6. Sang Juragan

Bidan Warti mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan langsung itu. Ia menyandang tas kecilnya dan menatap pria kurus itu dengan penuh selidik. "Pria mana yang kamu maksud?" tanyanya hati-hati, meski ia sudah bisa menebak siapa yang dimaksud.

"Orang yang Airin bawa pulang dari sungai! Katanya dia buta dan terluka. Tapi siapa dia sebenarnya? Dari mana asalnya?" desak pria itu, wajahnya memerah karena rasa penasaran yang jelas-jelas menguasainya.

Bidan Warti menghela napas, mencoba menjaga ketenangan. "Kalau kamu tahu dia terluka, itu berarti dia perlu istirahat, bukan dibahas seperti ini. Lagipula, siapa dia atau dari mana dia berasal, itu urusan Airin, bukan urusanmu."

Pria kurus itu mendengus frustrasi. "Tapi Bu Warti, bagaimana kalau dia berbahaya? Bagaimana kalau—"

"Sudah cukup, Supar!" potong Bidan Warti dengan nada lebih tegas. "Kamu terlalu banyak berandai-andai. Kalau kamu benar-benar peduli, doakan saja dia cepat sembuh. Sekarang, minggir! Aku lelah dan ingin masuk ke rumah."

Supar membuka mulutnya, seakan ingin membantah, tapi akhirnya ia hanya bisa menggumam tidak jelas sambil mundur perlahan. Bidan Warti melangkah masuk ke rumahnya, meninggalkan pria itu berdiri di halaman, masih dengan rasa penasaran yang membakar dirinya.

Bidan Warti menutup pintu rumahnya dengan sedikit hentakan, kemudian meletakkan tas kecilnya di atas meja. Sambil melepas kerudungnya, ia menggerutu pelan namun penuh rasa kesal.

"Si Supar itu pasti sudah lari ke juragan Wongso," gumamnya sambil mengibas-ngibaskan kerudung di tangannya. "Dasar tua bangka nggak tahu malu! Putri sulungnya saja lebih tua dari Airin, eh dia malah ngejar-ngejar gadis sepolos Airin."

Ia berjalan ke dapur, menuang segelas air untuk menenangkan pikirannya, namun omelannya masih terus keluar. "Istri sudah tiga, anak sudah berderet, tapi masih juga cari daun muda. Apa nggak puas? Mau apa lagi coba? Emangnya masih kuat bobol gawang apa?"

Bidan Warti mendecak, mengingat bagaimana Wongso selama ini terus mengintai Airin dengan alasan-alasan tak masuk akal, bahkan menyingkirkan semua pria yang mendekati Airin. Ia menggelengkan kepala, merasa prihatin pada Airin yang terus saja diganggu. "Kasihan anak itu. Wongso benar-benar keterlaluan. Dasar tua bangka bau tanah tak ingat umur! ABG tua! Kalau saja aku punya cara buat bikin dia kapok..."

Ia duduk di kursi dengan napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tapi kekesalan di hatinya terhadap Wongso belum sepenuhnya mereda.

Di sisi lain, setelah gagal mendapatkan informasi dari Bidan Warti, Supar berlari tergesa-gesa menuju gudang padi seperti dugaan Bidan Warti. Hingga akhirnya ia tiba di gudang, berlari di antara deretan karung padi yang menumpuk di gudang besar milik Wongso. Napasnya tersengal, keringat bercucuran di wajah tirusnya. Ia berhenti di depan seorang pria paruh baya bertubuh tambun yang tengah duduk santai di kursi rotan, mengipasi dirinya dengan topi anyaman.

"Juragan... Juragan Wongso!" panggil pria kurus itu sambil membungkuk, kedua tangannya bertumpu pada lututnya, berusaha mengatur napas.

Wongso mengangkat alisnya, menatap pria kurus itu dengan malas. "Apa lagi, Supar? Jangan bilang kau datang hanya untuk minta uang rokok," ujarnya dengan suara berat.

"Bukan itu, Juragan!" jawab Supar cepat. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Tadi saya dengar kabar dari orang-orang di jalan. Airin menemukan seorang pria muda buta terdampar di pinggir sungai tadi pagi. Dia membawanya ke rumahnya."

Mata Wongso yang semula sayu kini menyipit tajam. Ia menurunkan topi anyamannya perlahan, tubuhnya yang tambun bergerak sedikit ke depan, menunjukkan minat pada laporan itu. "Pria muda, katamu?" tanyanya dengan suara berat, hampir berbisik tapi penuh ancaman. "Dan Airin membawanya ke rumahnya?"

"Iya, Juragan," Supar mengangguk cepat, menunduk takut. "Untuk memastikannya, saya mengintip di rumah Airin. Saya melihat, pria yang ditemukan Airin itu brewok, gondrong tapi... wajahnya tampan juragan."

Wajah Wongso berubah tegang. "Tampan, ya?" Ia tertawa kecil, namun tidak ada kehangatan dalam tawanya. "Tampan atau tidak, orang buta seperti itu tidak mungkin merebut Airin dariku."

Namun di balik tawa itu, perasaan tak nyaman merayap di hatinya. Selama ini ia selalu memastikan tak ada pria lain yang mendekati Airin, apapun caranya. Ancaman, pukulan, bahkan mempermalukan mereka di depan orang-orang desa. Semua dilakukan demi memastikan gadis itu hanya miliknya.

Ia berdiri dari kursinya, tubuh tambunnya bergerak dengan susah payah. "Tetap saja, aku tak suka ada pria lain di dekatnya." Ia terdiam sejenak, bibir tebalnya mengatup rapat. Lalu, dengan suara yang nyaris berbisik namun penuh ancaman, ia bertanya, "Dia masih di sana, di rumah Airin?"

Supar mengangguk takut-takut. "Iya, Juragan. Tadi masih disana."

Wongso mengepalkan tangan, wajahnya memerah karena amarah yang perlahan membara. "Hm, kita lihat siapa orang ini," gumamnya dingin. "Tak ada satu pun pria yang boleh mendekati Airin tanpa izinku."

"Jadi... apa yang harus saya lakukan, Juragan?" tanya Supar dengan gugup.

Wongso melirik sekilas, matanya menyala penuh otoritas. "Awasi mereka. Cari tahu siapa pria itu. Jika sampai magrib pria itu belum pergi dari rumah Airin, usir dia. Kalau perlu, aku sendiri yang akan mengusirnya."

Ia melangkah pergi, meninggalkan Supar yang tampak ketakutan. Dalam benaknya, hanya ada satu hal, Airin adalah miliknya, dan tidak ada seorang pun yang boleh mengubah itu.

"Siapkan mobil! Sekarang juga!" perintah Wongso dengan nada tinggi.

"I-iya, Juragan," Supar menjawab gugup sambil bergegas menuju parkiran gudang.

Wongso berhenti sejenak di depan pintu, mengatur napasnya yang berat. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam. "Airin memang keras kepala. Aku tak akan biarkan lelaki mana pun mendekatinya, apalagi tinggal di rumahnya," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Tak lama kemudian, suara menggerung mesin mobil terdengar. Wongso membuka pintu mobil dengan kasar dan masuk ke kursi penumpang depan. "Cepat antar aku pulang! Jangan lambat!" bentaknya pada Supar yang sudah duduk di belakang kemudi.

"I-iya, Juragan," jawab Supar sambil memacu mobil keluar dari halaman gudang.

Di sepanjang perjalanan, Wongso terus bergumam dengan nada dingin. "Kalau dia cuma pengembara yang kebetulan lewat, aku bisa usir dia baik-baik. Tapi kalau dia berani macam-macam... dia akan tahu akibatnya."

Supar melirik Wongso yang duduk di sebelahnya, keringat dingin membasahi dahinya. Ia tahu betul amarah Wongso sulit diredakan.

Mobil melaju cepat di jalanan desa yang berliku, meninggalkan jejak debu di belakangnya. Di dalam, Wongso duduk dengan wajah tegang, rahangnya mengeras menahan amarah. Ia tak sabar ingin segera tiba di rumah dan mengatur rencana.

Pikirannya dipenuhi amarah dan kecemburuan. Baginya, Airin adalah miliknya, haknya yang tak bisa diganggu gugat. Jika pria asing yang ada di rumah Airin itu menolak pergi, Wongso sudah bersiap mengambil tindakan. Ia akan memerintahkan anak buahnya untuk menyeret pria itu keluar, bahkan mengusirnya dari desa tanpa ampun.

Dengan tangan mengepal di atas lututnya, Wongso menggeram pelan. "Tak ada yang boleh mendekati Airin, apalagi pria asing itu. Kalau dia tak tahu tempatnya, aku sendiri yang akan mengajarinya."

Mendengar geraman Wongso, Supar melirik bosnya sekilas melalui kaca spion dalam mobil. Wajah Wongso yang memerah menahan amarah membuat Supar semakin gugup. la mengusap keringat dingin di wajahnya dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya tetap menggenggam erat setir, berusaha menjaga mobil tetap stabil di jalanan berliku.

Dalam hati, Supar hanya bisa mengutuk nasib pria buta yang kini berada di rumah Airin. "Apes sekali dia," batinnya. Wongso memang tak pernah memedulikan keadaan, entah pria itu buta atau tidak. Selama ada yang mendekati Airin, itu cukup untuk membangkitkan amarahnya.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

Terpopuler

Comments

sum mia

sum mia

wah...si Wongso tua bangka bau tanah yang tau tau diri juga tak tau malu . harusnya dia ngaca , badan udah gembul tak berbentuk , istri udah tiga anak juga berderet tapi masih aja ngejar-ngejar Airin . bahkan anak sulungnya aja lebih tua dari Airin . bukannya tobat buat bekal nanti di akhirat malah cari daun muda aja .

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍

2024-12-02

3

Dewi S Ayunda

Dewi S Ayunda

iiih mitamit jabang bayik. keseeeeeeel bgt sm dua2 nya. yg kurus gk tau diri.yg tua tua keladi. bau tanah masih saja byk ambisi serakah.thir tolg hempaskan manusia macam mereka tor

2024-12-02

2

Anitha Ramto

Anitha Ramto

waduh aki² ngampos itu tdk sadar diri dgn umurnya yg sdh bau tanah..jgn sampai Kaivan terusir dari desa itu..karena kondisinya yg tdk memungkinkan,biar Airin merawatnya sampai sembuh

2024-12-03

1

lihat semua
Episodes
1 1. Terseret Arus
2 2. Tak Mengungkapkan Jati Diri
3 3. Kericuhan Karena Kaivan
4 4. Hasil Pemeriksaan
5 5. Masih Waspada
6 6. Sang Juragan
7 7. Serba Salah
8 8. Keputusan Dadakan Airin
9 9. Wongso Tidak Sabar
10 10. Pernikahan Dadakan
11 11. Canggung
12 12. Dianggap Guling
13 13. Samar
14 14. Jam Tangan
15 15. Pergolakan Batin
16 16. DSSD
17 17. Siapa Dia Sebenarnya?
18 18. Tetap Perhatian
19 19. Penantian Wongso
20 20. Tantangan Terbuka
21 21. Babak Belur
22 22. Kagum dan Curiga
23 23. Rencana Airin
24 24. Takut Kehilangan
25 25. Pertanyaan Airin
26 26. Meminta Bantuan
27 27. Permintaan Maaf
28 28. Saling Memahami
29 29. Kabar Wongso
30 30. Membela
31 31. Ingin Lebih Lama
32 32. Kekacauan di Pagi Hari
33 33. Pengacau Hati
34 34. Pelukan
35 35. Takjub
36 36. Sederhana, Tapi Romantis
37 37. Menguping
38 38. Hati yang Terusik
39 39. Supar dan Tiga Istri Wongso
40 40. Pertanyaan yang Menganggu
41 41. Pemandangan yang Sulit Diabaikan
42 42. Diam-diam Dendam
43 43. Rumit
44 44. Aksi Tiga Ibu-ibu
45 45. Orang Dibalik Layar
46 46. Panggilan
47 47. Mencari Bantuan
48 48. Wongso dan Aparat
49 49. Wongso Goyah
50 50. Strategi Kaivan
51 51. Murka
52 52. Pindah
53 53. Langkah Terakhir Kaivan
54 54. Firasat
55 55. Prasangka Airin
56 56. Badai yang Akan Datang
57 57. Meninggal
58 58. Tertembak
59 59. Banjir
60 60. Sadar
61 61. Semakin Dingin
62 62. Rahasia Sang Ibu Susu
63 63. Menghindari Rumah
64 64. Merubah Penampilan
65 65. Biasakan
66 66. Rasa Aneh
67 67. Hanya Formalitas
68 68. Jealous
69 69. Panggilan Penuh Rindu
70 70. Panik
71 71. Terasa Begitu Mirip
72 72. Baru Menyadari
73 73. Detail
74 74. Hanya Penonton
75 75. Protektif
76 76. Pertanyaan
77 77. Rencana
78 78. Malam Istimewa
79 79. Talas Terkena Panas
80 80. Mengusut
81 81. Balas Dendam Kaivan
82 82. Semua Menerima Akibat
83 83. Tak Punya Pilihan
84 84. Persiapan Pulang
85 85. Tanda Tanya
86 86. Orang Luar
87 87. Latar Belakang
88 88. Sudah Selesai?
89 89. Hanya Sekali
90 90. Masalah Baru di Pagi Hari
91 91. Benar-benar Serius
92 92. Gagal Fokus
93 93. Dimanjakan
94 94. Tidak Ada Apa-apanya
95 95. Penyelidikan
96 96. Ganti Strategi
97 97. Disha dan Nesha
98 98. Bersilang Pendapat
99 99. Kecemburuan di Meja Makan
100 100. Efek Domino
101 101. Kepribadian Ganda
102 102. Sudah Menemukan
103 103. Keluarga Pihak Ibu
104 104. Pesta dan Kehangatan Keluarga
105 105. Takdir di Balik Dosa
106 106. Pada Akhirnya
Episodes

Updated 106 Episodes

1
1. Terseret Arus
2
2. Tak Mengungkapkan Jati Diri
3
3. Kericuhan Karena Kaivan
4
4. Hasil Pemeriksaan
5
5. Masih Waspada
6
6. Sang Juragan
7
7. Serba Salah
8
8. Keputusan Dadakan Airin
9
9. Wongso Tidak Sabar
10
10. Pernikahan Dadakan
11
11. Canggung
12
12. Dianggap Guling
13
13. Samar
14
14. Jam Tangan
15
15. Pergolakan Batin
16
16. DSSD
17
17. Siapa Dia Sebenarnya?
18
18. Tetap Perhatian
19
19. Penantian Wongso
20
20. Tantangan Terbuka
21
21. Babak Belur
22
22. Kagum dan Curiga
23
23. Rencana Airin
24
24. Takut Kehilangan
25
25. Pertanyaan Airin
26
26. Meminta Bantuan
27
27. Permintaan Maaf
28
28. Saling Memahami
29
29. Kabar Wongso
30
30. Membela
31
31. Ingin Lebih Lama
32
32. Kekacauan di Pagi Hari
33
33. Pengacau Hati
34
34. Pelukan
35
35. Takjub
36
36. Sederhana, Tapi Romantis
37
37. Menguping
38
38. Hati yang Terusik
39
39. Supar dan Tiga Istri Wongso
40
40. Pertanyaan yang Menganggu
41
41. Pemandangan yang Sulit Diabaikan
42
42. Diam-diam Dendam
43
43. Rumit
44
44. Aksi Tiga Ibu-ibu
45
45. Orang Dibalik Layar
46
46. Panggilan
47
47. Mencari Bantuan
48
48. Wongso dan Aparat
49
49. Wongso Goyah
50
50. Strategi Kaivan
51
51. Murka
52
52. Pindah
53
53. Langkah Terakhir Kaivan
54
54. Firasat
55
55. Prasangka Airin
56
56. Badai yang Akan Datang
57
57. Meninggal
58
58. Tertembak
59
59. Banjir
60
60. Sadar
61
61. Semakin Dingin
62
62. Rahasia Sang Ibu Susu
63
63. Menghindari Rumah
64
64. Merubah Penampilan
65
65. Biasakan
66
66. Rasa Aneh
67
67. Hanya Formalitas
68
68. Jealous
69
69. Panggilan Penuh Rindu
70
70. Panik
71
71. Terasa Begitu Mirip
72
72. Baru Menyadari
73
73. Detail
74
74. Hanya Penonton
75
75. Protektif
76
76. Pertanyaan
77
77. Rencana
78
78. Malam Istimewa
79
79. Talas Terkena Panas
80
80. Mengusut
81
81. Balas Dendam Kaivan
82
82. Semua Menerima Akibat
83
83. Tak Punya Pilihan
84
84. Persiapan Pulang
85
85. Tanda Tanya
86
86. Orang Luar
87
87. Latar Belakang
88
88. Sudah Selesai?
89
89. Hanya Sekali
90
90. Masalah Baru di Pagi Hari
91
91. Benar-benar Serius
92
92. Gagal Fokus
93
93. Dimanjakan
94
94. Tidak Ada Apa-apanya
95
95. Penyelidikan
96
96. Ganti Strategi
97
97. Disha dan Nesha
98
98. Bersilang Pendapat
99
99. Kecemburuan di Meja Makan
100
100. Efek Domino
101
101. Kepribadian Ganda
102
102. Sudah Menemukan
103
103. Keluarga Pihak Ibu
104
104. Pesta dan Kehangatan Keluarga
105
105. Takdir di Balik Dosa
106
106. Pada Akhirnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!