Airin tertegun. "Lampu?" tanyanya pelan, tetapi pria itu tidak menjawab. Ia mulai terlihat panik, kedua tangannya meraba-raba tanah di sekitarnya. "Hei, tenang. Kamu aman sekarang," kata Airin dengan nada lembut.
"Aku... tidak bisa melihat!" teriak Kaivan tiba-tiba, suaranya dipenuhi kepanikan. "Kenapa gelap? Apa aku masih hidup?"
Airin terhenyak. Ia menggenggam tangan Kaivan lebih erat, mencoba menenangkan. "Kamu masih hidup. Kamu hanya... mungkin mata kamu butuh waktu untuk pulih. Tolong tenang dulu," ujarnya, meskipun hatinya sendiri diliputi kekhawatiran.
Kaivan menggeleng, napasnya tersengal. "Tidak, tidak! Aku tidak bisa melihat apa-apa!"
Airin menggigit bibir, lalu berusaha berpikir cepat. "Mungkin kamu perlu istirahat. Lukamu cukup parah. Aku akan membawamu ke rumahku," ujarnya penuh keyakinan.
Kaivan tetap tidak tenang, tetapi tubuhnya yang lemah tidak memberinya banyak pilihan selain menyerah pada Airin. "Siapa... siapa kamu?" tanyanya dengan suara yang mulai melemah.
"Aku Airin," jawab gadis itu lembut. "Dan kamu, siapa?"
Pria itu terdiam beberapa saat sebelum berbisik, "Aku... aku.. Ivan."
Airin menghela napas panjang, menyadari beban besar yang akan ia tanggung. Ia memandang tubuh pria di hadapannya, Kaivan, yang terlihat lemah, dengan wajah penuh luka dan pandangan kosong. "Baiklah, aku akan membawamu ke rumahku," gumamnya pelan, meski suara hatinya dipenuhi keraguan.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Airin meraih tangan Kaivan, mengangkatnya ke bahunya. "Tolong tahan sedikit, kita harus berjalan menuju rumahku," ujarnya dengan nada lembut, meski tubuhnya bergetar menahan berat badan pria itu.
Kaivan tak merespon, wajahnya terlihat bingung dan tak berdaya. "Aku... aku tidak bisa melihat," bisiknya lagi, suara lirihnya hampir tenggelam dalam gemericik sungai di kejauhan.
"Jangan khawatir, nanti aku panggil bidan desa untuk mengobati lukamu dan memeriksa matamu," jawab Airin mencoba meyakinkan, meskipun ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa dengan keadaan pria ini.
Langkah demi langkah, Airin membawa Kaivan menyusuri jalan setapak yang licin akibat hujan semalam. Sesekali kakinya terpeleset, tetapi ia menggigit bibir dan tetap bertahan memapah Kaivan. Ember kecil berisi ikan yang tadi ia bawa tertinggal di tepi sungai, tetapi saat ini keselamatan pria itu adalah prioritasnya.
Kaivan yang dipapah Airin terdiam, langkahnya berat dan penuh kebingungan. Setiap kali ia mencoba meresapi keheningan, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang tidak terjawab. "Kenapa aku bisa jadi seperti ini?" batinnya, merasa semakin terpojok dalam ketidakpastian.
Ia menggigit bibirnya, mencoba mengingat kejadian semalam, namun ingatannya bagaikan kabut yang sulit untuk ditangkap. "Apa aku terbentur keras oleh sesuatu? Atau mungkin ini akibat gulungan batang pohon besar yang menimpaku saat terhanyut di sungai?" batinnya. Ia teringat betapa kerasnya tubuhnya terbanting, seakan dihantam sesuatu yang tidak bisa dipahami.
Namun, benarkah itu yang menyebabkan kebutaan ini? Atau mungkin air sungai yang keruh dan penuh sampah itu, yang menggenang dan mengalir deras, telah mengandung sesuatu yang membahayakan matanya? Air itu begitu kotor, bercampur tanah dan benda asing lainnya. Bisa jadi, justru inilah yang merusak saraf penglihatannya.
Kaivan terdiam lebih lama, dan meskipun ia merasa cemas, dia berusaha tetap tenang. "Apakah aku akan tetap buta selamanya?" pikirnya. Namun ia tak bisa menemukan jawaban pasti, hanya rasa bingung yang terus menyelubungi. Dalam kebisuannya, tanpa sadar ia menggenggam tangan Airin yang masih memapahnya, mencoba mencari sedikit kenyamanan dalam ketidakpastian ini.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, Airin tiba di depan rumah sederhana miliknya. Ia membuka pintu yang berderit pelan, lalu memapah Kaivan masuk ke dalam. "Nenek! Nek, tolong bantu aku!" panggilnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Seorang wanita tua dengan wajah penuh kerutan muncul dari dapur, meski sudah tua, wanita itu terlihat masih sehat. "Astaga, Airin! Siapa dia? Apa yang terjadi?" tanyanya terkejut.
"Dia terhanyut di sungai, Nek. Aku menemukannya di dekat akar pohon. Tapi... dia tidak bisa melihat," jelas Airin sambil menurunkan tubuh Kaivan perlahan ke atas dipan sederhana yang ada di ruang tamu.
Nenek Airin mendekat, menatap pria itu dengan cermat. "Lukanya cukup parah. Airin, ambilkan kain bersih dan air hangat. Kita harus membersihkan lukanya dulu," ujarnya dengan nada tegas namun penuh perhatian.
Airin mengangguk cepat, bergegas mengambil yang dibutuhkan. Sementara itu, neneknya duduk di samping Kaivan, menyentuh pelipis pria itu dengan lembut. "Tenang, Nak. Kau aman sekarang. Kami akan merawatmu," kata nenek itu, mencoba menenangkan Kaivan yang masih terlihat bingung dan cemas.
Airin kembali dengan kain dan baskom kecil berisi air hangat. Ia berdiri di samping Kaivan, mulai membersihkan lumpur dari wajah Kaivan. "Maaf kalau terasa sakit," ujarnya sambil melirik wajah pria itu yang masih tampak tegang.
Nenek Asih membantu Airin membersihkan tubuh Kaivan. Dengan lembut menyeka luka di lengan Kaivan menggunakan kain hangat. "Nak, maaf kalau sedikit perih, tapi ini harus dibersihkan agar tidak infeksi," ujarnya pelan, suaranya penuh keibuan.
Airin, yang berdiri di sisi lain, memeras kain basah sebelum mengusapkannya ke wajah Kaivan yang penuh lumpur. Sesekali matanya menatap Kaivan, mencoba menebak siapa pria asing ini. "Kalau ada yang sakit atau tidak nyaman, bilang saja," katanya hati-hati, tak ingin membuat Kaivan tersinggung.
Kaivan tetap diam, hanya sesekali menghela napas panjang. Tubuhnya tegang,, batinnya bergejolak. "Mereka ini orang biasa, kenapa repot-repot menolongku? Apa mereka sungguh tulus, atau ada maksud tertentu?" batinnya.
Nenek Asih menatap Kaivan dengan perhatian, tangannya beralih mengikat rambut pria itu yang gondrong. "Nak, bisa kau ceritakan siapa namamu? Atau dari mana asalmu?" tanyanya lembut, mencoba menggali sedikit informasi.
Kaivan terdiam sejenak, matanya yang kosong seolah mencari-cari jawaban di dalam pikirannya. Setelah beberapa detik, ia menghela napas pelan sebelum menjawab. "Aku... namaku Ivan. Aku berasal dari ibukota."
Airin yang berdiri di samping, memerhatikan Kaivan dengan cermat. "Apa ada keluargamu yang bisa kita hubungi?" tanyanya dengan penuh perhatian, berharap dapat membantu pria ini.
Kaivan kembali terdiam, pikirannya bergulir cepat, namun ia memilih untuk tetap tenang. "Aku... aku belum berkeluarga," jawabnya pelan, suara itu terdengar seakan ada yang disembunyikan. "Tidak ada yang bisa dihubungi," lanjutnya, berusaha untuk menghindari lebih banyak pertanyaan. Ia tidak ingin mengungkapkan jati dirinya yang sesungguhnya, masih waspada terhadap orang asing.
Airin berhenti membersihkan luka Kaivan, menatapnya dengan iba. "Apa pun yang terjadi padamu, kau sekarang aman di sini. Kami akan membantumu sebisa mungkin."
Kaivan tersenyum tipis, ekspresinya datar meski wajahnya pucat. "Terima kasih... meskipun aku tidak tahu kenapa kalian repot-repot membantu seseorang seperti aku."
Nenek Asih senyum lembut. "Kau manusia, Nak. Kami tidak bisa begitu saja meninggalkanmu."
Kaivan menghela napas panjang, suaranya rendah dan serak. "Kalian telah menyelamatkan aku. Bagaimana aku harus berterima kasih pada kalian?"
Nenek tertawa pelan, mencoba membuat suasana lebih ringan. "Berterima kasih nanti saja, Nak, kalau kau sudah sehat. Sekarang, fokuslah pada pemulihanmu."
Airin mengangguk, mengganti kain lap dengan yang baru. "Nenek benar. Fokus pada langkah kecil dulu. Aku akan menyiapkan bubur hangat setelah ini. Kau pasti butuh tenaga."
Kaivan perlahan menoleh, meski pandangannya kosong, tidak ada emosi yang jelas terlihat. "Airin... namamu Airin, 'kan? Aku... tidak tahu apa lagi yang bisa kukatakan selain... terima kasih."
Airin mencelupkan kain ke dalam baskom berisi air hangat, kemudian memerasnya dengan hati-hati. Namun, gerakannya terhenti saat pandangannya jatuh ke pakaian Kaivan yang lusuh dan robek di beberapa bagian.
"Emm... Kak Ivan, bajumu..." Airin mengangkat wajah, ragu melanjutkan kata-katanya.
Nenek Asih, yang berada di sampingnya, ikut memperhatikan pakaian Kaivan. Wajahnya tampak khawatir.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
sum mia
masih tanda tanya juga siapa yang telah mencelakai Ivan . keluarga yang ingin merebut hartanya mungkin , atau saingan bisnisnya . masih menunggu cerita selanjutnya .
itulah Ivan... gak semua orang itu peduli karena ada pamrihnya . karena sesama manusia sejatinya memang harus saling tolong menolong .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
2024-11-28
3
Lia_Sriwijaya
hadir kak... di tunggu up nya kaivan n Airin ..
2024-11-28
4
abimasta
kaivan sudah dewasa,semoga orang2 yg ingin membunuh mu tidak mencari lagi krn mereka fikir kamu udah ga ada
2024-11-28
1