah satu universitas. Bahkan mereka berdua sempat ingin bersaing saat nantinya menjadi menantu.
"Kamu lihat sekarang. Aku udah jadi menantu Ayah, Umi. Sementara kamu."
"Kamu jahat, Ana! Kenapa kamu lakuin ini semua? Kamu mau balas dendam?"
"Iya ... Aku mau balas dendam sama kamu. Jangan kamu pikir kalau aku udah lupa dengan kejadian itu."
Tiba-tiba saja Maura terkekeh geli. "Aku ngerti sekarang kenapa kamu merebut Syafiq. Emir udah tau gimana kamu sebenarnya?"
Plak!
"Itu balasan karena kamu udah berani nampar aku!" Ucap Deviana.
Plak!
Lagi dan lagi Deviana menampar wajah Maura. "Dan itu untuk sakit hati ku yang selama ini aku pendam."
Maura mengusap wajahnya yang sudah ditampar oleh wanita yang ada di depannya itu. "Oke ... Mungkin Syafiq nggak tau, tapi kamu jangan seneng dulu. Aku akan pastikan Syafiq juga menceraikan kamu."
"Aku mau diceraikan. Tapi aku nggak mau masa lalu itu dibuka lagi." Batin Deviana.
"Kenapa kamu diam? Takut!" Maura menaikkan sebelah alis matanya. "Siap-siap aja, umur pernikahan kalian nggak akan lama. Dan kamu akan menjadi janda di usia muda."
Gadis itu langsung berlalu pergi. Maura tidak akan membiarkan hidup Deviana tenang. Sebisa mungkin ia akan membuat wanita itu terus saja dapat masalah. Karena dari dulu ia iri dengan pencapaian Deviana.
Deviana ketakutan dengan masalah yang ia hadapi dulu. Hanya Maura yang mengetahui kejadian tersebut karena sewaktu kuliah mereka sempat tinggal bersama.
"Kalau Syafiq tau, aku sama sekali nggak peduli. Tapi Emir, dia pasti seneng nggak jadi nikah sama aku. Karena aku sebenarnya—"
Tok! Tok! Tok!
Kembali terdengar suara ketukan pintu, Deviana semakin emosi. Satu tarikan saja pintu sudah kembali terbuka. "Kamu mau apa lagi?!"
"Ana ... Kamu kenapa?" tanya Kamal ketika ia mendapatkan bentakan dari putrinya sendiri.
"Eummm ... Papa, ini. Ana—"
"Kamu bertengkar lagi sama Syafiq?" tanya Ambar.
"Atau kamu ngusir Syafiq dari rumah ini?" tanya Kamal.
"Enggak Ma, Pa ... Syafiq ada di dalam kok. Dia lagi tidur di kamar."
"Kami nggak percaya. Bilang sama Papa sekarang apa lagi yang kamu permasalahkan sama dia?"
Deviana menghembuskan napasnya dengan perlahan. "Mama sama Papa nggak lihat. Itu mobil Syafiq, tadi dia jemput Ana di kantor. Dia lagi tidur, katanya mau ambil mobil Ana tapi dia malah molor."
Mereka semua saling memandang.
"Cieee ... Udah mulai ada rasa ini." Goda Agung. "Satu mobil ... Pasti sayang-sayangan. Atau mesra-mesraan di dalam mobil. Terus melakukan—"
"Agung! Kamu bisa diam nggak sih!" ketus Deviana.
"Hahaha ... Semoga Agung cepet dapat keponakan dari Bang Syafiq dan Kak Ana."
"Aamiin ..." Sambung kedua orang tua mereka.
Agung lebih dulu masuk ke dalam rumah, sementara Ambar dan Kamal masih berdiam diri di depan pintu sambil memandangi putri mereka.
"Kenapa?" tanya Deviana kebingungan.
"Sayang ... Kami berharap banget supaya kamu bisa berbaikan dengan Syafiq. Tolong terima dia demi kami."
Deviana berdecak kesal. "Mama sama Papa jangan mikir terlalu jauh. Diantara kami berdua nggak akan ada yang namanya anak."
"Kalaupun nanti ada bayi di rumah ini, ya itu bayinya Agung sama istrinya nanti. Bukan bayi kami." Lanjut Deviana.
Deviana pun berlalu pergi begitu saja, Ambar dan Kamal sampai menggelengkan kepala secara bersamaan melihat sikap anak perempuan mereka.
[] [] []
Putri sedang beres-beres rumah, sementara Luna baru saja pulang setelah dari luar. Dia bingung apa yang harus dilakukan terlebih lagi untuk saat ini mereka hanya tinggal berdua saja di dalam.
"Assalamualaikum, Umi."
"Waalaikumsalam ..."
"Eummm ... Umi lagi ngapain?"
"Kamu nggak lihat ini lagi beres-beres rumah?" tanya wanita itu tanpa menoleh kearah menantunya.
Putri tetap saja membersihkan berbagai jenis barang yang ada di meja televisi.
"U-Umi udah makan?" tanya Luna mulai gugup.
"Belum."
"Kalau gitu Luna mau masak dulu supaya kita bisa makan siang bareng."
"Hmmm ..."
Luna pun bersedih hati, terlihat sekali mertuanya masih belum menerima dirinya di rumah itu. Walaupun begitu Luna sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Dia sadar diri dengan sikap yang diperlihatkan oleh Putri kepadanya.
"Luna permisi, Umi. Luna ganti baju dulu habis itu baru masak."
Putri hanya diam saja, ia memperhatikan wanita itu berlalu pergi begitu saja. "Aku nggak membenci kamu. Kalau aku berbaik hati secepat itu, mungkin kamu akan menyepelekan aku dan suamiku."
[] [] []
Sudah hampir setengah jam berlalu, Putri telah selesai membereskan semuanya. Karena merasa bosan tidak ada kegiatan apapun lagi, ia pun memutuskan untuk memasuki ruangan dapur.
"Eh, Umi."
"Kamu lagi masak apa?"
"Eummm ... Ini Umi, kita makan daging ayam dengan sayur kol."
"Ada tambahan lain? Atau mau bantuan?" tanya Putri mencoba menawarkan dirinya.
"Enggak usah, Umi. Sebentar lagi juga udah selesai." Ucapnya. "Umi 'kan baru aja beres-beres rumah. Mending Umi istirahat. Nanti kalau masakannya untuk selesai, Luna kabari Umi."
Bukannya pergi dari hadapan Luna, Putri malah semakin mendekati wanita itu. "Kenapa kamu tega menghancurkan hidup Ana?"
"Karena ulah kamu anak lelaki ku juga harus menanggung semuanya."
"Ma-maksud Umi apa?"
"Tanpa aku jelaskan harusnya kamu tau." Ucap wanita berhijab itu.
"Umi ... Luna sama Mas Emir udah temenan lama. Sebenarnya kami nggak pacaran."
"Ha! Terus kenapa kalian bisa nikah?"
"Mas Emir tiba-tiba ngajak Luna berkenalan lebih dalam lagi, dua bulan sebelum dia dan Ana akan menikah ... Luna tau kenapa Mas Emir membatalkan pernikahan itu. Tapi Luna nggak punya kuasa untuk memberitahu Umi sekarang." Ucapnya.
"Luna nggak mau ikut campur, Umi. Kalau Umi penasaran, Umi bisa tanyakan langsung sama Mas Emir ... Biar Mas Emir yang jawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di balik batalnya pernikahan mereka."
Putri menghembuskan napasnya. "Atau jangan-jangan bener dugaan ku. Kalian memang udah tidur bareng 'kan?"
"Astaghfirullah, Umi."
"Oh, sebentar ... Kamu yang menjebak Emir supaya kalian bisa nikah?"
Sakit sekalinya rasanya di tuduh seperti itu oleh mertua sendiri. Saat ini Luna kebingungan karena tidak ada yang menolongnya di rumah itu.
"Kamu nggak usah sedih, nggak ada orang di rumah ini. Kamu bisa memperlihatkan sifat kamu yang asli." Sambung Putri. "Asal kamu tau aja ... Aku merasa gagal menjadi seorang Ibu. Anak lelaki ku udah mempermalukan aku."
"Maaf, Umi. Luna ke kamar dulu."
Gadis itu segera mematikan kompor, ia tidak mau mendengarkan tuduhan yang bisa membuatnya kesal. Lebih baik menghindari sebuah pertengkaran dari pada meladeninya akan menjadi besar.
"Berarti ada yang nggak beres dengan hubungan Ana dan Emir." Ucap Putri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments