2. Tak Mengungkapkan Jati Diri

Airin tertegun. "Lampu?" tanyanya pelan, tetapi pria itu tidak menjawab. Ia mulai terlihat panik, kedua tangannya meraba-raba tanah di sekitarnya. "Hei, tenang. Kamu aman sekarang," kata Airin dengan nada lembut.

"Aku... tidak bisa melihat!" teriak Kaivan tiba-tiba, suaranya dipenuhi kepanikan. "Kenapa gelap? Apa aku masih hidup?"

Airin terhenyak. Ia menggenggam tangan Kaivan lebih erat, mencoba menenangkan. "Kamu masih hidup. Kamu hanya... mungkin mata kamu butuh waktu untuk pulih. Tolong tenang dulu," ujarnya, meskipun hatinya sendiri diliputi kekhawatiran.

Kaivan menggeleng, napasnya tersengal. "Tidak, tidak! Aku tidak bisa melihat apa-apa!"

Airin menggigit bibir, lalu berusaha berpikir cepat. "Mungkin kamu perlu istirahat. Lukamu cukup parah. Aku akan membawamu ke rumahku," ujarnya penuh keyakinan.

Kaivan tetap tidak tenang, tetapi tubuhnya yang lemah tidak memberinya banyak pilihan selain menyerah pada Airin. "Siapa... siapa kamu?" tanyanya dengan suara yang mulai melemah.

"Aku Airin," jawab gadis itu lembut. "Dan kamu, siapa?"

Pria itu terdiam beberapa saat sebelum berbisik, "Aku... aku.. Ivan."

Airin menghela napas panjang, menyadari beban besar yang akan ia tanggung. Ia memandang tubuh pria di hadapannya, Kaivan, yang terlihat lemah, dengan wajah penuh luka dan pandangan kosong. "Baiklah, aku akan membawamu ke rumahku," gumamnya pelan, meski suara hatinya dipenuhi keraguan.

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Airin meraih tangan Kaivan, mengangkatnya ke bahunya. "Tolong tahan sedikit, kita harus berjalan menuju rumahku," ujarnya dengan nada lembut, meski tubuhnya bergetar menahan berat badan pria itu.

Kaivan tak merespon, wajahnya terlihat bingung dan tak berdaya. "Aku... aku tidak bisa melihat," bisiknya lagi, suara lirihnya hampir tenggelam dalam gemericik sungai di kejauhan.

"Jangan khawatir, nanti aku panggil bidan desa untuk mengobati lukamu dan memeriksa matamu," jawab Airin mencoba meyakinkan, meskipun ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa dengan keadaan pria ini.

Langkah demi langkah, Airin membawa Kaivan menyusuri jalan setapak yang licin akibat hujan semalam. Sesekali kakinya terpeleset, tetapi ia menggigit bibir dan tetap bertahan memapah Kaivan. Ember kecil berisi ikan yang tadi ia bawa tertinggal di tepi sungai, tetapi saat ini keselamatan pria itu adalah prioritasnya.

Kaivan yang dipapah Airin terdiam, langkahnya berat dan penuh kebingungan. Setiap kali ia mencoba meresapi keheningan, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang tidak terjawab. "Kenapa aku bisa jadi seperti ini?" batinnya, merasa semakin terpojok dalam ketidakpastian.

Ia menggigit bibirnya, mencoba mengingat kejadian semalam, namun ingatannya bagaikan kabut yang sulit untuk ditangkap. "Apa aku terbentur keras oleh sesuatu? Atau mungkin ini akibat gulungan batang pohon besar yang menimpaku saat terhanyut di sungai?" batinnya. Ia teringat betapa kerasnya tubuhnya terbanting, seakan dihantam sesuatu yang tidak bisa dipahami.

Namun, benarkah itu yang menyebabkan kebutaan ini? Atau mungkin air sungai yang keruh dan penuh sampah itu, yang menggenang dan mengalir deras, telah mengandung sesuatu yang membahayakan matanya? Air itu begitu kotor, bercampur tanah dan benda asing lainnya. Bisa jadi, justru inilah yang merusak saraf penglihatannya.

Kaivan terdiam lebih lama, dan meskipun ia merasa cemas, dia berusaha tetap tenang. "Apakah aku akan tetap buta selamanya?" pikirnya. Namun ia tak bisa menemukan jawaban pasti, hanya rasa bingung yang terus menyelubungi. Dalam kebisuannya, tanpa sadar ia menggenggam tangan Airin yang masih memapahnya, mencoba mencari sedikit kenyamanan dalam ketidakpastian ini.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, Airin tiba di depan rumah sederhana miliknya. Ia membuka pintu yang berderit pelan, lalu memapah Kaivan masuk ke dalam. "Nenek! Nek, tolong bantu aku!" panggilnya dengan suara yang sedikit bergetar.

