Stalker Cinta

Stalker Cinta

Melodi Pertama

Langit sore yang berwarna jingga mulai beralih ke kelam ketika Naura Amelia menutup laptopnya. Pekerjaannya sebagai desainer grafis lepas sudah selesai untuk hari itu. Ia memutuskan untuk bersantai sejenak di kamar sambil menonton ulang video konser Ryan Rizky, musisi sekaligus penulis yang sangat ia kagumi. Bagi Naura, Ryan bukan hanya seorang artis terkenal, tetapi juga seseorang yang karyanya selalu menginspirasinya untuk terus kreatif.

Naura memang bukan tipe fans yang terlalu fanatik. Ia tidak pernah menghabiskan waktu berjam-jam menguntit idolanya di media sosial atau membeli semua merchandise yang ada. Baginya, menjadi fans berarti menghargai karya Ryan tanpa mengorbankan dirinya sendiri. Ia menyukai musik Ryan karena liriknya selalu terasa personal, seolah-olah ditulis untuk dirinya. Ditambah lagi, buku-buku yang Ryan tulis penuh dengan pesan moral yang mendalam.

Hari itu, Naura memutuskan untuk menghadiri acara peluncuran buku terbaru Ryan di sebuah kafe kecil di pusat kota. Acara itu cukup eksklusif, hanya terbatas untuk 50 orang pertama yang mendaftar, dan Naura merasa sangat beruntung karena mendapatkan tiket. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, celana jeans, dan tas selempang kecil. Tidak ada niat untuk tampil mencolok; ia hanya ingin menikmati acara tersebut dan, jika memungkinkan, bertemu langsung dengan Ryan.

Ketika sampai di lokasi, kafe itu sudah dipenuhi oleh penggemar lain. Beberapa membawa poster, ada yang memegang buku karya Ryan, dan sebagian sibuk mengambil foto suasana. Naura merasa sedikit canggung berada di tengah keramaian, tapi ia tetap mencoba untuk menikmati momen tersebut. Ia mengambil tempat duduk di barisan tengah, cukup dekat untuk melihat panggung dengan jelas, tetapi tidak terlalu mencolok.

Ryan akhirnya muncul setelah beberapa saat. Penampilannya sederhana, dengan kemeja hitam dan celana chino. Ia tersenyum ramah kepada semua orang, lalu duduk di kursi yang telah disediakan di atas panggung kecil. Ryan membuka acara dengan menyanyikan salah satu lagunya yang terkenal, "Melodi Kehidupan." Suaranya yang khas menggema di ruangan itu, membuat semua orang terpaku. Naura tidak bisa menahan senyumnya; mendengarkan Ryan secara langsung adalah pengalaman yang jauh lebih magis dibandingkan mendengarnya melalui earphone.

Setelah lagu selesai, Ryan mulai berbicara tentang buku barunya. Buku itu berjudul Jejak Langkah Kita, sebuah kumpulan cerita pendek yang ia tulis selama bertahun-tahun. Ryan menjelaskan bahwa buku itu adalah refleksi dari berbagai pengalaman hidupnya, baik sebagai musisi maupun sebagai seorang manusia biasa. Naura menyimak setiap kata dengan penuh perhatian. Cara Ryan berbicara begitu tulus dan jujur, seolah-olah ia sedang berbicara langsung kepada masing-masing orang di ruangan itu.

Sesi tanda tangan menjadi puncak acara. Naura mengantre bersama para penggemar lainnya. Ketika akhirnya tiba gilirannya, ia merasa gugup, tetapi berusaha untuk tetap tenang. "Hai, Ryan," ucapnya dengan suara sedikit gemetar.

Ryan tersenyum hangat. "Hai. Apa kabar? Siapa namamu?"

"Naura. Saya sangat menyukai karya-karya Anda, terutama lagu Melodi Kehidupan. Liriknya sangat menyentuh," jawab Naura sambil menyerahkan buku yang baru saja dibelinya untuk ditandatangani.

"Terima kasih, Naura. Saya senang lagu itu bisa berarti bagi Anda," kata Ryan sambil menandatangani bukunya. Ia menambahkan, "Tetap semangat ya, dan jangan berhenti berkarya."

Ucapan itu membuat hati Naura bergetar. Ia tidak menyangka bahwa Ryan akan mengatakan sesuatu yang begitu personal. Setelah mengambil bukunya, Naura mundur dari meja tanda tangan dan kembali duduk untuk menikmati sisa acara.

Ketika acara selesai, para penggemar mulai meninggalkan kafe. Naura memutuskan untuk duduk sebentar dan menunggu keramaian mereda sebelum pulang. Saat itulah, tanpa sengaja, Ryan berjalan melewati meja tempatnya duduk. Ia sedang berbicara dengan salah satu kru acara. Naura menundukkan kepala, tidak ingin terlihat mencolok, tetapi langkah Ryan terhenti sejenak.

"Hei, Naura, kan?" Ryan tiba-tiba bertanya.

Naura mengangkat wajahnya, terkejut. "Iya. Ada apa, Ryan?"

"Tadi saya sempat melihat sketsa yang Anda buat di buku catatan kecil itu," katanya, menunjuk buku sketsa yang tergeletak di atas meja. "Karya Anda menarik. Apa Anda seorang desainer?"

Naura merasa wajahnya memerah. "Oh, iya. Saya seorang desainer grafis. Terima kasih sudah memperhatikannya."

Ryan tersenyum. "Teruslah berkarya. Dunia butuh lebih banyak orang kreatif seperti Anda."

Setelah itu, Ryan melanjutkan langkahnya, meninggalkan Naura yang masih terkejut dengan interaksi singkat tersebut. Ia tidak menyangka bahwa Ryan, seorang artis terkenal, bisa begitu ramah dan perhatian terhadap detail kecil seperti itu.

Malam itu, di perjalanan pulang, Naura tidak bisa berhenti tersenyum. Ia merasa mendapatkan lebih dari yang ia harapkan dari acara tersebut. Pertemuan singkat itu menjadi awal yang tidak disengaja dari sebuah cerita yang lebih panjang, meski saat itu Naura tidak menyadarinya.

Ryan, di sisi lain, juga mengingat sosok Naura. Bukan hanya karena sketsanya, tetapi karena ada sesuatu dalam tatapan Naura yang terasa berbeda. Sederhana, tetapi penuh makna.

Malam itu, suara keramaian di jalanan kota masih terdengar samar-samar saat Naura melangkahkan kaki keluar dari kafe. Udara dingin menyentuh kulitnya, tetapi hatinya terasa hangat. Ia memeluk erat buku bertandatangan Ryan di dadanya, seolah buku itu adalah sebuah harta karun. Langkah kakinya pelan, tak ingin terburu-buru, karena setiap momen dari acara tadi terus berputar di kepalanya.

Setiap detail terasa begitu berarti. Dari bagaimana Ryan menyapa penggemarnya, hingga nada suaranya yang terdengar tulus ketika berbicara. Naura mencoba mengingat setiap kata yang diucapkan Ryan kepadanya. “Teruslah berkarya. Dunia butuh lebih banyak orang kreatif seperti Anda,” gumamnya pelan, menirukan kalimat itu. Kata-kata sederhana tersebut seolah menghidupkan semangat baru di dalam dirinya.

Setibanya di halte bus, Naura duduk di bangku panjang sambil membuka buku sketsanya. Di salah satu halaman, terdapat sketsa kasar wajah Ryan yang ia gambar beberapa hari sebelumnya. Gambar itu tidak sempurna, tetapi cukup untuk menangkap karakteristik Ryan—tatapan teduh dan senyum ramahnya. Tanpa sadar, ia mulai menambahkan beberapa garis pada sketsa itu, memperbaiki detail rambut dan garis rahangnya.

“Apakah aku terlalu berlebihan?” pikir Naura tiba-tiba. Ia tersenyum kecil, mencoba menepis kekhawatirannya. Ia tahu dirinya hanyalah seorang fans biasa, dan interaksi singkat tadi hanyalah sebuah momen yang kebetulan. Namun, di sisi lain, ada rasa hangat yang terus bertahan di hatinya, seolah-olah pertemuan tadi adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Di sudut lain kota, Ryan sedang duduk di kursi belakang mobil yang membawanya pulang. Ia memandang keluar jendela, menikmati lampu-lampu kota yang melintas cepat. Hari itu adalah salah satu hari yang panjang, tetapi juga memuaskan. Pertemuan dengan penggemarnya selalu menjadi momen yang ia hargai. Namun, ada sesuatu yang berbeda tentang acara hari ini.

Ryan teringat pada Naura, gadis dengan kemeja putih dan tas selempang kecil. Ada sesuatu yang unik dalam caranya berbicara—tenang, tetapi penuh ketulusan. Dan sketsa itu... Ryan jarang memperhatikan detail kecil seperti itu, tetapi sketsa yang ia lihat sekilas di buku catatan Naura menunjukkan tingkat kreativitas yang menarik.

“Kreativitas,” gumamnya pelan. Kata itu selalu menjadi salah satu hal yang ia cari dalam setiap pertemuan. Ryan percaya bahwa seni, dalam bentuk apa pun, adalah cara manusia untuk saling terhubung. Ia penasaran, apa cerita di balik karya Naura?

Sementara itu, bus yang ditumpangi Naura akhirnya tiba di halte dekat apartemennya. Ia turun dengan hati-hati dan berjalan menuju pintu masuk gedung. Setelah sampai di kamarnya, ia meletakkan buku Ryan di meja kerja kecilnya, di samping laptop dan peralatan desain. Mata Naura tertuju pada layar komputer, di mana sebuah proyek desain yang belum selesai menunggu untuk dikerjakan.

Namun, malam itu, Naura tidak merasa ingin bekerja. Ia menyalakan lampu meja, membuka buku Ryan, dan mulai membaca. Setiap kata dalam buku itu terasa seperti melodi, mengalir dengan indah. Cerita-cerita pendek di dalamnya membawa Naura ke dunia yang berbeda, dunia yang dipenuhi dengan refleksi dan emosi yang dalam.

Di salah satu cerita, Ryan menulis tentang perjuangan seorang seniman muda yang menghadapi ketakutan akan penolakan. Cerita itu terasa sangat relevan bagi Naura. Ia pernah berada di titik itu, merasa ragu untuk memamerkan karyanya karena takut tidak dihargai. Namun, perlahan-lahan, ia belajar bahwa seni adalah tentang keberanian untuk berbagi, bukan hanya tentang hasil akhirnya.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam ketika Naura menutup buku itu. Ia tersenyum kecil, merasa terinspirasi sekaligus tenang. Pertemuan hari ini dan cerita-cerita dalam buku Ryan memberikan semacam energi baru. “Aku harus mulai lebih percaya diri dengan karyaku,” pikirnya sambil menatap layar laptopnya yang masih menyala.

Di luar kamar, malam semakin larut, tetapi dalam hati Naura, sebuah melodi baru telah mulai dimainkan—melodi yang akan membawanya pada perjalanan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!