Tukang ojek yang sudah bersiap membonceng Kaivan langsung memucat. Wajahnya menoleh penuh keraguan, menatap Airin dan Kaivan seperti sedang mempertimbangkan apakah ancaman itu layak ditantang.
Airin mengangkat wajahnya, mencoba menyembunyikan rasa takut yang mulai merayap. Tatapannya yang geram diarahkan pada Wongso. "Apa maksudmu ini, Juragan?" tanyanya dengan suara bergetar namun tetap terdengar tegas.
Kaivan memicingkan matanya, pandangannya yang buram menangkap sosok-sosok di kejauhan. Meskipun begitu, ekspresinya tetap tenang, nyaris tanpa emosi, tapi tubuhnya tampak siaga.
Wongso menyeringai dan berjalan mendekat. "Tinggalkan pria buta itu di sini, Airin. Kau boleh pergi tanpa ada yang menghalangi."
Airin menghela napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat. Dengan suara yang lantang, meski ada nada gemetar di ujungnya, ia menjawab, "Aku tak akan pernah meninggalkan suamiku, apa pun yang terjadi."
Wongso mendengus, seringainya semakin lebar. "Airin, ceraikan pria buta itu. Menikahlah denganku. Aku jamin hidupmu akan jauh lebih baik. Aku akan melepaskan dia dengan damai."
Airin mengepalkan tangannya. "Jangan mimpi!" jawabnya tegas. Sorot matanya tajam, penuh tekad yang berusaha menutupi ketakutannya.
Kaivan tetap berdiri di sampingnya, wajahnya netral. Namun, ia jelas mendengar setiap kata Wongso dan bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti suasana. Ia sedikit menggeser posisinya, berdiri lebih dekat dengan Airin, seperti perisai tak terlihat.
Juragan Wongso berteriak dengan suara penuh amarah, menarik perhatian semua orang di sekitar mereka. "Hei, pria buta! Ceraikan Airin sekarang juga kalau tidak ingin tulang-tulangmu kupatahkan satu per satu! Aku tak bercanda! Akan kupastikan kau tak bisa berdiri lagi seumur hidup!"
Kaivan sama sekali tidak terlihat gentar mendengar ancaman Wongso. Sebaliknya, sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya, penuh ketenangan yang membuat semua orang di sekitar merinding. Dengan suara rendah tapi penuh keyakinan, ia berkata, "Aku benar-benar ingin tahu, bagaimana caramu mematahkan tulang-tulangku."
Kalimat itu bukan sekadar jawaban, melainkan tantangan terbuka. Suasana di gerbang desa itu seketika menjadi hening, semua orang terbelalak tak percaya. Mereka tak menyangka Kaivan yang terlihat tak berdaya berani berkata seperti itu pada Wongso, sang penguasa desa.
Di sampingnya, Airin memanggil pelan, "Kak..." Suaranya mengandung campuran kekhawatiran dan ketakutan, namun juga ada kekaguman yang terpendam. Tatapannya lekat pada Kaivan, mencoba membaca perasaan pria itu. Ia bingung antara menahan Kaivan atau mempercayainya, sementara dadanya berdebar keras karena ketegangan.
Kaivan menoleh sedikit ke arah Airin, masih dengan senyuman di wajahnya. "Tenanglah," ucapnya lembut, seperti berusaha menenangkan gemuruh di hati istrinya. Namun, ada sesuatu di balik nada suaranya yang membuat Airin tak bisa menolak, ketenangan yang tak tergoyahkan, seolah Kaivan yakin bahwa apa pun yang terjadi, dia akan melindunginya.
Di sisi lain, wajah Wongso berubah merah padam. Ia semakin terbakar amarah. "Kau...!" geramnya dengan nada bergetar, giginya menggertak menahan emosi. Wongso melangkah maju dengan tatapan penuh dendam, gerakannya kasar seperti banteng yang siap menyeruduk. "Baiklah, kalau itu maumu! Aku akan tunjukkan caraku menghancurkanmu!"
Kaivan tersenyum dingin, nada suaranya penuh dengan tantangan. "Aku akan menantikannya."
Suasana semakin tegang. Semua mata tertuju pada dua pria yang berdiri berhadapan, seperti dua gunung yang siap bertabrakan.
Sementara itu, anak buah Wongso mulai bergerak, melingkari mereka perlahan, membuat suasana semakin mencekam. Beberapa di antara mereka meretakkan jari-jari, bersiap untuk sesuatu yang buruk.
Di sisi lain, Supar berdiri agak jauh, matanya terus memperhatikan situasi. Jantungnya berdegup kencang. Meskipun ia berusaha tetap tenang, dalam hati ia gelisah. Ia tahu betapa kejamnya Wongso, dan sekarang, ia khawatir atas keselamatan Airin dan Kaivan. Sekilas, pandangannya melirik ke arah desa, berharap ada sesuatu atau seseorang yang bisa menghentikan kekacauan ini sebelum terlambat.
Juragan Wongso menatap Airin dengan senyum tipis yang mengandung ancaman. "Airin, aku sudah memberimu pilihan. Jangan salahkan aku jika aku harus bertindak kasar," ucapnya dingin sambil memberi isyarat halus pada anak buahnya.
Kaivan, yang merasakan ketegangan di udara, meraba tangan Airin yang masih melingkar di lengannya. Dengan tenang, ia menggenggam barang belanjaan di tangannya dan menyerahkannya kepada Airin.
Airin mendongak, menatap Kaivan dengan sorot mata penuh kebingungan. "Kak?" tanyanya ragu.
Kaivan menoleh ke arah suara istrinya, wajahnya tetap tenang meski pandangannya masih buram. Dengan suara lembut namun tegas, ia berkata, "Berdirilah di belakangku."
"Tapi, Kak—" protes Airin, namun kalimatnya langsung terputus oleh Kaivan. "Percayalah padaku," potongnya sambil mengarahkan tubuh Airin perlahan agar berdiri di belakangnya.
Wongso tertawa kecil, seringainya semakin lebar. "Ho…ho…ho... kau merasa bisa melawanku dan melindungi Airin? Aku kagum dengan kepercayaan dirimu, orang buta." Nada suaranya penuh ejekan dan meremehkan.
Kaivan berdiri tegak, meskipun matanya tak dapat sepenuhnya melihat musuh di depannya, ia tetap memancarkan wibawa yang tak tergoyahkan. "Jangan banyak bacot. Maju saja kalau memang berani," tantangnya dengan nada dingin.
Wongso mendengus, tatapannya yang penuh meremehkan kini bercampur dengan amarah. "Sombong!" ucapnya dingin, matanya menyipit menatap Kaivan.
Airin, yang berdiri di belakangnya, tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Tangannya kembali menggenggam lengan Kaivan. "Kak…" suaranya bergetar, hampir memohon.
Kaivan mengangkat tangannya dan menyentuh jemari Airin, kemudian melepaskannya perlahan. "Tenanglah," katanya lembut namun penuh keyakinan.
Dengan itu, Kaivan mempersiapkan dirinya. Tubuhnya sedikit merunduk, telinganya lebih waspada, dan ia memasang kuda-kuda sederhana, seolah siap menghadapi apapun.
Airin menggigit bibirnya, hatinya terasa dipenuhi rasa takut yang meluap-luap. Dari gerak-geriknya, ia tahu Kaivan bukan pria biasa, tapi kondisinya yang masih belum pulih membuatnya cemas.
Sementara itu, Wongso berdiri di tempatnya, mengamati Kaivan dengan tatapan mengejek. Anak buahnya mulai bergerak maju, senyuman penuh keyakinan tergambar di wajah mereka.
Di sisi lain, Supar yang berdiri di belakang Wongso, mencuri-curi pandang ke arah desa. Matanya tampak gelisah, berharap ada seseorang yang bisa muncul untuk menghentikan semua ini sebelum ada korban dalam kekacauan ini.
Wongso memberi isyarat pada anak buahnya. "Hajar dia! Buat dia menyesal karena berani menikahi gadis yang aku suka! Tapi jangan lukai calon istriku!" perintahnya dengan suara lantang pada anak buahnya.
Kaivan tetap berdiri tenang di tempatnya, tubuhnya terlihat tidak gentar sedikit pun. Mendengar Wongso tak akan melukai istrinya, ia menoleh ke belakang, berbicara pada Airin dengan nada penuh ketegasan, "Airin, pergilah ke tempat yang aman."
Airin menggeleng cepat, wajahnya penuh kecemasan. "Tapi, Kak—"
Kaivan menoleh ke arahnya, memotong ucapannya dengan suara yang lebih dalam. "Jangan membantah kata-kata suamimu."
Tatapan matanya yang kosong, meskipun tidak dapat melihat, seolah memiliki otoritas yang tak terbantahkan. Airin tertegun, napasnya tercekat. Ia ingin melawan, tetapi kekuatan dalam suara Kaivan membuatnya tak mampu berkata-kata lagi. Perlahan, ia mengangguk dan melangkah mundur, meskipun hatinya tetap penuh kekhawatiran.
Orang-orang Juragan Wongso pun memberi jalan pada Airin untuk menjauhi tempat yang sebentar lagi pasti akan jadi arena perkelahian.
Kaivan memejamkan matanya, berusaha mengabaikan pandangannya yang buram. Sebaliknya, ia memfokuskan semua inderanya untuk merasakan setiap gerakan yang ada di sekitarnya. Suara langkah kaki yang mendekat, desahan napas yang tertahan, bahkan desiran kecil di udara, semua itu masuk ke dalam kesadarannya.
Tubuhnya tetap tenang, tetapi otot-ototnya sudah bersiap. Ia tahu, saat ini, bukan hanya dirinya yang ia lindungi, melainkan juga wanita yang telah bersumpah akan ia jaga, apapun yang terjadi.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
Dasar bandot tua beraninya main keroyokan dan sok berkuasa didesa dan belagu...
Airin sangat cemas dan panik suaminya dikeroyok anak di bandot tua wongso...
Percayalah airin suamimu bukan orang sembarang pasti bs mengalahkan anak buahnya di bandot tua itu....
kaivan sudah berjanji menjaga dan melindungi....
lanjut thor.....
makin seru dan menarik.....
2024-12-12
5
sum mia
heleh ...tua bangka hanya mengandalkan anak buahnya , tanpa berani melawan sendiri . coba kalau dia sendiri bisa apa , sekali tonjok palingan juga keok , trus jatuh , pingsan deh ....
ayo lawan Van.... aku yakin kamu pasti bisa , aku bantu dengan doa ya ....
semangat.... semangat....
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
2024-12-12
2
Anitha Ramto
Ayo Van...tunjukan keahlianmu hempaskam semua anak buah si Tua bangka itu dengan kemampuanmu..
si Tua bangka sdh meremehkanmu
sekarang saatnya kamu beraksi
lumpuhkkan mereka...Semangat Kaivan kamu pasti bisa mengalahkan mereka dgn bekal ilmu bela diri
2024-12-12
2