Saat ini, Melisa telah tiba bersama dengan Kevin di rumah mereka yang sederhana namun nyaman. Dengan cepat, Melisa menutup seluruh jendela dan pintu, lalu menutupnya dengan begitu rapat, sehingga tidak ada celah untuk angin atau cahaya masuk. Ia memastikan bahwa semua kunci telah terpasang dengan baik, dan memeriksa kembali untuk memastikan bahwa rumah mereka aman dan terkunci dengan baik.
"Ibu, kenapa terburu-buru?" apa yang di lakukan oleh Melisa benar-benar aneh hingga membuat Kevin cukup bingung.
"Tidak, sayang, ibu hanya berjaga-jaga saja," Melisa mencoba menenangkan Kevin dan meyakinkan anak itu bahwa tidak ada sesuatu yang harus di khawatirkan.
"Apa ibu masih kepikiran tentang paman dan bibi jahat tadi pagi?" tebaknya dengan pasti.
"Iya, sayang," jawab Melisa dengan menganggukkan kepalanya.
Sejujurnya, Melisa merasa bahwa sesuatu yang lebih berbahaya akan terjadi. Tapi apa itu, dia sendiri tidak mengerti. Lagi pula, bagaimana bisa dia bertransmigrasi tapi tidak bisa apa-apa. Bahkan menggunakan kekuatan api yang merupakan peninggalan tubuh ini saja tidak bisa. Bukankah ini benar-benar tidak adil untuk dirinya.
"Kevin, mandi dulu ya, ibu akan menyiapkan makanan," pinta Melisa.
"Baik, bu," seperti biasa Kevin begitu patuh dan pergi menjalankan apa yang sang ibu inginkan.
Akhirnya, malam itu berlalu begitu saja, dengan keheningan yang menyelimuti rumah mereka. Sepertinya hanya perasaannya saja yang membuatnya merasa bahwa akan ada hal buruk yang terjadi. Tapi untungnya, semua baik-baik saja, sama seperti malam-malam sebelumnya. Bulan purnama yang tergantung di langit, memancarkan cahaya yang lembut dan tenang, membuat suasana malam itu terasa begitu damai dan nyaman. Melisa dan Kevin pun akhirnya dapat beristirahat dengan tenang, setelah hari yang panjang dan melelahkan.
*
*
*
Sedangkan di tempat lain, saat ini dua pria itu tengah dalam suasana yang sangat hening. Ruangan yang mereka tempati terasa begitu sunyi dan kosong, dengan hanya suara detak jam yang terdengar dari kejauhan. Ferdinand sepertinya benar-benar akan menjadi gila dalam jangka waktu dekat. Ia duduk di atas kursi yang terletak di tengah ruangan, dengan mata yang terus-menerus memandang ke arah kertas yang berada di tangannya.
"Jadi, bagaimana dengan perkembangannya?" tanya Andrea, yang membuat Ferdinand menggelengkan kepalanya pelan. Andrea berdiri di depan jendela yang terbuka, dengan cahaya bulan yang masuk dan menerangi wajahnya yang tampan.
"Aku sudah memerintahkan prajurit dan juga detektif untuk menyelidiki bagaimana kasus pedagang roti itu, tapi sampai sekarang kita juga belum menemukan titik yang jelas tentang siapa pelakunya," ujar Ferdinand, dengan suara yang terdengar begitu pelan dan putus asa. "Bahkan, yang anehnya lagi, jika memang itu dilakukan dengan monster, bukankah akan sangat mudah untuk menemukan monster tersebut?"
Andrea menghela napas dalam-dalam, sebelum berbicara. "Aku akan pergi ke sana untuk menyelidiki hal ini."
Ferdinand dengan mata berbinar menatap pria itu. "Ha...,anda memang yang paling bisa untuk menangani hal seperti ini, Yang Mulia."
"Diamlah!" ujar Andrea, yang langsung pergi dari tempat itu tanpa mengucapkan satu katapun. Ia meninggalkan Ferdinand yang masih duduk di atas kursi, dengan mata yang menatap kepergian pria itu.
"Huh, semoga kali ini kami menemukan titik terang," gumam Ferdinand, dengan suara yang terdengar begitu pelan dan penuh harapan. Ia berdiri dari kursi dan berjalan menuju jendela, dengan mata yang memandang ke luar, mencari jawaban atas pertanyaan yang terus-menerus menghantui pikirannya.
*
*
*
Tiga hari kemudian, yakni setelah mereka pergi ke pasar, Melisa memutuskan untuk kembali ke sana karena pada saat ke pasar terakhir kali ia belum mendapatkan daging karena mereka yang datang terlalu sore sehingga daging telah terjual habis. Salahnya memang yang sedikit melupakan waktu pada saat itu.
Hingga beberapa saat mereka telah tiba di pasar tanpa drama seperti kemarin. Hal ini benar-benar layak untuk disyukuri oleh Melisa yang benar-benar malas berurusan dengan orang-orang jahat.
"Ayo, Kevin sayang, kita beli daging dulu," ujar wanita itu yang tidak ingin kehabisan lagi. Tidak mungkin ia kembali dengan tangan kosong lagi kali ini. Melisa memandang sekeliling, mencari penjual daging yang paling murah dan berkualitas.
"Hmm, tuan, aku mau beli daging yang ini dan juga yang ini. Jumlahnya 2 potong per jenis daging," ujar Melisa, dengan senyum ramahnya.
