Pikiran Supar melayang ke insiden beberapa bulan lalu, ketika seorang pemuda dari desa sebelah memberanikan diri mendekati Airin meskipun sudah diperingatkan. Akibatnya, pemuda itu dihajar habis-habisan oleh anak buah Wongso, sampai tubuhnya terkapar dan harus dirawat di rumah sakit selama sebulan penuh.
Supar bergidik ngeri mengingat kejadian itu. la tahu betul tak ada yang berani melaporkan Wongso. Juragan itu terlalu kuat, terlalu licik. Dengan kekayaannya, ia mempekerjakan para tukang pukul setia yang siap melampiaskan kemarahan Wongso kapan saja, tanpa meninggalkan jejak yang bisa menjeratnya secara hukum.
Supar menghela napas panjang. Ia hanya bisa berharap hari ini tidak berakhir dengan kekerasan, meskipun dalam hati kecilnya, ia tahu Wongso pasti akan melakukan sesuatu untuk menunjukkan siapa yang berkuasa di desa itu.
Supar menatap jalanan yang ia lalui, merenung dalam diam. "Sebenarnya aku tidak senang menjadi mata-mata juragan Wongso, dan aku kasihan pada Airin," gumamnya dalam hati. "Tapi aku harus menafkahi anak dan istriku. Lagian, meskipun aku berhenti bekerja menjadi mata-mata juragan Wongso, dia pasti akan memperkerjakan orang lain. Jadi, apa bedanya?"
Supar merasakan perasaan berat dalam dadanya. Meskipun ia tahu bahwa apa yang dilakukannya tidak benar, ia merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Setiap hari, ia harus menahan diri untuk tidak terbawa oleh perasaan belas kasihnya terhadap Airin, karena ia sadar bahwa pilihan-pilihan yang ia buat selalu berkaitan dengan bertahan hidup, bukan dengan kebenaran atau keadilan.
Ia menatap jalanan yang berdebu, seakan mencari petunjuk atau jawaban, tetapi yang ada hanya suara deru mobil yang ia kendarai. Supar tahu ia hanya mengikuti arus kehidupan yang lebih besar, meskipun ia tak sepenuhnya setuju dengan cara-cara yang harus ditempuh.
***
Langit sudah gelap, diselimuti awan pekat yang menghalangi cahaya bintang dan bulan. Suara binatang malam mulai terdengar bersahut-sahutan, menciptakan irama sunyi yang khas. Jangkrik berbunyi tanpa henti, sesekali diselingi oleh suara burung hantu dari kejauhan.
Di sebuah rumah sederhana di pinggir desa, lampu temaram menerangi ruangan kecil. Angin malam membawa hawa dingin, menyusup melalui celah-celah pintu dan jendela kayu yang tertutup rapat.
Airin duduk di dekat Kaivan dengan sebuah mangkuk sup hangat di tangannya. Aroma harum rempah memenuhi ruangan. Ia menyesap sendok, memastikan suhunya pas sebelum menyodorkannya ke arah Kaivan. Entah bagaimana reaksi Kaivan jika ia tahu bahwa Airin lebih dulu menyesap sendok itu sebelum menyuapinya.
Bagi pria itu, kedekatan fisik dengan wanita asing selalu mengusik ketenangannya, terutama mengingat prasangka yang selama ini tertanam dalam pikirannya, bahwa banyak wanita hanya mengincar kemewahan, nama besar, dan kekuasaan keluarganya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Airin memperlakukannya, meski ia tetap sulit menepis kecurigaan yang selama ini mengakar.
"Pelan-pelan, Kak. Supnya masih agak hangat," ucapnya lembut.
Kaivan mengangguk kecil, membuka mulutnya. Ia makan dengan tenang, meski sedikit canggung karena bergantung sepenuhnya pada Airin.
"Rasanya... enak," komentar Kaivan setelah beberapa sendok.
Airin tersenyum tipis. "Hanya sup sederhana. Tapi syukurlah kalau kamu suka."
Setelah beberapa suapan, Airin mengambil gelas kecil di meja dan beberapa pil yang sudah ia siapkan sebelumnya. "Sekarang minum obatnya dulu, ya. Ini yang diminum setelah makan."
Kaivan meraba-raba sedikit, tapi Airin cepat-cepat memegang tangannya, meletakkan pil di telapak tangan Kaivan. Sentuhan lembut itu membuat Kaivan diam sejenak, namun ia tak berkata apa-apa dan langsung menelan pil itu.
"Ini... airnya," lanjut Airin, sedikit tergagap, membantu menyodorkan gelas ke bibir Kaivan.
Kaivan minum air itu dengan perlahan. Setelahnya, ia bersandar lelah di kursi, merasa tubuhnya mulai sedikit lebih ringan. "Terima kasih, Airin. Kau... sangat sabar."
Airin menggeleng kecil, meski Kaivan tak bisa melihatnya. "Nggak apa-apa, Kak. Anggap saja ini... tugas kecilku."
Kaivan menghela napas, ada kehangatan kecil di hatinya meski ia tetap menjaga sikap dinginnya. "Tapi tidak semua orang mau bersikap sebaik ini pada orang asing, apalagi yang tidak tahu apa-apa tentangku."
