Langit malam di kota terasa lebih gelap dari biasanya. Angin dingin menyelinap melalui jendela bus yang terbuka, mengiringi perjalanan Naura kembali ke desa.
Kepalanya bersandar lemah di sandaran kursi, tetapi pikirannya terus berputar tanpa henti.
Ayahnya sedang berjuang untuk hidup di rumah sakit, sementara pesan misterius yang ia terima tentang Bimo tak henti-hentinya menggema dalam benaknya.
Satu sisi hatinya bersyukur atas bantuan Bimo, tetapi sisi lain menuntutnya untuk tetap waspada.
Siapa yang mengirim pesan itu? Apa yang mereka ketahui tentang Bimo?
Naura mengepalkan tangan, mencoba mengusir keraguan.
"Yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan Ayah. Tidak ada yang lebih penting dari itu," pikirnya, menenangkan diri.
Saat bus berhenti di terminal desa, Naura segera turun dan berlari ke arah rumah sakit.
Udara dingin desa menyambutnya, tapi ia hampir tidak menyadarinya. Langkah kakinya tergesa, dan matanya penuh kecemasan.
Ketika ia tiba di rumah sakit, ibunya sedang duduk di kursi kecil di luar ruangan. Wajah tua itu terlihat lelah, matanya sembab karena menangis.
“Ibu ....” Naura mendekat, menggenggam tangan ibunya dengan erat. “Bagaimana kondisi Ayah?”
“Ia masih lemah, Nak,” jawab ibunya dengan suara lirih.
“Dokter bilang operasinya harus segera dilakukan. Kalau tidak ....” Ia tidak sanggup melanjutkan.
Naura menarik napas panjang, berusaha tegar.
“Bu, tenang. Aku sudah menemukan cara untuk membayar operasi Ayah.”
Mata ibunya membesar. “Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu, Naura?”
“Mas Bimo, direktur tempatku bekerja, meminjamkan uang itu, Bu. Dia orang baik.”
Ibunya mengangguk pelan, tapi tak mampu menyembunyikan keraguan.
“Pastikan kamu tidak menyulitkan dirimu sendiri, Nak. Jangan terlalu percaya pada orang begitu saja. Apalagi dia itu bos kamu. Biasanya, bos tidak akan langsung mengurus bawahannya jika tidak ada yang ia inginkan.”
Naura hanya tersenyum samar. “Bu, aku akan mengurus semuanya. Percaya pada Naura, ya.”
Setelah berbicara dengan dokter dan memastikan operasinya dijadwalkan keesokan pagi, Naura merasa sedikit lega.
Namun, saat ia berjalan ke luar ruangan untuk menghirup udara segar, seseorang mendekatinya—seorang pria yang terlihat mencurigakan dengan jaket lusuh dan topi yang menutupi sebagian wajahnya.
“Kamu Naura, 'kan?” tanyanya dengan nada rendah.
Naura mengernyit, merasa sedikit ketakutan.
“Iya. Siapa kamu?”
Pria itu mendekatkan wajahnya sedikit, berbisik.
“Aku cuma mau bilang satu hal. Jauhi Bimo. Dia bukan orang baik.”
Jantung Naura berdegup kencang.
“Apa maksudmu? Kenapa kamu bilang begitu?”
Pria itu melirik sekeliling, memastikan tidak ada orang yang mendengar.
“Bimo punya sejarah buruk dengan wanita. Kamu bukan yang pertama dia dekati. Dia punya cara memanfaatkan orang, lalu meninggalkan mereka saat sudah tidak dibutuhkan.”
Naura menelan ludah, merasa dadanya sesak.
“Itu tidak mungkin. Dia sangat baik padaku. Dia bahkan membantu operasi Ayahku.”
Pria itu menggeleng pelan. “Percayalah, aku hanya ingin memperingatkanmu. Jangan sampai kamu jadi korban berikutnya. Aku mengatakan ini karena kasihan melihatmu.”
Sebelum Naura sempat bertanya banyak, pria itu sudah berbalik lalu berlari dan membaur di keramaian. Hilang.
Naura berdiri mematung. Kata-kata pria itu terus terngiang di telinganya.
Ia ingin mengabaikannya, tetapi rasa takut mulai merayapi pikirannya.
Bagaimana jika apa yang dikatakan pria itu benar?
Saat kembali ke ruang tunggu, ponselnya berbunyi. Nama Bimo muncul di layar. Tangannya gemetar ketika menjawab panggilan itu.
“Halo, Mas Bimo?”
“Naura, aku baru selesai mengirim uangnya ke rekening rumah sakit. Pastikan operasinya berjalan lancar besok,” suara Bimo terdengar tenang, bahkan hangat.
Naura merasa lega sekaligus bingung.
“Terima kasih banyak, Mas. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan ini.”
Bimo tertawa kecil. “Naura, aku sudah bilang, kamu tidak perlu khawatir soal itu. Yang penting ayahmu sembuh dulu.”
Namun, sebelum panggilan berakhir, Bimo menambahkan sesuatu yang membuat Naura terdiam.
“Oh, satu lagi, Naura. Besok malam, aku ingin kita bertemu. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan.”
“Apa itu, Mas?” tanya Naura, penasaran.
Kini jantungnya kembali berdegup kencang.
“Kamu akan tahu nanti. Sampai jumpa, Naura.”
Panggilan berakhir sepihak, membuat Naura memikirkan segala kemungkinan. Apa yang ingin Bimo bicarakan? Dan apakah ini ada hubungannya dengan peringatan dari pria misterius tadi?
Naura menghela napas panjang, menatap langit malam yang gelap. Di balik ketenangan yang ditawarkan Bimo, ada bayang-bayang kecurigaan yang semakin mendalam.
Besok, segalanya akan berubah—dan ia tidak tahu apakah itu menjadi awal yang baik, atau justru membawa bencana yang lebih besar.
******
Naura duduk di kursi rumah sakit, memandangi layar ponselnya yang masih menampilkan panggilan terakhir dari Bimo.
Pikirannya berputar seperti ombak di tengah badai. Kata-kata pria misterius tadi terus menghantuinya.
Benarkah Bimo bukan seperti yang ia pikirkan? Tetapi bukankah dia sudah begitu baik, bahkan membiayai operasi ayahnya tanpa syarat? Gamang.
Naura memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi semakin ia mencoba, semakin berat perasaan itu menekan. Seolah ada sesuatu yang mengingatkannya untuk tidak begitu saja percaya pada kebaikan yang tampak terlalu sempurna.
“Ibu benar,” gumam Naura pelan. “Jangan terlalu percaya begitu saja…”
Namun, bayangan ayahnya yang terbaring lemah kembali memenuhi pikirannya.
Bagaimana jika ia menolak bantuan Bimo? Ayah mungkin tidak akan selamat.
Ia menggigit bibirnya, rasa bersalah membanjiri hatinya.
Jika ia terlalu curiga pada Bimo dan menolak bantuannya, bukankah itu sama saja dengan menyerahkan ayahnya pada maut?
“Naura, kamu baik-baik saja?” suara ibunya menyadarkan Naura dari lamunannya.
Naura tersentak, menoleh ke arah ibunya. “I-iya, Bu. Hanya sedikit lelah.”
Ibunya menggenggam tangan Naura dengan lembut.
“Nak, apa pun yang kamu hadapi, selalu ingat bahwa keluarga adalah yang terpenting. Ayahmu butuh kamu sekarang.”
Naura tersenyum samar, tapi di dalam hatinya, kalimat itu justru menambah tekanan.
Ia tahu betul apa yang harus dilakukan, tapi kenapa hatinya terasa begitu berat?
Saat malam semakin larut, Naura akhirnya berdiri dari kursinya dan berjalan ke luar rumah sakit.
Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi itu tidak mengusik pikirannya yang jauh lebih dingin dan kacau.
Ia mengeluarkan ponselnya, membuka kontak Bimo, dan menatap nomor itu lama.
"Haruskah aku mempercayainya? Atau aku harus mencari jalan lain?" pikirnya.
Dalam kebimbangannya, pesan baru masuk ke ponselnya. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal. Pesannya singkat, tetapi cukup untuk membuat jantungnya berdegup kencang.
[Bimo punya rencana lain. Jangan jatuh dalam perangkapnya.]
Naura terdiam. Kedua tangannya gemetar saat membaca pesan itu. Apa maksud pesan ini? Siapa yang mengirimnya? Dan yang terpenting—rencana apa yang dimaksud?
Namun, kemudian suara langkah kaki mendekat. Naura menoleh, mendapati pria misterius yang sebelumnya memperingatkannya berdiri tidak jauh darinya.
“Kita perlu bicara,” katanya dengan nada tegas.
Naura mundur selangkah, menatapnya dengan waspada. Takut tentu saja.
“Apa yang kamu tahu tentang Bimo? Kenapa kamu terus memperingatkan aku?”
Pria itu menghela napas, lalu berkata dengan suara rendah, “Karena aku tahu apa yang terjadi pada wanita-wanita sebelum kamu. Bimo selalu menggunakan cara yang sama—menjadi pahlawan, membantu di saat-saat genting, lalu ....”
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi Naura bisa merasakan beratnya kata-kata yang tertahan.
“Lalu apa?” desak Naura, suaranya bergetar.
“Dia menghancurkan mereka,” jawab pria itu dingin. “Dan kamu mungkin target berikutnya.”
Kata-kata itu membuat darah Naura berdesir. Ia ingin menyangkalnya, tetapi sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ini bukan sekadar ancaman kosong.
“Tapi dia sudah membantu operasinya ...,” bisik Naura, lebih kepada dirinya sendiri.
Pria itu mengangguk. “Itulah awalnya. Semua dimulai dari bantuan. Tapi pada akhirnya, kamu akan membayar lebih dari yang pernah kamu bayangkan.”
Naura menggigit bibir, hatinya bergejolak. Keyakinannya benar-benar diuji.
Sebelum Naura sempat menjawab, suara ponselnya kembali berbunyi. Nama Bimo kwmbali muncul di layar.
“Kamu harus memilih, Naura,” ujar pria itu pelan, lalu berbalik pergi, meninggalkan Naura yang berdiri terpaku dengan ponsel di tangannya.
Naura memandang layar ponsel yang terus bergetar. Suara Bimo mungkin memegang kunci atas segalanya, tetapi benarkah ia bisa mempercayai pria itu? Ataukah keputusan ini akan menjadi awal dari kehancurannya?
Ia menekan tombol jawab, suaranya gemetar saat berkata, “Halo, Mas Bimo ....”
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Teddy
Semangat dan selamat untuk novel barunya, Thor.
2024-11-29
6
Antonio Johnson
lanjut
2024-12-01
0
Samantha
Ditunggu update terbarunya
2024-11-29
0