Disini mereka tidak menggunakan timbangan, hanya menggunakan insting dari penjual dagingnya. Penjual daging itu memandang Melisa sekilas, sebelum menjawab.
"Baik, nona," ujar pedagang itu, lalu mulai memotong daging tersebut dengan pisau yang tajam dan berkilau.
"Paman, aku juga mau beli daging ini satu potong saja," ujar seorang pria yang berdiri tepat di samping Melisa. Baju lengan pria itu sedikit tersingkap, membuat Melisa menatap tajam pada pria itu.
"Ini, nona, semuanya 5 perak," ujar pria itu. Melisa segera memberikan uang 5 perak padanya dan meninggalkan tempat itu. Ia cukup merasa lega karena telah berhasil membeli daging yang dibutuhkannya.
'Kenapa banyak sekali orang-orang yang kutemui dengan memiliki tanda itu. Tapi memangnya kenapa Raymond meminta untuk menjauhi mereka. Sebenarnya apa yang ia sembunyikan?' pikir gadis itu, dengan mata yang memandang ke depan, mencari jawaban atas pertanyaan yang terus-menerus menghantui pikirannya.
"Ibu, apa kita akan mampir di tempat tabib Li?" tanya Kevin, membuat Melisa mengangguk. Rasanya disayangkan jika tidak mampir ke tempat pria itu. Ditambah saat ini ia memiliki sesuatu yang harus ditanyakan pada Raymond mengenai tanda bintang itu.
"Kita akan kesana untuk menyapa, sayang," ujar Melisa, dengan senyum manisnya.
"Berarti Kevin bisa bermain bersama paman Ray lagi, kan, Bu?" tanya Kevin, dengan mata yang berbinar-binar.
"Tentu saja, sayang," jawab Melisa dengan pasti.
Hingga berjalan beberapa menit, mereka telah tiba di depan toko tabib Li. Melisa berhenti sejenak saat ingin membuka pintu tersebut. Ia lalu melihat sekitar dengan tatapan yang menyelidik. Suasana sekitar yang sunyi dan sepi membuat Melisa merasa sedikit tidak nyaman.
"Kenapa, bu?" tanya Kevin, saat melihat wanita itu hanya terdiam tanpa membuka pintu.
"Hmm, tidak ada, sayang," ujar Melisa, dengan senyum yang tipis. Sebenarnya, gadis itu merasa sangat aneh saat melihat bagaimana tempat itu begitu sepi. Memang ada orang-orang yang lewat, tapi tidak seberisik biasanya.
'Huh... mendadak genre tempat ini berubah menjadi horor, padahal masih siang,' pikirnya, dengan mata yang memperhatikan sekeliling.
"Krek." Pintu terbuka perlahan, dan Melisa melihat tempat itu yang sangat sepi. Obat-obatan milik tabib Li juga masih tersusun rapi di tempatnya, namun ada sesuatu yang terasa tidak beres. Udara di dalam ruangan terasa dingin dan lembab, membuat bulu kuduk Melisa berdiri. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas kuburan yang sunyi.
"Itu..." gumam gadis itu, dengan suara yang terdengar begitu pelan dan tidak pasti.
"Kalian mampir ke sini?pasti lelah karena harus pulang pergi dari desa ke tempat ini," ujar Raymond, yang menyambut mereka dari dalam dengan senyuman biasa tapi berhasil membuat Melisa sedikit terkejut.
"Aku kemarin tidak kebagian daging, jadi kami datang ke pasar lagi," jelas Melisa dengan mengangkat beberapa ikat daging yang berada di tangannya.
"Ternyata begitu."
"Dimana tabib Li? Aku ada sesuatu yang ingin ditanyakan padanya," ujar Melisa.
"Dia sedang pergi ke ibu kota," jawab Raymond dengan senyumannya yang terasa semakin tidak wajar seakan-akan menyembunyikan sesuatu.
"Ternyata begitu," Melisa hanya menganggukkan kepalanya pelan.
"Kamu bisa mengatakan padaku, nanti aku akan menyampaikan padanya," tawar Raymond.
"Hmm, itu sedikit pribadi," jawab wanita itu.
Raymond menatapnya dengan tatapan yang aneh, membuat Melisa merasa seperti sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak terlihat.
"Ini mengenai kesehatan wanita saja, jadi aku sedikit malu jika mengatakan padamu," bohongnya mencoba untuk terlihat biasa saja.
"Ternyata begitu, aku mengerti."
Wajah Raymond yang datar berubah menjadi ramah kembali, namun ada sesuatu yang terasa tidak beres.
"Jika begitu, aku dan Kevin akan pulang ya," ujar Melisa dengan senyuman ramahnya. Ia dengan segera membuka pintu, lalu sedetik kemudian langkah kakinya terhenti.
"Melisa," panggil Raymond, dengan suara yang terdengar begitu misterius.
"Ya," jawab Melisa dengan menoleh ke belakang, dengan hati yang berdebar-debar.
"Kau sudah tahu?" tanyanya dengan mata tajamnya, membuat wanita itu membeku di tempatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Kardi Kardi
hmmmm. si remonnnn iniiii....
2025-03-06
2
Cikaadja
jngan² tabib Li jadi korban juga nih🥺
2025-01-21
3
igarashi niona
genre ny jadi detektif ya 😂
2025-02-14
0