A Loveless Morning

Setelah menempuh perjalanan singkat dengan taksi dari kantor, Elea akhirnya tiba di rumahnya yang tinggali bersama Adrian. Ketika Elea membuka pintu depan, aroma khas teh hitam yang Adrian biasa minum menyambutnya, mengisyaratkan bahwa suaminya sudah di rumah.

Ruangan itu hangat dan nyaman, dindingnya dihiasi lukisan abstrak yang dipilih Adrian saat renovasi tahun lalu. Meski segala sesuatunya tampak sempurna di luar, ada kekosongan yang selalu menyelubungi hubungan mereka—sebuah kesenjangan emosi yang Elea tak pernah bisa jembatani sepenuhnya.

“Adrian?” panggilnya seraya melepaskan sepatu di dekat pintu.

“Di sini,” jawab Adrian dari ruang tamu. Suaranya terdengar santai, berbeda dari nada dingin yang biasanya ia gunakan.

Ketika Elea masuk, ia mendapati Adrian duduk di sofa, membaca sesuatu di tablet sambil memegang cangkir teh. Rambutnya yang gelap terlihat rapi, dan dasinya sudah dilepas, menunjukkan bahwa ia mungkin baru selesai bekerja meski sudah di rumah sejak tadi.

“Kau terlihat ceria malam ini,” kata Elea sambil duduk di sofa sebelahnya.

Adrian menoleh, menyunggingkan senyum tipis. “Hari ini berjalan baik. Bagaimana denganmu?”

Elea mengangkat bahu, sedikit ragu. “Hari yang panjang. Tapi cukup produktif.”

Obrolan mereka berlangsung ringan untuk beberapa waktu. Adrian bahkan menawarkan untuk membuatkan secangkir teh untuk Elea, sesuatu yang jarang ia lakukan. Elea hampir menikmati momen itu, meskipun di dalam hatinya, ia tahu suasana seperti ini tak akan bertahan lama.

Setelah beberapa saat, Adrian mendekatinya dan meletakkan tangan di pundaknya. “Kau terlihat lelah,” katanya dengan nada lembut.

“Sedikit,” jawab Elea.

“Ayo ke kamar,” ajak Adrian tiba-tiba, suaranya terdengar lebih dalam, menggoda.

Elea terkejut dengan perubahan sikap Adrian, tapi ia tidak menolaknya. Ada rasa rindu dalam dirinya—rindu akan keintiman yang jarang mereka bagi belakangan ini.

***

Keduanya tengah berbaring di ranjang. Elea menatap langit-langit kamar yang dihiasi dengan lampu gantung kecil, pikirannya berkelana ke banyak hal—mimpinya, pekerjaannya, dan Darren. Ia berbalik menghadap Adrian, yang tampak santai dengan satu tangan di belakang kepala.

“Adrian, aku ingin membicarakan sesuatu,” kata Elea perlahan.

“Hm?” Adrian menoleh, matanya terlihat setengah mengantuk.

“Aku sedang menulis novel,” lanjut Elea.

Adrian mengangkat alis, menatapnya dengan ekspresi tak percaya. “Kau masih menulis?”

“Tentu saja,” jawab Elea, mencoba mempertahankan nada tenang. “Bukankah aku sudah bilang kalau aku bermimpi menjadi seorang penulis besar? Aku berharap suatu hari nanti aku bisa berhenti bekerja di kantor dan menghasilkan uang hanya dari menulis.”

Adrian menatapnya lama sebelum menghela napas. “Elea, aku tidak mengerti kenapa kau masih membuang-buang waktumu untuk hal itu.”

Kata-kata itu menghantam Elea seperti pukulan. “Membuang-buang waktu?”

“Ya,” Adrian melanjutkan tanpa ragu. “Menulis tidak menghasilkan apa-apa. Bukankah lebih baik kau fokus pada pekerjaanmu atau, entahlah, pada pekerjaan rumah?”

Elea terdiam sejenak, mencoba menahan emosinya. “Aku percaya ini bisa menghasilkan uang suatu hari nanti. Banyak penulis yang mulai dari nol dan akhirnya sukses.”

Adrian tertawa kecil, nada suaranya mengejek. “Tapi buktinya sampai hari ini kau tidak mendapatkan uang sepeserpun dari menulis, kan?”

Elea merasa darahnya mendidih, tapi ia menahan diri. Ia tidak ingin bertengkar. “Adrian, menulis bukan hanya soal uang. Ini soal passion, soal sesuatu yang membuatku merasa hidup.”

“Passion?” Adrian menggeleng, ekspresinya mencemooh. “Elea, kau terlalu dewasa untuk percaya pada hal seperti itu. Hidup ini tentang realitas. Realitasnya adalah kita butuh uang, dan menulis bukan jalan yang realistis.”

Elea terdiam, merasa seperti ditampar. Di dalam hatinya, ia berharap Adrian akan mendukungnya, memberikan semangat seperti yang Darren lakukan tadi. Namun, seperti biasa, Adrian hanya melihat segalanya dari perspektif pragmatisnya.

“Aku tidak ingin berdebat,” kata Elea akhirnya, suaranya dingin. Ia memalingkan wajah, membelakangi Adrian.

Adrian tidak berkata apa-apa lagi, hanya berbaring diam di sebelahnya. Namun, keheningan itu berbicara lebih keras dari apa pun. Elea merasa sendirian meski Adrian ada di sampingnya.

Pikirannya kembali melayang pada percakapan dengan Darren di kantor tadi. Darren, meskipun sering meledeknya, telah memberikan dukungan yang Adrian tak pernah bisa berikan. Elea bertanya-tanya, apakah mungkin ia terlalu banyak berharap dari Adrian? Atau apakah Adrian memang telah berhenti peduli?

Suara jarum jam berdetak pelan di sudut kamar, menandai malam yang semakin larut. Elea menutup matanya, mencoba mengabaikan rasa sakit di hatinya. Tapi meskipun ia mencintai Adrian, perasaan itu mulai terkikis sedikit demi sedikit oleh sikap acuhnya. Dan itu membuat Elea semakin yakin bahwa ia harus berjuang untuk mimpinya, dengan atau tanpa dukungan Adrian.

***

Cahaya matahari pagi menerobos tirai dapur yang setengah terbuka, memantulkan kilauan lembut di atas meja makan dari kayu. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang yang keluar dari pemanggang. Elea duduk di salah satu ujung meja, mengenakan kemeja kasual dan celana kain longgar. Di depannya, sebuah piring berisi omelet yang hampir tak tersentuh.

Adrian duduk di seberangnya, mengenakan setelan jas gelap meski dasinya masih menggantung longgar di lehernya. Ia sibuk memeriksa ponselnya, sesekali menyeruput kopi tanpa menoleh ke arah Elea.

Keheningan di antara mereka terasa tebal dan menyakitkan. Semalam, meskipun hangat, kini terasa seperti ilusi belaka. Elea memandangi Adrian dengan tatapan lelah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk memulai percakapan.

Namun, Adrianlah yang lebih dulu berbicara. Tanpa mengangkat pandangan dari ponselnya, ia berkata dengan nada datar, “Aku ingin mengingatkanmu lagi soal tulisanmu, Elea.”

Elea menghentikan gerakannya yang tengah mengaduk teh. Matanya langsung terangkat, menatap Adrian dengan bingung sekaligus waspada.

“Adrian, aku sudah cukup mendengarkan ceramahmu soal ini,” jawab Elea, mencoba terdengar tenang meski suaranya sedikit gemetar.

Adrian akhirnya meletakkan ponselnya, lalu menatap Elea dengan ekspresi serius. “Dan kau masih keras kepala soal ini, kan? Aku serius, Elea. Kau sebaiknya berhenti menulis dan fokus pada hal-hal yang lebih penting. Pekerjaanmu di kantor, pekerjaan rumah, hal-hal itu jauh lebih berarti.”

Elea merasakan sebuah tekanan di dadanya. Ia mencoba mengatur napasnya agar tidak langsung meledak. “Menulis itu penting untukku, Adrian. Aku sudah pernah bilang. Ini bukan sekadar hobi, ini mimpi yang ingin kukejar.”

Adrian menggeleng, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi frustrasi. “Mimpi? Elea, kau sudah bukan remaja lagi. Hidup kita sekarang tentang tanggung jawab, bukan mimpi yang tidak realistis. Aku tidak ingin kau membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak akan membawa manfaat.”

Elea merasakan lidahnya kelu, tapi amarah yang perlahan mendidih di dalam dirinya membuatnya tidak bisa tinggal diam. “Dan manfaat itu hanya berarti uang di matamu, ya? Bagaimana dengan kebahagiaanku, Adrian? Apa itu tidak penting bagimu?”

Adrian mendengus, lalu mencondongkan tubuh ke depan. “Aku tidak ingin berdebat soal ini. Jika kau masih bersikeras menulis, aku akan membuang naskah itu. Aku tidak bercanda, Elea.”

Kalimat itu menghantam Elea seperti pisau. Ia menatap Adrian dengan mata melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Kau tidak punya hak untuk melakukan itu!”

“Aku hanya melakukan yang terbaik untuk kita berdua,” jawab Adrian dengan dingin. “Aku tidak ingin kau membuang waktumu untuk hal-hal yang tidak penting. Ada begitu banyak hal lain yang masih bisa kau kerjakan, terutama sebagai seorang istri.”

Kata-kata itu terasa seperti pukulan lain. Elea ingin membalas, ingin meneriakkan semua kemarahannya, tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Ia hanya bisa menatap Adrian dengan campuran kekecewaan dan rasa sakit.

Adrian berdiri, meraih jasnya yang tersampir di kursi. “Aku harus pergi ke kantor. Kita bicarakan lagi nanti, jika kau mau berpikir lebih rasional.”

Tanpa menunggu jawaban, Adrian berjalan keluar dari dapur, meninggalkan Elea sendirian di meja makan. Suara pintu apartemen yang tertutup pelan namun tegas menandai kepergiannya.

Elea duduk diam, menatap piring omelet di depannya yang sekarang sama sekali tidak menarik selera. Pikirannya berputar-putar, mencoba memahami bagaimana seseorang yang dulu begitu ia cintai kini bisa berubah menjadi sosok yang dingin dan menghakimi.

Air matanya menggenang, tapi ia segera menghapusnya dengan kasar. Tidak. Aku tidak akan membiarkan Adrian menghancurkan mimpiku, pikirnya dengan tekad yang tumbuh di dalam hatinya.

Elea berdiri, meraih cangkir tehnya dan berjalan ke jendela dapur. Di luar, jalanan London mulai sibuk dengan aktivitas pagi. Mobil-mobil yang melaju perlahan di atas jalan berbatu, pejalan kaki yang terburu-buru dengan kopi di tangan mereka, dan langit yang dipenuhi awan kelabu. London yang hidup, penuh dengan peluang dan cerita, mengingatkan Elea bahwa dunianya tidak terbatas pada apartemen ini dan pendapat Adrian.

***

Ia menatap keluar jendela dengan pandangan yang jauh, memikirkan percakapannya dengan Darren kemarin. Entah kenapa, ingatan tentang tatapan Darren yang tulus dan kata-katanya yang menyemangati membuatnya merasa sedikit lebih kuat. Darren, meskipun hanya seorang magang, telah melihat sesuatu dalam dirinya yang Adrian bahkan tidak pernah peduli untuk mengakui.

**Aku akan terus menulis,** pikirnya. **Meskipun Adrian tidak mendukungku, aku akan membuktikan bahwa aku bisa.**

Dengan tekad itu, Elea berjalan ke kamar kerjanya. Di sana, naskah yang hampir selesai itu menunggu. Sambil duduk di depan komputer, ia mulai mengetik lagi, membiarkan rasa sakit dan amarahnya mengalir ke dalam kata-kata yang tertuang di layar. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa hidup kembali.

***

Episodes
1 Unexpected Companionship
2 Endless Conversation
3 Coffee And Unspoken Words
4 Between Love And Ambition
5 In the Archive Room
6 Burden Without Aid
7 Unexpected Help
8 The Silent Defender
9 Dinamika yang Berubah
10 His Eyes, Her Silence
11 Beneath the Quiet Storm
12 The Battle Of Hearts
13 A Shadow in The Archives
14 Echoes in the Corridor
15 Words Between The Lines
16 A Loveless Morning
17 A Glimpse of Trust
18 Darren's Silent Promise
19 The Beginning of Dangerous Game
20 A Challenges of Trust
21 Birmingham Journey
22 The Man Who Stayed
23 Jealousy in The Air
24 More Than Enough
25 A Smile for Someone Else
26 The Veil of Deception
27 Our First Date
28 Permainan Perasaan
29 Darren’s Persistence
30 A Quiet Dinner
31 An Unexpected Beginning
32 Between Love and Deception
33 Shattered Trust
34 The Weight of Tears
35 A Bowl of Warmth
36 A Cry in The Night
37 A Temporary Husband
38 The Battle Of Two Hearts
39 Unraveling Secret
40 Silent Shift
41 The Art of Subtle Provocation
42 A Birthday Invitation
43 Boundaries and Betrayals
44 A Gentleman's Resolve
45 The Invitation
46 His Past
47 Dangerous Proximity
48 Emergency Contact
49 Truths Beneath the Surface
50 A Door Half Open
51 A Dance Between Lies and Truths
52 A Heart Devided
53 The Kiss That Changed Everything
54 Broken Vows, New Beginnings
55 Jealousy in Disguise
56 When Love Hurts
57 A New Beginning
58 The Protector's Promise
59 The Man Behind The Mask
60 Karyawan Baru yang Terlalu Mempesona
61 Between Doubt and Desire
62 When He Finally Gave Up
63 Don't Go, Darren
64 When I Could No Longer Deny It
65 More Than Just a Moment
66 Secrets, Love, and New Beginnings
67 A Hidden Love
68 A Secret Between Us
69 A Dangerous Admission
70 Unveiling Darren’s Secrets
71 The Boundaries We Break
72 Temptation in the Boardroom
73 Intrigue Behind the Archives
74 Secrets, Ambition, and Office Romance
75 Love, Conspiracy and Jealousy
76 A Lover's Claim
77 London, Love, and Lies
78 Darren’s True Identity
79 Numbers Don’t Lie, But People Do
80 Digging Into Danger
81 The Man Who Knows Too Much
82 The Bait and the Prey
83 The Moment of Reckoning
84 The Fall of Deception
85 Are We Ready for This?
86 A Battle of Hearts and Loyalties
Episodes

Updated 86 Episodes

1
Unexpected Companionship
2
Endless Conversation
3
Coffee And Unspoken Words
4
Between Love And Ambition
5
In the Archive Room
6
Burden Without Aid
7
Unexpected Help
8
The Silent Defender
9
Dinamika yang Berubah
10
His Eyes, Her Silence
11
Beneath the Quiet Storm
12
The Battle Of Hearts
13
A Shadow in The Archives
14
Echoes in the Corridor
15
Words Between The Lines
16
A Loveless Morning
17
A Glimpse of Trust
18
Darren's Silent Promise
19
The Beginning of Dangerous Game
20
A Challenges of Trust
21
Birmingham Journey
22
The Man Who Stayed
23
Jealousy in The Air
24
More Than Enough
25
A Smile for Someone Else
26
The Veil of Deception
27
Our First Date
28
Permainan Perasaan
29
Darren’s Persistence
30
A Quiet Dinner
31
An Unexpected Beginning
32
Between Love and Deception
33
Shattered Trust
34
The Weight of Tears
35
A Bowl of Warmth
36
A Cry in The Night
37
A Temporary Husband
38
The Battle Of Two Hearts
39
Unraveling Secret
40
Silent Shift
41
The Art of Subtle Provocation
42
A Birthday Invitation
43
Boundaries and Betrayals
44
A Gentleman's Resolve
45
The Invitation
46
His Past
47
Dangerous Proximity
48
Emergency Contact
49
Truths Beneath the Surface
50
A Door Half Open
51
A Dance Between Lies and Truths
52
A Heart Devided
53
The Kiss That Changed Everything
54
Broken Vows, New Beginnings
55
Jealousy in Disguise
56
When Love Hurts
57
A New Beginning
58
The Protector's Promise
59
The Man Behind The Mask
60
Karyawan Baru yang Terlalu Mempesona
61
Between Doubt and Desire
62
When He Finally Gave Up
63
Don't Go, Darren
64
When I Could No Longer Deny It
65
More Than Just a Moment
66
Secrets, Love, and New Beginnings
67
A Hidden Love
68
A Secret Between Us
69
A Dangerous Admission
70
Unveiling Darren’s Secrets
71
The Boundaries We Break
72
Temptation in the Boardroom
73
Intrigue Behind the Archives
74
Secrets, Ambition, and Office Romance
75
Love, Conspiracy and Jealousy
76
A Lover's Claim
77
London, Love, and Lies
78
Darren’s True Identity
79
Numbers Don’t Lie, But People Do
80
Digging Into Danger
81
The Man Who Knows Too Much
82
The Bait and the Prey
83
The Moment of Reckoning
84
The Fall of Deception
85
Are We Ready for This?
86
A Battle of Hearts and Loyalties

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!