Wongso menginjak pedal gas, mobilnya melaju pergi dengan kecepatan tinggi, meninggalkan rumah Airin yang berangsur sepi. Tetapi kemarahannya masih membara. Meskipun ia terpaksa mundur untuk saat ini, ia tahu bahwa pertempuran ini belum selesai. Dalam pikirannya, ia merencanakan langkah-langkah berikutnya, tidak peduli seberapa sulit atau licik cara yang akan ia lakukan. Wongso yakin, jika ia berusaha cukup keras, ia masih bisa meraih apa yang ia inginkan.
Setelah semua warga pulang, rumah sederhana itu terasa sepi. Hanya ada Airin, Kaivan, dan Nenek Asih yang kini duduk bersama di ruang tamu yang sederhana. Keheningan itu terasa begitu tebal, membuat Airin tiba-tiba merasa canggung. Ia menundukkan kepala, berpikir tentang keputusan besar yang baru saja ia ambil. "Apa aku sudah gila Bagaimana bisa, hanya dalam waktu kurang dari 24 jam mengenal Kak Ivan, aku langsung menikah dengannya?" gumamnya dalam hati. Meskipun ia tahu itu langkah nekat, entah mengapa hatinya merasa yakin bahwa Kaivan akan menjadi suami yang baik, dan bahkan ayah yang baik bagi anak-anak mereka kelak.
Airin merasa seolah ia sudah mengenal Kaivan sejak lama, padahal kenyataannya, mereka bahkan belum sempat saling berbicara panjang. Ia hanya merasa ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sebuah perasaan yang membuatnya percaya bahwa Kaivan adalah orang yang tepat.
Di sisi lain, Kaivan duduk dengan tenang. Ia tidak menunjukkan gelisah atau kebingungannya, meskipun tak pernah membayangkan bahwa ia akan menikah dengan seorang gadis desa yang belum pernah ia lihat wajahnya dan baru ia kenal tadi pagi. Baginya, pernikahan ini terasa seperti takdir yang datang begitu mendalam, dan ia menerima semua ini tanpa banyak bertanya. Kaivan merasa ada sesuatu yang indah dan tulus dalam keputusan ini, meskipun dunia di luar sana tidak tahu apa yang terjadi di dalam hatinya.
Kaivan menunjukkan tatapan lembut, meskipun matanya tak dapat melihat, ia bisa merasakan perasaan wanita itu. "Terima kasih, Airin," katanya pelan, suaranya hangat, "Aku mungkin tidak bisa melihat wajahmu, tapi aku merasakan kebaikanmu. Aku janji akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi suami yang baik bagi kamu dan keluarga kita."
Airin tertegun mendengarnya. Ia tidak menyangka Kaivan akan berkata seperti itu. Sebuah rasa hangat dan damai mulai menyelimuti hatinya. Ia tidak tahu bagaimana masa depan mereka akan berjalan, tapi ia merasa bahwa mereka berdua akan melewatinya bersama, apapun yang terjadi.
Airin hanya bisa menjawab dengan suara pelan, “Aku... tidak tahu harus berkata apa.” Ia merasa canggung, bingung dengan situasi yang begitu mendalam namun mendadak ini. Keputusan besar itu datang begitu cepat, dan meskipun ada rasa yakin dalam hatinya, ia tidak bisa menghindari kecanggungan yang kini menghampiri mereka berdua.
Melihat ketegangan di antara mereka, Nenek Asih yang sudah lebih berpengalaman dengan kehidupan, angkat bicara dengan lembut. “Sudah, Airin... kalian sudah menikah. Sekarang, Ivan adalah suamimu, jadi mulai malam ini, Ivan akan tidur di kamarmu,” ujarnya dengan penuh pengertian. "Sudah larut malam, Nenek akan segera beristirahat. Kalian berdua, sebaiknya juga segera beristirahat."
Nenek Asih mengusap bahu Airin sebelum beranjak dan melangkah menuju kamarnya.
Airin berdiri terdiam sesaat, tak tahu harus berbuat apa. Kemudian, dengan sedikit gugup, ia mendekati Kaivan yang masih duduk di kursi. "Kak, kita ke kamar, ya?" tanyanya lembut.
Kaivan menganggukkan kepalanya. Airin mengulurkan tangan untuk membimbing Kaivan ke kamarnya. Dengan lembut, ia mengarahkan Kaivan agar berbaring di kasur yang hanya berukuran 120 cm x 200 cm. Setelah itu, ia pun ikut berbaring di sisi Kaivan, dengan rasa canggung yang menggelayuti perasaannya. Suasana dalam kamar itu seolah terasa hening, hanya terdengar detak jantung mereka yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
Kaivan, yang meskipun tidak bisa melihat, bisa merasakan perubahan dalam atmosfer kamar itu. "Kenapa aku jadi merasa canggung kayak gini?" batinnya. Namun ada kedamaian dalam dirinya. Mereka berdua hanya terdiam, mencoba beradaptasi dengan kenyataan baru ini.
Di luar, angin bertiup kencang, mengguncang pepohonan dan membawa suara petir yang menggelegar, disertai kilat yang menyambar langit. Hujan turun dengan deras, mengetuk jendela kamar dengan ritme yang semakin cepat. Di tengah-tengah ketegangan alam itu, suasana dalam kamar terasa sepi dan penuh kedamaian.
"Apa malam ini akan hujan semalaman seperti kemarin malam?" batin Airin. Ia melirik Kaivan yang sudah memejamkan mata. Airin meraih selimut dan dengan hati-hati menyelimuti tubuh Kaivan, menatap pria yang telah menjadi suaminya itu lekat. "Apa yang sedang kupikirkan? Aku baru mengenalnya, belum tahu siapa dia sepenuhnya, tapi kenapa hatiku merasa tenang saat bersamanya? Apakah ini karena keputusanku sudah bulat, atau karena aku melihat sesuatu yang lain dalam dirinya?" gumamnya dalam hati. Ia menghela napas panjang. "Apapun itu, aku percaya dia adalah pria yang baik. Aku harus percaya, pada takdir, pada jalan yang sedang kami lalui bersama," batin Airin meyakinkan dirinya sendiri. Ia kembali membaringkan tubuhnya dan memakai selimut yang sama dengan Kaivan.
Kaivan yang terbaring dengan mata terpejam, menikmati kehangatan yang diberikan Airin. Meskipun ia tidak bisa melihat, ia merasakan perhatian yang tulus dari perempuan yang baru saja menjadi istrinya. "Dia menyelimutiku?" batinnya. Kaivan tersenyum samar, senyum yang tidak bisa dilihat oleh Airin, namun terasa dalam setiap gerakan tubuhnya yang semakin rileks.
"Dia mungkin merasa canggung, seperti aku yang juga merasa asing dengan keadaan ini. Tapi perhatian kecilnya... kehangatan ini, mengingatkanku pada mamaku. Mungkinkah aku akan menemukan rumah dalam diri perempuan ini? Tuhan, jika ini jalan-Mu, aku hanya bisa menerima dan mencoba menjadi suami yang layak baginya," gumam Kaivan dalam hati.
Entah mengapa pria yang tak mudah didekati wanita itu merasakan kehangatan dalam setiap sentuhan dan perhatian Airin. Entah mengapa ia setuju menikah dengan wanita yang baru ia kenal dan belum pernah ia lihat.
Di tengah suara hujan yang menghantam jendela, pikiran mereka berputar dalam kebisuan, seperti dua jiwa yang sama-sama mencari arah di tengah badai. Di bawah cahaya lampu kamar yang redup, mereka berdua merasa ada ikatan baru yang tumbuh. Walaupun semuanya terasa mendadak, dan penuh ketegangan, ada harapan yang diam-diam tumbuh dalam hati mereka.
***
Sementara itu, di sebuah ruangan megah yang dipenuhi rak buku dan perabotan klasik, Alva, seorang pria paruh baya dengan penampilan yang lebih muda dari usianya, duduk di kursi kerjanya dengan postur tegap dan ekspresi tenang yang memancarkan wibawa. Meski begitu, ada kehangatan yang tersirat dalam sorot matanya, terutama saat ia berbicara tentang keluarganya.
Di depannya, Ferdi berdiri dengan postur atletis, tubuh tegapnya mencerminkan masa lalunya sebagai mantan atlet bela diri. Rambutnya yang mulai memutih di beberapa bagian tak mengurangi kesan tangguh pada wajahnya yang dihiasi rahang tegas dan mata tajam. Pakaian Ferdi sederhana namun rapi, memungkinkannya bergerak dengan gesit jika situasi membutuhkan.
"Apa kau sudah menemukan keberadaan putraku?" tanya Alva dengan nada dingin namun terkontrol, menyembunyikan kecemasan yang mendalam di baliknya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Anitha Ramto
Kaivan dan Airin sama² merasa Canggung,,tp ada kehangatan dan kenyamanan dlm diri Kai..bersama Airin,takdirlah yang sudah menentukan mereka utk bersatu dgn jakan seperti ini...semoga Kai mencinta Airin dgn perlahan
2024-12-04
1
Upi Raswan
Ivan anak konglomerat yg diculik musuh papa Alva,, semoga Ivan bisa melihat lagi dan membawa istri dan nenek mertuanya ke kota
2024-12-05
1
Dwi Winarni Wina
Airin dan kaivan msh merasa canggung dan grogi bila berdekatan,,,
Pasutri itu akhirnya tidur satu ranjang...
2024-12-09
1