Suasana di sekitar mereka terasa sunyi, hanya suara angin yang berhembus pelan. Melisa menatap pria itu, lalu ia tersenyum ramah kepada Raymond. "Tau apa?" tanyanya yang tampak bingung.
"Tidak, aku hanya salah bicara," jawab Raymond dengan senyum seperti biasanya. Melisa merasa ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia tidak bisa menjelaskannya.
"Baiklah, jika begitu kami pulang ya. Aku takut kami akan kesorean seperti kemarin," ujar Melisa, terlihat begitu santai sama halnya dengan kemarin.
"Hmm, hati-hati di jalan," jawab Raymond dengan senyum yang masih terasa menyimpan sesuatu.
"Hmm." Setelah itu, Melisa benar-benar berjalan menjauh dari tempat tersebut hingga kini mereka telah berada di jalanan yang kembali ramai. Suasana di sekitar mereka terasa lebih hidup, dengan suara-suara pedagang dan pembeli yang berbaur.
"Huh, selamat," gumam Melisa, Kevin menatapnya dengan mata yang penuh pertanyaan.
"Selamat dari apa, bu?" tanya Kevin yang bingung. "Bukankah ibu mengatakan jika mereka akan mampir ke tempat tabib Li dan bermain dengan paman Ray, tapi kenapa begitu di sana ibu justru langsung pergi?" tanya Kevin. Ia benar-benar bingung belum lagi saat merasa genggaman tangan Melisa yang terasa sedikit bergetar saat berada di depan Raymond.
"Tidak ada, sayang. Sekarang lebih baik kita mencari kereta dan pulang," ujar Melisa, ia tidak mungkin mengatakan kecemasannya pada Kevin.
"Ya, bu." Kevin menuruti sang ibu walaupun ia tau bahwa ada sesuatu yang ditutupi oleh Melisa, dan mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka.
Pada saat mereka sedang menunggu kereta, Melisa memikirkan kembali apa yang terjadi di tempat tabib Li tadi. Dan sebenarnya siapa Raymond itu. 'Apa dia pembunuh bayaran?' pikirnya. Suasana di sekitar mereka terasa sunyi, hanya suara angin yang berhembus pelan.
"Apa aku laporkan saja ke penjaga, siapa tahu ada sesuatu yang terjadi dengan tabib Li, lagipula tempat itu begitu aneh. Hanya sekedar memeriksa tidak masalah bukan?" gumam Melisa, sambil menatap Kevin yang bermain di sampingnya.
"Ibu, keretanya sudah datang," ujar Kevin dengan bahagia.
"Tidak, sayang, ibu masih ada sesuatu yang harus diurus, jadi kita akan kembali ke sana ya," ujar Melisa, sedangkan Kevin hanya menganggukkan kepala mengikuti Melisa.
Sebenarnya ia kasihan melihat Kevin yang pastinya sangat bingung dengan apa yang terjadi hari ini. Tapi mau bagaimana lagi, hati nurani Melisa tidak bisa membiarkan hal buruk terjadi pada tabib Li yang merupakan kenalannya. Kevin hanya menuruti sang ibu, lalu mereka kini telah tiba di sebuah bangunan dua lantai.
'Menurut ingatan ini, bahwa kesatria sama saja seperti polisi di tempatku dulu, dan sekarang aku telah tiba di sini,' pikir Melisa, sambil menatap bangunan di depannya.
"Permisi..." Walaupun sedikit gugup, tapi Melisa memberanikan diri untuk menyapa seorang kesatria yang terlihat sedang berjaga di depan.
"Ya, nona, apa ada yang bisa dibantu?" tanya pria itu dengan ramah. Suasana di sekitar mereka terasa lebih hidup.
'Syukurlah dia ramah,' batin Melisa. Ia pikir bisa saja ia dipenggal karena menyapa.
"Saya ingin melaporkan sesuatu."
"Anda bisa langsung ke dalam menemui pimpinan, nona... eh, maksud saya nyonya." Pria itu mengganti panggilannya saat melihat sosok anak kecil yang bersembunyi di balik tubuh ibunya itu.
"Baiklah, tapi bisakah saya meminta tolong sebentar?" Melisa menatap Kevin sejenak lalu tersenyum.
"Silakan, nyonya."
"Tolong jaga anak saya, tuan kesatria, hanya sampai urusan saya di dalam selesai. Dia masih terlalu kecil untuk mendengarkan sesuatu yang kurang baik," jelas Melisa pada kesatria itu.
"Tentu saja, nyonya, anda bisa mempercayakannya pada saya," pria itu tersenyum ramah dan terlihat cukup bisa dipercaya.
"Terima kasih banyak."
Pria itu mengangguk dengan tersenyum. Sedangkan Melisa menatap Kevin lalu mengelus rambut anaknya itu.
Wanita itu menatap Kevin dengan lembut. "Ibu akan ke dalam sebentar, Kevin. Dengan paman ini dulu ya... Ibu janji sebelum pulang kita akan beli manisan untuk Kevin," ujarnya dengan senyum hangat.
Kevin mengangguk patuh, walau matanya masih terlihat bingung. "Baik, bu. Kevin akan dengan paman ini."
Melisa mengangkat sudut bibirnya atas pengertian Kevin lalu berpaling kepada kesatria. "Tolong jaga anak saya, tuan kesatria," ujarnya lagi.
Kesatria itu mengangguk dengan tersenyum, matanya yang tajam memandang Kevin dengan lembut. "Tentu saja, nyonya, saya akan menjaganya dengan baik"
Melisa mengucapkan terima kasih kembali, lalu berpaling ke arah ruangan yang terletak di belakang kesatria. Ia mengambil napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi di dalam ruangan itu.
Dengan langkah yang tegap, Melisa memasuki ruangan itu, meninggalkan Kevin di bawah pengawasan kesatria. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi ia siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Kret," pintu terbuka menampilkan dua orang pria yang sedang berbincang di dalam. Kedua pria itu menghentikan pembicaraan saat seorang wanita masuk ke dalam ruangan itu.
Melisa melihat pria dengan baju kesatria yang lebih bagus dari yang lainnya, sehingga ia yakin betul jika pria itu adalah pimpinan kesatria di sini. Tapi tak lama, matanya bersitatap dengan pria yang duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Entah mengapa, ia merasakan tatapan tajam dari pria yang cukup aneh dengan kaca mata tebalnya. Padahal Melisa benar-benar tidak kenal dengan rambut klimis dan juga kaca mata itu.
'Wajahnya memang sedikit familiar, tapi siapa ya? Ah, masa bodoh lah, toh yang pastinya tidak ada pria berkacamata yang dikenal tubuh ini,' pikir Melisa.
Sedangkan pria itu mengepalkan tangannya dengan sangat kuat. Seperti memiliki dendam tersendiri pada wanita itu.
"Maaf, saya mengganggu kalian, tapi saya ingin melaporkan sesuatu," ujar Melisa dengan mencoba sesopan mungkin.
"Silakan, katakan, nona," ujar pimpinan kesatria itu terdengar cukup ramah.
"Saya mencurigai ada sesuatu yang terjadi di tempat kenalan saya yang merupakan seorang tabib," jelas Melisa.
"Sesuatu seperti apa?" tanya pimpinan kesatria.
"Mungkin seperti kekerasan atau pembunuhan," jawab Melisa.
"Ternyata begitu. Saya akan mengirimkan beberapa kesatria un..." tampaknya pria itu akan segera memproses laporan Melisa. Hingga suara pria lain memotong ucapannya.
"Bagaimana anda tahu jika ada kekerasan atau pembunuhan di sana?" Kali ini bukan pimpinan kesatria itu yang berkata, melainkan pria aneh yang duduk di sofa itu.
"Kecurigaan saya bermula pada saat saya melihat sebuah toples obat yang berwarna hijau tidak berada di tempatnya. Tabib Li adalah orang yang sangat teratur, jadi toples-toples obatnya selalu teratur dan rapi, serta terdapat retakan di toples itu. Jadi, ada kemungkinan jika toples itu sempat terjatuh. Berarti ada sesuatu yang besar yang terjadi, karena sulit bagi toples itu jatuh dengan sendirinya jika tidak terkena sesuatu yang begitu kuat," jelas Melisa dengan begitu yakin. Tidak ada keraguan sedikitpun dari nada bicaranya.
"Hanya itu?" tanya pria itu lagi. Dari nadanya tampak pria itu meragukan apa yang disampaikan oleh Melisa.
"Tidak, saya melihat lantai di bagian dekat pintu yang masih terasa lembab, sedangkan di tempat lain sangat kering. Kenapa seseorang hanya mengepel di bagian tertentu saja? Kenapa dia tidak mengepel keseluruhan rumahnya? Jadi, ada kemungkinan ada sesuatu yang menyebabkan lantai itu kotor, bukan? Bisa saja itu darah." Melisa tidak menyerah untuk menjelaskan. Ia bahkan dengan berani menatap pria itu.
"Bagaimana anda bisa yakin jika itu darah? Bisa saja ia menumpahkan makanan atau sesuatu yang lain di sana," lagi-lagi nada meremehkan terdengar dari pria tersebut.
Pimpinan kesatria hanya bisa melihat bagaimana pria itu mewawancarai wanita itu. Tapi ia sangat kagum dengan penjelasan dan juga ketelitian dari gadis itu.
"Karena pria yang saya curigai, yakni Raymond, mengenakan kemeja lengan panjang, tapi saya bisa melihat percikan darah di lengan bajunya. Dan juga kerah bajunya serta di bagian dadanya." Jawab Melisa. Sebenarnya ia sudah muak berbicara dengan pria ini tapi mau bagaimana lagi ini semua demi tabib Li.
"Bagaimana jika itu darah hewan? Ikan atau mungkin hewan lainnya," sorot mata pria itu bertambah tajam saat menatap Melisa.
"Oh, ayolah, ini di daerah pasar, bukan daerah hutan. Saya sudah berkeliling pasar dan tidak menemukan makhluk hidup yang bisa dia potong dengan darah sebanyak itu. Jika dia memotong ikan, maka dia akan bau amis ikan dan juga lebih memungkinkan untuk sisik ikan yang menempel daripada darah." Walaupun terus di hujani pertanyaan oleh pria ini namun nampaknya Melisa juga memiliki beribu jawaban di kepalanya.
"Bagaimana jika hewan lain? Bisa saja ular yang masuk ke rumah," pria itu tersenyum sinis saat merasa jika Melisa tidak akan bisa menjawab pertanyaannya ini.
Melisa menghela nafas dengan begitu malas. Lalu menatap pria itu. "Yayaya, anggap saja jika itu ular dan dia membunuhnya di depan pintu, lalu karena panik, dia menjatuhkan toples," pria itu merengut memikirkan perkataan Melisa.
"Tapi apa anda berpikir bagaimana dia membunuh ular tersebut? Apa dengan berjongkok atau mungkin menyamaratakan tubuhnya dengan ular itu sehingga darah menyiprat kedada dan juga kerah bajunya? Yang ada ular itu akan membunuhnya langsung. Seseorang jika ingin membunuh hewan seperti itu atau hewan berbahaya lainnya pasti mengambil jarak sejauh mungkin agar aman, jadi susah bagi darah untuk mengenai mereka." Lanjutnya dengan sangat yakin bahwa pria ini tidak akan bisa menanyakan sesuatu padanya lagi.
"Masuk akal," ujar pimpinan kesatria itu dengan begitu bersemangat. Ia tampaknya begitu menikmati penjelasan Melisa.
"Tapi alasanmu masih belum kuat," pria berkacamata itu tampaknya masih belum merasa puas.
"Anda benar-benar keras kepala, ya. Jika begitu, maka kemana tabib Li sekarang? Anda tahu ketika saya bertanya pada Raymond, ia mengatakan jika tabib Li pergi ke ibu kota," nada Melisa mulai terdengar sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.
"Bisa saja dia memang ke ibu kota," elak pria itu.
"Mana ada seseorang yang pergi ke ibu kota meninggalkan mantelnya dan juga sepatunya. Tidak mungkin dia tidak memakai alas kaki. Itu konyol!" ujar Melisa yang memang melihat mantel dan juga sepatu tabib Li yang ada di dekat pintu. Kali ini ia sedikit berteriak karena begitu kesal dengan tingkah dari pria itu. Bahkan ucapannya ini berhasil membuat ruangan itu menjadi hening.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Kardi Kardi
hmmm. bapaknya si bocah ada nichhhh...
2025-03-06
2
Nyonya Gunawan
Apa bnar tabib li di bunuh pdhal kan dia yg mengobati raymon..
Msh penasaran siapa ray ini,,apakah jahat atau baik..
2025-01-14
2
Yurniati
bagus analisa nya dan kecurigaan Melisa,semoga cepat ketahuan Raymon itu monster apa,,,,,,,🤔🤔💪💪👍👍
2024-12-21
1