Seorang wanita tua dengan wajah penuh kerutan muncul dari dapur, meski sudah tua, wanita itu terlihat masih sehat. "Astaga, Airin! Siapa dia? Apa yang terjadi?" tanyanya terkejut.

"Dia terhanyut di sungai, Nek. Aku menemukannya di dekat akar pohon. Tapi... dia tidak bisa melihat," jelas Airin sambil menurunkan tubuh Kaivan perlahan ke atas dipan sederhana yang ada di ruang tamu.

Nenek Airin mendekat, menatap pria itu dengan cermat. "Lukanya cukup parah. Airin, ambilkan kain bersih dan air hangat. Kita harus membersihkan lukanya dulu," ujarnya dengan nada tegas namun penuh perhatian.

Airin mengangguk cepat, bergegas mengambil yang dibutuhkan. Sementara itu, neneknya duduk di samping Kaivan, menyentuh pelipis pria itu dengan lembut. "Tenang, Nak. Kau aman sekarang. Kami akan merawatmu," kata nenek itu, mencoba menenangkan Kaivan yang masih terlihat bingung dan cemas.

Airin kembali dengan kain dan baskom kecil berisi air hangat. Ia berdiri di samping Kaivan, mulai membersihkan lumpur dari wajah Kaivan. "Maaf kalau terasa sakit," ujarnya sambil melirik wajah pria itu yang masih tampak tegang.

Nenek Asih membantu Airin membersihkan tubuh Kaivan. Dengan lembut menyeka luka di lengan Kaivan menggunakan kain hangat. "Nak, maaf kalau sedikit perih, tapi ini harus dibersihkan agar tidak infeksi," ujarnya pelan, suaranya penuh keibuan.

Airin, yang berdiri di sisi lain, memeras kain basah sebelum mengusapkannya ke wajah Kaivan yang penuh lumpur. Sesekali matanya menatap Kaivan, mencoba menebak siapa pria asing ini. "Kalau ada yang sakit atau tidak nyaman, bilang saja," katanya hati-hati, tak ingin membuat Kaivan tersinggung.

Kaivan tetap diam, hanya sesekali menghela napas panjang. Tubuhnya tegang,, batinnya bergejolak. "Mereka ini orang biasa, kenapa repot-repot menolongku? Apa mereka sungguh tulus, atau ada maksud tertentu?" batinnya.

Nenek Asih menatap Kaivan dengan perhatian, tangannya beralih mengikat rambut pria itu yang gondrong. "Nak, bisa kau ceritakan siapa namamu? Atau dari mana asalmu?" tanyanya lembut, mencoba menggali sedikit informasi.

Kaivan terdiam sejenak, matanya yang kosong seolah mencari-cari jawaban di dalam pikirannya. Setelah beberapa detik, ia menghela napas pelan sebelum menjawab. "Aku... namaku Ivan. Aku berasal dari ibukota."

Airin yang berdiri di samping, memerhatikan Kaivan dengan cermat. "Apa ada keluargamu yang bisa kita hubungi?" tanyanya dengan penuh perhatian, berharap dapat membantu pria ini.

Kaivan kembali terdiam, pikirannya bergulir cepat, namun ia memilih untuk tetap tenang. "Aku... aku belum berkeluarga," jawabnya pelan, suara itu terdengar seakan ada yang disembunyikan. "Tidak ada yang bisa dihubungi," lanjutnya, berusaha untuk menghindari lebih banyak pertanyaan. Ia tidak ingin mengungkapkan jati dirinya yang sesungguhnya, masih waspada terhadap orang asing.

Airin berhenti membersihkan luka Kaivan, menatapnya dengan iba. "Apa pun yang terjadi padamu, kau sekarang aman di sini. Kami akan membantumu sebisa mungkin."

Kaivan tersenyum tipis, ekspresinya datar meski wajahnya pucat. "Terima kasih... meskipun aku tidak tahu kenapa kalian repot-repot membantu seseorang seperti aku."

Nenek Asih senyum lembut. "Kau manusia, Nak. Kami tidak bisa begitu saja meninggalkanmu."

Kaivan menghela napas panjang, suaranya rendah dan serak. "Kalian telah menyelamatkan aku. Bagaimana aku harus berterima kasih pada kalian?"

Nenek tertawa pelan, mencoba membuat suasana lebih ringan. "Berterima kasih nanti saja, Nak, kalau kau sudah sehat. Sekarang, fokuslah pada pemulihanmu."

Airin mengangguk, mengganti kain lap dengan yang baru. "Nenek benar. Fokus pada langkah kecil dulu. Aku akan menyiapkan bubur hangat setelah ini. Kau pasti butuh tenaga."

Kaivan perlahan menoleh, meski pandangannya kosong, tidak ada emosi yang jelas terlihat. "Airin... namamu Airin, 'kan? Aku... tidak tahu apa lagi yang bisa kukatakan selain... terima kasih."

Airin mencelupkan kain ke dalam baskom berisi air hangat, kemudian memerasnya dengan hati-hati. Namun, gerakannya terhenti saat pandangannya jatuh ke pakaian Kaivan yang lusuh dan robek di beberapa bagian.

"Emm... Kak Ivan, bajumu..." Airin mengangkat wajah, ragu melanjutkan kata-katanya.

Nenek Asih, yang berada di sampingnya, ikut memperhatikan pakaian Kaivan. Wajahnya tampak khawatir.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

Terpopuler

Comments

sum mia

sum mia

masih tanda tanya juga siapa yang telah mencelakai Ivan . keluarga yang ingin merebut hartanya mungkin , atau saingan bisnisnya . masih menunggu cerita selanjutnya .
itulah Ivan... gak semua orang itu peduli karena ada pamrihnya . karena sesama manusia sejatinya memang harus saling tolong menolong .

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍

2024-11-28

3

Lia_Sriwijaya

Lia_Sriwijaya

hadir kak... di tunggu up nya kaivan n Airin ..

2024-11-28

4

abimasta

abimasta

kaivan sudah dewasa,semoga orang2 yg ingin membunuh mu tidak mencari lagi krn mereka fikir kamu udah ga ada

2024-11-28

1

lihat semua
Episodes
1 1. Terseret Arus
2 2. Tak Mengungkapkan Jati Diri
3 3. Kericuhan Karena Kaivan
4 4. Hasil Pemeriksaan
5 5. Masih Waspada
6 6. Sang Juragan
7 7. Serba Salah
8 8. Keputusan Dadakan Airin
9 9. Wongso Tidak Sabar
10 10. Pernikahan Dadakan
11 11. Canggung
12 12. Dianggap Guling
13 13. Samar
14 14. Jam Tangan
15 15. Pergolakan Batin
16 16. DSSD
17 17. Siapa Dia Sebenarnya?
18 18. Tetap Perhatian
19 19. Penantian Wongso
20 20. Tantangan Terbuka
21 21. Babak Belur
22 22. Kagum dan Curiga
23 23. Rencana Airin
24 24. Takut Kehilangan
25 25. Pertanyaan Airin
26 26. Meminta Bantuan
27 27. Permintaan Maaf
28 28. Saling Memahami
29 29. Kabar Wongso
30 30. Membela
31 31. Ingin Lebih Lama
32 32. Kekacauan di Pagi Hari
33 33. Pengacau Hati
34 34. Pelukan
35 35. Takjub
36 36. Sederhana, Tapi Romantis
37 37. Menguping
38 38. Hati yang Terusik
39 39. Supar dan Tiga Istri Wongso
40 40. Pertanyaan yang Menganggu
41 41. Pemandangan yang Sulit Diabaikan
42 42. Diam-diam Dendam
43 43. Rumit
44 44. Aksi Tiga Ibu-ibu
45 45. Orang Dibalik Layar
46 46. Panggilan
47 47. Mencari Bantuan
48 48. Wongso dan Aparat
49 49. Wongso Goyah
50 50. Strategi Kaivan
51 51. Murka
52 52. Pindah
53 53. Langkah Terakhir Kaivan
54 54. Firasat
55 55. Prasangka Airin
56 56. Badai yang Akan Datang
57 57. Meninggal
58 58. Tertembak
59 59. Banjir
60 60. Sadar
61 61. Semakin Dingin
62 62. Rahasia Sang Ibu Susu
63 63. Menghindari Rumah
64 64. Merubah Penampilan
65 65. Biasakan
66 66. Rasa Aneh
67 67. Hanya Formalitas
68 68. Jealous
69 69. Panggilan Penuh Rindu
70 70. Panik
71 71. Terasa Begitu Mirip
72 72. Baru Menyadari
73 73. Detail
74 74. Hanya Penonton
75 75. Protektif
76 76. Pertanyaan
77 77. Rencana
78 78. Malam Istimewa
79 79. Talas Terkena Panas
80 80. Mengusut
81 81. Balas Dendam Kaivan
82 82. Semua Menerima Akibat
83 83. Tak Punya Pilihan
84 84. Persiapan Pulang
85 85. Tanda Tanya
86 86. Orang Luar
87 87. Latar Belakang
88 88. Sudah Selesai?
89 89. Hanya Sekali
90 90. Masalah Baru di Pagi Hari
91 91. Benar-benar Serius
92 92. Gagal Fokus
93 93. Dimanjakan
94 94. Tidak Ada Apa-apanya
95 95. Penyelidikan
96 96. Ganti Strategi
97 97. Disha dan Nesha
98 98. Bersilang Pendapat
99 99. Kecemburuan di Meja Makan
100 100. Efek Domino
101 101. Kepribadian Ganda
102 102. Sudah Menemukan
103 103. Keluarga Pihak Ibu
104 104. Pesta dan Kehangatan Keluarga
105 105. Takdir di Balik Dosa
106 106. Pada Akhirnya
Episodes

Updated 106 Episodes

1
1. Terseret Arus
2
2. Tak Mengungkapkan Jati Diri
3
3. Kericuhan Karena Kaivan
4
4. Hasil Pemeriksaan
5
5. Masih Waspada
6
6. Sang Juragan
7
7. Serba Salah
8
8. Keputusan Dadakan Airin
9
9. Wongso Tidak Sabar
10
10. Pernikahan Dadakan
11
11. Canggung
12
12. Dianggap Guling
13
13. Samar
14
14. Jam Tangan
15
15. Pergolakan Batin
16
16. DSSD
17
17. Siapa Dia Sebenarnya?
18
18. Tetap Perhatian
19
19. Penantian Wongso
20
20. Tantangan Terbuka
21
21. Babak Belur
22
22. Kagum dan Curiga
23
23. Rencana Airin
24
24. Takut Kehilangan
25
25. Pertanyaan Airin
26
26. Meminta Bantuan
27
27. Permintaan Maaf
28
28. Saling Memahami
29
29. Kabar Wongso
30
30. Membela
31
31. Ingin Lebih Lama
32
32. Kekacauan di Pagi Hari
33
33. Pengacau Hati
34
34. Pelukan
35
35. Takjub
36
36. Sederhana, Tapi Romantis
37
37. Menguping
38
38. Hati yang Terusik
39
39. Supar dan Tiga Istri Wongso
40
40. Pertanyaan yang Menganggu
41
41. Pemandangan yang Sulit Diabaikan
42
42. Diam-diam Dendam
43
43. Rumit
44
44. Aksi Tiga Ibu-ibu
45
45. Orang Dibalik Layar
46
46. Panggilan
47
47. Mencari Bantuan
48
48. Wongso dan Aparat
49
49. Wongso Goyah
50
50. Strategi Kaivan
51
51. Murka
52
52. Pindah
53
53. Langkah Terakhir Kaivan
54
54. Firasat
55
55. Prasangka Airin
56
56. Badai yang Akan Datang
57
57. Meninggal
58
58. Tertembak
59
59. Banjir
60
60. Sadar
61
61. Semakin Dingin
62
62. Rahasia Sang Ibu Susu
63
63. Menghindari Rumah
64
64. Merubah Penampilan
65
65. Biasakan
66
66. Rasa Aneh
67
67. Hanya Formalitas
68
68. Jealous
69
69. Panggilan Penuh Rindu
70
70. Panik
71
71. Terasa Begitu Mirip
72
72. Baru Menyadari
73
73. Detail
74
74. Hanya Penonton
75
75. Protektif
76
76. Pertanyaan
77
77. Rencana
78
78. Malam Istimewa
79
79. Talas Terkena Panas
80
80. Mengusut
81
81. Balas Dendam Kaivan
82
82. Semua Menerima Akibat
83
83. Tak Punya Pilihan
84
84. Persiapan Pulang
85
85. Tanda Tanya
86
86. Orang Luar
87
87. Latar Belakang
88
88. Sudah Selesai?
89
89. Hanya Sekali
90
90. Masalah Baru di Pagi Hari
91
91. Benar-benar Serius
92
92. Gagal Fokus
93
93. Dimanjakan
94
94. Tidak Ada Apa-apanya
95
95. Penyelidikan
96
96. Ganti Strategi
97
97. Disha dan Nesha
98
98. Bersilang Pendapat
99
99. Kecemburuan di Meja Makan
100
100. Efek Domino
101
101. Kepribadian Ganda
102
102. Sudah Menemukan
103
103. Keluarga Pihak Ibu
104
104. Pesta dan Kehangatan Keluarga
105
105. Takdir di Balik Dosa
106
106. Pada Akhirnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!