Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh, Deviana baru saja dari luar bersama bosnya. Keduanya kembali pulang ke kantor setelah meeting bersama klien.
Setelah meletakkan tasnya di atas meja, Deviana berlalu pergi menuju pantry. Wanita itu menyeduh segelas air teh dingin di pagi ini.
Saat sedang mengaduk minuman itu. Seorang wanita sebaya dengan dirinya menghampiri Deviana di sana. Dia juga melakukan hal yang sama untuk menyiapkan minumannya.
"Hei ... Dari mana, baru keliatan?"
"Biasalah. Baru meeting diluar."
"Kalau itu aku tau ... Maksud ku kenapa baru masuk, kemaren kemana? Bulan madu ya?"
"Bulan madu apaan. Kamu sendiri tau 'kan aku nggak jadi nikah sama Emir."
"Lho terus kalau nggak nikah sama Emir, kamu mengabaikan suami mu sekarang?"
Deviana menatap rekan kerjanya. Mikha adalah tempat Deviana untuk bercerita di kantor. Jadi dia orang pertama yang tau bahwa Deviana tidak jadi menikah dengan Syemir.
"Kamu tau ... Aku menikah dengan Syafiq karena orang tuaku. Sejujurnya aku punya tujuan lain untuk menerima pernikahan ini."
Mikha masih betah menatap wajah temannya itu. Sambil mengaduk-aduk minumannya.
"Aku masih sakit hati dengan Emir. Aku nggak terima dia memperlakukan aku seperti ini ... Aku tau, sesayang apapun Emir dengan istrinya, dia akan lebih sayang dengan Syafiq. Karena dia sering membuat Syafiq mendapatkan masalah."
"Dan ini adalah kesempatan ku. Aku akan menghancurkan Syafiq agar Emir tau kalau aku nggak akan biarin dia bahagia."
"Hei, sadar ... Sekalipun kamu benci Emir, kamu nggak boleh menyakiti Syafiq. Dia suami kamu Ana. Bukannya orang lain."
"Terserah ... Aku nggak peduli asalkan dendam ku terbalaskan."
"Oke, gini Ana ... Kamu boleh balas dendam dengan Emir. Tapi nggak baik kalau kamu melibatkan Syafiq dalam permasalahan mu dengan mantan calon suami mu itu."
"Mereka harus tanggung akibatnya."
Deviana melenggang pergi begitu saja, sakit hatinya semakin menjadi-jadi saat Syafiq malah berani menyentuhnya.
[] [] []
Hari sudah mulai siang, Ambar sampai di rumahnya dengan mengendarai taksi. Wanita itu baru saja selesai melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru.
Ambar mengernyitkan keningnya ketika melihat sebuah mobil masih terparkir rapi di halaman rumah.
"Apa Syafiq nggak pergi kerja?" tanyanya pada diri sendiri.
Perlahan wanita itu memasuki rumah, dia bingung karena pintu rumah tidak terkunci. Ambar melangkahkan kakinya menuju kamar Deviana.
Tok! Tok! Tok!
"Syafiq, Syafiq."
Tidak ada sahutan dari siapapun, Ambar memutuskan untuk membuka pintu kamar. Ruangan itu terlihat rapi namun seperti tidak ada kehidupan di sana.
"Syafiq."
Pria yang sedang berada di dalam kamar mandinya tidak mengetahui mertuanya ada di dalam. Akibat lelah yang ia rasakan Syafiq tertidur dengan sangat nyenyak.
"Kemana ya anak itu?"
Ambar keluar dari dalam kamar putrinya, dia pun segera bersiap-siap untuk memasak makanan karena sebentar lagi suami dan anaknya pasti pulang.
[] [] []
Setelah sholat Dzuhur, Ambar pun segera menyajikan makanan yang sudah dia masak satu jam yang lalu. Tinggal menunggu kepulangan anak dan suaminya.
"Assalamualaikum ..."
"Waalaikumsalam ..."
Agung baru saja pulang, dia pun langsung duduk si kursi meja makan. Rasa lapar mulai menghampiri setelah di kampus banyak menguras pikiran karena pelajaran.
"Mama baru pulang?" tanya Agung.
"Udah dari tadi, makanya Mama sempat masak."
Ambar menuangkan segelas air putih kepada putranya. "Abang kamu mana?"
"Bang Syafiq? Nggak tau, Ma."
"Kamu nggak pergi bareng dia?"
"Enggak, Ma ... Tadi Agung bawa motor sendiri. Mungkin pergi bareng Kakak kali, tadi Agung tinggalin Kakak sendirian."
"Tapi pintu nggak di kunci."
"Bisa aja mereka lupa, Ma."
Saat keduanya sedang menyantap makanan, Kamal baru sampai di rumah. Dia pun ikut bergabung bersama anak dan istrinya.
"Masuk lagi, Gung?" tanya Kamal pada putranya.
"Iya, Pa. Tapi nanti masih ada kelas sore."
"Ana udah pulang?" tanyanya.
"Belum, Mas."
"Assalamualaikum ..."
"Waalaikumsalam ..." Jawab ketiga orang itu.
Baru saja mereka membicarakan perempuan itu, Deviana sudah berdiri dihadapan mereka semua. Dia menuangkan segelas air putih dan langsung meneguknya. "Capek banget." lirih Deviana.
"Syafiq mana?" tanya Ambar.
"Nggak tau." Jawab Deviana.
"Bukannya dia sama kamu?"
"Mama ada-ada aja deh. Mana mungkin Syafiq sama Ana sejalan. Terserah dia mau ngapain, Ana nggak peduli."
"Ana ... Jaga sikap kamu!" Ucap Kamal. "Papa nggak suka kamu seperti ini."
"Mereka yang buat Ana bersikap seperti ini, Pa."
"Tapi bukan Syafiq!"
"Papa kenapa nggak mau ngertiin Ana? Ana sakit hati dengan Emir. Kalian harus paham itu."
Deviana tidak jadi makan, dia tidak ingin membuat keributan di meja makan. Apalagi hanya karena permasalahan yang menurutnya itu tidak penting.
[] [] []
Begitu Deviana masuk ke dalam kamar, dia melihat pintu kamar mandi. Sejenak dia termenung menatap kearah sana.
"Ana, itu kamu?"
"Ya! Kenapa?"
"Buka pintunya. Aku udah nggak kuat di sini. Aku kedinginan, aku lapar, Ana."
"Rasain aja dulu ... Aku mau melihat kamu sakit. Dengan begitu Emir pasti akan cemas."
"Buka Ana ... Jangan buat masalah lagi."
Deviana berjalan kearah pintu kamar mandi.
Brak!
Di dalam sana Syafiq kaget saat gadis itu menendang pintu tersebut. "Ana buka."
"Ini juga salah kamu. Kenapa kamu mencium aku. Aku benci itu."
"Apa yang kamu permasalahan? Aku ini suami mu." Ucap Syafiq. "Lagian aku mencium kepala kamu, bukan bibir kamu."
"Sama aja, aku nggak akan biarin kamu menyentuhku."
"Oke ... Aku nggak akan melakukan itu lagi, tapi kamu harus buka pintunya. Aku beneran lapar."
"Nikmati aja dulu sampai kamu sadar bahwa kelakuan kamu kemarin nggak baik."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments