Malam ini air mataku terus mengalir deras, aku ketakutan karena seorang pasien yang aku liat tadi sore memiliki cahaya kelabu itu, di kabarkan meninggal. Kamarnya bersebelahan dengan kamar yang ku tempati. Aku tidak mengenalinya, tapi entah mengapa hatiku terasa sakit, dada ku sesak. Aku benar\-benar sudah tidak kuat lagi melihat cahaya kematian itu.
4 hari aku di rawat di rumah sakit ini. Namun anehnya dokter tidak bisa menyembuhkan penyakitku. Segala macam upaya dokter sudah lakukan , namun keadaan ku tidak kunjung membaik. Obat, ronsen dan segala macam upaya pun tak menemukan cara menyembuhkan ku , fisikku sangat sehat tapi mental yang bermasalah, dan terasa sangat sakit.
Sudah hampir 1 bulan aku di rawat. Aku semakin letih menunggu hasil dari dokter, hingga aku memutuskan untuk pulang. Aku benar-benar sudah tidak mampu lagi melihat cahaya kelabu itu.
Sepulang aku dari rumah sakit, aku malah merasa diriku lebih baik dari yang sebelumnya.
Duniaku pun kembali berjalan normal. Aku terus berusaha menerima anugerah itu, meskipun itu sangat sulit bagiku.
Setiap aku melewati kalangan mahasiswa atau pun orang lain, saat itu pula aku kembali cahaya kelabu, dan satu per satu mereka pun pergi meninggalka aku.
Semua aku lalui dengan baik, beban itu tidak terlalu berat seperti pada awal aku lalui ini.
Aku terus berusaha akur dengan apa yang di anugerah kan pada ku.
Hingga waktu itu, tepatnya seminggu yang lalu aku melihat cahaya kelabu itu pada kedua orang tua ku, Ibu dan Ayah ku. Aku langsung terkejut waktu itu, shock tepatnya.
Saat semua keluarga kumpul di ruang keluarga bercanda gurau, dan menonton TV. Aku pun mendekati Ibuku, alangkah terkejutnya aku saat melihat cahaya kelabu itu menyelimuti Ibuku.
Aku terdiam, tak mampu berkata apa apa, yang ku lakukan hanya memeluk nya dengan erat, air mata ku pun sudah tidak bisa ku bendung lagi. Menangis sejadi jadinya, Ibuku kebingungan lantas teriak memanggil Ayah yang tadi pergi ke dapur untuk ambil minum.
Dan ...Ya Tuhan, apa ini? ketika ku lihat Ayah, tubuh Ayah pun sama seperti Ibu, di selimuti cahaya kelabu itu.
Aku semakin shock, dan air mata ku semakin deras. Cahaya itu akan membawa orang tua ku menemui ajal.
****
"Maaf sebelumnya apakah saat ini Ayah dan Ibu sudah benar-benar meninggal? seperti apa yang engkau takuti?" tanyaku pada Iwan yang memotong ceritanya.
" Tidak, mereka masih hidup."
" Ayah sama Ibunya masih hidup, trus kenapa Iwan kemari?" batinku.
" Aku tidak sanggup untuk kehilangan mereka, semenjak aku melihat cahaya sialan itu, aku mengambil keputusan untuk mengurung kedua orang tua ku di rumah. Ku pastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Tirai jendela pun ku tutup hingga tidak ada cela bagi cahaya masuk. Listrik ku padamkan, gas dan pisau ku buang, semuanya. Kini mereka sudah aman, di dalam rumah sana."
Aku kaget, dahi ku pun berkerut, apakah ini tindakan yang sangat keterlaluan.
" Sampai saat ini mereka aman." Iwan sangat puas, dan tersenyum puas. " Menurut mu apa aku benar melakukan itu? agar mereka selamat?"
" Kau tanya menurut ku ...? dan menurut ku sebaiknya kau cepat pulang sekarang. Temui mereka cepat!! temui mereka!!" ku bentak Iwan.
Iwan segera bangkit dari tempat duduknya dan segera meninggalkan ruangan ku. Ia lari tergesa-gesa mendengar bentakan ku.
Aku dan Agus saling menatap.
Mendapat pasien seperti Iwan di sesi awal ini membuat aku semakin tertantang. Kobaran semangat yang ku rasakan.
Kisah Iwan pemuda polos itu belum berakhir, di situ saja.
Sesampai di rumah.
Iwan segera membuka pintu depan rumahnya. Ketik pintu sudah terbuka ia terus memanggil Ibu dan Ayahnya.
Keadaan rumah yang sangat sepi, dan juga gelap gulita. Iwan kemudian menghidupkan listrik. Ketika rumah sudah terang karena cahaya lampu, Iwan terus memanggil "Ayah,ibu..." Tapi tidak ada sahutan sama sekali.
Berulang-ulang kali Iwan memanggil orang tuanya, ia pun mulai panik, dan semakin gelisah, ia takut apa yang iya takuti telah terjadi. Iwan mencari di setiap ruangan, dan ketika dia mencium bau busuk dan anyir, Iwan merasa kepalanya semakin berat, keringat keluar di sekujur tubuhnya.
Dan ia pun menemukan yang ia cari, kedua orang tuanya terkapar tergelatak di lantai.
" Iwan... nak, kami lapar..."ucap sang Ayah sambil memegang perutnya.
Sedangkan sang Ibu sudah meregang nyawa, dan terbaring di pangkuan sang suami. Bau busuk itu berasal dari tubuh sang Ibu. Cahaya yang menyelimuti sang Ibu pun sudah tidak ada, namun cahaya kelabu itu masih menyelimuti sang Ayah.
Belum sempat Iwan membantu sang Ayah ia baru berjalan mendekat. Sedangkan sang Ayah menarik nafas panjang dan menghembuskan secara perlahan, hembusan terakhir.
Kabut di tubuh Ayah pun bergerak perlahan lahan dari kaki ke kepala, bagian tubuh yang di lewati itu akan berubah jadi pucat. Warna pucat itu perlahan naik ke atas, hingga setelah sampai melewati kepala maka kabut itu pun lenyap ta berbekas. Cahaya itu lenyap di dalam ruangan kamar. Iwan melihat dengan sangat jelas proses akhir dari kehidupan sang Ayah.
__________
***Masa kecilku***
"Kita adalah manusia yang sejati nya lebih kuat dari pada yang mati, maka dari itu jangan lah kita takut dengan mereka yang sudah mati." Kataku ketika membuka pembicaraan pada kesempatan kali ini.
" Tapi menurut ku orang matilah yang lebih kuat, mereka bisa melakukan apa pun tanpa batas, contohnya mereka bisa menembus ruang dan waktu. Bisa di mana pun sesuai yang mereka kehendaki, berbagai alam, dan juga mereka bisa hidup kembali...."Tolak Setya cepat.
Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan dari Setya, bagaimana mungkin orang mati bisa hidup kembali.
" Maaf boleh saya mulai bercerita?" pinta Setya.
Aku mengangguk, " Silahkan di mulai."
" Aku pernah membunuh teman kecilku. Dan itu membuat aku trauma pada masa kecilku."
Semua orang yang berada di ruangan itu pun langsung menatap tajam ke arah Setya. Mereka sedikit merasa takut, karena bersanding dengan seorang pembunuh.
" Maksudnya ... aku tidak sengaja membunuhnya, waktu itu aku bercanda ... sungguh" sesal Setya.
Setya menutup mukanya, kemudian ia menangis. Kemudian ia hanya bercerita dengan terputus putus. Dari bicaranya yang terpotong potong, bisa ku ceritakan seperti berikut.
____
Di saat Setya berumur 6 tahun, dia memiliki seorang teman dekat. Teman nya itu bernama Angga.
Setya dan Angga bulan dan bintang tak bisa terpisahkan. Di mana pun ada Setya pasti ada Angga, kemana pun Setya pergi Angga pun selalu di sana. Rumah mereka berdekatan, dan itu membuat mereka semakin dekat. Usia yang berbeda pun tidak menghalangi mereka untuk berteman. Angga lebih dewasa pemikiran di bandingkan dengan Setya, meskipun lebih tua Setya dari Angga.
Dan pada suatu hari Angga dan Setya bermain ke sungai. Arus deras sungai itu, ta mengurungkan niat mereka untuk bermain. Tanpa mengulur waktu mereka berdua pun menceburkan diri ke tepian sungai. Setya yang masih belum mempunyai pemikiran dewasa pun mempunyai ide untuk mengerjai Angga. Ia mengambil kaos dan terus melempar ke tengah sungai yang arusnya lebih deras.
" Angga, tolong koas ku ke bawa air ... tolong ambilkan."
Dengan gesit, dan tanpa ragu Angga segera mengejar kaos Setya. Namun deras nya sungai itu semakin membawa jauh kaos serta Angga. Menyeretnya lebih jauh dan semakin jauh, kaos itu sempat tersangkut di batu namun terbawa arus kembali.
Setya yang melihat Angga yang menjauh, segara naik ke daratan,dan mengikuti jalur sungai itu. Beberapa kali sempat melihat Angga, namun kemudian Angga hilang ta terlihat lagi.
" Angga... Angga..."
Tidak ada sahutan dari Angga, hujan deras datang tiba-tiba. Dan membuat luapan air sungai naik dan alirannya semakin deras dan bergejolak menakutkan.
Setya ngeri melihat gejolak air sungai itu, Ia tidak menyangka bahwa ke isengnya ini membuat petaka pada sahabatnya itu.
Setya terus mencari Angga di saat hujan angin di derasnya arus sungai. Namun tidak ada tanda tanda keberadaan Angga.
" Angga ... Anggaaaa ..." Setya terus memanggil dengan suara yang sangat pilu. Basahnya pipi tidak bisa ia bedakan lagi antara air mata dan air hujan.
Ketika sudah lelah karena puas mencari tapi tak membuahkan hasil Setya pun memutuskan untuk segera pulang kerumahnya. Setya kedinginan, gemetar dan kebingungan. Setya sungguh tak tau harus mengadu pada siapa, ia ketakutan. Ingin rasanya ia minta tolong, tapi tidak mungkin karena ia kini tidak tau posisi Angga saat ini.
Setelah hujan berhenti kedua orang tua Angga pun datang ke rumah Setya, untuk mencari tahu keberadaan sang putra.
" Setya kalian tadi bermain bareng, kan?"
" Tidak " Setya berbohong.
" Kamu jangan bohong Setya!"
Setya tak menghiraukan, ia pun berlalu pergi, ia menarik selimutnya untuk melindungi diri dari rasa takut. Setya gemetaran, hatinya terus memanjatkan doa agar Angga selamat.
Tapi sayang doa Setya hanya lah sebatas doa. Arus sungai yang deras itu tidak bisa Angga lawan dengan tubuhnya yang masih kecil. Setelah beberapa hari di lakukan pencarian, akhirnya terdengar kabar kalau jasad Angga di temukan di hulu sungai yang sangat jauh dari rumah mereka. Jasad Angga membusuk karena terendam air sungai.
Sejak kejadian itu, Setya sering menyendiri. Dengan berjalanya waktu, perlahan-lahan Setya melupakan peristiwa yang terjadi pada Angga itu. Setya menutup rapat-rapat rahasia itu di dalam hati, hanya ia, Angga dan Tuhan yang tahu.
Saat ini Setya telah dewasa, ia pun sudah menikah dengan wanita yang amat di cintai nya dan juga memiliki seorang anak.
Namun kehidupan bahagia Setya tiba tiba berubah dengan kehadiran seorang pembantu di dalam rumahnya.
Wanita yang sudah berumur itu bernama Ijah. Tapi bukan karena Ijah yang menggangu pikiran Setya, tapi anak Ijah yang bernama Dito. Dito yang berusia 6 tahun, setiap kali Setya melihat Dito ia merasa melihat wajah Angga. Itu ia rasakan sejak pertama kali melihat Dito.
Jantung Setya berdetak kencang tak beraturan, ia merasa mendapat teror dari sahabatnya Angga.
Suatu hari ketika Setya sedang bekerja di ruang kerjanya, yang berada di lantai atas, Setya sibuk dengan komputer nya hingga larut malam.
Tok...tok...tok....
Seseorang mengetuk pintu ruangan, Setya pun langsung menyahut dan menoleh ke arah pintu.
Setya melihat jari jemari anak kecil di pintu, dan kemudian masuknya kaki dan tangan anak itu, dia Dito.
