Bab 18 Khawatir

Aqila pulang dengan hati yang hancur. Tubuhnya lelah, dan rasa sakit di perutnya semakin parah. Ia meletakkan pembalut yang akhirnya berhasil ia beli di meja kecil di samping ranjang, lalu duduk di tepi ranjang sambil memeluk dirinya sendiri.

Air matanya tak lagi bisa ia tahan. "Kenapa semua ini harus terjadi pada ku? Apa salah kalau aku masih hidup?" lirih Aqila dengan suara penuh kepedihan.

"Kenapa Mama sangat membenciku, apa salah ku ya Tuhan? " lirih Aqila pilu sambil terus menahan rasa nyeri di perutnya.

Rasa nyeri di perut Aqila semakin terasa hingga membuatnya tak tahan lagi. Ia akhirnya membaringkan tubuhnya di atas kasur, memegang perutnya yang terasa kram, sambil terus menangis dalam diam.

Sementara itu, di kampus, Alvano tengah berdiri di depan kelas, menyampaikan materi tentang pembelajarannya. Setelah memberikan penjelasan mendalam, ia melihat para mahasiswa yang tampak serius mencatat.

"Baik, apa kalian paham dengan penjelasan yang saya berikan tadi?" tanya Alvano, menatap ke seluruh kelas. Beberapa mahasiswa mengangguk antusias.

Areta yang merupakan mahasiswa dikelas itu juga mengangguk antusias. Meski sebenarnya ia tak tak sepenuhnya mengangguk untuk materi yang disampaikan Alvano. Sejak awal kelas dimulai, perhatian gadis itu hanya tertuju pada Alvano. Matanya terus mengamati setiap gerak gerik dosennya itu.

Areta tersenyum kecil, pikirannya melayang. "Pak Vano ganteng banget. Udah ganteng, kaya, pintar, anak pemilik kampus lagi. Kalau aku nggak bisa dapetin dia, rugi banget!” batinnya sambil terus tersenyum licik.

Setelah jeda sejenak, Alvano kembali berbicara. Sekarang tugas kalian adalah membuat analisis strategi bisnis dari perusahaan yang kalian pilih. Analisisnya harus mencakup kelebihan, kekurangan, peluang, dan ancaman yang dihadapi perusahaan tersebut. Tugasnya dikumpulkan sekarang. Kalian bisa letakkan di meja saya setelah selesai," lanjutnya dengan nada tegas, namun tetap ramah.

Setelah memberikan instruksi, Alvano kembali duduk di kursinya. Namun, pikirannya tak tenang. Tanpa sadar, wajah Aqila melintas di benaknya. Ada rasa cemas yang tak ia mengerti.

"Aqila gimana ya di rumah? Apa dia baik-baik saja?" gumamnya pelan.

Tak tahan dengan kecemasannya, Alvano memutuskan untuk menelepon Aqila. Ia mengambil ponsel dan menekan nomor gadis itu.

"Halo, Qila," sapa Alvano saat panggilan tersambung.

Dari seberang, terdengar suara lemah Aqila. "Ha... Halo, Mas."

Nada suara itu seketika membuat Alvano cemas. "Qila, kamu kenapa? Kok suara kamu lemas gitu?"

"A-aku nggak apa-apa, Mas," jawab Aqila, berusaha terdengar tegar meski suaranya parau menahan sakit.

"Aqila, kamu kenapa? kok kamu kayak nahan sakit gitu, kamu kenapa? " tanya Alvano semakin cemas. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi dengan Aqila.

Beberapa mahasiswa menoleh ke arah Alvano, penasaran melihat dosen mereka berbicara serius di telepon dengan raut wajah yang tampak cemas. Perubahan ekspresi Alvano itu tak luput dari perhatian Areta.

"Pak Vano telponan sama siapa, ya? Kok kelihatan gelisah banget," gumam Areta pelan sambil terus memperhatikan gerak-gerik dosennya.

"Ahh... sakit..." lirih Aqila, suaranya terdengar lemah. Rasa sakit di perutnya semakin tak tertahankan.

"Qila, kamu sakit apa? Kenapa? Tolong jangan diam saja," ujar Alvano, suaranya semakin panik mendengar nada kesakitan dari istrinya.

"Ahh... sakit, Mas..." jawab Aqila dengan suara nyaris tak terdengar, sebelum akhirnya sambungan telepon tiba-tiba terputus.

"Qila? Halo? Qila?!" Alvano berusaha memanggil kembali, tapi tidak ada jawaban. Sambungan telepon benar-benar mati.

Raut wajah Alvano berubah tegang. Kekhawatirannya memuncak, membayangkan sesuatu yang buruk sedang terjadi pada Aqila. Tanpa pikir panjang, ia segera membereskan barang-barangnya.

"Cukup sampai di sini," ucapnya buru-buru kepada para mahasiswa. "Tugas yang sudah saya berikan bisa kalian taruh di meja saya nanti. Saya harus pergi karena ada urusan mendadak. Permisi."

Ia langsung meninggalkan kelas, wajahnya penuh dengan kecemasan.

Semua mahasiswa menatap kepergiannya dengan bingung. Suasana kelas berubah hening, kecuali suara bisikan kecil di antara mereka.

Areta terus memandangi pintu yang baru saja dilalui Alvano. Pikirannya penuh pertanyaan. "Kenapa Pak Vano tiba-tiba pergi? Siapa yang dia telepon tadi? Kok cemas banget. Apa itu pacarnya? atau jangan-jangan lebih dari sekedar pacar... istrinya?”

Areta menggeleng, menepis pikirannya. "Nggak-nggak mungkin! Pak Vano pasti belum menikah, secara kan gosip yang beredar bilang dia itu masih single dan belum punya kekasih." Gumam Areta mencoba mengusir pikiran-pikiran yang ia tak ingin kan terjadi dengan Alvano.

🌸🌸🌸🌸🌸

Alvano tiba di rumah dengan wajah cemas. Ia memarkirkan mobilnya di depan rumah, dan saat turun dari mobil, matanya memperhatikan sesuatu yang aneh, motor sport Yamaha miliknya terparkir di halaman. Padahal seingatnya, motor itu ia simpan di garasi.

"Kenapa motornya di sini? Siapa yang mengeluarkannya? Apa mungkin Aqila?" gumamnya dengan alis berkerut. Tapi ia menepis pikirannya, memilih fokus pada Aqila. Ia harus cepat memastikan kondisi istrinya itu.

Tanpa menunggu lebih lama, Alvano masuk ke rumah dan langsung menaiki tangga menuju kamar. Dengan langkah lebar dan tergesa, ia memanggil pelan, "Qila?" Alvano membuka pintu kamar.

Saat pintu kamar terbuka, Alvano langsung disambut pemandangan yang membuat dadanya sesak. Aqila terbaring lemah di kasur, tubuhnya meringkuk sambil memegangi perut. Wajahnya pucat, dan terlihat jelas dia sedang menahan rasa sakit.

"Qila, kamu kenapa?" Alvano langsung mendekat, duduk di tepi kasur. Tangannya dengan lembut menyentuh wajah Aqila yang dingin.

"Mas... Vano..." lirih Aqila, suaranya bergetar. Ia berusaha bangkit, tapi rasa sakit di perutnya membuatnya kehilangan tenaga.

"Aqila, kamu kenapa? kamu sakit?" Alvano semakin panik, tatapannya penuh kecemasan.

Aqila menundukkan kepala, air matanya jatuh. "Iya, Mas... perut aku sakit banget...” jawabnya lirih sambil terisak.

"Sakit kenapa, Qila? Dan ini..." Alvano terdiam sejenak saat melihat noda darah di celana Aqila. "Qila, ini kenapa? Kamu berdarah?" tanyanya, kepanikan di suaranya semakin jelas.

"Aku... aku datang bulan, Mas," lirih Aqila, terisak pilu. "Tapi aku nggak tahu kenapa sakitnya sampai seperti ini..."

Alvano menghela napas, mencoba tetap tenang meski hatinya diliputi rasa cemas. "Aku ambil minyak angin, ya. Semoga ini bisa membantu meredakan sakitnya."

Ia segera bangkit, mengambil minyak angin dari laci kamar, lalu kembali ke sisi Aqila.

"Aku oleskan, ya? Biar rasa sakitnya sedikit berkurang."

"Jangan, Mas... aku aja," lirih Aqila dengan lemah.

Alvano menatapnya serius. "Qila, kamu sakit. Percayalah, aku nggak akan macam-macam. Aku cuma ingin kamu merasa lebih baik," ucapnya lembut.

Tanpa menunggu persetujuan lebih jauh, ia menyingkap sedikit baju Aqila dan mulai mengoleskan minyak angin ke perutnya. Tangannya bergerak perlahan, penuh kehati-hatian agar Aqila tidak merasa semakin tidak nyaman.

Aqila terdiam. Ia terlalu lemah untuk menolak dan hanya bisa membiarkan Alvano membantunya.

"Semoga sakitnya cepat mereda," gumam Alvano sambil terus mengusap lembut perut Aqila. "Gimana? Masih sakit?" tanyanya penuh perhatian.

Aqila mengangguk pelan. "Iya, Mas... masih..."

Alvano terlihat semakin khawatir. "Kalau gitu, aku panggil dokter, ya? Aku takut ini sesuatu yang serius," katanya dengan nada tegas.

"Nggak usah, Mas... nanti juga reda," jawab Aqila pelan, mencoba meyakinkan suaminya.

Alvano terdiam sejenak, menatap Aqila dengan ragu. Tapi akhirnya ia mengalah. "Baiklah. Kalau begitu, aku turun sebentar buat bikin teh hangat. Siapa tahu bisa sedikit meredakan sakit perut kamu," ucapnya lembut sambil membelai rambut Aqila.

Aqila hanya mengangguk pelan, sementara Alvano beranjak ke dapur dengan hati yang masih penuh kekhawatiran.

Setelah selesai membuat teh hangat, Alvano kembali ke kamar dengan langkah cepat. Matanya langsung tertuju pada Aqila yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Ia duduk di tepi tempat tidur.

"Qila, ini minum dulu. Semoga ini bisa membantu mengurangi rasa sakit perut kamu," ucapnya lembut.

Aqila mengambil cangkir itu dengan tangan gemetar, menyesap pelan-pelan. Kehangatan teh menyebar di tubuhnya, memberikan sedikit rasa nyaman.

"Gimana sekarang, masih sakit?" tanya Alvano cemas, matanya tak lepas dari wajah pucat Aqila.

"Sudah agak mendingan, Mas... Makasih, ya..." jawab Aqila lirih dengan senyum lemah.

Alvano menghela napas lega, tapi sorot khawatir di matanya belum hilang. "Qila, kenapa tadi kamu nggak langsung kabarin aku pas kamu kesakitan begini? Aku khawatir banget sama kamu," Lirih Alvano lembut.

Aqila menunduk, merasa bersalah. "Maaf, Mas... Aku nggak mau ganggu waktu Mas ngajar. Aku pikir aku bisa tahan..." jawabnya pelan.

"Qila, dengerin aku," Alvano memegang tangan Aqila erat, menatapnya penuh keseriusan. "Kamu itu lebih penting dari apa pun. Kalau ada apa-apa, sekecil apa pun, kamu harus kasih tahu aku. Jangan pernah pendam sendiri, ya. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu, " ucap Alvano lembut, sorot matanya penuh kekhawatiran.

Aqila terdiam. Hatinya tersentuh mendengar ketulusan di setiap kata yang diucapkan suaminya. "Makasih, Mas Vano... Kamu udah perhatian banget sama aku," ucapnya, suara bergetar menahan haru.

Alvano tersenyum kecil, lalu mengusap lembut kepala Aqila. "Kamu istriku, Qila. Wajar kalau aku perhatian sama kamu. Aku nggak akan biarin kamu menahan sakit sendirian kayak gini lagi. Ingat, ya, janji sama aku, jangan pernah menyembunyikan apa pun."

Tiba-tiba, Aqila menangis. Air matanya mengalir deras, membuat Alvano panik. "Qila, kenapa? Perut kamu sakit lagi?" tanya Alvano semakin khawatir.

Aqila menggeleng. "Bukan, Mas..."

