5. Masih Waspada

Airin menggigit bibir bawahnya, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Itu... ini waktunya meneteskan obat matamu," ujarnya pelan, mencoba terdengar biasa saja.

Kaivan tersenyum tipis, hampir tak kentara. "Baik. Aku serahkan padamu," katanya, suaranya tetap tenang namun terasa lebih hangat dari biasanya.

Airin tertegun sejenak, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tak tahu mengapa, tapi ada sesuatu dalam nada suara Kaivan yang membuat perasaannya jadi tak menentu.

"Maaf, sebaiknya kamu tengadahkan wajahmu, agar aku bisa lebih mudah meneteskan obatnya," ujar Airin lembut, suaranya sedikit bergetar namun penuh perhatian.

Kaivan hanya mengangguk kecil dan menurut. Ia mendongakkan kepala perlahan, membiarkan Airin mengambil posisi lebih dekat. Dalam jarak sedekat ini, Kaivan bisa mendengar napas Airin yang sedikit tersengal, mungkin karena gugup.

Dengan hati-hati, Airin menyibak poni Kaivan yang menutupi sebagian matanya. Jari-jarinya menyentuh dahi pria itu dengan sentuhan yang ringan, hampir seperti bisikan. Airin menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. Ia belum pernah melakukan sesuatu yang terasa seintim ini dengan seorang pria sebelumnya.

Dari gerakan tangan Airin yang gemetar halus, Kaivan bisa merasakan kegugupan itu. "Kau gugup?" tanyanya tiba-tiba, suaranya rendah namun tajam, seperti mencoba membaca isi hati Airin.

Airin terdiam sesaat, merasa pipinya memanas. "Ah, tidak. Aku hanya... takut salah," jawabnya cepat, mencoba terdengar santai meski suaranya tetap bergetar.

Kaivan tersenyum tipis, meski matanya tak bisa menatap Airin. "Tenang saja. Aku percaya kamu tidak akan menyakitiku," ujarnya singkat, dengan nada yang entah kenapa terdengar menenangkan bagi Airin.

Kata-kata itu membuat Airin lebih tenang, meski jantungnya tetap berdegup cepat. Ia pun dengan perlahan meneteskan obat ke mata Kaivan, berusaha sebaik mungkin agar tidak membuat pria itu merasa tidak nyaman.

Tak lama kemudian, Airin sudah selesai memberikan obat tetes mata pada Kaivan. "Emm.. Kak Ivan," Airin kembali memanggilnya dengan nada lembut. "Jangan terlalu khawatir dulu, ya. Aku akan membantumu pergi ke dokter mata. Siapa tahu ini cuma sementara, seperti yang Bu Warti bilang."

Kaivan menoleh ke arah suara Airin, meski pandangannya tetap kosong. "Dokter mata, ya?" gumamnya, nada suaranya rendah tapi masih tenang. "Biayanya pasti mahal. Aku tidak punya uang untuk biaya pengobatan. Dompetku hilang saat terhanyut di sungai."

Airin tertegun, tidak menyangka Kaivan langsung memikirkan hal itu. Ia segera menjawab, "Kamu jangan pikirkan soal itu dulu. Yang penting sekarang, aku akan bantu semampuku. Di kota ada rumah sakit besar, mereka pasti bisa memeriksa kondisimu."

Kaivan menghela napas panjang. "Airin, aku berterima kasih kau sudah mau menolong. Tapi aku juga harus realistis. Aku... aku buta. Aku tidak ingin jadi beban untukmu atau keluargamu."

Airin tersenyum kecil, meski hatinya ikut berat mendengar keraguan pria itu. "Aku tidak menganggapmu beban. Kalau aku ada di posisi kamu, aku yakin kamu pasti akan melakukan hal yang sama untukku."

Kaivan terdiam, kedua tangannya mengepal di atas pahanya. "Aku tidak tahu, Airin. Jika aku berada di posisimu, belum tentu aku bisa melakukan apa yang kamu lakukan padaku. Aku tidak tahu apa aku pantas menerima semua bantuan ini."

Airin menunduk, lalu mendekati Kaivan, meletakkan tangannya di lengan pria itu dengan hati-hati. "Aku tidak tahu bagaimana orang lain akan memperlakukan aku. Tapi, selama aku ada di sini, aku akan bantu semampuku. Jadi, jangan pikirkan hal-hal yang sulit dulu. Yang penting sekarang, kita fokus agar kamu cepat sembuh."

Kaivan merasakan sentuhan lembut di lengannya saat Airin meletakkan tangannya di lengannya. Sentuhan itu hati-hati, seolah Airin khawatir akan membuatnya merasa tidak nyaman.

Biasanya, sentuhan seperti ini membuat Kaivan langsung bereaksi, entah dengan menepisnya atau menjauh. Ia paling tak suka disentuh oleh wanita yang bukan keluarganya, apalagi dalam situasi seperti ini. Tapi entah kenapa, kali ini ia tak bereaksi seperti biasanya.

Ada sesuatu dalam sentuhan itu yang berbeda. Bukan sekadar lembut, tapi tulus. Kaivan bahkan bisa merasakan ketegangan di tangan Airin, seolah gadis itu juga berusaha menjaga jarak emosional di tengah kedekatan fisik ini.

“Maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman,” ucap Airin pelan, mungkin menyadari kebiasaan pria itu yang cenderung dingin.

Kaivan menggelengkan kepala perlahan. "Tidak apa-apa," balasnya singkat, suaranya rendah namun terdengar jujur.

Hatinya berbisik pelan, mempertanyakan mengapa ia merasa tenang kali ini. Mungkinkah karena Airin? Ia tak tahu, tapi untuk pertama kalinya, Kaivan membiarkan dirinya menerima kehangatan itu tanpa perlawanan.

Kaivan menarik napas panjang, lalu mengangguk perlahan. "Baiklah, Airin. Tapi janjikan satu hal padaku."

"Apa itu?" tanya Airin, nada suaranya penuh perhatian.

"Jika aku... jika ternyata aku tidak bisa melihat lagi selamanya, tolong jangan biarkan aku tinggal di sini terlalu lama. Aku tidak ingin menyusahkan hidupmu," katanya pelan, namun penuh keyakinan.

Airin menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang tiba-tiba menggelegak di dadanya. "Kamu, jangan bicara seperti itu. Kamu pasti sembuh. Aku yakin, kita akan temukan cara untuk membuat kamu bisa melihat lagi."

Kaivan mengangguk kecil, meski raut wajahnya tetap dingin. "Kalau begitu, aku serahkan semuanya padamu, Airin. Maaf jika aku terlihat dingin... mungkin ini caraku menjaga diri dari ketidakpastian."

Airin tersenyum tipis. "Kamu tidak perlu minta maaf. Aku akan ada di sini sampai semuanya membaik."

Kaivan menoleh ke arah suara Airin, meski pandangannya tetap gelap. Ada sesuatu dalam nada suara gadis itu yang entah mengapa membuatnya merasa... aman.

"Aku akan lihat nenek sudah selesai membuat bubur atau belum. Kamu harus makan dan minum obat agar cepat pulih.

Setelah Airin keluar dari kamar, Kaivan duduk diam di dipan sederhana itu. Ia bisa mendengar suara gemericik air sungai dari kejauhan dan desahan angin yang menggerakkan dedaunan. Tangannya meraba perlahan, menyentuh kain sederhana yang menutupi tubuhnya, bukan pakaian mewah yang biasa ia kenakan. Di balik matanya yang kini hanya memandang kegelapan, pikirannya berputar tanpa henti.

"Aku tidak boleh gegabah. Orang-orang seperti mereka... mungkin tulus, tapi aku tak bisa terlalu percaya. Kalau mereka tahu siapa aku, apa yang akan terjadi? Akankah mereka tetap menolong atau malah mengincar hartaku? Tidak, aku harus diam dulu. Ini bukan saatnya mempercayai siapa pun,"gumamnya lirih, hampir tak terdengar.

Kaivan mengepalkan tangan, menahan frustrasi. Sebagai seorang pewaris keluarga konglomerat, ia terbiasa dengan kehidupan yang penuh kepalsuan. Kekayaan sering kali menarik kepura-puraan, bahkan dalam momen-momen terburuk.

"Tapi mereka berbeda... atau setidaknya terlihat berbeda. Gadis itu, Airin, dia begitu peduli meski aku tak bisa memberikan apa-apa. Dan neneknya... suara lembut itu tak terdengar palsu. Tapi tetap saja, aku harus yakin mereka membantu karena kemanusiaan, bukan karena siapa aku. Jika aku membuka segalanya sekarang, aku takkan pernah tahu apakah ketulusan mereka benar adanya."

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang terusik.

"Untuk saat ini, aku adalah Ivan. Pria biasa tanpa nama besar, tanpa kekayaan, tanpa apapun. Jika mereka tulus, aku akan tahu. Jika tidak... setidaknya aku masih punya kendali."