Setya seakan tercekat lehernya, melihat kehadiran Dito. Wajah dan sekujur tubuh terlihat sangat pucat, Dito seperti sedang kedinginan. Satu tangan nya berada di belakang, seperti menyembunyikan sesuatu.
" Kenapa kamu ke sini? ini sudah malam." Tanya Setya yang merasa gugup.
" Saya, ingin memberikan Bapak sebuah barang."
" Apa itu?"
Dito mendekat ke Setya, namun Setya malah bergerak mundur.
"Kenapa Pak? apa Bapak takut sama saya?"
Dengan cepat Setya menggeleng.
" Terus kenapa wajah Bapak terlihat pucat?"
Setya menggeleng lagi.
" Apa Bapak pernah tau bagaimana rasanya kedinginan? rasanya terbentur batu berulang ulang kali, bagaimana rasanya terbawa arus deras ...?"
Memori Setya kembali ke 25 tahun silam, di mana dia melihat tubuh Angga terseret arus sungai.
" Apakah Bapak tahu, bagaimana kah rasanya tenggelam, sesak tidak bisa bernafas?"
Dito semakin mendekat pada Setya, dan begitu pun Setya semakin bergerak mundur.
"Kenapa Bapak takut pada saya? saya hanya ingin mengembalikan ...ini. Pasti Bapak masih ingat kan dengan baju ini?"
Sebuah baju berwarna hijau, basah, di sodorkan Dito.
Mata Setya pun membulat dan berteriak sekeras mungkin.
"AAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!"
Dito tersenyum lalu tertawa puas.
" Hihihi ...hihihihihi. Hihihihi ...hihihihi."
Suara Dito menggema di ruang kerja Setya.
Setya pun lari terbirit-birit menuju lantai bawah, ia membuka kamarnya mencari sang istri namun ia tidak menjumpai. Dan kemudian ia membuka pintu ruangan satunya, kamar anaknya. Memang istrinya ada di sana. Sedang tidur dengan lelap nya, sambil memeluk anak mereka.
Setya berusaha membangunkan istrinya, tapi sang istri ta kunjung bangun. Nafas Setya kembali terhenti, ketika melihat anak yang di peluk istrinya menatap tajam kearah Setya.
Anak itu tersenyum hanya di ujung bibir. Bukan ... dia bukan anaknya. Tatapan itu, senyum itu, wajah itu, dan tubuh itu adalah Angga.
Setya kembali berteriak, dia berbalik ke arah pintu tapi di tengah tengah pintu sudah ada Dito. Sambil mengulurkan tangannya yang masih ada kaos warna hijau itu. Mendekatkan kaos itu ke muka Setya.
" Ini kaos kamu kan Pak ? susah payah aku mengambilnya, sekarang terimalah, Pak."
Setyo lemas, seluruh tubuhnya bergetar. Ia tidak bisa bergerak lagi di ruangan itu hanya ada di dan arwah Angga.
" Aku minta maaf Angga, aku bener bener nggak sengaja, aku mohon maaf kan aku. Aku pun tidak menyangka kejadiannya akan separah ini. Hingga mengantarkan mu dalam pintu kematian. Aku menyesal. Aku mohon ampuni aku."
Dito mendekat kan dirinya ke Setya. Dito menunjukkan luka di lehernya, ada luka yang menganga di sana. Jeratan tali melilit dari depan hingga tengkuk Dito.
Setya yang melihat luka itu langsung merinding. Setyo masih ingat kala jasad Angga di temukan ada luka yang lebar di leher Angga. Orang orang yang menolong berkesimpulan, bahwa Angga meregang nyawa karena tali yang melilit di lehernya itu.
# Terima kasih 🙏🤗 sudah mampir ke cerita ku yang ketiga ini, mohon dukungannya ya dengan like, komen, vote jangan lupa favoritkan ya. Salam cinta dari.
- Garis Hidup Arin & Mengenal Rasa 🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Tya
horor 😁
2020-10-23
0
Kemal Costa
thor aku mampir nih 😇
aku udh like dan rate 5 bintang ya
msmpir balikya thor..
"Pendekar dewa siluman"
2020-10-09
1
Sept September
semangat
2020-09-30
0