Airin menggigit bibir bawahnya, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Itu... ini waktunya meneteskan obat matamu," ujarnya pelan, mencoba terdengar biasa saja.
Kaivan tersenyum tipis, hampir tak kentara. "Baik. Aku serahkan padamu," katanya, suaranya tetap tenang namun terasa lebih hangat dari biasanya.
Airin tertegun sejenak, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tak tahu mengapa, tapi ada sesuatu dalam nada suara Kaivan yang membuat perasaannya jadi tak menentu.
"Maaf, sebaiknya kamu tengadahkan wajahmu, agar aku bisa lebih mudah meneteskan obatnya," ujar Airin lembut, suaranya sedikit bergetar namun penuh perhatian.
Kaivan hanya mengangguk kecil dan menurut. Ia mendongakkan kepala perlahan, membiarkan Airin mengambil posisi lebih dekat. Dalam jarak sedekat ini, Kaivan bisa mendengar napas Airin yang sedikit tersengal, mungkin karena gugup.
Dengan hati-hati, Airin menyibak poni Kaivan yang menutupi sebagian matanya. Jari-jarinya menyentuh dahi pria itu dengan sentuhan yang ringan, hampir seperti bisikan. Airin menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. Ia belum pernah melakukan sesuatu yang terasa seintim ini dengan seorang pria sebelumnya.
Dari gerakan tangan Airin yang gemetar halus, Kaivan bisa merasakan kegugupan itu. "Kau gugup?" tanyanya tiba-tiba, suaranya rendah namun tajam, seperti mencoba membaca isi hati Airin.
Airin terdiam sesaat, merasa pipinya memanas. "Ah, tidak. Aku hanya... takut salah," jawabnya cepat, mencoba terdengar santai meski suaranya tetap bergetar.
Kaivan tersenyum tipis, meski matanya tak bisa menatap Airin. "Tenang saja. Aku percaya kamu tidak akan menyakitiku," ujarnya singkat, dengan nada yang entah kenapa terdengar menenangkan bagi Airin.
Kata-kata itu membuat Airin lebih tenang, meski jantungnya tetap berdegup cepat. Ia pun dengan perlahan meneteskan obat ke mata Kaivan, berusaha sebaik mungkin agar tidak membuat pria itu merasa tidak nyaman.
Tak lama kemudian, Airin sudah selesai memberikan obat tetes mata pada Kaivan. "Emm.. Kak Ivan," Airin kembali memanggilnya dengan nada lembut. "Jangan terlalu khawatir dulu, ya. Aku akan membantumu pergi ke dokter mata. Siapa tahu ini cuma sementara, seperti yang Bu Warti bilang."
Kaivan menoleh ke arah suara Airin, meski pandangannya tetap kosong. "Dokter mata, ya?" gumamnya, nada suaranya rendah tapi masih tenang. "Biayanya pasti mahal. Aku tidak punya uang untuk biaya pengobatan. Dompetku hilang saat terhanyut di sungai."
Airin tertegun, tidak menyangka Kaivan langsung memikirkan hal itu. Ia segera menjawab, "Kamu jangan pikirkan soal itu dulu. Yang penting sekarang, aku akan bantu semampuku. Di kota ada rumah sakit besar, mereka pasti bisa memeriksa kondisimu."
Kaivan menghela napas panjang. "Airin, aku berterima kasih kau sudah mau menolong. Tapi aku juga harus realistis. Aku... aku buta. Aku tidak ingin jadi beban untukmu atau keluargamu."
Airin tersenyum kecil, meski hatinya ikut berat mendengar keraguan pria itu. "Aku tidak menganggapmu beban. Kalau aku ada di posisi kamu, aku yakin kamu pasti akan melakukan hal yang sama untukku."
Kaivan terdiam, kedua tangannya mengepal di atas pahanya. "Aku tidak tahu, Airin. Jika aku berada di posisimu, belum tentu aku bisa melakukan apa yang kamu lakukan padaku. Aku tidak tahu apa aku pantas menerima semua bantuan ini."
Airin menunduk, lalu mendekati Kaivan, meletakkan tangannya di lengan pria itu dengan hati-hati. "Aku tidak tahu bagaimana orang lain akan memperlakukan aku. Tapi, selama aku ada di sini, aku akan bantu semampuku. Jadi, jangan pikirkan hal-hal yang sulit dulu. Yang penting sekarang, kita fokus agar kamu cepat sembuh."
Kaivan merasakan sentuhan lembut di lengannya saat Airin meletakkan tangannya di lengannya. Sentuhan itu hati-hati, seolah Airin khawatir akan membuatnya merasa tidak nyaman.
Biasanya, sentuhan seperti ini membuat Kaivan langsung bereaksi, entah dengan menepisnya atau menjauh. Ia paling tak suka disentuh oleh wanita yang bukan keluarganya, apalagi dalam situasi seperti ini. Tapi entah kenapa, kali ini ia tak bereaksi seperti biasanya.
Ada sesuatu dalam sentuhan itu yang berbeda. Bukan sekadar lembut, tapi tulus. Kaivan bahkan bisa merasakan ketegangan di tangan Airin, seolah gadis itu juga berusaha menjaga jarak emosional di tengah kedekatan fisik ini.
“Maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman,” ucap Airin pelan, mungkin menyadari kebiasaan pria itu yang cenderung dingin.
Kaivan menggelengkan kepala perlahan. "Tidak apa-apa," balasnya singkat, suaranya rendah namun terdengar jujur.
Hatinya berbisik pelan, mempertanyakan mengapa ia merasa tenang kali ini. Mungkinkah karena Airin? Ia tak tahu, tapi untuk pertama kalinya, Kaivan membiarkan dirinya menerima kehangatan itu tanpa perlawanan.
Kaivan menarik napas panjang, lalu mengangguk perlahan. "Baiklah, Airin. Tapi janjikan satu hal padaku."
"Apa itu?" tanya Airin, nada suaranya penuh perhatian.
"Jika aku... jika ternyata aku tidak bisa melihat lagi selamanya, tolong jangan biarkan aku tinggal di sini terlalu lama. Aku tidak ingin menyusahkan hidupmu," katanya pelan, namun penuh keyakinan.
Airin menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang tiba-tiba menggelegak di dadanya. "Kamu, jangan bicara seperti itu. Kamu pasti sembuh. Aku yakin, kita akan temukan cara untuk membuat kamu bisa melihat lagi."
Kaivan mengangguk kecil, meski raut wajahnya tetap dingin. "Kalau begitu, aku serahkan semuanya padamu, Airin. Maaf jika aku terlihat dingin... mungkin ini caraku menjaga diri dari ketidakpastian."
Airin tersenyum tipis. "Kamu tidak perlu minta maaf. Aku akan ada di sini sampai semuanya membaik."
Kaivan menoleh ke arah suara Airin, meski pandangannya tetap gelap. Ada sesuatu dalam nada suara gadis itu yang entah mengapa membuatnya merasa... aman.
"Aku akan lihat nenek sudah selesai membuat bubur atau belum. Kamu harus makan dan minum obat agar cepat pulih.
Setelah Airin keluar dari kamar, Kaivan duduk diam di dipan sederhana itu. Ia bisa mendengar suara gemericik air sungai dari kejauhan dan desahan angin yang menggerakkan dedaunan. Tangannya meraba perlahan, menyentuh kain sederhana yang menutupi tubuhnya, bukan pakaian mewah yang biasa ia kenakan. Di balik matanya yang kini hanya memandang kegelapan, pikirannya berputar tanpa henti.
"Aku tidak boleh gegabah. Orang-orang seperti mereka... mungkin tulus, tapi aku tak bisa terlalu percaya. Kalau mereka tahu siapa aku, apa yang akan terjadi? Akankah mereka tetap menolong atau malah mengincar hartaku? Tidak, aku harus diam dulu. Ini bukan saatnya mempercayai siapa pun,"gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Kaivan mengepalkan tangan, menahan frustrasi. Sebagai seorang pewaris keluarga konglomerat, ia terbiasa dengan kehidupan yang penuh kepalsuan. Kekayaan sering kali menarik kepura-puraan, bahkan dalam momen-momen terburuk.
"Tapi mereka berbeda... atau setidaknya terlihat berbeda. Gadis itu, Airin, dia begitu peduli meski aku tak bisa memberikan apa-apa. Dan neneknya... suara lembut itu tak terdengar palsu. Tapi tetap saja, aku harus yakin mereka membantu karena kemanusiaan, bukan karena siapa aku. Jika aku membuka segalanya sekarang, aku takkan pernah tahu apakah ketulusan mereka benar adanya."
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang terusik.
"Untuk saat ini, aku adalah Ivan. Pria biasa tanpa nama besar, tanpa kekayaan, tanpa apapun. Jika mereka tulus, aku akan tahu. Jika tidak... setidaknya aku masih punya kendali."
Kaivan berdiam diri lagi, mendengarkan langkah ringan Airin yang mendekat. Ia menghela napas, mempersiapkan diri untuk menjawab setiap pertanyaan dengan hati-hati, tetap menjaga rahasianya.
***
Bidan Warti baru saja melangkahkan kaki memasuki pekarangan rumahnya ketika seorang pria kurus muncul entah dari mana dan berdiri di hadapannya. Napasnya sedikit tersengal, seperti habis berlari.
"Bu Warti," ucap pria itu dengan nada mendesak, "katakan pada saya, siapa pria di rumah Airin itu?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
sum mia
nah.... itu pasti orang yang ngintip Airin waktu menemukan Ivan dan membawanya pulang ke rumah .
belum tahu siapa dia , dan apa maksudnya memata-matai Airin .
kamu patut bersyukur Ivan karena yang menemukan kamu adalah Airin , coba yang lain , mungkin akan ditolong tapi setelahnya bisa jadi dimanfaatkan .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
2024-12-01
3
Anitha Ramto
Oowh ternya itu orangnya yg mengintip dari kejauhan rumah Airin...
jgn berburuk sangka Kaivan..Airin dan Neneknya itu tulus membantumu
2024-12-03
1
Anitha Ramto
knp Judul ini selalu hilang di Rak Buku ya...jd saya hrs ngetik lg utuk mencarinya
2024-12-03
1