Perjalanan Menuju Keabadian
Pagi hari.
Di kedalaman sebuah hutan yang sangat lebat dan dipenuhi dengan binatang buas, terdapat sebuah desa kecil bernama Desa Sungai Biru.
Desa ini berukuran tidak lebih dari empat ribu meter persegi.
Tanpa pagar yang menjadi batas atau pelindung desa, Desa Sungai Biru berdiri dalam kesederhanaan para penduduknya.
Di desa ini, terdapat sebuah keluarga cabang dari sebuah keluarga besar ternama, yaitu Keluarga Weng. Keluarga Klan Cabang Weng Desa Sungai Biru, itulah nama cabang Keluarga Weng di desa kecil ini.
Keluarga Klan Cabang Weng ini memiliki beberapa keluarga yang menjadi anggotanya.
Bukan hanya mereka yang berasal dari Keluarga Klan Cabang Weng saja yang tinggal di desa ini, tetapi terdapat beberapa keluarga kecil lainnya yang bukan berasal dari Keluarga Weng.
Pada pagi hari seperti ini, suasana masih sangatlah sepi karena udara yang sedikit dingin. Rumah para penduduk masih tertutup dengan rapat.
Namun meski begitu, tidak semua orang masih tertidur nyenyak pada waktu seperti ini.
Dari beberapa keluarga kecil yang masuk sebagai anggota Keluarga Klan Cabang Weng di Desa Sungai Biru, terdapat sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri, dan juga anak laki-laki mereka yang berusia 13 tahun.
Keluarga ini tinggal di sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu yang sudah cukup lama usianya.
Pada halaman depan rumah, terlihat sosok anak laki-laki yang sedang sibuk berlatih beladiri tanpa mempedulikan hawa dingin di sekitarnya.
Ha! Hep! Pha!
Anak laki-laki itu melakukan beberapa pukulan yang mengandung kekuatan cukup besar ke udara, lalu kemudian berhenti dan menarik napas dalam.
"Fhuuu...."
Membuang napasnya, anak laki-laki itu kemudian berdiri tegak dan memejamkan matanya selama beberapa saat, sebelum membukanya kembali dan berjalan ke arah sebuah pohon di dekatnya dan duduk di bawahnya.
"Latihan pagi memang jauh lebih baik dari pada berlatih di siang dan sore hari," ucap anak laki-laki itu sambil mengelap keringat di dahinya.
Anak ini bernama Weng Lou. Dia merupakan anak laki-laki sekaligus anak satu-satunya dari sepasang suami-istri, Weng Li dan Weng Hai yang tinggal di Desa Sungai Biru ini.
Sebagai anak satu-satunya tentunya dia mendapatkan semua kasih sayang yang ia butuhkan dari kedua orang tuanya.
Sejak kecil dia sudah bisa memahami kondisi keluarganya yang serba pas-pasan sehingga dia besar bukan menjadi seorang anak manja yang selalu meminta apapun kepada orangtuanya, melainkan seorang anak mandiri yang sering membantu keluarganya, atau pun sesama anggota Keluarga Klan Cabang Weng di Desa Sungai Biru.
Sebagai anggota dari Keluarga Klan Cabang Weng, Weng Lou memiliki impian untuk bisa melihat dunia luar yang luas.
Untuk itu dia pun berlatih beladiri dan menjadi seorang Praktisi Beladiri, yaitu mereka yang sudah mencapai Dasar Pondasi tingkat 1.
Praktisi Beladiri adalah mereka yang mendalami dunia beladiri untuk bisa memperkuat diri mereka, sehingga mereka menjadi jauh lebih kuat dibandingkan dengan manusia biasa.
Pada dunia beladiri, terdapat tingkatan beladiri yaitu Dasar Pondasi yang terdiri dari 12 tingkat, yang tiap tingkatnya dibagi menjadi 3 lagi yaitu awal, menengah, dan akhir atau puncak.
Meski orang-orang hanya mengetahui bahwa tingkat beladiri hanya Dasar Pondasi saja, tetapi Weng Lou yakin bahwa masih ada tingkat yang lebih tinggi lagi karena ayahnya pernah menceritakan tentang orang-orang yang berada di atas Dasar Pondasi tingkat 12 kepadanya.
Di saat Weng Lou masih beristirahat di bawah pohon, mendadak terdengar suara gemersik dari semak-semak yang berada tidak jauh darinya.
Dia memperhatikan semak-semak itu selama beberapa saat sebelum kemudian terlihat pergerakan pada semak-semak itu.
Srek.....
Akhirnya Weng Lou pun bangkit berdiri dan mendekati semak-semak itu.
Dia melangkah dengan pelan, dan bersiap dalam segala kemungkinan. Mungkin saja dibalik semak-semak itu ada binatang buas yang sudah mengintainya sedari tadi.
Shuuu-Buck!
"Ah!"
Tubuh Weng Lou terbanting kebelakang, ketika seekor kelinci berbulu abu-abu melompat keluar dari balik semak-semak itu. Jantungnya serasa akan copot dalam beberapa saat yang lalu karena hal itu.
"Hanya kelinci ternyata, membuatku kaget saja," ucap Weng Lou yang kemudian berdiri kembali dan membersihkan pakaiannya dari debu tanah.
Lokasi rumahnya ini tepat berbatasan dengan Hutan Kematian, sebuah hutan yang sangatlah luas, berisikan banyak sekali binatang buas yang tidak mungkin bisa dikalahkan oleh manusia biasa, hanya para Praktiksi Beladiri saja yang berani memburu dan membunuh mereka.
Meski Weng Lou merupakan seorang Praktisi Beladiri juga, tetapi bisa dikatakan bahwa dia sangatlah lemah karena dia masih berada di Dasar Pondasi tingkat 2.
Jika dibandingkan dengan mereka yang sudah berlatih beladiri jauh lebih lama darinya, maka bisa dikatakan dirinya ini adalah yang terlemah.
"Kau seharusnya tidak berlatih di luar seorang diri, Lou'er. Para binatang buas masih beraktifitas di waktu seperti ini, akan berbahaya jika salah satu dari mereka datang dan menyerang mu di saat ayah tidak ada."
Dari arah rumahnya, terlihat pintu depan terbuka dan menampilkan sosok seorang pria berusia sekitar empat puluhan, berjalan keluar dengan bertelanjang dada dan menampilkan tubuh sedikit kurus namun berototnya.
Pria ini adalah ayah Weng Lou, Weng Li. Orang terkuat yang ada di Desa Sungai Biru. Tingkat praktik miliknya adalah Dasar Pondasi tingkat 6 awal, tingkat tertinggi yang pernah Weng Lou lihat sejauh ini.
"Menunggu ayah untuk menemaniku itu sangat lama, apa lagi ayah tidak bisa dibangunkan ketika tidur," balas Weng Lou sambil mengangkat bahunya.
Weng Li tersenyum canggung mendengar ucapan Weng Lou, itu salah satu kebiasan buruknya, bahkan istrinya, Weng Hai selalu menceramahi nya karena hal ini.
"Iya iya....ayah yang salah." Weng Li pun mengaku lalu berjalan ke arah Weng Lou.
"Bagaimana jika kita latihan bersama? Ayah disini bisa mengajarimu satu dua hal yang mungkin bisa kau praktekkan nantinya."
"Tidak, terima kasih. Lebih baik ayah cepat pergi berburu. Ibu akan marah lagi kepada ayah jika sampai ayah terlambat pulang seperti kemarin."
Mendengar itu Weng Li pun langsung bergidik ngeri, dan buru-buru mempersiapkan peralatan berburu miliknya.
Sebuah tombak sepanjang dua meter, dengan mata pisau ganda usang diambilnya dari dalam rumah. Mantel yang terbuat dari rerumputan kering dan juga topi dari jerami dipakainya. Ini semua sebagai penyamaran yang ia gunakan dalam berburu di dalam hutan.
"Baiklah, ayah pergi kalau begitu. Kau jangan berlatih terlalu keras, tes masuk Keluarga Utama Weng di Kota Bintang Putih masih satu minggu lagi," ucap Weng Li mengingatkan putra semata wayangnya.
"Tenang saja, yah. Aku sudah berada di Dasar Pondasi tingkat 2, jadi kemungkinan aku lolos nantinya sudah delapan puluh persen," balas Weng Lou sambil tersenyum kepada ayahnya.
Weng Li mengangguk, lalu kemudian pergi masuk kedalam hutan. Dengan tombak di tangannya, dia siap untuk pergi berburu.
Pekerjaan Weng Li memang adalah sebagai seorang pemburu yang memburu binatang buas, dan menjualnya di kota.
Untuk berburu, itu tidak memerlukan waktu lama, karena Hutan Kematian adalah surganya para Binatang Buas. Hampir segara penjuru terpencar Binatang Buas. Yang menjadi masalah adalah pergi menjualnya di kota.
Jarak antara desa mereka dengan kota terdekat, yaitu Kota Bintang Putih memakan jarak 50 km lebih. Jika menunggangi kuda biasa maka itu akan memakan seharian, tapi berbeda jika yang berlari adalah seorang Praktisi Beladiri Dasar Pondasi tingkat 6 seperti Weng Li.
Itu akan memakan waktu beberapa jam, tapi setidaknya dia bisa pulang-pergi dalam satu hari.
Itu sebabnya Weng Lou mengatakan pada ayahnya untuk cepat, karena jika dia terlambat pergi, maka dia juga akan terlambat pulang.
Setelah beristirahat selama beberapa menit, Weng Lou pun masuk ke dalam rumahnya, dan menemukan ibunya, Weng Hai yang baru saja selesai memasak.
"Kau sudah selesai berlatih, Lou'er?" Weng Hai bertanya sambil menoleh dan tersenyum tipis kepadanya.
"Iya, bu."
"Duduklah sini, kita makan bersama."
Tanpa banyak berbicara, Weng Lou langsung berjalan ke arah ibunya, yaitu ke meja makan dimana makanan yang ibunya masak telah disiapkan.
Meski rumah Weng Lou kecil dan sederhana, namun peralatan dan barang-barang di dalamnya bisa dibilang sangatlah lengkap.
Mulai dari meja makan yang berbentuk lingkaran dengan diameter dua meter, dua buah tempat tidur yaitu tempat tidurnya dan kedua orang tuanya, dan lainnya.
Sesampainya Weng Lou di meja makan, terlihat makanan-makanan diatasnya itu bisa dibilang sangatlah sederhana, tetapi Weng Lou sama sekali tidak mengeluh akan hal itu. Baginya semua makanan yang dimasak oleh ibunya adalah masakan terenak yang pernah ia makan.
Weng Lou duduk di salah satu kursi yang menghadap ibunya, dan kemudian mulai menyantap makanan itu bersama ibunya. Tangannya bergerak lincah memakai sumpit untuk mengambil makanan.
Sepuluh menit kemudian, Weng Lou dan ibunya telah selesai makan. Setelah makan, Weng Lou langsung mengangkati semua peralatan yang kotor dan pergi membersihkannya.
Ini adalah salah satu kesehariannya selain berlatih. Dia ingin sebisa mungkin membuat ibunya bekerja tidak terlalu banyak.
Selesai membersihkan, Weng Lou pun pamit kepada ibunya, dia pergi untuk berburu binatang kecil sebagai bahan masakan ibunya.
Jika ayahnya berburu untuk dijual, maka dirinya berburu untuk dimakan.
Dengan sebuah busur tua usang di letakkan di punggungnya, Weng Lou pun pergi masuk ke dalam hutan untuk berburu, tanpa mengetahui bahwa sebuah bahaya sedang mengintai dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 331 Episodes
Comments
Angel Woso
sekedar masukan ya thor. ukuran satu hektar tanah sj yg 100x100 meter = 10.000 meter persegi. jadi bagaimana yg dimaksud cuma 4000 meter persegi? kalau sempat di koreksi lagi ya thor biar tidak rancu sama ukuran luas.. 🙏
2023-08-14
3
Derajat
Revisi lagi
2023-08-12
1
Heri Wibisono
minimal awal cerita udah bagus... gk pakek reinkarnasi yg aneh2 atau sistem game apalah itu.
2023-07-09
1