Bab 9 Hujan yang membasuh luka

Pagi itu Alvano terlihat sedang bersantai diruang tamu sambil memainkan HP miliknya. Ratna yang sudah tampil cantik dengan baju kebaya berwarna biru muda bersiap pergi untuk menghadiri arisan dengan teman temannya.

"loh van kamu nggak kerja?" tanya Ratna saat berlalu dihadapan alvano yang masih sibuk dengan HP nya.

"Nggak ma, aku ngga ada jadwal ngajar sekarang. lagi pula kantor juga aman" ucapnya santai.

Detik itu juga senyum Ratna mengambang, terlintas sebuah ide di otaknya. " Van kamu kan sekarang nggak sibuk, lagi santai nih. Saran mama lebih baik kamu ajak aqila jalan jalan keluar. Kasian dia, pasti bosan dirumah terus" Ratna berharap ini adalah salah satu cara untuk membuat keduanya semakin dekat.

"Jalan jalan ma? " Alvano tampak bingung, Ratna mengangguk antusias. " kamu nggak kasian apa sama dia, dirumah terus. Vano, dia itu juga butuh hiburan untuk mengobati trauma dan luka luka masa lalu. Mama rasa dengan mengajaknya jalan-jalan maka itu akan sedikit mengurangi beban dan luka hatinya. Kasian dia nak"

Alvano diam dan berfikir sejenak, apa yang dibilang mamanya itu ada benarnya juga. Kasian juga Aqila. Dia benar benar butuh hiburan untuk mengurangi luka luka di hatinya. Lagi pula Alvano juga mengingat kemarin saat Aqila bilang dirinya sangat bosan dirumah. "Tapi ma, apa dia mau? "

"Pasti mau dia nak, kamu ajak dia keluar ya.., kalau gitu mama pergi arisan dulu. Mama buru buru, teman-teman mama udah pada nunggu" ucapnya berlalu pergi.

Alvano melangkah dengan perlahan ke depan pintu kamar Aqila, mengetuk pelan sambil memanggil, “Aqila?”

Dari dalam, suara Aqila terdengar, “Iya, Kak?” tak lama pintu terbuka, menampilkan Aqila yang tampak bingung dengan kehadiran Alvano.

Alvano menggaruk tengkuknya, kebiasaan yang muncul saat ia sedikit ragu. "Hmm, aku mau tanya... kamu lagi ngapain?"

Aqila tersenyum kecil, sedikit heran dengan pertanyaan itu. "Nggak ngapa-ngapain, Kak. Cuma tiduran aja," jawabnya santai.

“Oh,” gumam Alvano sambil mengangguk pelan. Ia menarik napas sebelum melanjutkan, “Aku pikir... kamu mungkin bosan di rumah terus. Jadi, aku mau ngajak kamu keluar. Mau nggak?”

Aqila menatap Alvano dengan tatapan terkejut sekaligus penasaran. “Keluar? Ke mana, Kak?”

“Jalan-jalan aja,” jawab Alvano, mencoba terdengar santai. “Kamu butuh udara segar, aku pikir tempat baru mungkin bikin kamu merasa lebih baik.”

Aqila tersenyum, meski masih agak bingung dengan perubahan sikap Alvano yang tiba-tiba. “Boleh, Kak. Aku ikut.”

Alvano tampak lega mendengar jawaban itu. “Oke, kalau gitu siap-siap ya. Aku tunggu di depan.”

Tak lama kemudian, mereka berdua sudah berada di dalam mobil. Aqila duduk di sebelah Alvano, tangannya sedikit gemetar karena belum terbiasa bepergian berdua dengan lelaki itu. Sementara Alvano, meski terlihat tenang, terus merapikan rambutnya sesekali, sesuatu yang jarang ia lakukan.

"Jadi, kita mau ke mana, Kak?" tanya Aqila akhirnya, memecah keheningan di antara mereka.

Alvano melirik sekilas ke arahnya sebelum kembali fokus ke jalan. "Taman aja ya. Tempatnya tenang, aku pikir kamu mungkin suka."

"Taman?" Aqila mengulang dengan nada penasaran. "Kayaknya seru, Kak."

“Semoga kamu suka,” ucap Alvano sambil tersenyum tipis.

Sesampainya di taman, suasana segar langsung menyambut mereka. Pohon-pohon rindang, bangku taman di bawah naungan bayangan dedaunan, dan suara gemericik air dari kolam kecil menciptakan suasana tenang.

“Aku nggak nyangka tempatnya sebagus ini,” ujar Aqila, matanya berbinar melihat anak-anak bermain di kejauhan dan pasangan tua yang duduk santai.

Alvano tersenyum tipis. “Aku sering ke sini kalau lagi butuh waktu buat sendiri.”

Mereka berjalan ke arah bangku taman, duduk berdampingan. Aqila sesekali mencuri pandang ke arah Alvano, merasa heran sekaligus nyaman dengan ajakan ini.

“Kalau nggak ada kerjaan, Kakak biasanya ngapain?” tanya Aqila, memulai obrolan.

“Biasanya ya di rumah aja, kerja tambahan atau baca buku,” jawab Alvano santai. “Tapi sesekali aku butuh tempat seperti ini buat istirahat.”

Aqila mengangguk kecil. “Kakak kelihatan sibuk terus, tapi ternyata Kakak tahu cara santai juga ya.”

“Aku nggak seserius yang kamu kira kok,” balas Alvano, tersenyum.

Obrolan mereka mengalir perlahan, rasa canggung semakin memudar. Aqila mulai merasa lebih nyaman berada di dekat Alvano, sementara Alvano juga merasa kehadiran Aqila membuat harinya lebih ringan.

Setelah beberapa saat, Alvano berdiri sambil menunjuk ke arah penjual es krim di ujung taman. “Kamu mau es krim? Aku traktir,” tawarnya.

“Mau, Kak!” jawab Aqila cepat, membuat Alvano terkekeh kecil.

"yaudah kamu tunggu disini dulu, aku pergi beli es krimnya dulu sebentar" ucap alvano yang diangguki aqila.

Aqila duduk di bangku taman, memandangi pemandangan sekitar sambil menunggu Alvano kembali dengan es krim. Ia mencoba menikmati suasana, tetapi pikirannya terus saja berkelana. Hatinya yang perlahan mulai membaik sejak tinggal di rumah keluarga Alvano kini terasa jauh lebih ringan.

Namun, semua itu hancur saat matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang sangat ia kenal. Di sudut taman, Areta berjalan dengan santai sambil menggandeng lengan Daniel. Mereka terlihat sangat mesra, sesekali saling tersenyum dan tertawa, seolah dunia milik mereka berdua.

Hati Aqila mencelos. Luka yang ia pikir sudah mulai menghilang kembali terbuka. Daniel, pria yang dulu begitu ia cintai,ternyata dengan mudah melupakannya. Lebih dari itu, ia berselingkuh dengan kakaknya sendiri. Dada Aqila terasa sesak, dan tanpa ia sadari, air matanya mulai mengalir.

“Kenapa harus seperti ini…” gumamnya lirih, menundukkan kepala agar orang-orang di sekitarnya tidak melihat ia menangis.

Areta yang sedang menikmati pemandangan taman tiba-tiba menyadari kehadiran Aqila. Ia menghentikan langkahnya, lalu menepuk lengan Daniel. “Lihat itu,” ucapnya pelan dengan nada mengejek. “Aqila. Aku nggak percaya dia masih hidup.”

Mereka pun mendekati Aqila. Areta tersenyum sinis begitu melihat Aqila yang langsung menunduk saat mereka berdiri di depannya. “Aqila?” panggil Areta dengan nada meremehkan. “Jadi, kamu masih hidup? Hebat juga. Kukira kamu sudah menyerah waktu itu.”

Aqila menatap kakaknya dengan mata basah. “Aku masih hidup,” katanya dengan suara bergetar. “Tapi aku nggak ada urusan lagi sama kalian.”

Areta tertawa kecil. “Oh, tentu saja kamu nggak ada urusan lagi sama kami. Tapi aku nggak bisa berhenti penasaran, bagaimana kamu bisa hidup seperti ini? Sendirian, nggak ada yang peduli. Menyedihkan banget, ya?”

Daniel ikut tertawa, menyeringai menatap Aqila. “Jujur aja, aku juga heran. Kamu sekarang lebih kelihatan seperti orang buangan. Areta jauh lebih pantas buat aku daripada kamu. Aku nggak tahu kenapa dulu aku buang waktu buat kamu.”

Aqila mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarah. “Aku nggak peduli lagi sama kalian,” ucapnya, berusaha tetap tenang.

Namun Areta terus melanjutkan. “Oh, jadi kamu nggak peduli? Kalau nggak peduli, kenapa kamu duduk di sini, memandangi kami seperti itu? Masih sakit hati, ya? Atau jangan-jangan kamu berharap Daniel bakal balik sama kamu?”

Daniel tersenyum licik. “Aqila, kamu tahu kenapa aku dulu sama kamu? Karena aku kasihan. Kamu itu lemah, nggak punya siapa-siapa, dan gampang dimanipulasi. Kamu pikir aku beneran cinta? Itu cuma permainan.”

Areta menambahkan, “Lihat aku sekarang, Aqila. Aku jauh lebih cantik, lebih pintar, dan lebih segalanya dibanding kamu. Daniel pantas sama aku, bukan kamu.”

Ucapan itu seperti belati yang menusuk hati Aqila. Air matanya semakin deras, tapi ia mencoba menahan diri agar tidak terlihat lemah. “Kalian bisa lakukan apa saja yang kalian mau. Aku nggak peduli. Aku sudah selesai dengan kalian,” katanya pelan namun tegas.

Namun, Areta tidak berhenti. Ia merangkul Daniel lebih erat, seolah-olah ingin memperlihatkan hubungan mereka. “Daniel, lihat dia. Dia bahkan nggak bisa membalas ucapan kita. Masih sama seperti dulu, pengecut dan nggak berguna.”

Daniel mengangguk, lalu berkata dengan nada meremehkan, “Aqila, kamu nggak pernah jadi apa-apa buat siapa pun. Kamu itu cuma bayang-bayang Areta. Bahkan sekarang pun, kamu nggak lebih dari itu.”

Ucapan Daniel menjadi puncak dari segalanya. Aqila tidak sanggup lagi menahan perasaan sakit yang menghimpit dadanya. Ia berdiri dengan tergesa-gesa dan berlari meninggalkan mereka tanpa berkata apa-apa.

Areta dan Daniel hanya tertawa puas melihat Aqila yang pergi sambil menangis. “Lihat dia lari. Masih sama seperti dulu, pengecut,” komentar Areta sinis. lalu mereka pergi berjalan ke arah lain tampa memikirkan aqila.

Namun dari kejauhan, Alvano yang baru kembali dengan dua cone es krim di tangannya menyaksikan semuanya. Ekspresinya berubah saat melihat Aqila berlari pergi. Ia segera meletakkan es krim di bangku terdekat dan mengejar Aqila.

“Aqila!” panggil Alvano, suaranya tegas namun lembut, mencoba menghentikan langkah Aqila yang berlari sambil menangis.

Aqila tidak menoleh. Tangisnya semakin keras, dan ia terus berlari ke arah yang entah ke mana, hanya ingin menjauh dari rasa sakit yang baru saja ia alami.

Alvano mempercepat langkahnya. “Aqila, tunggu!” teriaknya lagi.

Hingga akhirnya, ia berhasil meraih lengan Aqila, membuat gadis itu berhenti. Aqila memutar tubuhnya, dan tatapannya yang penuh air mata langsung menghantam hati Alvano.

“Aqila… apa yang terjadi?” tanyanya pelan, nada suaranya penuh kekhawatiran.

Namun, Aqila hanya menggeleng, tidak sanggup berkata-kata. Ia menunduk, berusaha menahan tangis, tapi tubuhnya bergetar.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Alvano menarik Aqila ke dalam pelukannya. “Kalau kamu nggak mau cerita sekarang, nggak apa-apa. Tapi aku ada di sini,” bisiknya.

Aqila akhirnya menangis lebih keras di pelukan Alvano, meluapkan semua rasa sakit dan kecewa yang selama ini ia pendam. Sementara itu, Alvano mengusap punggungnya perlahan, membiarkan Aqila merasa aman dalam pelukannya.

Setelah cukup lama berpelukan, Aqila akhirnya tersadar atas apa yang baru saja ia lakukan. Ia segera melepaskan pelukan itu, menundukkan kepala dengan wajah yang mulai memerah. "Ma... maaf, kk," gumamnya lirih, suaranya sedikit bergetar.

Alvano tersenyum lembut, tidak menunjukkan sedikit pun rasa keberatan. "Nggak apa-apa, Aqila," ujarnya tenang. “Aku ngerti kok. Kadang, di saat kita terpuruk, kita butuh seseorang untuk jadi sandaran.”

Aqila menghapus air matanya dengan ujung jari, mencoba menguasai dirinya. Namun, sebelum ia bisa membalas ucapan Alvano, tetesan air hujan mulai jatuh, diikuti oleh derasnya hujan yang mengguyur tanpa aba-aba.

"Hujan?" Aqila terkejut, melangkah mundur sedikit.

Alvano menatap langit yang mulai gelap, lalu menoleh ke Aqila. "Ayo, kita cari tempat berteduh." Ia menggenggam tangan Aqila, menuntunnya menuju sebuah gazebo kecil di dekat taman.

Mereka berdiri di bawah atap, menghindari tetesan hujan. Suasana kembali hening. Aqila masih terlihat murung, meskipun air matanya sudah berhenti. Alvano memandangnya, merasa tidak nyaman melihat raut sedih itu masih melekat di wajah Aqila.

Setelah beberapa detik berpikir, Alvano mendadak berdiri dari tempat berteduh. Ia melangkah keluar, langsung berdiri di bawah guyuran hujan.

"Eh, kk, kamu ngapain?" tanya Aqila, terkejut melihat tingkahnya.

Alvano menengadah, membiarkan air hujan membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Ia menoleh ke Aqila dengan senyuman lebar. "Main hujan," jawabnya santai. "Dulu, waktu kecil, ini salah satu cara aku mengusir sedih."

Aqila mengernyit. “Main hujan? Serius?”

Alvano menoleh padanya. “Hujan itu bikin tenang, Aqila,” katanya. “Bahkan kalau kita nangis pun, orang nggak akan tahu. Hujan itu menyembunyikan air mata kita. Jadi, kalau kamu sedih, coba keluar, biarkan hujan menghapus semua rasa sakit itu.”

Aqila terdiam mendengar kata-kata itu. Ada sesuatu dalam nada suara Alvano yang membuatnya tergerak.

“Ayo, coba aja,” ajak Alvano sambil mengulurkan tangannya. “Percaya deh, kamu bakal merasa lebih baik.”

Aqila menatap tangan Alvano dengan ragu, tapi akhirnya ia mengangguk pelan. Dengan langkah kecil, ia keluar dari tempat berteduh, berdiri di bawah derasnya hujan.

“Aku basah semua, kk,” keluh Aqila, meski ada senyum kecil di wajahnya.

Alvano terkekeh. “Ya emang itu inti dari main hujan.”

Lama-kelamaan, Aqila mulai menikmati suasana. Ia mengangkat wajahnya, membiarkan hujan membasahi seluruh tubuhnya. Alvano memperhatikan dengan senyum hangat.

“Gimana?” tanyanya.

Aqila tersenyum lebih lebar. “Aku rasa... aku mulai ngerti kenapa kamu suka main hujan, kk. Rasanya kayak... beban di hati ini sedikit lebih ringan.”

“Itulah keajaiban hujan,” balas Alvano. “Kadang, cara paling sederhana bisa bikin kita merasa jauh lebih baik.”

Aqila menatap Alvano. “Kk, kamu ternyata lebih bijak dari yang aku kira.”

“Dan kamu ternyata lebih kuat dari yang kamu pikir,” balas Alvano, membuat Aqila terdiam sejenak.

Setelah beberapa saat berdiri di bawah hujan, Alvano tiba-tiba melangkah menjauh dan mulai berlari kecil di sekitar taman.

“Kk, kamu ngapain lagi?” seru Aqila, bingung.

Alvano menoleh dengan senyum lebar di wajahnya. “Ayo, Aqila! Lari-lari sedikit! Rasanya seru, loh!”

Aqila mengerutkan dahi, tapi ada rasa penasaran yang membuatnya mengangkat kaki dan ikut berlari kecil mengejar Alvano. “Kk, tunggu! Jangan terlalu jauh!” serunya.

Alvano tertawa ringan. “Kalau mau nyusul, lari lebih cepat!” tantangnya sambil mempercepat langkah.

Aqila yang awalnya hanya berjalan, mulai berlari kecil. Tawa kecilnya mulai terdengar di antara suara hujan. “Kk, kamu nggak capek apa?”

“Justru ini yang bikin segar!” jawab Alvano, berhenti mendadak sambil membuka kedua tangannya, menikmati derasnya hujan.

Lama-kelamaan, Aqila mulai terbawa suasana. Ia tersenyum lebih lebar, bahkan ikut melangkah dan memutar tubuhnya di bawah hujan. Mereka berdua tertawa, melupakan semua kesedihan yang baru saja terjadi.

Mereka terus berputar dan melompat di bawah derasnya hujan, tawa mereka menyatu dengan suara gemericik air. Aqila merasa seperti anak kecil lagi, tanpa beban, hanya menikmati momen. Meski sederhana, momen itu terasa hangat. Perlahan, Aqila merasa bahwa kehadiran Alvano membawa ketenangan dalam hidupnya yang penuh luka.

Sementara itu, Alvano tak bisa mengalihkan pandangannya dari Aqila. Melihat senyumnya yang mulai kembali, ia merasa puas. Namun, di sudut hatinya, ia menyadari bahwa ada sesuatu yang mulai berubah. Sesuatu yang membuatnya ingin selalu melindungi gadis itu.

********

tetap dukung terus cerita ini dengan Like, vote and komenn!! jangan lupa Follow Juga aku ini😇

Episodes
1 Bab 1 Kehidupan Yang Memilukan
2 Bab 2 Pengkhianatan
3 Bab 3 Diusir dari Rumah
4 Bab 4 Takdir Di Tengah Hujan
5 Bab 5 Perhatian Alvano
6 Bab 6 Kehidupan Baru
7 Bab 7 Calon mantu?
8 Bab 8 kesepakatan mama dan papa
9 Bab 9 Hujan yang membasuh luka
10 Bab 10 Perjodohan
11 Bab 11 Persetujuan Alvano
12 Bab 12 Fitting Baju Pernikahan
13 Bab 13 Pernikahan
14 Bab 14 Pindahan
15 Bab 15 Rumah Baru
16 Bab 16 Cemburu?
17 Bab 17 Sakit Perut
18 Bab 18 Khawatir
19 Bab 19 Perhatian
20 Bab 20 Mewujudkan mimpi Aqila
21 Bab 21 Membeli Perlengkapan Kuliah
22 Bab 22 Hari Pertama Kuliah
23 Bab 23 Hati Aqila yang terluka
24 Bab 24 Alvano yang selalu ada
25 Bab 25 Tuduhan Areta
26 Bab 26 Mengungkit Masa Lalu Aqila
27 Bab 27 Kehadiran Bianka
28 Bab 28 Jebakan Bianka
29 Bab 29 Alvano yang tak ada kabar
30 Bab 30 Hasrat yang Tak Terkendali
31 Bab 31 Penjelasan
32 Bab 32 Rahasia yang terbongkar
33 Bab 33 Cemburu
34 Bab 34 Ngambek
35 Bab 35 Mual
36 Bab 36 Peristiwa yang Menggemparkan Kampus
37 Bab 37 Sepupu Amel
38 Bab 38 Rencana Balas Dendam
39 Bab 39 Ketakutan Itu Masih Ada
40 Bab 40 Kesehatan Aqila Membaik
41 Bab 41 Posesifnya Alvano
42 Bab 42 Masa Lalu Rania
43 Bab 43 Ngidam
44 Bab 44 Kecemburuan Alvano
45 Bab 45 Aqila Hilang
46 Bab 46 Kemarahan Alvano
47 Bab 47 Hancur
48 Bab 48 Jebakan Daniel
49 Bab 49 Aqila Dalam Bahaya
50 Bab 50 Kesedihan
51 Bab 51 Keajaiban
52 Bab 52 Membaik
53 Bab 53 Membeli Perlengkapan Bayi
54 Bab 54 Lahiran
55 Bab 55 Buah Hati Tampan Keluarga Mahendra"
56 Bab 56 Alvano Si Suami Manja dan Cemburuan
57 Bab 57 Sosok Laura
58 Bab 58 Zayyan yang Rewel
59 Bab 59 Sakit
60 Bab 60 Mengantar Bekal Alvano
61 Bab 61 Salah Paham
62 Bab 62 Sedikit Rahasia Mengenai Laura Terbongkar
63 Bab 63 Gerak Gerik Laura yang Mencurigakan
64 Bab 64 Cemas
65 Bab 65 Aqila Sakit
66 Bab 66 Kepercayaan Yang Retak
67 Bab 67 Rencana Arga
68 Bab 68 Antara Cinta dan Kecewa
69 Bab 69 Sama-Sama Tersakiti
70 Bab 70 Pergi Dari Rumah
71 Bab 71 Identitas Asli Laura terbongkar
72 Bab 72 Hancur Dan tertatih dalam Kesakitan
73 Bab 73 Kerapuhan Seorang Alvano
74 Bab 74 Penculikan Aqila
75 Bab 75 Pembalasan Dendam Areta
76 Bab 76 Diantara Hidup dan Mati
77 Bab 77 Kritis
78 Bab 78 Secercah Harapan
79 Bab 79 Alvano Sadar
80 Bab 80 Kebahagiaan Telah Kembali
Episodes

Updated 80 Episodes

1
Bab 1 Kehidupan Yang Memilukan
2
Bab 2 Pengkhianatan
3
Bab 3 Diusir dari Rumah
4
Bab 4 Takdir Di Tengah Hujan
5
Bab 5 Perhatian Alvano
6
Bab 6 Kehidupan Baru
7
Bab 7 Calon mantu?
8
Bab 8 kesepakatan mama dan papa
9
Bab 9 Hujan yang membasuh luka
10
Bab 10 Perjodohan
11
Bab 11 Persetujuan Alvano
12
Bab 12 Fitting Baju Pernikahan
13
Bab 13 Pernikahan
14
Bab 14 Pindahan
15
Bab 15 Rumah Baru
16
Bab 16 Cemburu?
17
Bab 17 Sakit Perut
18
Bab 18 Khawatir
19
Bab 19 Perhatian
20
Bab 20 Mewujudkan mimpi Aqila
21
Bab 21 Membeli Perlengkapan Kuliah
22
Bab 22 Hari Pertama Kuliah
23
Bab 23 Hati Aqila yang terluka
24
Bab 24 Alvano yang selalu ada
25
Bab 25 Tuduhan Areta
26
Bab 26 Mengungkit Masa Lalu Aqila
27
Bab 27 Kehadiran Bianka
28
Bab 28 Jebakan Bianka
29
Bab 29 Alvano yang tak ada kabar
30
Bab 30 Hasrat yang Tak Terkendali
31
Bab 31 Penjelasan
32
Bab 32 Rahasia yang terbongkar
33
Bab 33 Cemburu
34
Bab 34 Ngambek
35
Bab 35 Mual
36
Bab 36 Peristiwa yang Menggemparkan Kampus
37
Bab 37 Sepupu Amel
38
Bab 38 Rencana Balas Dendam
39
Bab 39 Ketakutan Itu Masih Ada
40
Bab 40 Kesehatan Aqila Membaik
41
Bab 41 Posesifnya Alvano
42
Bab 42 Masa Lalu Rania
43
Bab 43 Ngidam
44
Bab 44 Kecemburuan Alvano
45
Bab 45 Aqila Hilang
46
Bab 46 Kemarahan Alvano
47
Bab 47 Hancur
48
Bab 48 Jebakan Daniel
49
Bab 49 Aqila Dalam Bahaya
50
Bab 50 Kesedihan
51
Bab 51 Keajaiban
52
Bab 52 Membaik
53
Bab 53 Membeli Perlengkapan Bayi
54
Bab 54 Lahiran
55
Bab 55 Buah Hati Tampan Keluarga Mahendra"
56
Bab 56 Alvano Si Suami Manja dan Cemburuan
57
Bab 57 Sosok Laura
58
Bab 58 Zayyan yang Rewel
59
Bab 59 Sakit
60
Bab 60 Mengantar Bekal Alvano
61
Bab 61 Salah Paham
62
Bab 62 Sedikit Rahasia Mengenai Laura Terbongkar
63
Bab 63 Gerak Gerik Laura yang Mencurigakan
64
Bab 64 Cemas
65
Bab 65 Aqila Sakit
66
Bab 66 Kepercayaan Yang Retak
67
Bab 67 Rencana Arga
68
Bab 68 Antara Cinta dan Kecewa
69
Bab 69 Sama-Sama Tersakiti
70
Bab 70 Pergi Dari Rumah
71
Bab 71 Identitas Asli Laura terbongkar
72
Bab 72 Hancur Dan tertatih dalam Kesakitan
73
Bab 73 Kerapuhan Seorang Alvano
74
Bab 74 Penculikan Aqila
75
Bab 75 Pembalasan Dendam Areta
76
Bab 76 Diantara Hidup dan Mati
77
Bab 77 Kritis
78
Bab 78 Secercah Harapan
79
Bab 79 Alvano Sadar
80
Bab 80 Kebahagiaan Telah Kembali

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!