Kaivan berdiam diri lagi, mendengarkan langkah ringan Airin yang mendekat. Ia menghela napas, mempersiapkan diri untuk menjawab setiap pertanyaan dengan hati-hati, tetap menjaga rahasianya.

***

Bidan Warti baru saja melangkahkan kaki memasuki pekarangan rumahnya ketika seorang pria kurus muncul entah dari mana dan berdiri di hadapannya. Napasnya sedikit tersengal, seperti habis berlari.

"Bu Warti," ucap pria itu dengan nada mendesak, "katakan pada saya, siapa pria di rumah Airin itu?"

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

Terpopuler

Comments

sum mia

sum mia

nah.... itu pasti orang yang ngintip Airin waktu menemukan Ivan dan membawanya pulang ke rumah .
belum tahu siapa dia , dan apa maksudnya memata-matai Airin .

kamu patut bersyukur Ivan karena yang menemukan kamu adalah Airin , coba yang lain , mungkin akan ditolong tapi setelahnya bisa jadi dimanfaatkan .

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍

2024-12-01

3

Anitha Ramto

Anitha Ramto

Oowh ternya itu orangnya yg mengintip dari kejauhan rumah Airin...

jgn berburuk sangka Kaivan..Airin dan Neneknya itu tulus membantumu

2024-12-03

1

Anitha Ramto

Anitha Ramto

knp Judul ini selalu hilang di Rak Buku ya...jd saya hrs ngetik lg utuk mencarinya

2024-12-03

1

lihat semua
Episodes
1 1. Terseret Arus
2 2. Tak Mengungkapkan Jati Diri
3 3. Kericuhan Karena Kaivan
4 4. Hasil Pemeriksaan
5 5. Masih Waspada
6 6. Sang Juragan
7 7. Serba Salah
8 8. Keputusan Dadakan Airin
9 9. Wongso Tidak Sabar
10 10. Pernikahan Dadakan
11 11. Canggung
12 12. Dianggap Guling
13 13. Samar
14 14. Jam Tangan
15 15. Pergolakan Batin
16 16. DSSD
17 17. Siapa Dia Sebenarnya?
18 18. Tetap Perhatian
19 19. Penantian Wongso
20 20. Tantangan Terbuka
21 21. Babak Belur
22 22. Kagum dan Curiga
23 23. Rencana Airin
24 24. Takut Kehilangan
25 25. Pertanyaan Airin
26 26. Meminta Bantuan
27 27. Permintaan Maaf
28 28. Saling Memahami
29 29. Kabar Wongso
30 30. Membela
31 31. Ingin Lebih Lama
32 32. Kekacauan di Pagi Hari
33 33. Pengacau Hati
34 34. Pelukan
35 35. Takjub
36 36. Sederhana, Tapi Romantis
37 37. Menguping
38 38. Hati yang Terusik
39 39. Supar dan Tiga Istri Wongso
40 40. Pertanyaan yang Menganggu
41 41. Pemandangan yang Sulit Diabaikan
42 42. Diam-diam Dendam
43 43. Rumit
44 44. Aksi Tiga Ibu-ibu
45 45. Orang Dibalik Layar
46 46. Panggilan
47 47. Mencari Bantuan
48 48. Wongso dan Aparat
49 49. Wongso Goyah
50 50. Strategi Kaivan
51 51. Murka
52 52. Pindah
53 53. Langkah Terakhir Kaivan
54 54. Firasat
55 55. Prasangka Airin
56 56. Badai yang Akan Datang
57 57. Meninggal
58 58. Tertembak
59 59. Banjir
60 60. Sadar
61 61. Semakin Dingin
62 62. Rahasia Sang Ibu Susu
63 63. Menghindari Rumah
64 64. Merubah Penampilan
65 65. Biasakan
66 66. Rasa Aneh
67 67. Hanya Formalitas
68 68. Jealous
69 69. Panggilan Penuh Rindu
70 70. Panik
71 71. Terasa Begitu Mirip
72 72. Baru Menyadari
73 73. Detail
74 74. Hanya Penonton
75 75. Protektif
76 76. Pertanyaan
77 77. Rencana
78 78. Malam Istimewa
79 79. Talas Terkena Panas
80 80. Mengusut
81 81. Balas Dendam Kaivan
82 82. Semua Menerima Akibat
83 83. Tak Punya Pilihan
84 84. Persiapan Pulang
85 85. Tanda Tanya
86 86. Orang Luar
87 87. Latar Belakang
88 88. Sudah Selesai?
89 89. Hanya Sekali
90 90. Masalah Baru di Pagi Hari
91 91. Benar-benar Serius
92 92. Gagal Fokus
93 93. Dimanjakan
94 94. Tidak Ada Apa-apanya
95 95. Penyelidikan
96 96. Ganti Strategi
97 97. Disha dan Nesha
98 98. Bersilang Pendapat
99 99. Kecemburuan di Meja Makan
100 100. Efek Domino
101 101. Kepribadian Ganda
102 102. Sudah Menemukan
103 103. Keluarga Pihak Ibu
104 104. Pesta dan Kehangatan Keluarga
105 105. Takdir di Balik Dosa
106 106. Pada Akhirnya
Episodes

Updated 106 Episodes

1
1. Terseret Arus
2
2. Tak Mengungkapkan Jati Diri
3
3. Kericuhan Karena Kaivan
4
4. Hasil Pemeriksaan
5
5. Masih Waspada
6
6. Sang Juragan
7
7. Serba Salah
8
8. Keputusan Dadakan Airin
9
9. Wongso Tidak Sabar
10
10. Pernikahan Dadakan
11
11. Canggung
12
12. Dianggap Guling
13
13. Samar
14
14. Jam Tangan
15
15. Pergolakan Batin
16
16. DSSD
17
17. Siapa Dia Sebenarnya?
18
18. Tetap Perhatian
19
19. Penantian Wongso
20
20. Tantangan Terbuka
21
21. Babak Belur
22
22. Kagum dan Curiga
23
23. Rencana Airin
24
24. Takut Kehilangan
25
25. Pertanyaan Airin
26
26. Meminta Bantuan
27
27. Permintaan Maaf
28
28. Saling Memahami
29
29. Kabar Wongso
30
30. Membela
31
31. Ingin Lebih Lama
32
32. Kekacauan di Pagi Hari
33
33. Pengacau Hati
34
34. Pelukan
35
35. Takjub
36
36. Sederhana, Tapi Romantis
37
37. Menguping
38
38. Hati yang Terusik
39
39. Supar dan Tiga Istri Wongso
40
40. Pertanyaan yang Menganggu
41
41. Pemandangan yang Sulit Diabaikan
42
42. Diam-diam Dendam
43
43. Rumit
44
44. Aksi Tiga Ibu-ibu
45
45. Orang Dibalik Layar
46
46. Panggilan
47
47. Mencari Bantuan
48
48. Wongso dan Aparat
49
49. Wongso Goyah
50
50. Strategi Kaivan
51
51. Murka
52
52. Pindah
53
53. Langkah Terakhir Kaivan
54
54. Firasat
55
55. Prasangka Airin
56
56. Badai yang Akan Datang
57
57. Meninggal
58
58. Tertembak
59
59. Banjir
60
60. Sadar
61
61. Semakin Dingin
62
62. Rahasia Sang Ibu Susu
63
63. Menghindari Rumah
64
64. Merubah Penampilan
65
65. Biasakan
66
66. Rasa Aneh
67
67. Hanya Formalitas
68
68. Jealous
69
69. Panggilan Penuh Rindu
70
70. Panik
71
71. Terasa Begitu Mirip
72
72. Baru Menyadari
73
73. Detail
74
74. Hanya Penonton
75
75. Protektif
76
76. Pertanyaan
77
77. Rencana
78
78. Malam Istimewa
79
79. Talas Terkena Panas
80
80. Mengusut
81
81. Balas Dendam Kaivan
82
82. Semua Menerima Akibat
83
83. Tak Punya Pilihan
84
84. Persiapan Pulang
85
85. Tanda Tanya
86
86. Orang Luar
87
87. Latar Belakang
88
88. Sudah Selesai?
89
89. Hanya Sekali
90
90. Masalah Baru di Pagi Hari
91
91. Benar-benar Serius
92
92. Gagal Fokus
93
93. Dimanjakan
94
94. Tidak Ada Apa-apanya
95
95. Penyelidikan
96
96. Ganti Strategi
97
97. Disha dan Nesha
98
98. Bersilang Pendapat
99
99. Kecemburuan di Meja Makan
100
100. Efek Domino
101
101. Kepribadian Ganda
102
102. Sudah Menemukan
103
103. Keluarga Pihak Ibu
104
104. Pesta dan Kehangatan Keluarga
105
105. Takdir di Balik Dosa
106
106. Pada Akhirnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!