Airin melangkah masuk ke rumah dengan beberapa kantong belanja di tangannya. Wajahnya terlihat puas meski tubuhnya sedikit lelah setelah beberapa jam berkeliling pasar. Ia segera menuju kamar di mana Kaivan sedang duduk bersandar di tepi ranjang.
Kaivan yang mendengar langkah kaki Airin langsung menoleh. "Airin? Kau kah itu?"
Airin tersenyum dan mengangguk meski Kaivan tidak bisa melihatnya. "Iya, Kak. Aku baru saja pulang dari pasar. Aku membeli sesuatu untukmu."
Kaivan mengernyit penasaran. "Membeli sesuatu untukku?"
Airin meletakkan kantong belanja di meja kecil, lalu mengeluarkan satu setel pakaian dari dalamnya. "Aku membelikan beberapa setel pakaian. Aku berharap ini pas dengan tubuhmu."
Kaivan terdiam sejenak sebelum tersenyum kecil. "Kau tidak perlu repot-repot, Airin."
"Tidak repot, Kak," jawab Airin cepat. Ia meraih pakaian yang sudah disiapkannya dan menyerahkannya pada Kaivan. "Coba pakai ini, ya. Aku ingin tahu apakah ukurannya sesuai."
Kaivan menerima pakaian itu dengan ragu, namun senyuman tipis terulas di wajahnya. "Baiklah. Tapi kau benar-benar tak perlu mengeluarkan uang untuk ini."
Airin tersenyum lembut dan berkata, "Sudah jadi tugasku sebagai istri untuk memastikan kau punya pakaian yang layak, Kak."
Ketika Kaivan mulai mengangkat bajunya, Airin tiba-tiba teringat sesuatu dan berkata dengan nada malu-malu, "Oh... dan aku juga... emm... membelikan pakaian dalam untukmu."
Kaivan yang sedang melepas bajunya berhenti sejenak, lalu tertawa pelan. "Pakaian dalam? Kau bahkan memikirkan itu juga?"
Airin memalingkan wajahnya, merasa pipinya memanas. "Aku hanya tidak ingin kau merasa tidak nyaman, Kak."
Kaivan tersenyum hangat. "Terima kasih, Airin. Kau sangat perhatian."
Airin tersenyum kecil sambil menunggu Kaivan mencoba pakaian yang dibelinya. Dalam hatinya, ia berharap semua pilihan yang diambilnya tadi benar-benar pas untuk suaminya.
Ketika waktu menunjukkan pukul tiga sore, Airin menatap Kaivan yang sedang duduk santai di ruang tamu. Ia kemudian berkata dengan lembut, “Kak, aku mau ke belakang rumah untuk memanen cabai. Kalau butuh sesuatu, teriak saja, ya.”
Kaivan yang mendengar itu langsung menoleh ke arah suara Airin. “Cabai? Di belakang rumah ada kebun?” tanyanya, terdengar tertarik.
Airin tersenyum kecil. “Iya, aku menanam cabai dan beberapa sayuran di sana. Kalau Kakak mau, aku bisa ajak Kakak ke belakang.”
Kaivan mengangguk pelan. “Boleh juga. Aku sudah lama tidak menghirup udara segar.”
Airin membantu Kaivan berdiri dan dengan perlahan menuntunnya keluar ke halaman belakang. Setibanya di sana, Kaivan bisa merasakan semilir angin sore yang menyegarkan. "Udara di sini enak, ya," ucapnya dengan nada puas.
Airin tersenyum sambil menunjuk ke arah kebun kecil di depannya meski Kaivan tidak bisa melihat. “Itu kebunnya, Kak. Aku yang menanam semua ini. Tapi lihat, Nenek sudah duluan memetik cabai,” ujarnya, melihat neneknya berdiri di tengah kebun dengan keranjang kecil di tangan.
Nenek Asih menoleh ke arah mereka dan tersenyum ramah. “Aku pikir kau tidak jadi memanen, Airin. Cabainya sudah matang, sayang kalau dibiarkan terlalu lama.”
“Tidak apa-apa, Nek. Aku juga mau memetik sisanya,” jawab Airin sambil tersenyum.
Kaivan berdiri di dekat pagar kebun sambil menikmati udara sore yang segar. Airin sesekali melirik ke arah Kaivan saat memetik cabai, memastikan suaminya baik-baik saja. Nenek Asih memperhatikan hal itu dengan senyum penuh arti di wajahnya.
“Kau perhatian sekali pada suamimu, Rin,” gumam Nenek Asih sambil mendekati Airin.
Airin tersipu malu, lalu menjawab dengan nada pelan, “Kak Ivan 'kan masih dalam masa pemulihan, Nek. Aku hanya ingin memastikan dia nyaman.”
Kaivan yang mendengar percakapan mereka tersenyum samar, meski tak berkata apa-apa. Ia terus menikmati suasana sore yang tenang, mendengarkan suara dedaunan yang bergesekan dan langkah kaki Airin di antara tanaman.
“Nenek benar, Rin,” katanya tiba-tiba, membuat Airin terkejut. “Kau memang perhatian. Terima kasih.”
Airin menunduk sambil tersenyum malu. “Sama-sama, Kak. Aku cuma melakukan yang seharusnya.”
Mereka bertiga melanjutkan aktivitas masing-masing di kebun kecil itu, menikmati sore yang damai bersama.
Di sisi lain, Supar berdiri dengan kepala sedikit menunduk, menatap Wongso yang duduk santai di kap mobilnya. Mata Wongso menyipit, penuh tanya. "Bagaimana, Supar? Ada kabar apa dari rumah Airin?" tanyanya dengan nada dingin namun penuh rasa ingin tahu.
