Malam ini keluarga Kamal menuju rumah sakit untuk membawa menantu mereka berobat. Sepanjang perjalanan mereka mengkhawatirkan keadaan Syafiq yang terkulai lemas. Wajah pria itu juga pucat, Agung merasakan suhu tubuh iparnya begitu dingin. Mungkin efek tidur di dalam kamar mandi.
Deviana tidak ikut dengan orangtuanya, dia sama sekali tidak khawatir dengan keadaan laki-laki itu. Malahan ia merasa puas karena sudah membuat Syemir khawatir dimalam hari seperti ini.
"Dingin."
"Sabar ya, Syafiq. Mami minta maaf atas kelakuan Ana."
Beberapa kali Ambar memeriksa keadaan pria itu. Untuk saat ini Ambar khawatir jika kejadian ini akan membuat kedua belah pihak keluarga kembali memiliki masalah.
"Mami, dada Syafiq sakit. Susah napas."
"Ya Tuhan. Cepetan Mas kasian Syafiq."
"Iya-iya," sahut Kamal yang sedang fokus menyetir mobil.
"Papi benar-benar nggak habis pikir dengan kelakuan Ana. Bisa-bisanya dia mengurung suaminya di tempat itu."
"Udah, Pi. Bukan salah Ana juga kok," lirih Syafiq.
"Kamu jangan ngomong dulu," larang Ambar. "Istirahat aja, Nak."
Agung memperbaiki selimut yang turun, dia kembali menutupi tubuh iparnya.
"Untung tadi Bang Emir telpon Agung, kalau enggak pasti Kakak nggak akan keluarin Abang."
"Emir nelpon?"
"Iya, Bang. Kami tau Kakak melakukan ini karena Bang Emir nelpon."
Syafiq menghembuskan napasnya dengan perlahan. Untuk menariknya saja ia sangat merasakan susah. Rasa dingin masih menyelimuti tubuhnya hingga ke tulang-tulang.
[] [] []
Sesampainya di rumah sakit Syafiq sudah tidak sadarkan diri. Keluarga istrinya begitu sangat khawatir kepadanya namun tidak dengan Deviana.
Ketiga orang itu sedang menunggu hasil pemeriksaan medis. Orang yang paling menyesal dalam hal ini adalah kedua orang tua Agung. Mereka merasa gagal mendidik Deviana.
"Gimana anak kami dokter?" tanya Ambar pada seorang dokter wanita.
"Dia banyak kekurangan cairan, tubuhnya mengalami dehidrasi di tambah dengan kekurangan oksigen. Suhu tubuhnya juga dingin, itu yang membuat dia pingsan."
Ambar menutup mulutnya tidak percaya. "Ya Tuhan ... Apa kami boleh melihatnya?"
"Silakan, Bu. Kalau pasien sadar jangan terlalu diajak komunikasi dulu. Tubuhnya harus banyak-banyak istirahat."
Ambar dan Kamal masuk lebih dulu, sedangkan Agung masih mencoba untuk menghubungi kakak perempuannya agar mau datang ke rumah sakit.
Kedua orang dewasa itu sangat prihatin melihat keadaan Syafiq yang terlihat sangat lemah. Wajahnya begitu pucat akibat suhu dingin yang ia rasakan di dalam kamar mandi.
Agung yang hendak masuk ke dalam ruangan itu malah berhenti di depan pintu saat ponsel berdering. Dia pun sedikit ragu untuk menjawabnya karena yang menghubunginya adalah Syemir Pahlevi.
"Ini semua salah Kakak. Aku nggak mungkin diam aja." Akhirnya Agung pun menjawab panggilan telepon itu. "Halo, Bang."
"Agung, gimana Syafiq? Dia beneran di kunci di dalam kamar?"
"Bang Syafiq masuk rumah sakit. Dia nggak sadarkan diri."
"Kurang ajar!"
Sambungan telepon terputus. Agung pun tidak mencoba untuk menghubungi Syemir.
[] [] []
Ditempat lain Luna kaget saat melihat suaminya melempar ponsel begitu saja. Padahal dia baru keluar dari dalam kamar mandi untuk mencuci muka.
"Mas, kenapa? Nggak jadi tidur?"
"Syafiq masuk rumah sakit. Ana benar-benar kelewatan."
"Ya ampun. Terus gimana ini Mas?"
"Aku mau ke rumah sakit. Aku nggak tenang dengan keadaan Syafiq."
"Mas nggak bilang sama Mama Papa?"
"Jangan!" larang Syemir. "Kalau mereka tau Syafiq masuk rumah sakit pasti mereka akan marah sama Mas."
"Ya udah deh. Aku siap-siap dulu ya, Mas."
Sementara Luna sedang bersiap-siap ganti pakaian. Syemir kembali menghubungi Agung untuk meminta alamat rumah sakit tempat Syafiq di rawat.
[] [] []
Di sebuah kamar mewah, seorang wanita sedang bermain laptop. Banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan sekarang. Tanpa memikirkan apapun lagi termasuk hal percintaan.
"Agung apaan sih berisik banget dari tadi nelpon terus."
"Dia pikir aku akan datang, jangan harap!"
Deviana sama sekali tidak khawatir dengan keadaan suaminya saat ini. Tanpa ia sadari bahwa Syafiq masuk rumah sakit karena ulahnya sendiri.
Terlihat layar ponselnya kembali menyala. Kali ini yang menghubunginya adalah Syemir. Wanita itu tersenyum miring tanpa menjawabnya sama sekali.
"Rasakan Emir. Ini belum seberapa."
"Aku akan membuat adik mu sengsara."
"Dengan begitu kamu akan merasa bersalah kepada keluarga mu."
Deviana Dewi menutup layar laptopnya. Kemudian ia pun memindahkan benda pipih itu ke tempat lain. Setelahnya Deviana naik ke atas ranjang dan segera tertidur. Tidak lupa juga ia mematikan ponselnya agar tidak ada yang mengganggunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments