Bab 19 Perhatian

Miranda baru saja tiba di rumah. Dengan wajah masam, ia melemparkan tas belanjaannya ke meja dengan kasar. Areta yang sedang duduk santai di sofa, langsung mengangkat alis, merasa ada yang aneh dengan sikap ibunya.

"Mama kenapa?" tanya Areta, bingung melihat raut wajah kesal Miranda.

Miranda mendengus keras. "Sayang, kamu tahu nggak tadi di supermarket, mama ketemu siapa?" tanyanya, bukannya menjawab.

"Ketemu siapa, Ma?" Areta menatap ibunya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Ketemu Aqila!" jawab Miranda dengan nada penuh kebencian. Wajahnya memerah, matanya menyorotkan api kemarahan.

Areta terlihat terkejut. "Mama ketemu Aqila?"

"Iya! Kamu tahu nggak? dia itu kurang ajar banget! Dia nabrak mama sampai semua barang belanjaan mama jatuh. Anak itu memang benar-benar pembawa sial! Setiap ada dia, hidup mama selalu kena musibah!" geram Miranda, suaranya semakin meninggi.

Areta mengepalkan tangan, ikut marah. "Iya, Ma! Benar banget! Kenapa sih dia nggak mati aja? Dia nggak pantas hidup!"

Miranda menghela napas panjang, mencoba meredakan emosinya. Tapi kebenciannya terlalu besar untuk bisa diredam begitu saja. "Tapi yang bikin mama bingung, dia itu sekarang tinggal di mana? Sama siapa? Kan kita udah ngusir dia dari rumah. Harusnya dia itu jadi gelandangan sekarang. Tapi mama lihat tadi, dia malah kelihatan baik-baik aja. Bahkan jauh lebih baik daripada saat tinggal sama kita."

"Serius, Ma?" Areta mengernyitkan dahi. "Kok bisa?"

"Iya, serius! Mama lihat bajunya bagus, seperti pakaian mahal. Itu aneh banget! Apa mungkin sekarang hidupnya udah bahagia?" Miranda bertanya, suaranya dipenuhi rasa tak rela.

Areta menyipitkan matanya, tanda kebencian semakin membakar hatinya. "Kalau dia bahagia, aku nggak rela, Ma!"

Miranda mengetuk meja dengan jari-jarinya, tampak berpikir keras. "Mama juga nggak terima. Dia nggak boleh lebih bahagia dari kita."

Areta menghela napas panjang, lalu senyumnya mendadak muncul. "Tapi, Ma, daripada kita pusing mikirin Aqila, lebih baik mama dengar cerita aku."

"Cerita apa? Jangan-jangan ini tentang Daniel lagi?" Miranda melirik anaknya dengan pandangan bosan.

"Bukan, Ma. Ini lebih dari itu!" Areta menjawab dengan penuh semangat.

Miranda mengangkat alis, penasaran. "Apa?"

Areta mendekat ke ibunya, matanya berkilat penuh antusias. "Aku nemuin cowok yang jauh lebih ganteng dan kaya daripada Daniel!"

Miranda langsung terkejut. "Serius? Siapa dia?"

"Dosen baru aku, Ma. Pak Alvano. Udah lama aku mau cerita, tapi aku belum sempat. Dia itu orangnya tampan banget, pintar, dan yang lebih luar biasa lagi, dia anak pemilik kampus aku!"

Miranda tampak terkejut sekaligus terkesan. "Kamu serius? Wah, keren banget, Sayang!"

Areta mengangguk cepat. "Iya, Ma. Semua cewek di kampus tergila-gila sama dia. Termasuk aku." Senyumnya licik, membayangkan rencana yang mulai terbentuk di pikirannya.

Miranda ikut tersenyum lebar. "Kalau begitu, kenapa kamu nggak coba deketin dia aja? Kalau kamu bisa dapat dia, hidup kita bakal berubah total. Mama yakin, dia itu kaya banget!"

"Iya, Ma, aku juga pengen deketin dia. Tapi masalahnya, aku nggak tahu dia udah punya kekasih atau istri. Tapi gosipnya sih, dia masih sendiri. Jadi, aku rasa aku punya kesempatan," ucap Areta penuh percaya diri.

Miranda tersenyum licik. "Bagus, Sayang. Mama dukung kamu. Lagipula, kalau pun dia udah punya istri, apa salahnya? Kamu kan bisa rebut dia dari istrinya."

Areta tertegun, wajahnya berubah masam. "Apa? Mama mau aku jadi pelakor? aku nggak mau, Ma."

Miranda tertawa kecil, tak peduli. "Ah, Areta, zaman sekarang itu udah biasa. Yang penting, kita bisa hidup enak. Masalah jadi pelakor itu urusan belakangan."

"Tapi gimana sama Daniel, Ma?" tanya Areta, ragu.

"Alah, tinggalin aja si Daniel itu. Dia nggak kaya-kaya amat. Kamu harus fokus deketin dosen kamu itu. Ini kesempatan besar untuk kita," ucap Miranda mantap.

Areta mulai tersenyum, pikirannya perlahan menerima ide ibunya. Dalam hatinya, ia sudah merencanakan langkah berikutnya untuk mendekati Alvano.

🌸🌸🌸🌸🌸🌸

Matahari sudah lama tenggelam, menyisakan remang-remang senja yang kini digantikan kegelapan malam. Alvano duduk di sisi ranjang, menatap wajah Aqila yang terlelap. Napasnya teratur, namun wajahnya masih tampak lelah setelah seharian bergulat dengan sakit di perutnya. Alvano mengusap lembut kepala Aqila, seolah ingin menyalurkan ketenangan.

"Semoga cepat sembuh, sayang," bisiknya pelan. Ia mengecup kening Aqila sekilas, senyuman kecil tersungging di bibirnya. Setelah memastikan Aqila nyaman dalam tidurnya, ia beranjak menuju meja kerja yang berada di sudut kamar.

Ia duduk di kursi, Alvano membuka ponselnya. Sejumlah pesan masuk menghiasi layar, tapi satu notifikasi menarik perhatiannya.

Ting!

Pesan dari Raka, sahabat dekat Alvano muncul di layar HP miliknya.

"Vano, nanti malam ketemuan yuk, di kafe biasa kita nongkrong."

Alvano langsung mengetikkan balasan, tapi sebelum mengirim, ia berubah pikiran dan menelpon Raka. Setelah beberapa detik, panggilan tersambung.

"Halo, Van!" suara Raka terdengar ceria di seberang.

"Halo, Ka. Tumben lo ngajak gue ketemuan? Ada apa?" tanya Alvano dengan nada datar, sambil memijat pelipisnya.

"Yaelah, Van. Tumben lo bilang? Biasanya juga gue sering ngajak lo ketemuan. Apa lo jadi pikun ya semenjak punya istri?" canda Raka, disambut dengan tawa kecil.

Alvano tersenyum tipis. "Lo tau lah posisi gue sekarang, Ka. Gue udah nggak bisa sebebas dulu. Sekarang gue udah punya Aqila."

Raka terkekeh. "Yah, lo bucin banget, sih! Lagian, kalau lo nggak mau ninggalin Aqila sendiri, kenapa nggak ajak dia sekalian? Lagi pula, sekarang ada Arga loh! Lo nggak mau ketemu dia? Jangan sampai dia sedih karena lo nggak datang."

"Arga?" Alvano mengangkat alis. "Dia di Jakarta sekarang?"

"Iya, Van. Dia baru balik. Katanya mau kerja bareng kita di kantor. Gue juga nggak tau kenapa dia tiba-tiba pulang. Katanya sih bosan di luar negeri, capek diatur-atur sama omnya."

"Ooh gitu..." Alvano mengangguk pelan. "Tapi tetap aja, Ka. Gue nggak bisa ke sana."

"Loh, kenapa? Aqila nggak suka lo keluar malam?" tanya Raka penasaran.

"Bukan itu masalahnya."

"Terus apa dong?"

"Aqila lagi sakit, Ka. Gue nggak mungkin ninggalin dia sendirian. Gue harus jagain dia," jawab Alvano, nada suaranya penuh perhatian.

"Hah? Sakit apa? Jangan-jangan, masih ngerasa sakit gara-gara malam pertama ya?" goda Raka sambil tertawa lepas.

"Apaan sih lo, Ka! Nggak ada hubungannya sama itu," balas Alvano, kesal. "Dia sakit perut, Ka. Lagi datang bulan. Gue ngeliat dia kesakitan banget tadi."

Raka terdiam sesaat, lalu bersuara lagi. "Oh, yang bener? Terus, udah lo kasih obat?"

"Udah, Ka. Untungnya sekarang dia udah baikan. Tapi gue nggak mau ambil risiko ninggalin dia sendirian," jawab Alvano tenang.

Raka menghela napas. "Syukur deh kalau dia udah baikan. Yaudah, gue maklumin. Nanti gue bilang sama Arga kalau lo nggak bisa datang."

Alvano tersenyum kecil, merasa sedikit lega. "Iya, Ka. Sampein salam gue buat dia, ya. Lain kali kita pasti ngumpul."

"Siap, Van. Yaudah, gue tutup dulu, ya."

"Iya."

Sambungan telepon terputus.

Alvano meletakkan ponselnya, menghela napas panjang sebelum kembali melirik Aqila yang masih tertidur. Langkahnya kembali menuju ranjang, dan ia duduk di sisi istrinya. Di bawah cahaya lampu kamar yang temaram, ia mengelus lembut rambut Aqila, memastikan kehadirannya selalu memberikan rasa aman bagi Aqila.

"Aku nggak akan biarkan kamu merasa sendirian, Qila," gumamnya, suaranya hampir seperti angin malam yang lembut.

Ia memandangi wajah Aqila yang terlihat begitu damai dalam tidurnya. Di dalam hati, Alvano akhirnya menyadari sesuatu yang selama ini membuatnya bingung, perasaan yang ia pikir hanya sebatas rasa iba, ternyata telah berkembang menjadi cinta. Ia sempat ragu, mengira semua ini hanyalah simpati terhadap perjuangan Aqila. Namun kini, ia benar-benar yakin bahwa hatinya telah jatuh pada gadis itu. Perasaan itu bukan lagi keraguan, melainkan keyakinan yang tak dapat ia sangkal.

🌸🌸🌸🌸🌸

Tepat pukul delapan malam, Aqila tersentak. Ia terbangun dari tidurnya. Saat matanya terbuka, pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah damai Alvano yang tertidur di sampingnya. Tangannya masih menggenggam erat tangan Aqila, seakan tak ingin melepaskannya. Aqila tersenyum kecil, hatinya hangat. Dalam pikirannya, Alvano benar-benar lelaki yang tulus, rela menemani dirinya bahkan hingga ketiduran seperti ini.

Aqila mencoba bangun perlahan, namun gerakannya malah membangunkan Alvano.

"Qila, kamu bangun? Kenapa? Perut kamu sakit lagi?" tanyanya dengan nada khawatir, matanya langsung terjaga penuh perhatian.

Aqila menggeleng pelan dan tersenyum. "Nggak, Mas. Aku udah baikan kok. Sakitnya udah hilang," jawabnya lembut.

Mendengar itu, Alvano menghela napas lega. "Alhamdulillah, yaudah kalau gitu sekarang kamu makan dulu, ya? aku tau kamu pasti lapar," Alvano bersiap bangkit, tapi tangannya dicegah oleh Aqila.

"Mas, nggak usah repot-repot," ujar Aqila lirih, matanya penuh rasa bersalah.

Namun, Alvano menggenggam tangannya erat. " Sayang, Mas nggak merasa repot. Lagi pula kamu belum makan dari siang. Aku nggak mau kamu sakit lagi," ucapnya dengan tegas, namun tetap lembut.

Aqila tersenyum kecil, merasa tersentuh oleh perhatian suaminya. "Iya, Mas, tapi aku belum lapar. Aku... aku mau mandi dulu," katanya pelan.

Alvano tampak sedikit bingung. "Tapi Qila, ini udah malam. Nggak baik mandi malam-malam. Mandinya besok pagi aja, ya?" sarannya dengan nada lembut.

Aqila menggeleng. "Aku nggak bisa, Mas. Aku lagi halangan. Aku nggak nyaman kalau nggak mandi sekarang," jawabnya sambil bersiap bangkit. Namun, saat itu juga ia merasakan sesuatu yang membuatnya terdiam. Celananya terasa basah. Dengan sedikit ragu, ia melirik ke dalam selimut. Wajah Aqila langsung memerah. Panik.

"Kenapa, Qila?" tanya Alvano, melihat perubahan ekspresi istrinya.

"Mas.. a.. aku.." Suara Aqila terdengar ragu, nyaris berbisik.

"Kenapa? Bilang ke Mas. Perut kamu sakit lagi?" tanya Alvano, kini semakin khawatir.

Aqila menggeleng pelan, tapi masih terdiam.

"Qila, jangan diam aja. Kamu bilang apa yang kamu rasain," desaknya.

Dengan sangat malu, Aqila akhirnya menjawab, "Mas... halangan aku tembus. Darahnya banyak banget. Sampai tembus ke sprei.." suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup jelas bagi Alvano.

Alvano terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia menyibak selimut mereka, dan benar saja, sprei serta selimutnya sudah ternoda merah.

"Maaf, Mas... Aku benar-benar lupa ganti pembalut tadi," ucap Aqila dengan suara penuh rasa bersalah.

Namun, Alvano hanya tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Sayang. Mas nggak marah. Sekarang kamu mandi dan ganti baju biar lebih nyaman, ya?" katanya lembut, membantu Aqila bangkit.

Mereka berjalan menuju kamar mandi, dan saat sampai di depan pintu, langkah Aqila terhenti.

"Mas ngapain ikut?" tanyanya sambil menatap heran.

" Mas mau nemenin kamu. Takutnya nanti, perut kamu sakit lagi," jawab Alvano khawatir.

"Mas... aku mandi, lho. Masa Mas mau ikut masuk?" wajah Aqila langsung memerah.

Alvano terkekeh pelan. "Ya nggak apa-apa, kita kan suami-istri. Nggak masalah kalau aku mau lihat kamu mandi, kan?" godanya sambil tersenyum jahil.

"Mas! A-aku.." Aqila makin gugup. Wajahnya semakin merah.

Melihat reaksi itu, Alvano tertawa kecil. "Aku cuma becanda, Qila. Kalau kamu mau mandi sendiri, nggak apa-apa. Tapi kamu yakin bisa sendiri?" tanyanya memastikan.

Aqila mengangguk sambil tersenyum lembut. "Iya, Mas. Aku bisa kok."

"Ya sudah, sekarang kamu mandi. Lagi pula nanti, akan ada waktunya juga kita mandi bareng kalau kamu udah siap," ucap Alvano sambil menggoda, memasang senyum jahil yang langsung membuat pipi Aqila memanas.

"Mas Vano!" seru Aqila malu-malu sambil menutup pintu kamar mandi dengan cepat.

Alvano tertawa pelan sambil berjalan kembali ke kasur. Ia mulai melepas sprei yang kotor dan menggantinya dengan yang bersih. Sesekali ia tersenyum, merasa beruntung memiliki istri seperti Aqila, yang meski sering malu-malu, selalu membuat hatinya hangat.

Episodes
1 Bab 1 Kehidupan Yang Memilukan
2 Bab 2 Pengkhianatan
3 Bab 3 Diusir dari Rumah
4 Bab 4 Takdir Di Tengah Hujan
5 Bab 5 Perhatian Alvano
6 Bab 6 Kehidupan Baru
7 Bab 7 Calon mantu?
8 Bab 8 kesepakatan mama dan papa
9 Bab 9 Hujan yang membasuh luka
10 Bab 10 Perjodohan
11 Bab 11 Persetujuan Alvano
12 Bab 12 Fitting Baju Pernikahan
13 Bab 13 Pernikahan
14 Bab 14 Pindahan
15 Bab 15 Rumah Baru
16 Bab 16 Cemburu?
17 Bab 17 Sakit Perut
18 Bab 18 Khawatir
19 Bab 19 Perhatian
20 Bab 20 Mewujudkan mimpi Aqila
21 Bab 21 Membeli Perlengkapan Kuliah
22 Bab 22 Hari Pertama Kuliah
23 Bab 23 Hati Aqila yang terluka
24 Bab 24 Alvano yang selalu ada
25 Bab 25 Tuduhan Areta
26 Bab 26 Mengungkit Masa Lalu Aqila
27 Bab 27 Kehadiran Bianka
28 Bab 28 Jebakan Bianka
29 Bab 29 Alvano yang tak ada kabar
30 Bab 30 Hasrat yang Tak Terkendali
31 Bab 31 Penjelasan
32 Bab 32 Rahasia yang terbongkar
33 Bab 33 Cemburu
34 Bab 34 Ngambek
35 Bab 35 Mual
36 Bab 36 Peristiwa yang Menggemparkan Kampus
37 Bab 37 Sepupu Amel
38 Bab 38 Rencana Balas Dendam
39 Bab 39 Ketakutan Itu Masih Ada
40 Bab 40 Kesehatan Aqila Membaik
41 Bab 41 Posesifnya Alvano
42 Bab 42 Masa Lalu Rania
43 Bab 43 Ngidam
44 Bab 44 Kecemburuan Alvano
45 Bab 45 Aqila Hilang
46 Bab 46 Kemarahan Alvano
47 Bab 47 Hancur
48 Bab 48 Jebakan Daniel
49 Bab 49 Aqila Dalam Bahaya
50 Bab 50 Kesedihan
51 Bab 51 Keajaiban
52 Bab 52 Membaik
53 Bab 53 Membeli Perlengkapan Bayi
54 Bab 54 Lahiran
55 Bab 55 Buah Hati Tampan Keluarga Mahendra"
56 Bab 56 Alvano Si Suami Manja dan Cemburuan
57 Bab 57 Sosok Laura
58 Bab 58 Zayyan yang Rewel
59 Bab 59 Sakit
60 Bab 60 Mengantar Bekal Alvano
61 Bab 61 Salah Paham
62 Bab 62 Sedikit Rahasia Mengenai Laura Terbongkar
63 Bab 63 Gerak Gerik Laura yang Mencurigakan
64 Bab 64 Cemas
65 Bab 65 Aqila Sakit
66 Bab 66 Kepercayaan Yang Retak
67 Bab 67 Rencana Arga
68 Bab 68 Antara Cinta dan Kecewa
69 Bab 69 Sama-Sama Tersakiti
70 Bab 70 Pergi Dari Rumah
71 Bab 71 Identitas Asli Laura terbongkar
72 Bab 72 Hancur Dan tertatih dalam Kesakitan
73 Bab 73 Kerapuhan Seorang Alvano
74 Bab 74 Penculikan Aqila
75 Bab 75 Pembalasan Dendam Areta
76 Bab 76 Diantara Hidup dan Mati
77 Bab 77 Kritis
78 Bab 78 Secercah Harapan
79 Bab 79 Alvano Sadar
80 Bab 80 Kebahagiaan Telah Kembali
Episodes

Updated 80 Episodes

1
Bab 1 Kehidupan Yang Memilukan
2
Bab 2 Pengkhianatan
3
Bab 3 Diusir dari Rumah
4
Bab 4 Takdir Di Tengah Hujan
5
Bab 5 Perhatian Alvano
6
Bab 6 Kehidupan Baru
7
Bab 7 Calon mantu?
8
Bab 8 kesepakatan mama dan papa
9
Bab 9 Hujan yang membasuh luka
10
Bab 10 Perjodohan
11
Bab 11 Persetujuan Alvano
12
Bab 12 Fitting Baju Pernikahan
13
Bab 13 Pernikahan
14
Bab 14 Pindahan
15
Bab 15 Rumah Baru
16
Bab 16 Cemburu?
17
Bab 17 Sakit Perut
18
Bab 18 Khawatir
19
Bab 19 Perhatian
20
Bab 20 Mewujudkan mimpi Aqila
21
Bab 21 Membeli Perlengkapan Kuliah
22
Bab 22 Hari Pertama Kuliah
23
Bab 23 Hati Aqila yang terluka
24
Bab 24 Alvano yang selalu ada
25
Bab 25 Tuduhan Areta
26
Bab 26 Mengungkit Masa Lalu Aqila
27
Bab 27 Kehadiran Bianka
28
Bab 28 Jebakan Bianka
29
Bab 29 Alvano yang tak ada kabar
30
Bab 30 Hasrat yang Tak Terkendali
31
Bab 31 Penjelasan
32
Bab 32 Rahasia yang terbongkar
33
Bab 33 Cemburu
34
Bab 34 Ngambek
35
Bab 35 Mual
36
Bab 36 Peristiwa yang Menggemparkan Kampus
37
Bab 37 Sepupu Amel
38
Bab 38 Rencana Balas Dendam
39
Bab 39 Ketakutan Itu Masih Ada
40
Bab 40 Kesehatan Aqila Membaik
41
Bab 41 Posesifnya Alvano
42
Bab 42 Masa Lalu Rania
43
Bab 43 Ngidam
44
Bab 44 Kecemburuan Alvano
45
Bab 45 Aqila Hilang
46
Bab 46 Kemarahan Alvano
47
Bab 47 Hancur
48
Bab 48 Jebakan Daniel
49
Bab 49 Aqila Dalam Bahaya
50
Bab 50 Kesedihan
51
Bab 51 Keajaiban
52
Bab 52 Membaik
53
Bab 53 Membeli Perlengkapan Bayi
54
Bab 54 Lahiran
55
Bab 55 Buah Hati Tampan Keluarga Mahendra"
56
Bab 56 Alvano Si Suami Manja dan Cemburuan
57
Bab 57 Sosok Laura
58
Bab 58 Zayyan yang Rewel
59
Bab 59 Sakit
60
Bab 60 Mengantar Bekal Alvano
61
Bab 61 Salah Paham
62
Bab 62 Sedikit Rahasia Mengenai Laura Terbongkar
63
Bab 63 Gerak Gerik Laura yang Mencurigakan
64
Bab 64 Cemas
65
Bab 65 Aqila Sakit
66
Bab 66 Kepercayaan Yang Retak
67
Bab 67 Rencana Arga
68
Bab 68 Antara Cinta dan Kecewa
69
Bab 69 Sama-Sama Tersakiti
70
Bab 70 Pergi Dari Rumah
71
Bab 71 Identitas Asli Laura terbongkar
72
Bab 72 Hancur Dan tertatih dalam Kesakitan
73
Bab 73 Kerapuhan Seorang Alvano
74
Bab 74 Penculikan Aqila
75
Bab 75 Pembalasan Dendam Areta
76
Bab 76 Diantara Hidup dan Mati
77
Bab 77 Kritis
78
Bab 78 Secercah Harapan
79
Bab 79 Alvano Sadar
80
Bab 80 Kebahagiaan Telah Kembali

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!