Sudah satu jam, perempuan asing itu ceritanya masih bertele-tele.
"Pusing juga dengarnya." batin Dewi masih kesal.
"Maaf ya..Mbak. Saya lupa. Tadi, namanya siapa ya?" tanya Dewi. Padahal, sebelumnya perempuan itu sudah menyebutkan siapa namanya.
"Putri, Mbak," jawabnya. Sepertinya dia sudah mencoba tak lagi menangis. Sapu tangan warna pink itu diusapkan berkali-kali ke pipinya. Dia berusaha menyapu bersih bulir-bulir air matanya.
"Jadi, kalau boleh tahu, apa ya Mbak inti cerita yang ingin mbak Putri sampaikan?"
Pertanyaan itu adalah sudah kedua kalinya dilontarkan Dewi.
Bukan dijawab, tapi dia malah menangis lagi. Rasanya Dewi ingin mengusir perempuan itu dari hadapannya. Karena kehadirannya pagi itu, benar-benar menguji kesabaran.
Dia mengelus-elus perutnya.
"Mbak. Sebenarnya aku sedang mengandung anak Mas Aji. Aku mau bilang, boleh nggak kalau Mas Aji, tinggal di rumah aku, sampai bayi di kandungan aku ini lahir?" katanya.
Pernyataan Putri, membuat Dewi bagai disambar petir di siang bolong.
"Maksudnya apa ya Mbak, saya kurang paham dengan apa yang Mbak katakan tadi?" tanya Dewi berusaha setenang mungkin. Padahal, hati Dewi sudah tak karuan, dadanya bergemuruh, karena menahan emosi.
"Mbak, jabang bayi yang ada di kandungan aku ini.....calon anak Mas Aji," kata Putri memperjelas pernyataannya ke Dewi.
"Anak ini...anaknya Mas Aji," tanya Dewi, semenit kemudian, dengan nada heran dan bercampur emosi.
Dewi benar-benar syok, pagi itu, mendengar pernyataan Putri.
"Mimpi apa, aku tadi malam dapat petaka ini." bibir gemetar mengatakan itu.
"Boleh ya Mbak. Aku mohon." pintanya penuh harap.
"Kalau boleh tahu, kamu sudah jadi istri Mas Aji ya?" tanya Dewi, berusaha tenang saat melontarkan pertanyaan itu.
Mendapat pertanyaan itu, Putri menganggukkan kepalanya.
"Ya Allah, benar-benar hancur mahligai rumah tangga aku." ucapnya pelan. Tapi, Putri tak peduli apa perasaan Dewi. Dia hanya berusaha keras minta persetujuan Dewi, agar Aji tinggal di rumah Putri.
"Hanya Mbak Dewi penolongku. Aku gantungkan harapan aku sama Mbak Dewi," kata Putri lagi seolah tak ada beban.
Entah kenapa, Dewi tak ingin melanjutkan percakapannya dengan Putri. Dia pun meminta Putri meninggalkan rumah.
"Mbak, tolong beri aku waktu. Jadi, kumohon tinggalkan aku sekarang juga!" dengan gemetar Dewi mengatakan itu.
***
Seperti tak ada masalah. Pagi itu, Dewi menyiapkan sarapan untuk suaminya, Aji.
"Senin aku berangkat ke Jakarta. Ada pertemuan dengan pengusaha tambang se-Indonesia." kata Aji, di depan istrinya.
"Ikutan dong!" canda Dewi. Tapi dia memang berharap Aji akan mengajaknya ke acara pertemuan itu.
"Aku kerja. Bukan jalan-jalan!" jawab Aji ketus.
Dewi benar-benar merasakan perubahan sikap suaminya, seratus delapan puluh derajat. Asal ngomong sama dia, tak ada lembutnya lagi. Kasar dan bengis. Tak ada perasaan sayang lagi.
"Mas. Kamu kenapa. Aku salah apa?" tangis Dewi pecah.
"Aku lagi sibuk. Kamu nggak usah aneh-aneh pertanyaannya." bentak Aji.
"Semua karena Putri ya!" ucap Dewi to the point.
"Kamu berubah setelah hadirnya Putri," tuding Dewi tanpa pikir-pikir lagi. Karena, dia tak sanggup lagi menahan emosi di benaknya.
"Kamu jangan macam-macam sama dia!" ancam Aji dengan mata yang membulat.
Hancur berkeping-keping hati Dewi, saat mendapati kenyataan bahwa suaminya lebih berpihak pada perempuan lain.
Aji berlalu dari hadapan Dewi.
***
Malam semakin larut, dan Aji belum pulang dari kantor.
Ada rasa was-was menghantui. Pikiran Dewi langsung tertuju pada sosok perempuan bernama Putri.
"Mungkin dia malam ini ada di pelukan Putri," batin Dewi, sembari menghela nafas panjang.
Dia coba menghubungi ponsel Aji. Sepertinya sia-sia. Karena Aji menonaktifkan ponselnya.
"Mas. Kamu nggak pulang ya malam ini. Hari ini aku ulang tahun. Kamu janji kalau ulang tahun, mau ajak aku jalan keliling kota."
Pesan itu dia kirim ke ponsel Aji. Tapi, rupanya sia-sia. Ponsel Aji belum aktif. Apalagi, malam semakin larut dan hampir jelang dini hari.
Dewi menangis sejadi-jadinya. Terbayang di otaknya, Aji dalam pelukan perempuan itu.
"Ya Allah......Mas kenapa kamu berubah. Dulu, kamu mengejar ku, sekarang kamu meninggalkan aku, bagai sampah tak berguna."
Dilihatnya foto pernikahan dia dan Aji. Baginya, foto itu tak berarti lagi. Sudah ada hati yang lain, bersemayam di benak Aji.
"Andai waktu bisa aku putar kembali, aku nggak mau berada di situasi ini. Aku nggak mau kamu campakkan begitu saja, Mas!" kata Dewi bicara sendiri.
"Aku memang nggak sempurna Mas. Nggak bisa memberimu malaikat kecil seperti yang kamu inginkan. Tapi, kamu nggak berhak mencampakkan aku begitu saja!"
Dewi membanting foto pernikahannya itu, hingga kaca dalam bingkai itu pecah, berserakan di lantai kamar tidurnya.
Tak hanya itu, peralatan make up yang ada di meja riasnya, dia hempaskan ke lantai. Kamarnya jadi berantakan.
Dia menangis. Meratapi nasib buruknya itu. "Semua harus berakhir gara-gara perempuan sialan itu." maki Dewi dalam hatinya.
"Kamu akan merasakan penderitaan yang sama, mas. Lihat saja nanti aku akan balas semua perbuatan kamu. Aku janji!" pekik Dewi di depan kaca.
"Kamu akan menyesal memperlakukan aku bagai sampah seperti ini Mas. Semua ada balasannya." ucap Dewi dengan sumpah serapahnya.
***
Keesokan harinya, Dewi masih tak bersemangat. Bahkan dia enggan keluar rumah.
Tapi, sahabatnya, Sindi bikin kejutan buat Dewi.
"Dewi. Dimana kamu?" tanya Sindi lewat chat.
"Di rumah. Lagi malas aja mau keluar." balas Dewi.
"Ya udah. Bukain pintu dong. Boleh nggak aku main ke rumah kamu?"
"Hmm. Boleh banget. Apa yang nggak boleh kamu, si centil yang baik hati. Yang suka traktir-traktir janda kesepian. Hahahahah!" seloroh Dewi lewat chatnya.
"Ih apaan sih. Emang kamu janda? Hahahahah!" balas Sindi.
"Udah cepetan, buka pintu kamu dong!" desak Sindi.
"Iya iya. Tunggu. Lagi malas gerak nih!" sebut Dewi lagi.
"Ih cepetan buka pintu pokoknya, Nyonya Aji!" ulang Sindi merengek.
"Iya tunggu. Aku pakai BH sebentar," balas Dewi sembari membubuhkan emoticon orang tertawa ngakak.
"Ih porno memang ya, emak-emak satu ini!" kata Sindi.
"Enak aja emak-emak. Masih gadis nih? Gadis tapi tak perawan. Hahahahah!" seloroh Dewi lagi.
"Eh cepetan buka pintunya. Balas-balasan chat, kapan buka pintunya. Tergadai aku, dari tadi berdiri di depan pintu rumah kamu ini!" Sindi terus ngoceh.
Tak lama, pintu dibuka. Sebuah cake mini disodorkan Sindi, bersamaan dengan Dewi membuka pintu depan rumahnya.
"Taraaaaaaaaaa! Selamat ulang tahun, Nyonya Aji." ucap Sindi, sembari mencium pipi kiri dan pipi kanan Dewi, lalu memeluknya erat, penuh persahabatan.
Setelah Sindi melepaskan pelukannya, Dewi langsung protes soal tulisan di cake ulang tahun untuknya itu.
"Itu bukan Nyonya Aji. Tapi Nyonya....siapa ya. Aku mau nama yang baru!" seloroh Dewi.
"Aih. Jangan macem-macem kamu, Non. Nanti kena bantai sama Tuan Aji, baru tahu rasa! Hahahahha!" Sindi melepas tawa. (***)
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments