"Aku pulang" gumam Marella memasuki rumah. "Tumben sekali kau kembali lebih awal" ujar Veronica menyambut saudarinya. "Benjamin menemui ayahnya di kantor. Akhir pekan ini ia baru memiliki waktu kosong yang sangat panjang" jawab Marella menjelaskan kesibukan kekasihnya.
"Aneh sekali, Espe bilang dia pulang dengan seseorang. Sampai sekarang dia belum juga kembali" gumam Veronica terheran. Perilaku terlambat pulang, bukan hal yang melekat pada gadis itu.
"Aku pulang" ujar seseorang mengalihkan pandangan mereka pada seseorang yang memasuki ruangan. Tentu saja itu adalah Esmeralda.
"Tumben. Dari mana saja kau?" tanya Veronica terheran. "Perpustakaan kota" jawab Esmeralda segera memasuki kamarnya. "Woah, dia belajar dengan sangat ekstra" gumam Veronica terkekeh.
Namun Marella berbeda. Ia masih teringat penjelasan Morenthes dan Mia.
"Apa kalian kenal Morenthes?" tanya Marella penasaran. "Morenthes Braize? Ya, ada apa dengannya?" tanya Veronica balik.
"Tidak ada" jawab Marella duduk di sofa. "Kau mengenalnya?" tanya Veronica balik. "Ya. Ben mengenalnya sejak kecil, jadi dia memperkenalkannya padaku" jawab Marella seraya menjelaskan bagaimana ia mengenal Morenthes. "Ben ternyata banyak berelasi dengan orang-orang" gumam Veronica.
"Morenthes ada menjelaskan sesuatu?" tanya Veronica penasaran. "Tidak" jawab Marella berbohong. Untungnya Veronica tidak menaruh curiga apapun padanya.
"Kau lapar? Aku memasak sup" tawar Veronica tersenyum. "Tentu. Kau senang memasak, tapi kau tidak bisa memakannya" ujar Marella terkekeh. Veronica membalas tawa itu.
"Aku dulu ingin menjadi koki. Ibuku tidak setuju" jawab Veronica terkekeh.
"Sungguh? Mengapa ia tidak setuju? Bukankah bakat yang kau miliki membawa keberuntungan di masa depan?" tanya Marella terheran.
"Ibuku ingin aku menjadi guru. Saat dia meninggal, aku meninggalkan kotaku dan aku bekerja sebagai guru sekolah dasar seperti keiginannya. Tapi aku juga bekerja sebagai koki. Aku kelelahan dan terserang penyakit. Akibatnya aku hampir mati, dan Garon adalah orang yang mengubahku"
Marella mengangguk paham. "Aku jadi penasaran dengan latar belakang yang lain. Sejak awal aku di sini, kalian tidak banyak bercerita padaku" ujar Marella tambah penasaran. "Jika kau ingin tahu, tanyakan saja. Apalagi Sharon dan Patricia, mereka tidak sungkan bercerita" jawab Veronica.
Aroma sedap menusuk hidung Marella. "Dari aromanya saja, sepertinya sangat menggiurkan" ujar Marella antusias. "Haha. Aku dapat resep ini dari kepala koki yang melatihku di restoran tempat aku bekerja. Aku masih mengingat jelas bahan apa yang digunakannya" jawab Veronica terkekeh.
"Ngomong-ngomong, kau tahu tidak apa yang terjadi pada Sharon dan Esmeralda? Mereka tidak saling berbicara sudah seminggu. Biasanya Sharon menyuruh Esmeralda mengemudikan mobil, kini Esmeralda berangkat terakhir"
Mendengar itu Marella menghentikan acara meminum sekaleng sodanya. "Sungguh? Aku bahkan tidak menyadarinya" jawab Marella terkejut. "Aku ingin menanyakan hal itu pada Sharon, karena aku tahu Esmeralda tidak akan menceritakan apapun. Tapi bertanya dengan Sharon juga butuh energi" jawab Veronica.
"Bagaimana dengan Patrick dan Patricia? Apa ia juga bertengkar dengan mereka?" tanya Marella memastikan. "Tidak. Mereka berdua berbicara normal dengan kita. Aku rasa mereka ada masalah internal" jawab Veronica lagi.
Marella mengangguk-angguk pahan. "Aku coba bertanya pada salah satu dari mereka yang sedikit bersahabat. Walaupun kemungkinan mereka menjawab adalah nol koma persen" gumam Marella tertawa kecil.
......................
"Hey, Shar. Kau sedang baca apa?" tanya Marella menghampiri Sharon yang sedang membaca buku dengan serius. Namun raut wajah yang serius itu seakan memberikan sebuah isyarat.
"Ahk, tidak ada" jawab Sharon segera menutup bukunya. Marella masih penasaran dan mengintip sejenak judul buku itu. "Legenda... Canis? Kenapa kau tiba-tiba membacanya?" tanya Marella terheran.
Sharon tidak segera menjawab. Ia diam beberapa saat dengan kening berkerut dan ia membuang tatapan matanya ke arah lain.
"Ada yang ingin kutanyakan padamu" ujar Marella segera duduk di sebelah Sharon. "Mengenai?" tanya Sharon terheran.
"Berjanjilah untuk menjawabnya dengan jujur" ujar Marella mengacungkan jari kelingkingnya. "Yeah" jawab Sharon membalas.
"Apa kau... bertengkar dengan Prislly?" tanya Marella segera. Sharon kembali melakukan hal yang sama. Ia menghela nafas.
"Aku muak membahas tentangnya. Dan jika kau bertanya demikian, tentu kau tahu jawabanku" jawab Sharon 'membenarkan'.
"Apa yang menimbulkan pertengkaran itu?" tanya Marella semakin penasaran.
"Dia berkencan dengan Joseph. Kau juga tahu bukan mereka akhir-akhir ini lengket. Dia sekarang sering bepergian dengan Joseph. Aku hanya memikirkan bagaimana kondisi selanjutnya yang akan terjadi" jawab Sharon menjelaskan alasannya.
Marella terdiam. Sharon tahu?
"Bagaimana kau tahu? Ben bercerita padaku mereka tidak memiliki hubungan apapun" tanya Marella terheran.
"Aroma Joseph menempel di tubuhnya. Bisa-bisa dia akan terkena masalah lagi dengan Canis" jawab Sharon bangkit berdiri.
Marella terkejut mendengarnya. Sharon segera terdiam, ia seakan menyadari bahwa ia telah membocorkan rahasia lama.
Lalu, "Aku sudah pernah bilang padamu untuk tidak ikut campur bukan?!" pertanyaan itu disertai serangan yang berhasil membuat Sharon menabrak rak buku di ruangan itu.
Marella menoleh ke sumber suara. Esmeralda adalah orang yang melakukannya. Marella segera bergegas membantu Sharon berdiri.
"Aku mengingatkanmu karena kau adalah saudaraku!!" Sharon ikut tersulut emosi.
"Saudara? Kau kira itu anggapan serius? Aku bahkan tidak menganggap kalian hal yang sama" pertanyaan itu membuat Marella melotot terkejut. Suasana mulai menegang.
"Jaga ucapanmu!!"
"Kau juga tidak menjaga ucapanmu!!"
"Kau harus sadar. Kau tidak bisa bersamanya. Jangan bodoh karena cinta!!"
"Kau tahu apa? Kau hidup ratusan tahun tanpa merasakan cinta bukan?!"
Marella menahan Sharon yang mulai mempunyai nafsu ingin menyerang.
"Cukup, Sharon! Hentikan Prislly!" bentak Marella menahan Sharon yang kuat.
"Kenapa? Kau juga tidak suka jika aku jatuh cinta? Memangnya hanya manusia saja yang bisa merasakan cinta? Kau juga akan menghakimiku karena perkataannya bukan?!"
Mendengar tuduhan itu Marella tentu terkejut.
"Aku bahkan tidak punya pikiran ingin menghakimimu walaupun aku sudah tahu. Aku tidak seperti itu. Aku-"
"Ingin membantuku? Morenthes mengatakannya padamu bukan? Aku tidak butuh bantuanmu"
Ruangan itu akhirnya didatangi Patrick yang mendengar keributan.
"Kau hanya manusia lemah, Marella. Ayahmu bahkan mati karena kau tidak bisa melindunginya. Kau-"
Esmeralda menghentikan ucapannya. Ia menerima sebuah tamparan keras di pipinya. "Bahkan ketika aku tahu masalahmu. Aku menyimpannya. Kau tidak pantas disebut saudara" setelahnya Marella pergi dengan air mata yang mengalir.
Orang-orang di ruangan itu terkejut mendengarnya. Gadis itu segera menelpon Benjamin. Ia tidak kunjung berhenti menangis.
"Halo? Ada apa sayang ?"
Beberapa saat.
"Dia mengatakan itu?"
Benjamin terkejut mengetahui Esmeralda akan mengatakan hal buruk tentang Marella.
"Aku hanya ingin berguna untuknya. Dia justru menyepelekanku" gumam Marella dengan nada bicara yang masih bergetar.
"Kalian sama-sama terpancing emosi. Aku tidak bisa membenarkan tindakan salah satu dari kalian" jawab Benjamin bingung.
Ia memeluk gadis itu sejenak. "Tenanglah. Dia hanya bertindak tanpa memikirkan. Aku yakin dia tidak ingin mengatakan itu sebenarnya" ujar Benjamin dengan lembut.
"Tetap saja itu menyakitkan" gumam Marella.
Lalu, "Vero?" gumam Benjamin menerima panggilan masuk dari saudara kekasihnya.
Mereka melepas pelukan itu. Lalu, "Halo?" Benjamin mengangkat panggilan masuk itu.
"Ben, apa Marella bersamamu? Dia tidak mengangkat teleponku"
Marella segera mengecek. Dan benar saja, ada beberapa panggilan masuk yang tidak diangkat.
"Ya, dia bersamaku. Kami di alun-alun kota" jawab Benjamin membenarkan.
"Tolong segera kembali. Kami sedang mencari Esmeralda"
......................
"Aku baru tahu dia bisa bertindak naif" gumam Damian terkejut. "Kira-kira dia pergi ke mana" gumam Benjamin ikut khawatir.
"Apa kita perlu memanggil, Josh?"
"Tidak perlu"
Damian terkejut mendengar jawaban Marella. Nada bicara itu seakan menunjukkan gadis itu tidak menyukai Damian menyebut Joseph.
"Dia bertengkar dengan Josh?" tanya Damian berbisik. "Tidak" jawab Benjamin terkekeh.
"Siapa yang mengetuk pintu?" gumam Benjamin menyadari seseorang mengetuk pintu. Ia berjalan menuju pintu masuk, dan hendak membukakan pintu.
"Tidak! Ben!" pekik Damian mencium aroma yang kuat di sana. Untungnya ia berhasil menarik Damian. "Ada apa?" tanya Benjamin terheran. "Aku hanya tamu"
Suara itu membuat Benjamin terdiam. Ia merasa tidak asing dengan suara itu. "Firasatku, buruk" gumam Marella bangkit dari sofa dan menjauh.
Ketiganya mulai menjauh. "Aku hanya tamu" kini mereka mematung kaku. Suara itu kini berada di dalam ruangan.
Benjamin menoleh ke sumber suara. "Sepertinya kalian sudah mengenaliku. Untungnya, Esperanda pergi meninggalkan kalian. Tapi tenang saja, Franz sedang menyusulnya untuk membawanya bertemu ayah. Jadi kalian hanya akan berhadapan denganku" ujar seorang wanita.
Sisca. Dia tiba-tiba saja muncul di rumah itu.
Benjamin dan Damian segera melindungi Marella. "Kau adalah gadis darah sejati itu bukan? Sayang sekali. Aku sudah pernah membunuh lima pemuda sendirian. Melihat jumlah pelindungmu, sepertinya aku bisa membawamu" Sisca menyeringai kejam.
Ia tiba saja mencekik leher Benjamin. Damian segera membantunya, namun wanita itu justru berhasil mencampakkan Damian.
Lalu, "HUAAA PANAS" teriak Sisca memegangi tangannya yang tampak menerima luka bakar.
"Ambil air suci itu, lalu siram wajahnya"
Benjamin segera meraih air suci di meja barang-barang religi Esmeralda, dan segera menyiram wajah Sisca.
"TIDAK! WAJAHKU! KURANG AJAR!" Sisca kembali berteriak. Damian mengambil kesempatan dengan mencoba menarik leher wanita itu. Dan ia berhasil.
"Untung saja" gumam Benjamin dengan nafas kelelahan. "Tidak, nak. Itu adalah kloning. Yang tadi itu bukan suaraku"
Benjamin melotot terkejut. "Ada apa?" tanya Damian terheran. Tubuh Sisca menjadi abu. Lalu, "Sudah kuduga kau punya seseorang di dalam tubuhmu. Bocah manusia" Benjamin menoleh ke anak tangga tempat Sisca yang asli berada. "Kau berhasil tertipu. Kini aku tahu apa yang harus aku hindari darimu"
Benjamin kembali melindungi Marella. "Yang tadi itu adalah saudara kembarku. Tapi dia tidak berguna. Dia sangat lemah dan dia vampir terkutuk" ujar Sisca tersenyum kejam.
"Kau... kejam sekali" gumam Benjamin melotot terkejut. "Ya, tentu. Aku sangat kejam"
Lalu, "Marella!!" Benjamin gagal meraih Marella. "Kami awalnya tertarik dengan gadis ini, tapi melihatmu, kami jadi berpikir dua kali" ujar Sisca tersenyum.
"Tidak, Ben. Jangan dengarkan dia!" perintah Marella yang disandera Sisca. Benjamin panik.
"Kau hanya perlu membuat pilihan. Mati atau ikut?"
"Ben, jangan dengarkan dia!"
Benjamin memejamkan matanya dengan kening berkerut.
"Satu..."
"Aku..."
"Ben, tidak!!"
"Dua..."
"Pergi, Ben. Bawa dia Damian!"
"Ti..."
"Bawa aku!"
Damian segera menahan Benjamin. Marella terlepas dan Sisca segera menyerang Benjamin hingga membuat remaja itu pingsan.
"TIDAK!" Sisca segera mencampakkan gadis itu. Kepalanya terbentur dan mulai mengeluarkan darah. Kesadarannya mulai hilang.
"Sial" gumam Damian kesal ketika Sisca dan Benjamin menghilang seketika.
Namun, Damian segera menoleh pada Marella.
"Ella..."
"Hey..."
"Marella!!
Di sisi lain. "Josh, kau mau ke mana?" tanya seseorang pada Joseph yang tampak bergegas meninggalkan rumah. Joseph mengenali suara itu, dan dia adalah Justin.
"Ada urusan, ayah" jawab Joseph sibuk mengenakan jaket dan sepatunya. "Urusan dengan gadis vampir itu bukan?"
Joseph terdiam mendengar pertanyaan itu. "Kau jatuh cinta padanya bukan?" tanya Justin tampak mulai serius.
"Ayah aku sudah-"
"Dia sedang dikejar keluarga bangsawan. Kau pikir kau bisa melawan mereka sendiri?"
Pertanyaan itu berhasil menghentikan langkahnya. "Aku yakin Benjamin dan Damian di sana. Keluarga Gerald juga pasti di sana" jawab Joseph. "Kau serigala, Joseph. Tolong dengarkan perkataanku. Aku sudah tahu kau terobsesi dengan gadis itu sejak lama"
Joseph berbalik badan menghadap ayahnya. "Aku mencintainya ayah, bukan terobsesi" jawab Joseph menahan rasa kesalnya. "Aku sudah menyiapkan calon tunanganmu setelah kau lulus. Kau tidak bisa mencintainya, Joseph" jawab Justin dengan tegas.
"Ayah, cinta itu tidak bisa dipaksa"
"Kau tidak ingat amanah kakekmu?"
"Ya, tentu. Tapi ayah sendiri menikahi ibu"
"Baguslah kalau kau mengingatnya. Dia memberimu amanah untuk tidak mengikuti jalanku bukan?"
Pertanyaan itu membuat Joseph terdiam. Ia akhirnya paham maksud mendiang kakeknya.
"Aku dan ibumu bahkan hampir tidak bisa bersama. Perlu kau ketahui, nak. Bahkan sampai sekarang gadis itu masih dicari-cari bangsawan Ruby. Jangan sampai hakmu sebagai pewaris aku cabut karena kau memilih jalan lain akibat pikiran pendekmu"
Joseph mengepal tangannya dengan kening berkerut. "Pewaris, pewaris, dan pewaris" gumam Joseph kesal.
"Kenapa kau sekarang begitu sulit aku atur?" gumam Justin tetap tenang.
"Ayah, aku sangat patuh padamu dan kakek. Tapi hal yang pasti tidak aku inginkan pertama, sekalipun ayah menemukan tunangan yang sesuai dengan kriteria ayah, aku tidak akan menikahi gadis itu karena aku tidak mencintainya. Kedua, aku punya pilihan"
"Dan ketiga, aku tidak ingin menjadi pewaris" setelahnya Joseph berbalik dan hendak pergi. Justin menghela nafas tetap sabar.
"Berat mengatakannya, nak. Apa kau tahu siapa yang menyerang kakekmu dan Ed?" tanya Justin menghentikan langkahnya. "Jangan mengkaitkan masalah ini dengan mereka, ayah" gumam Joseph memejamkan matanya.
"Dia adalah orangnya, Joseph"
Joseph terkejut. Matanya melotot tidak percaya. "Mia dan Morenthes tetap bersabar menerima kenyataan itu. Aku tidak pernah menceritakannya padamu, karena aku tidak ingin merusak pertemananmu dengan gadis itu"
Joseph tertegun mendengarnya. Justin berbalik membelakangi Joseph yang juga membelakanginya. "Aku hanya tidak ingin, nasib sama menimpa putraku. Ayahku sangat menyayangimu, nak" gumam Justin mulai meninggalkan Joseph.
"Tapi jika itu keinginanmu, pergilah. Benjamin dibawa oleh mereka. Bawalah dia dengan keadaan selamat"
Joseph terkejut mendengarnya.
"Jaga dirimu, nak" pesan Justin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments