Bab 8 kesepakatan mama dan papa

Malam itu, keluarga Alvano berkumpul di ruang makan. Cahaya lampu gantung menerangi meja besar yang dipenuhi hidangan hangat. Aqila duduk di samping Ratna, sementara Alvano duduk berhadapan dengannya. Dimas duduk di ujung meja dengan senyum ramah.

Suasana makan malam terasa begitu hangat, berbeda dari apa yang pernah Aqila rasakan selama ini. Ia benar-benar merasa dihargai dan diperlakukan dengan baik di rumah ini.

Di sela-sela suara sendok yang beradu dengan piring, Dimas mulai membuka percakapan.

"Aqila, bagaimana rasanya tinggal di sini? Kamu merasa nyaman?" tanya Dimas lembut sambil melirik Aqila.

Aqila, yang baru saja menyuapkan nasi ke mulutnya, sedikit terkejut. Ia buru-buru meletakkan sendok dan tersenyum.

"Alhamdulillah, Pak. aku merasa nyaman sekali. Terima kasih banyak sudah menerima aku di rumah ini," jawabnya dengan tulus.

Mendengar panggilan itu, Dimas tertawa kecil sambil menggeleng. "Aqila, jangan panggil saya Pak. Kamu panggil saja Om, ya. Biar lebih akrab."

Aqila mengangguk dengan pipi memerah. "I-iya, Om. Terima kasih banyak…" ucapnya canggung.

"Nah, begitu lebih baik," sahut Dimas sambil tersenyum puas.

Mama Ratna menimpali dengan nada lembut, "Iya, Qila. Kamu anggap saja ini rumahmu sendiri. Kalau ada apa-apa, bilang saja ke Tante, om atau Alvano."

Aqila menunduk dengan senyum kecil. Rasanya nyaman mendengar kata-kata itu. Untuk pertama kalinya sejak kepergian ayahnya, ia merasa seperti bagian dari sebuah keluarga yang hangat. Sementara itu, Alvano sesekali melirik Aqila diam-diam, senyum tipis terukir di bibirnya.

Tak lama, Dimas kembali membuka suara, kali ini menatap Alvano yang tampak fokus dengan makanannya.

“Lalu, bagaimana tadi di kampus, Van? Lancar semuanya?" tanya Dimas sambil menyuapkan makanannya.

Alvano mengangkat wajahnya dan menjawab santai. "Alhamdulillah, Pa. Semua berjalan lancar. Mahasiswanya cukup aktif, jadi nggak terlalu sulit ngajar mereka. Tapi ya… ada beberapa yang terlalu heboh, mungkin karena aku dosen baru,” ucapnya dengan sedikit senyum.

Aqila yang semula tenang, mendadak terkejut mendengar percakapan itu. "Kampus? Ngajar?" batinnya. Ia menatap Alvano dengan kening berkerut, mencoba memahami apa yang sedang dibicarakan.

Papa Dimas tersenyum bangga. "Iya, kampus Luminary Mahendra University itu berkembang pesat sekarang. Siapa sangka kita bisa menjadikannya sebesar itu. Tapi tentu saja, tanpa bantuan kamu Vano,, mungkin nggak akan berkembang secepat ini," ujar Dimas sambil memandang putranya.

Mendengar itu, Aqila mendadak tertegun. “Luminary Mahendra University?” gumamnya pelan sambil berpikir.

Ratna, yang duduk di sebelahnya, menoleh. “Ada apa, Nak?” tanyanya lembut.

Aqila menggeleng cepat. “Ah, nggak ada, Tante. aku cuma… tiba-tiba teringat sesuatu,” ucapnya sambil memaksakan senyum. Namun pikirannya masih berputar.

"Tunggu, bukankah itu kampus tempat Kak Areta kuliah? Aku kan pernah kesana untuk menemui Daniel. Dan kk vano? Mata Aqila mulai melirik ke arah Alvano secara diam-diam. Tiba-tiba, ia teringat kejadian beberapa hari lalu, sebelum ia diusir dari rumah.

Pria yang aku tabrak waktu itu… Nafasnya tercekat. Ya Allah, batinnya. Itu benar-benar kk vano! Kak Vano yang sekarang ada di hadapannya ternyata adalah dosen di kampus itu, dan lebih mengejutkannya lagi, keluarganya adalah pemilik kampus tersebut.

Alvano yang merasa diperhatikan tiba-tiba menoleh. “Kamu kenapa, Aqila?” tanyanya bingung karena gadis itu terlihat bengong.

Aqila terkesiap. “Eh, nggak… nggak apa-apa, Kak,” jawabnya cepat sambil menunduk. Pipi gadis itu mulai memerah karena malu ketahuan melamun.

saat ditengah percakapan itu, tatapan Ratna tak sengaja melihat alvano yang memakan sayuran dengan lahap.Matanya membulat heran dan bibirnya membentuk senyuman kecil.

"Tumben banget kamu makan sayurnya lahap, Nak," ucap Ratna sambil meletakkan sendoknya di atas piring. "Biasanya disuruh makan sayur sedikit aja udah ngeluh. Ini malah nambah dua kali. Ada angin apa, hmm?" tanyanya menggoda.

Alvano yang tengah menyendok sayur untuk ketiga kalinya mendongak kaget. “Hah? Eh…” Ia menatap piringnya dan tertawa kecil, “nggak tahu kenapa, Ma, sayurnya enak banget. Rasanya beda aja, bikin nagih, lagi pula mama masaknya enak banget"

Ratna terkekeh. “Kamu kira sayur ini mama yang masak?” tanyanya penuh teka-teki.

Alvano mengernyit bingung. “Emangnya bukan Mama?”

Ratna menggeleng sambil tersenyum lebar. “Itu Aqila yang masak, Nak.”

Mendengar namanya disebut, Aqila yang dari tadi makan dengan tenang langsung mendongak kaget. Wajahnya memerah dan ia buru-buru menunduk, berusaha menahan canggung. “Tante, rasanya biasa aja kok” ucapnya lirih.

“rasanya enak qila" jawab Ratna santai, "tante bangga sama kamu Qila. kamu jago masak. Lihat aja tuh Vano, makannya sampai nambah berkali-kali. Kalau gini terus, tante yakin Vano bakalan tambah gemuk.”

Dimas tertawa kecil mendengar candaan istrinya. Sementara itu, Alvano terdiam sejenak dengan sendok masih di tangannya. Perlahan, senyum kecil tersungging di bibirnya. Matanya melirik sekilas ke arah Aqila, yang tampak sibuk memandang piringnya.

“Oh… jadi Aqila yang masak?” gumam Alvano pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. Ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar canggung, tapi juga penuh kekaguman.

Ratna langsung menyambung, kali ini dengan nada menggoda. “Tadi mama sama Aqila ke warung sayur, lho. Kamu tahu nggak, Nak, ibu-ibu di sana langsung kepo begitu lihat Aqila. Mereka malah bilang Aqila ini calon mantu mama!”

Perkataan Ratna seketika membuat aqila tersedak ringan. Cepat-cepat ia meraih air putih dan meneguknya sambil berusaha menahan rasa malunya. Alvano, yang juga terkejut, hanya bisa diam mematung. Wajahnya memerah samar, tapi senyum tipis tetap terlihat di bibirnya.

“M-mantu?” Alvano berusaha memastikan apa yang baru saja ia dengar, suaranya sedikit serak. Tatapannya beralih ke mamanya, lalu ke Aqila yang tampak salah tingkah.

"Iya, katanya kalian cocok," jawab Ratna dengan nada menggoda. "Mama cuma senyum-senyum aja denger mereka ngomong gitu."

Alvano memutar bola matanya, berusaha tetap tenang. "Mama ini ada-ada aja." Tapi jujur saja, hatinya entah kenapa sedikit senang mendengar ucapan tersebut.

Dimas yang sedari tadi memperhatikan interaksi mereka hanya tersenyum penuh arti. Tatapannya bergantian antara Aqila dan Alvano. "Ya, kalau dipikir-pikir memang cocok sih," ucap Dimas pelan namun penuh makna, sengaja memancing reaksi dari keduanya.

Aqila semakin salah tingkah. Ia buru-buru menundukkan kepala dan fokus pada piringnya, sementara Alvano hanya menghela napas panjang. "Sudah lah pa, ma, kita fokus makan aja ya," ujarnya berusaha mengalihkan pembicaraan.

Namun, Ratna tak mau kalah. "Aqila, lain kali masakin sayur yang lebih banyak lagi ya buat Vano. Biar tiap hari makannya lahap begini," godanya dengan senyum lebar.

Aqila mengangguk kecil, "I-iya, Tante," jawabnya lirih, masih dengan wajah memerah.

🌸🌸🌸🌸🌸

Tepat pukul satu dini hari, Aqila terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Mimpi buruk tentang perlakuan ibu tiri dan kakak tirinya kembali menghantuinya. Nafasnya terasa sesak, peluh dingin membasahi wajahnya. Ia memandang sekitar dengan mata nanar, berusaha memastikan bahwa semuanya hanya mimpi.

“Untung cuma mimpi…” gumamnya lirih. Namun rasa takut dan kenangan masa lalunya belum juga pergi. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya, berusaha menenangkan diri.

Setelah beberapa menit berlalu, Aqila bangkit. Ia merasa haus dan butuh ketenangan. Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju dapur dalam remang-remang cahaya lampu malam. Begitu sampai, ia menuangkan air ke gelas dan meminumnya perlahan. “Ah, lebih baik…” bisiknya.

Namun, ketika ia hendak berbalik menuju kamarnya, seekor kecoa tiba-tiba melintas di kakinya. Mata Aqila membelalak. Ia berteriak kencang, “KYAAAA!!!” dan seketika berlari terbirit-birit ke arah ruang tengah, wajah panik tak karuan.

Di lantai atas, Alvano yang belum tidur tengah fokus menyelesaikan pekerjaan kantornya. Suara teriakan Aqila membuatnya terkejut. Alvano langsung melepas kacamata dan berdiri cepat.

“Siapa teriak tengah malam begini?” gumamnya, berjalan turun menuju sumber suara.

Langkahnya cepat, tetapi belum sempat ia mencapai lantai bawah, Aqila yang panik berlari dalam kegelapan malah menabraknya.

“BRUK!”

Keduanya terjatuh bersamaan. Alvano jatuh terduduk di lantai dengan punggung bersandar pada dinding, sementara Aqila mendarat di atas tubuhnya. Mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.

Aqila membeku. Dadanya berdegup begitu kencang. Sementara Alvano menatap Aqila dengan ekspresi terkejut dan canggung. Sekian detik berlalu dalam keheningan.

“A-Aqila…” suara Alvano memecah kebekuan. “Kamu… apa kamu baik-baik saja?”

Aqila tersadar dari posisinya. Wajahnya memerah seketika. “A-aku… maaf, Kak! Aku nggak sengaja…” buru-burunya bangkit dari posisi itu, tapi justru membuatnya semakin canggung.

Alvano ikut berdiri, sedikit mengusap bagian belakang kepalanya yang sempat terbentur ringan. “Nggak apa-apa. Tapi… kamu kenapa lari-lari tengah malam begini?” tanyanya, nada suaranya terdengar khawatir.

Aqila menunduk malu. “A-anu… ada kecoa di dapur, Kak. Aku kaget…”

Alvano menatap Aqila sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kecoak? kamu takut kecoa?”

Aqila memandangnya dengan wajah cemberut. “Eh, jangan ketawain aku. Itu kecoa besar banget. Kalau Kak Vano lihat juga pasti lari!”

Alvano tersenyum kecil sambil menahan tawanya. “Aku sih nggak pernah sampai lari kencang begitu.”

Aqila menggerutu pelan, pipinya masih bersemu merah. “Huh… kakak aja nggak tahu rasanya.”

Suasana itu tak berlangsung lama karena lampu rumah tiba-tiba menyala, menampilkan sosok Dimas dan Ratna yang berjalan menghampiri mereka.

“Ada apa ini? Kenapa berisik tengah malam?” tanya Dimas, suaranya berat dan serius.

Ratna ikut menatap kedua anak muda itu dengan dahi berkerut. “Vano? Aqila? Kalian kenapa?”

Alvano, yang masih sedikit canggung, menjelaskan dengan singkat. “Ini Aqila, Ma, Pa. Tadi dia lihat kecoa di dapur terus kaget… dia lari sampai nabrak aku.”

Dimas mengangguk paham, lalu memandang Aqila. “Kamu baik-baik saja, nak? kalau ada apa apa kamu langsung panggil kami”

Aqila tersenyum malu. " aku baik baik saja, maaf Om, Tante…sudah bikin ribut. Aku kaget banget tadi.”

Ratna tersenyum kecil. “Ya ampun, cuma gara-gara kecoa. Kamu nggak apa-apa, kan, Van?”

Alvano mengangguk. “Aku baik-baik aja, Ma.”

Dimas kemudian menghela nafas, menatap keduanya dengan pandangan lembut. “Sudah, sekarang kalian istirahat. Ini sudah malam, besok lanjut lagi aktivitasnya.”

Mereka pun kembali ke kamar masing-masing.

Di kamar, Aqila duduk termenung di tepi ranjang. Pikirannya masih berputar tentang kejadian tadi. “Kenapa jantungku berdebar seperti ini? Kak Vano…, lagi lagi aku menabraknya” bisiknya sambil menggigit bibir bawahnya. ia merasa malu. namun saat melihat tatapan Vano tadi ia jadi senyum senyum sendiri dan salah tingkah.

"dia tampan..., ah.. Qila... kenapa kamu memikirkannya? "

Sementara di kamarnya, Alvano merebahkan diri di kasur, senyum kecil bermain di bibirnya. Bayangan Aqila yang berteriak panik dan wajahnya yang malu-malu tadi membuatnya menghela nafas panjang.

“Aqila…kamu lucu” gumamnya, tanpa sadar memikirkan gadis itu.

Setelah suasana rumah kembali hening, Dimas dan Ratna masuk ke kamar mereka. Ratna berjalan ke arah tempat tidur, sementara Dimas duduk di tepi kasur dengan wajah serius. Suasana tenang malam itu menyiratkan ada sesuatu yang tengah dipikirkan Dimas.

Ratna yang baru saja selesai mengatur selimut menatap suaminya heran. “Kenapa, Mas? Kok kelihatan serius gitu?” tanyanya lembut, duduk di sebelah Dimas.

Dimas menatap istrinya sejenak sebelum akhirnya membuka suara. “Ma, melihat kejadian tadi… aku jadi ingin berbicara serius dengan kamu.”

Ratna mengerutkan kening. “Bicara apa, Pa? Ada apa?”

Dimas menghela napas panjang, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Semenjak kehadiran Aqila di rumah ini, aku mulai memperhatikan sesuatu.”

“Sesuatu apa?” Ratna penasaran.

Dimas melanjutkan, suaranya lebih dalam. “Sikap Alvano, Ma. Anak itu biasanya pendiam, serius, dan jarang sekali terlihat benar-benar bahagia. Tapi sejak Aqila ada di sini, aku melihat perubahan kecil yang signifikan.”

Ratna memandang suaminya lebih dalam, mulai memahami arah pembicaraan ini. “Perubahan apa maksudnya?”

Dimas tersenyum tipis, pandangannya menerawang. “Saat kita makan malam tadi, saat kita ngobrol dengan Aqila, kamu lihat kan? Alvano itu senyum. Bahkan bukan cuma senyum biasa, dia terlihat lebih hidup.”

Ratna terdiam sejenak, kemudian tersenyum kecil. “Iya, sih. Tumben juga dia makan sayur dengan lahap tadi. Bahkan minta nambah sayur… itu hal yang hampir nggak pernah terjadi.”

Dimas mengangguk, seakan menguatkan perkataan istrinya. “Itulah yang membuat aku berpikir. Aku jadi ingin memenuhi janji lamaku pada sahabatku.”

Ratna menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. “Janji? Janji apa, Pa?”

Dimas menoleh ke arah istrinya, senyumnya lembut. “Janji untuk menjodohkan anak kita dengan putri sahabatku.”

Ratna membelalak kecil, terkejut. “Maksud Papa… Aqila?”

Dimas mengangguk mantap. “Iya, Ma. Dulu aku dan hendra pernah sepakat kalau anak kita dan dia berbeda jenis kelamin, kami akan menjodohkan mereka. Waktu itu Aqila masih dalam kandungan, dan kita pindah ke luar negri untuk memulai bisnis,Aku jadi kehilangan kontak dengannya. Tapi sekarang, setelah melihat Aqila di sini… aku yakin. Aqila gadis baik, sopan, dan punya hati yang lembut. Dan lihat saja Alvano, meskipun dia belum menyadari perasaannya, kehadiran Aqila membawa perubahan yang baik untuknya.”

Ratna tersenyum penuh arti, tangannya menggenggam tangan suaminya. “Aku juga berpikiran sama, Mas. Baru tadi siang, lho, aku sempat kepikiran ingin menjodohkan mereka. Mereka kelihatan cocok sekali. Aqila anaknya lembut, jago masak, dan yang terpenting dia punya hati yang tulus. Mama juga suka sama dia.”

Dimas tersenyum lebar, merasa senang mendengar pendapat istrinya. “Kamu sepemikiran sama aku, Ma?”

Ratna terkekeh pelan. “Iya, kita memang sepemikiran. Lucu, ya? Bahkan tadi siang saja aku bercanda tentang ini, tapi ternyata sekarang Papa malah beneran berpikiran untuk menjodohkan mereka.”

Dimas tertawa kecil. “Kadang takdir memang lucu, Ma. Tapi aku pikir ini yang terbaik untuk mereka. Aqila butuh seseorang yang bisa menjaganya, dan aku rasa Alvano bisa jadi pria itu. Lagi pula, Aqila sekarang sendirian. Kasihan dia, Ma.”

Ratna mengangguk penuh persetujuan. “Benar, Pa. Aqila sudah tidak punya siapa-siapa. Kalau Alvano bisa menjaganya, Mama rasa itu akan jadi sesuatu yang baik.”

"Jadi, Ma, kita sepakat menjodohkan mereka?"

Ratna tersenyum kecil "Iya, Pa. Lagian Mama juga udah pengen cepet-cepet punya cucu. biar Rumah ini nggak sepi terus."

Dimas tertawa kecil "Iya bener. Kalau gitu besok Papa ajak Alvano bicara dulu."

Ratna tertawa sambil menggeleng: "Aduh, kalau Alvano denger ini, dia pasti langsung canggung."

Dimas: "Biarin aja. Nggak ada salahnya kita rencanakan masa depan anak kita."

Ratna tertawa kecil sambil menepuk lengan suaminya, keduanya tersenyum puas membayangkan rencana mereka.

**********

jangan lupa dukungannya readersss Vote, like and komennya😉

Episodes
1 Bab 1 Kehidupan Yang Memilukan
2 Bab 2 Pengkhianatan
3 Bab 3 Diusir dari Rumah
4 Bab 4 Takdir Di Tengah Hujan
5 Bab 5 Perhatian Alvano
6 Bab 6 Kehidupan Baru
7 Bab 7 Calon mantu?
8 Bab 8 kesepakatan mama dan papa
9 Bab 9 Hujan yang membasuh luka
10 Bab 10 Perjodohan
11 Bab 11 Persetujuan Alvano
12 Bab 12 Fitting Baju Pernikahan
13 Bab 13 Pernikahan
14 Bab 14 Pindahan
15 Bab 15 Rumah Baru
16 Bab 16 Cemburu?
17 Bab 17 Sakit Perut
18 Bab 18 Khawatir
19 Bab 19 Perhatian
20 Bab 20 Mewujudkan mimpi Aqila
21 Bab 21 Membeli Perlengkapan Kuliah
22 Bab 22 Hari Pertama Kuliah
23 Bab 23 Hati Aqila yang terluka
24 Bab 24 Alvano yang selalu ada
25 Bab 25 Tuduhan Areta
26 Bab 26 Mengungkit Masa Lalu Aqila
27 Bab 27 Kehadiran Bianka
28 Bab 28 Jebakan Bianka
29 Bab 29 Alvano yang tak ada kabar
30 Bab 30 Hasrat yang Tak Terkendali
31 Bab 31 Penjelasan
32 Bab 32 Rahasia yang terbongkar
33 Bab 33 Cemburu
34 Bab 34 Ngambek
35 Bab 35 Mual
36 Bab 36 Peristiwa yang Menggemparkan Kampus
37 Bab 37 Sepupu Amel
38 Bab 38 Rencana Balas Dendam
39 Bab 39 Ketakutan Itu Masih Ada
40 Bab 40 Kesehatan Aqila Membaik
41 Bab 41 Posesifnya Alvano
42 Bab 42 Masa Lalu Rania
43 Bab 43 Ngidam
44 Bab 44 Kecemburuan Alvano
45 Bab 45 Aqila Hilang
46 Bab 46 Kemarahan Alvano
47 Bab 47 Hancur
48 Bab 48 Jebakan Daniel
49 Bab 49 Aqila Dalam Bahaya
50 Bab 50 Kesedihan
51 Bab 51 Keajaiban
52 Bab 52 Membaik
53 Bab 53 Membeli Perlengkapan Bayi
54 Bab 54 Lahiran
55 Bab 55 Buah Hati Tampan Keluarga Mahendra"
56 Bab 56 Alvano Si Suami Manja dan Cemburuan
57 Bab 57 Sosok Laura
58 Bab 58 Zayyan yang Rewel
59 Bab 59 Sakit
60 Bab 60 Mengantar Bekal Alvano
61 Bab 61 Salah Paham
62 Bab 62 Sedikit Rahasia Mengenai Laura Terbongkar
63 Bab 63 Gerak Gerik Laura yang Mencurigakan
64 Bab 64 Cemas
65 Bab 65 Aqila Sakit
66 Bab 66 Kepercayaan Yang Retak
67 Bab 67 Rencana Arga
68 Bab 68 Antara Cinta dan Kecewa
69 Bab 69 Sama-Sama Tersakiti
70 Bab 70 Pergi Dari Rumah
71 Bab 71 Identitas Asli Laura terbongkar
72 Bab 72 Hancur Dan tertatih dalam Kesakitan
73 Bab 73 Kerapuhan Seorang Alvano
74 Bab 74 Penculikan Aqila
75 Bab 75 Pembalasan Dendam Areta
76 Bab 76 Diantara Hidup dan Mati
77 Bab 77 Kritis
78 Bab 78 Secercah Harapan
79 Bab 79 Alvano Sadar
80 Bab 80 Kebahagiaan Telah Kembali
Episodes

Updated 80 Episodes

1
Bab 1 Kehidupan Yang Memilukan
2
Bab 2 Pengkhianatan
3
Bab 3 Diusir dari Rumah
4
Bab 4 Takdir Di Tengah Hujan
5
Bab 5 Perhatian Alvano
6
Bab 6 Kehidupan Baru
7
Bab 7 Calon mantu?
8
Bab 8 kesepakatan mama dan papa
9
Bab 9 Hujan yang membasuh luka
10
Bab 10 Perjodohan
11
Bab 11 Persetujuan Alvano
12
Bab 12 Fitting Baju Pernikahan
13
Bab 13 Pernikahan
14
Bab 14 Pindahan
15
Bab 15 Rumah Baru
16
Bab 16 Cemburu?
17
Bab 17 Sakit Perut
18
Bab 18 Khawatir
19
Bab 19 Perhatian
20
Bab 20 Mewujudkan mimpi Aqila
21
Bab 21 Membeli Perlengkapan Kuliah
22
Bab 22 Hari Pertama Kuliah
23
Bab 23 Hati Aqila yang terluka
24
Bab 24 Alvano yang selalu ada
25
Bab 25 Tuduhan Areta
26
Bab 26 Mengungkit Masa Lalu Aqila
27
Bab 27 Kehadiran Bianka
28
Bab 28 Jebakan Bianka
29
Bab 29 Alvano yang tak ada kabar
30
Bab 30 Hasrat yang Tak Terkendali
31
Bab 31 Penjelasan
32
Bab 32 Rahasia yang terbongkar
33
Bab 33 Cemburu
34
Bab 34 Ngambek
35
Bab 35 Mual
36
Bab 36 Peristiwa yang Menggemparkan Kampus
37
Bab 37 Sepupu Amel
38
Bab 38 Rencana Balas Dendam
39
Bab 39 Ketakutan Itu Masih Ada
40
Bab 40 Kesehatan Aqila Membaik
41
Bab 41 Posesifnya Alvano
42
Bab 42 Masa Lalu Rania
43
Bab 43 Ngidam
44
Bab 44 Kecemburuan Alvano
45
Bab 45 Aqila Hilang
46
Bab 46 Kemarahan Alvano
47
Bab 47 Hancur
48
Bab 48 Jebakan Daniel
49
Bab 49 Aqila Dalam Bahaya
50
Bab 50 Kesedihan
51
Bab 51 Keajaiban
52
Bab 52 Membaik
53
Bab 53 Membeli Perlengkapan Bayi
54
Bab 54 Lahiran
55
Bab 55 Buah Hati Tampan Keluarga Mahendra"
56
Bab 56 Alvano Si Suami Manja dan Cemburuan
57
Bab 57 Sosok Laura
58
Bab 58 Zayyan yang Rewel
59
Bab 59 Sakit
60
Bab 60 Mengantar Bekal Alvano
61
Bab 61 Salah Paham
62
Bab 62 Sedikit Rahasia Mengenai Laura Terbongkar
63
Bab 63 Gerak Gerik Laura yang Mencurigakan
64
Bab 64 Cemas
65
Bab 65 Aqila Sakit
66
Bab 66 Kepercayaan Yang Retak
67
Bab 67 Rencana Arga
68
Bab 68 Antara Cinta dan Kecewa
69
Bab 69 Sama-Sama Tersakiti
70
Bab 70 Pergi Dari Rumah
71
Bab 71 Identitas Asli Laura terbongkar
72
Bab 72 Hancur Dan tertatih dalam Kesakitan
73
Bab 73 Kerapuhan Seorang Alvano
74
Bab 74 Penculikan Aqila
75
Bab 75 Pembalasan Dendam Areta
76
Bab 76 Diantara Hidup dan Mati
77
Bab 77 Kritis
78
Bab 78 Secercah Harapan
79
Bab 79 Alvano Sadar
80
Bab 80 Kebahagiaan Telah Kembali

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!