Airin terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Mungkin kamu merasa asing di sini, tapi di rumah ini... kamu tidak akan sendirian."
Kaivan mengangguk sedikit, tapi tetap tidak berkata banyak. "Aku akan pergi begitu aku bisa," ujarnya dengan suara yang lebih rendah. Meski ia tampak acuh, Airin tahu bahwa Kaivan tidak benar-benar ingin tinggal lama.
Airin berusaha meredakan ketegangan di antara mereka. “Tidak perlu terburu-buru. Kamu tidak akan bisa pergi dengan kondisi seperti ini. Beristirahatlah dulu sampai pulih.”
Kaivan tidak menjawab, hanya duduk dalam diam. Ia merasa sedikit canggung dengan bantuan yang ia terima, tetapi ada sesuatu yang menghalanginya untuk menolak lebih jauh.
Suara ketukan keras di pintu memecah keheningan di dalam rumah. Airin dan Kaivan sama-sama menoleh ke arah pintu, keduanya tampak terkejut. Dari arah dapur, Nenek Asih muncul sambil mengelap tangannya dengan kain lap, ikut melirik ke sumber suara.
"Siapa yang datang malam-malam begini?" gumam Nenek Asih dengan nada heran, raut wajahnya mulai cemas.
Airin bangkit dari duduknya, jantungnya sedikit berdebar. "Biar aku lihat, Nek," jawabnya, berusaha terdengar tenang.
Nenek Asih mengangguk perlahan, meski tatapannya masih lekat pada pintu. "Hati-hati, Rin," pesannya.
Airin mengangguk, sementara suara ketukan kembali terdengar, lebih keras dari sebelumnya. Dengan langkah pelan namun tegas, Airin berjalan ke pintu. Jantungnya berdebar tak karuan, entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang tak beres. Di luar, bayangan samar seseorang terlihat berdiri di bawah cahaya remang lampu teras.
Sebelum membuka, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dengan hati-hati, Airin mengangkat tangannya untuk meraih gagang pintu, tidak menyadari bahwa malam itu akan membawa perubahan besar dalam hidupnya.
Saat tangannya menyentuh gagang pintu, ia berbisik pelan ke Kaivan. "Kak Ivan, tetap di tempatmu. Jangan bersuara dulu, ya."
Kaivan hanya mengangguk, meskipun ketegangan di wajahnya tak bisa ia sembunyikan.
Airin membuka pintu perlahan, pintu kayu itu berderit halus. Di depannya, berdiri seorang pria kurus dengan ekspresi tegang, matanya melirik tajam ke arah dalam rumah. "Airin," sapa pria itu dengan nada mendesak. "Kenapa pria buta itu masih di rumahmu?"
Airin menelan ludah, tubuhnya menegang. Perasaan tak nyaman semakin menguat, tapi ia berusaha tetap tenang. "Ada apa, Pak Supar? Memangnya kenapa?"
Pria itu tidak menjawab langsung, hanya mendekatkan wajahnya, suaranya lebih pelan namun penuh tekanan. "Juragan tidak suka ada pria di rumahmu."
Nenek Asih berdiri cemas di sudut ruangan, mengintip dengan gelisah ke arah pintu. Suara Supar terdengar samar namun cukup jelas, sementara Kaivan tampak duduk tenang, meski jelas ia sedang menajamkan pendengarannya.
Airin berdiri tegar di ambang pintu, menatap Supar dengan tatapan tidak senang. "Apa urusan juragan dengan orang yang ada di rumahku? Aku sudah melapor pada Pak RT," ucapnya dingin, menandakan ketidaksukaannya akan campur tangan Wongso.
Supar menggaruk belakang kepalanya, tampak serba salah. "Dengar, Airin... Aku hanya menyampaikan pesan juragan. Sebaiknya kau keluarkan pria buta itu sebelum juragan Wongso bertindak," katanya pelan. Ia melirik ke dalam rumah, memastikan tidak ada orang lain yang mendengarnya.
Ada nada ragu dalam suaranya saat ia menambahkan, "Jujur, aku kasihan pada pria-pria yang berurusan denganmu, Rin. Sebagian besar dari mereka... ah, kau tahu sendiri, mereka dihajar juragan sampai babak belur. Aku selalu mencoba memperingatkan mereka untuk menjauh darimu, tapi... banyak yang keras kepala. Dan kau tahu bagaimana akhirnya bukan?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Lia_Sriwijaya
dasar juragan gatel... kekayaan mu ga ada apa² nya di banding kan kaivan... dasar tua gatel, udah punya istri bnyk jg masih ngincar daun muda... huuuu #esmosi aq Thor...
2024-12-02
2
Anitha Ramto
jgn biarkan Kaivan pergi dari Airin...lapor Pak Rt lg..jgn kalah sm si tua bangka yg alasannya tdk masuk akal..dan jgn takut ada hukum ini..laporkan sj si tua bangka yg tidak waras itu
2024-12-03
1
Dwi Winarni Wina
Dasar bangkotan tua msh doyan sm daun muda dan banyak pria yg mendekati airin berakhir sampai babak belur,,,,
Si bandot tua gak inget umurnya msh ngincer airin....
2024-12-08
1