"Airin hari ini membelikan pakaian untuk pria itu, Juragan," jawab Supar, berusaha tetap tenang. "Dia juga membawa pria itu ke kebun belakang rumah saat memetik cabai bersama neneknya."
Wongso terdiam, wajahnya terlihat serius. Ia menatap kosong ke arah rumah Airin dari tempatnya berada. "Dia nekat menikahi pria itu... Meski harus mengurus dan menghidupinya. Dasar gadis bodoh," gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. "Sumber penghasilannya cuma kebun kecil di belakang rumahnya bukan?"
Supar mengernyit mendengar itu. "Maksud Juragan apa, ya?" tanyanya hati-hati.
Wongso tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip licik. "Kalau kebun itu sampai—"
Belum sempat Wongso menyelesaikan ucapannya, suara tegas seorang tiba-tiba menyela. "Kau belum juga puas bermain-main, Wongso!"
Wongso dan Supar langsung menoleh ke arah suara itu. Bu Warti muncul dari arah samping, menghentikan langkahnya tepat di depan Wongso.
"Kalau sampai kebun Airin rusak, aku pastikan kamu yang jadi tersangka utama!" Suaranya lantang, penuh ketegasan.
Wongso terkejut, tapi segera menguasai dirinya. Ia menyeringai sinis.
"Bu Warti, jangan ikut campur urusan ini. Kebun itu hanya sepetak tanah kecil, bukan sesuatu yang perlu diributkan."
Bu Warti melipat tangan di dada, tatapannya tajam menembus Wongso.
"Sepetak tanah kecil itu adalah sumber penghidupan Airin dan nenek Asih. Kalau sampai kamu mengganggu mereka, aku akan melapor ke polisi. Kamu tahu, aku punya cukup bukti untuk menyeretmu ke pengadilan."
Wongso menghela napas panjang, mencoba terlihat tenang. "Bukti apa yang Ibu maksud? Saya tidak melakukan apa-apa."
Supar, yang sejak tadi hanya diam, mulai gelisah. Ia melirik Wongso dengan cemas. "Juragan... mungkin sebaiknya kita pergi saja," bisiknya pelan.
Namun, Bu Warti tak memberinya kesempatan untuk kabur. "Jangan pikir aku tidak tahu permainan kotormu, Wongso. Selama ini aku diam karena aku enggan mencampuri urusan orang lain, tapi kalau kamu berani menyentuh Airin, aku tidak akan tinggal diam!"
Wongso mengepalkan tangan, wajahnya memerah menahan emosi. Ia melangkah masuk ke dalam mobilnya diikuti Supar. Setelah duduk di dalam mobilnya, ia berkata, "Kita lihat saja nanti, Bu Warti." ia beralih menatap Supar yang sudah duduk di belakang kemudi. "Ayo pergi!"
Supar mengangguk cepat. "Baik Juragan." Supar bergegas menyalakan mesin dan perlahan melajukan mobil itu meninggalkan Bu Warti.
Setelah Wongso dan Supar pergi, Bu Warti mendengus kesal. "Dasar tua bangka bau tanah! Ingin sekali aku menyingkirkannya," geramnya menatap mobil Wongso yang semakin menjauh.
Sementara itu, Wongso masih belum mampu meredakan emosinya, rahangnya mengatup rapat. "Supar, awasi terus Airin. Aku akan mencari cara untuk menyingkirkan orang buta itu," ucapnya dengan nada dingin dan penuh kebencian.
Supar, yang duduk di kursi pengemudi, hanya mengangguk kecil. "Iya, Juragan," jawabnya dengan nada datar. Namun, tangan Supar yang memegang setir mobil tampak menggenggam kuat, mencerminkan kegelisahan yang ia rasakan. Dalam hatinya, Supar merasakan konflik yang semakin besar.
Ia melirik ke arah Wongso sekilas, lalu kembali fokus ke jalan, mencoba menyembunyikan pikirannya. "Airin, aku tak tahu apa yang akan menimpamu selanjutnya. Tapi aku yakin itu bukan sesuatu yang baik. Juragan Wongso ini tak pernah peduli siapa yang ia hancurkan demi keinginannya." Supar menghela napas panjang, hatinya terasa berat. "Bagaimana aku bisa membantumu tanpa melawan Juragan? Apa aku hanya akan menjadi saksi bisu atas penderitaanmu?" gumamnya dalam hati.
Wongso, yang tak menyadari pergolakan batin Supar, ia menoleh menatap rumah Airin dari kejauhan. Wajahnya penuh tekad jahat. "Orang seperti dia tak pantas ada di sini," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
sum mia
bukannya tadi udah masuk ke mobil dan udah jalan , kok akhir bab masuk ke mobil lagi kak .
untung ada Bu warti yang selalu menolong Airin dan neneknya . meski dia wanita tapi dia tegas dan lantang melawan si Wongso tua bangka bau tanah itu .
tapi kok kata Supar tadi " apakah dia hanya menjadi saksi bisu atas penderitaan nya ." mungkinkah dibalik kekejamannya tersimpan penderitaan yang orang lain tak tahu , dan apakah itu .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
2024-12-09
3
Anitha Ramto
Airin..,Neneknya dan Kaivai mereka adalah orang baik,pasti akan terlindung dari orang² yg berbuat jahat dan dzolim...atas Pertolongan sang Pencipta Airin..Neneknya dan Kaivan insyaAlloh selamat,bakal berbalik ke si tua bangka niat jahatnya jd senjata makan tuan
2024-12-08
2
Marsiyah Minardi
Semoga ada yang menolong Ivan, Airin dan neneknya
Yuk Bu Warti cepat bertindak
Dan kau Supar, dengarkan nuranimu, jangan terus terusan jahat
2024-12-08
1