"Terus kenapa? Jangan bikin Mas khawatir," ucap Alvano lembut, mengusap pipi Aqila. Tangannya terulur menghapus air mata Aqila yang membasahi pipinya.

Aqila menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara. "Aku... Aku cuma ngerasa kamu satu-satunya orang yang peduli sama aku. Sebelumnya, aku selalu ngerasa nggak berguna, nggak pantas hidup, dan.." Aqila berhenti sejenak. "Dan aku cuma anak pembawa sial.. " lirih Aqila pilu. Air matanya semakin deras turun.

Mendengar itu, Alvano terpaku. Hatinya terasa teriris mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Aqila. Dengan lembut, ia menarik tubuh Aqila ke dalam pelukannya.

"Qila, jangan pernah ngomong kayak gitu, Kamu itu bukan pembawa sial, kamu itu anugerah. Kamu penting buat aku dan kamu pantas untuk hidup. Kamu jauh lebih berharga dari apa pun Qila," bisik Alvano, suaranya penuh keyakinan.

"Tapi... hikss... Mama bilang aku begitu, Mas..." lirih Aqila di sela isakannya.

"Mama?" Alvano mengerutkan kening, mengangkat dagu Aqila agar mendongak untuk menatapnya.

Aqila mengangguk. "Tadi aku ke supermarket buat beli pembalut. Aku nggak sengaja nabrak ibu-ibu, belanjaannya jatuh. Waktu aku minta maaf, ternyata itu Mama. Dia marah banget, dia bilang aku pembawa sial, nggak pantas hidup, dan tadi dia juga nuduh aku nyuri. Aku nggak ngerti kenapa Mama benci banget sama aku... hikss.." tangis Aqila makin pecah.

Alvano merasa dadanya sesak mendengar cerita itu. Dengan lembut, ia menangkup wajah Aqila, menghapus air matanya.

"Qila, dengerin aku baik-baik," ucap Alvano pelan namun tegas. "Apa pun yang Mama tiri kamu bilang tadi, jangan pernah kamu percaya. Semua itu salah besar. Kamu bukan pembawa sial. Kamu itu sangat berharga, Qila. Lebih dari apa pun itu. Kamu tau, Kamu itu adalah keberuntungan terbesar dalam hidup aku," ucap Alvano lembut. Matanya yang teduh menatap Aqila penuh ketulusan.

Aqila menatapnya dengan mata sembab, namun sorot keputusasaannya mulai tergantikan oleh rasa penasaran.

"Sejak kamu hadir di hidup aku," lanjut Alvano, suaranya semakin lembut. "Aku merasa semuanya berubah. Hidup aku jadi lebih berwarna, lebih bermakna. Kamu itu seperti berlian yang tak ternilai harganya. Kalau Mama kamu nggak bisa melihat itu, berarti dia yang rugi. Aku yakin, Suatu saat nanti, dia pasti akan menyesali semua yang dia katakan sama kamu.”

Ucapan Alvano menembus hati Aqila, seperti sinar yang menghangatkan jiwanya. Tangisnya perlahan mereda, meski masih ada sisa-sisa air mata di sudut matanya.

"Mas Vano, k-kamu benar-benar membuat aku merasa lebih baik, Terima kasih udah dukung aku, kamu benar-benar bikin aku semangat lagi," ucapnya Aqila lirih. "sekali lagi Makasih, karna kamu udah selalu ada buat aku.. "

Alvano tersenyum tipis, lalu menarik Aqila ke dalam pelukannya. Pelukan itu erat, seolah ia ingin menyampaikan bahwa ia tak akan pernah melepaskannya.

"tentu Qila, sekarang kamu jangan sedih lagi ya.., kamu nggak boleh ngomong kayak gitu lagi. Kamu jangan ngerasa sendiri, ingat ada aku Qila, ada aku suami kamu yang sangat sayang sama kamu.." bisik Alvano lembut di telinga Aqila. "Kamu itu segalanya buat aku Qila.. " tambahnya pelan.

Aqila membalas pelukan itu dengan gemetar. Hangatnya dekapan Alvano membuat hatinya yang rapuh perlahan sembuh. "Iya mas, a-aku beruntung punya kamu, aku juga sayang kamu Mas, jangan tinggalin aku ya..." bisiknya pelan, hampir seperti gumaman.

Alvano mengangguk, ia mencium puncak kepala istrinya dan mengusap lembut punggung istrinya untuk menenangkannya.

Di dalam pelukan Alvano, Aqila merasa aman. Rasa sakit yang tadi menyesakkan dadanya perlahan menghilang. Ia tahu, selama Alvano ada di sisinya, ia tidak akan pernah merasa sendirian lagi.

Episodes
1 Bab 1 Kehidupan Yang Memilukan
2 Bab 2 Pengkhianatan
3 Bab 3 Diusir dari Rumah
4 Bab 4 Takdir Di Tengah Hujan
5 Bab 5 Perhatian Alvano
6 Bab 6 Kehidupan Baru
7 Bab 7 Calon mantu?
8 Bab 8 kesepakatan mama dan papa
9 Bab 9 Hujan yang membasuh luka
10 Bab 10 Perjodohan
11 Bab 11 Persetujuan Alvano
12 Bab 12 Fitting Baju Pernikahan
13 Bab 13 Pernikahan
14 Bab 14 Pindahan
15 Bab 15 Rumah Baru
16 Bab 16 Cemburu?
17 Bab 17 Sakit Perut
18 Bab 18 Khawatir
19 Bab 19 Perhatian
20 Bab 20 Mewujudkan mimpi Aqila
21 Bab 21 Membeli Perlengkapan Kuliah
22 Bab 22 Hari Pertama Kuliah
23 Bab 23 Hati Aqila yang terluka
24 Bab 24 Alvano yang selalu ada
25 Bab 25 Tuduhan Areta
26 Bab 26 Mengungkit Masa Lalu Aqila
27 Bab 27 Kehadiran Bianka
28 Bab 28 Jebakan Bianka
29 Bab 29 Alvano yang tak ada kabar
30 Bab 30 Hasrat yang Tak Terkendali
31 Bab 31 Penjelasan
32 Bab 32 Rahasia yang terbongkar
33 Bab 33 Cemburu
34 Bab 34 Ngambek
35 Bab 35 Mual
36 Bab 36 Peristiwa yang Menggemparkan Kampus
37 Bab 37 Sepupu Amel
38 Bab 38 Rencana Balas Dendam
39 Bab 39 Ketakutan Itu Masih Ada
40 Bab 40 Kesehatan Aqila Membaik
41 Bab 41 Posesifnya Alvano
42 Bab 42 Masa Lalu Rania
43 Bab 43 Ngidam
44 Bab 44 Kecemburuan Alvano
45 Bab 45 Aqila Hilang
46 Bab 46 Kemarahan Alvano
47 Bab 47 Hancur
48 Bab 48 Jebakan Daniel
49 Bab 49 Aqila Dalam Bahaya
50 Bab 50 Kesedihan
51 Bab 51 Keajaiban
52 Bab 52 Membaik
53 Bab 53 Membeli Perlengkapan Bayi
54 Bab 54 Lahiran
55 Bab 55 Buah Hati Tampan Keluarga Mahendra"
56 Bab 56 Alvano Si Suami Manja dan Cemburuan
57 Bab 57 Sosok Laura
58 Bab 58 Zayyan yang Rewel
59 Bab 59 Sakit
60 Bab 60 Mengantar Bekal Alvano
61 Bab 61 Salah Paham
62 Bab 62 Sedikit Rahasia Mengenai Laura Terbongkar
63 Bab 63 Gerak Gerik Laura yang Mencurigakan
64 Bab 64 Cemas
65 Bab 65 Aqila Sakit
66 Bab 66 Kepercayaan Yang Retak
67 Bab 67 Rencana Arga
68 Bab 68 Antara Cinta dan Kecewa
69 Bab 69 Sama-Sama Tersakiti
70 Bab 70 Pergi Dari Rumah
71 Bab 71 Identitas Asli Laura terbongkar
72 Bab 72 Hancur Dan tertatih dalam Kesakitan
73 Bab 73 Kerapuhan Seorang Alvano
74 Bab 74 Penculikan Aqila
75 Bab 75 Pembalasan Dendam Areta
76 Bab 76 Diantara Hidup dan Mati
77 Bab 77 Kritis
78 Bab 78 Secercah Harapan
79 Bab 79 Alvano Sadar
80 Bab 80 Kebahagiaan Telah Kembali
Episodes

Updated 80 Episodes

1
Bab 1 Kehidupan Yang Memilukan
2
Bab 2 Pengkhianatan
3
Bab 3 Diusir dari Rumah
4
Bab 4 Takdir Di Tengah Hujan
5
Bab 5 Perhatian Alvano
6
Bab 6 Kehidupan Baru
7
Bab 7 Calon mantu?
8
Bab 8 kesepakatan mama dan papa
9
Bab 9 Hujan yang membasuh luka
10
Bab 10 Perjodohan
11
Bab 11 Persetujuan Alvano
12
Bab 12 Fitting Baju Pernikahan
13
Bab 13 Pernikahan
14
Bab 14 Pindahan
15
Bab 15 Rumah Baru
16
Bab 16 Cemburu?
17
Bab 17 Sakit Perut
18
Bab 18 Khawatir
19
Bab 19 Perhatian
20
Bab 20 Mewujudkan mimpi Aqila
21
Bab 21 Membeli Perlengkapan Kuliah
22
Bab 22 Hari Pertama Kuliah
23
Bab 23 Hati Aqila yang terluka
24
Bab 24 Alvano yang selalu ada
25
Bab 25 Tuduhan Areta
26
Bab 26 Mengungkit Masa Lalu Aqila
27
Bab 27 Kehadiran Bianka
28
Bab 28 Jebakan Bianka
29
Bab 29 Alvano yang tak ada kabar
30
Bab 30 Hasrat yang Tak Terkendali
31
Bab 31 Penjelasan
32
Bab 32 Rahasia yang terbongkar
33
Bab 33 Cemburu
34
Bab 34 Ngambek
35
Bab 35 Mual
36
Bab 36 Peristiwa yang Menggemparkan Kampus
37
Bab 37 Sepupu Amel
38
Bab 38 Rencana Balas Dendam
39
Bab 39 Ketakutan Itu Masih Ada
40
Bab 40 Kesehatan Aqila Membaik
41
Bab 41 Posesifnya Alvano
42
Bab 42 Masa Lalu Rania
43
Bab 43 Ngidam
44
Bab 44 Kecemburuan Alvano
45
Bab 45 Aqila Hilang
46
Bab 46 Kemarahan Alvano
47
Bab 47 Hancur
48
Bab 48 Jebakan Daniel
49
Bab 49 Aqila Dalam Bahaya
50
Bab 50 Kesedihan
51
Bab 51 Keajaiban
52
Bab 52 Membaik
53
Bab 53 Membeli Perlengkapan Bayi
54
Bab 54 Lahiran
55
Bab 55 Buah Hati Tampan Keluarga Mahendra"
56
Bab 56 Alvano Si Suami Manja dan Cemburuan
57
Bab 57 Sosok Laura
58
Bab 58 Zayyan yang Rewel
59
Bab 59 Sakit
60
Bab 60 Mengantar Bekal Alvano
61
Bab 61 Salah Paham
62
Bab 62 Sedikit Rahasia Mengenai Laura Terbongkar
63
Bab 63 Gerak Gerik Laura yang Mencurigakan
64
Bab 64 Cemas
65
Bab 65 Aqila Sakit
66
Bab 66 Kepercayaan Yang Retak
67
Bab 67 Rencana Arga
68
Bab 68 Antara Cinta dan Kecewa
69
Bab 69 Sama-Sama Tersakiti
70
Bab 70 Pergi Dari Rumah
71
Bab 71 Identitas Asli Laura terbongkar
72
Bab 72 Hancur Dan tertatih dalam Kesakitan
73
Bab 73 Kerapuhan Seorang Alvano
74
Bab 74 Penculikan Aqila
75
Bab 75 Pembalasan Dendam Areta
76
Bab 76 Diantara Hidup dan Mati
77
Bab 77 Kritis
78
Bab 78 Secercah Harapan
79
Bab 79 Alvano Sadar
80
Bab 80 Kebahagiaan Telah Kembali

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!