...Hari ini aku melihatnya terluka....
...Aku kehilangan binar mata indah itu dalam tatapan kosongnya....
...Aku pikir diriku sudah terbiasa tanpanya....
...Aku kira aku sudah tak lagi perduli tentangnya....
...Tapi nyatanya aku bimbang dalam ketidak berdayaan yang ku ciptakan sendiri....
...Aku yang bersembunyi dalam ego bertahtakan rasa kecewa....
...Aku yang terlalu pengecut untuk berkata aku merindukanmu Asha....
...Bodohnya aku tetap melanjutkan ke egoisanku...
...Mungkin sudah terlambat saat nanti aku menyadarinya....
...(Kafka Acacio Narendra)...
Bu Eli tetap pada keputusannya memberikan hukuman Asha lari sepuluh kali putaran, beliau membawa Asha ke lapangan basket. Kafka, Revan dan yang lainpun ikut kelapangan sementara Alena tetap di ruang kesehatan karena harus istirahat.
"Na, aku minta tolong hubungi bundaku. Bilang padanya aku dihukum lari karena difitnah mendorong siswa lain sampai pingsan. Aku tidak tahu diputaran berapa aku akan jatuh pingsan dan hanya bunda yang bisa menolongku." Nana mengangguk dan langsung menghubungi bunda Maira.
Maira bergegas menghubungi Malvin setelah mendapat telepon dari Nana, Malvin langsung bergegas menuju sekolah begitupun dengan Maira. Mereka tentu sangat khawatir pada Asha, selama enam tahun mereka berjuang untuk kesembuhan anak sulung mereka. Mereka tahu benar siapa putri mereka yang tidak mungkin melukai orang lain dengan sengaja sementara dia pernah merasakan beratnya berjuang untuk sembuh dari cidera.
Asha memulai hukumannya, dia hanya berjalan sedikit lebih cepat karena dia tahu jika dia lari maka bisa jadi usahanya selama satu tahun terakhir agar tidak lagi mengkonsumsi obat pereda nyeri benar-benar akan sia-sia.
"Asha, apa yang sedang kamu lakukan? Hukumanmu lari bukan berjalan, atau mau ditambah jadi dua puluh kali putaran?" Bu Eli memantau Asha dari pinggir lapangan bersama beberapa siswa termasuk Kafka dan Revan, sementara Nana dengan cemas mondar mandir menunggu kedatangan ayah dan bunda Asha.
Asha memutuskan untuk berlari dari pada menambah hukuman, dia tahu mungkin kurang dari satu kali putaran bisa saja dia jatuh pingsan.
"Ayah, bunda maafin Asha" Gadis itu bergumam dan tak terasa air matanya menetes mengingat semua perjuangannya bersama ayah, bunda dan kedua adiknya yang harus rela tinggal di Singapur demi kesembuhannya.
Tiba-tiba hati Kafka merasa perih saat melihat Asha dihukum, semua berkecamuk dalam kepalanya. Egonya, rasa marah, rasa sakit dan juga khawatir melihat Asha. Dalam ketidakmampuannya mencerna masalah satu-satu dengan akal yang benar, di sertai kebingungan terhadap bukti yang mengarah pada Asha membuatnya bimbang.
Benar yang Asha duga, belum sampai setengah putaran dia merasakan kakinya mulai kebas dengan rasa nyeri yang mulai menjalar dari jari jemari kaki kanannya menuju paha. Rasa sakit membuatnya berhenti berlari dengan tatapan mata yang kosong, perasaan Kafka menjadi tidak karuan mendapati tatapan kosong Asha.
Bu Eli meneriaki Asha agar segera melanjutkan hukumannya, tapi Asha sepertinya sudah ada pada kondisi setengah sadar. Kafka tiba-tiba berlari dari tempatnya berdiri menuju pojok kanan lapangan di mana saat itu Asha berhenti, setelah sebelumnya melihat gadis itu tersenyum dan akhirnya memejamkan mata dan tumbang di lapangan.
Semua yang ada di lapangan menjadi hening melihat Asha pingsan padahal belum sampai setengah putaran, ada salah satu siswa berkata bahwa selama ini Asha tidak pernah mengikuti olah raga lari karena suatu hal. Bu Eli baru ingat kepala sekolah pernah mengatakan bahwa ada seorang siswi pindahan yang ada perlakuan khusus karena ada satu dan lain hal terkait catatan medisnya. Apakah yang dimaksud adalah Asha? semua pertanyaan berputar di benaknya.
Kafka membawa Asha menuju ruang kesehatan dengan menggendongnya ala bridal style. Alena terkejut melihat Asha pingsan, rasa bersalah muncul dalam benaknya. Mungkikan dia salah mengenali orang yang telah mendorongnya, siswi itu sempat berlari setelah mendorongnya. Tapi Asha belum ada setengah putaran sudah pingsan.
Dokter nampak memeriksa Asha, saat ini yang bisa dia lakukan menunggu Asha siuman. Dokter sekolah tidak berani melakukan tindakan, dia harus memastikan lebih dulu apa yang membuat Asha pingsan.
Ayah dan bunda Asha sudah datang, mereka hendak mencari Asha ketika Nana memanggil dan membawa mereka menuju ruang kesehatan. Kafka terperanjat melihat orang tua Asha datang, Maira dengan tatapan pilu mengusap pipi putrinya yang masih belum sadar. Sementara Malvin berbicara dengan dokter sekolah agar tidak melakukan apapun sebelum Asha sadar, mereka baru bisa melakukan tindakan setelah Asha sadar.
Orang tua Asha menemui kepala sekolah untuk memastikan apa yang terjadi, sebelumnya mereka menitipkan Asha pada Nana juga Kafka.
"Nana, Kak Kafka bunda titip Asha. Kami harus menemui kepala sekolah dulu."
"Baik, tante." Jawab keduanya
Orang tua Asha bertemu dengan kepala sekolah, mendengarkan permasalahan yang terjadi antara putrinya dengan kakak tingkatnya. Maira menahan amarahnya saat melihat bu Eli yang sudah menghukum putrinya tanpa berdiskusi dahulu dengan kepala sekolah.
"Bu Aster bukannya setiap sudut sekolah ini ada cctv?" Bu Eli baru ingat kalau setiap sudut sekolah terpasang kamera cctv, dalam hati merutuki dirinya yang gegabah.
Mereka kemudian meminta pihak keamanan sekolah untuk memeriksa cctv yang ada di sekitar Lokasi kejadian, berharap semoga ada kebenaran yang di dapatkan. Malvin dan Maira tahu benar dan yakin putrinya tidak akan melakukan hal itu, bu Aster selaku kepala sekolah berusaha menenangkan kedua orang tua Asha.
Memang benar dari cctv terlihat siapa pelakunya, sepatu yang di pakainya sama persis dengan yang dipakai Asha hari itu. Dari bentuk tubuh bu Eli tahu benar siapa siswi tersebut, dia bukan Asha melainkan teman sekelas Asha yang bernama Gistara.
Asha sadar dari pingsannya, dia memanggil bundanya sambil merintih kesakitan, teriakan dan tangisnya terdengar menyayat hati. Dokter berusaha untuk menenangkannya, tidak juga bisa memberikannya obat apapun karena Asha semakin keras menangis dan merintih. Alena dan Nana tak kalah panik dan bingung melihat kondisi Asha.
Kafka semakin bingung mendapati Asha tiba-tiba seperti itu, dia mendekat hendak memeluknya namun ditampik Asha. Asha meringkuk, terus menerus memanggil bundanya dengan tatapan yang tak dapat di gambarkan oleh Kafka. Rasa bersalah mulai bergelut dalam kepalanya.
Nana berlari menuju ruang kepala sekolah dengan paniknya melihat kondisi temannya seperti itu, dia memang tidak tahu cerita sepenuhnya. Asha hanya pernah bercerita bahwa dia pernah mengalami cidera pada kaki lumayan parah. Nana meminta ijin untuk masuk kedalam ruangan.
"Om, tante. Asha sudah sadar, tapi dia terus menangis memanggil tante. Seperti merasa sangat kesakitan, dokter tidak berani memberinya obat apapun." Mereka berdua bergegas menuju ruang kesehatan untuk melihat kondisi Asha.
Maira mendekat pada Asha, memeluk dan mengusap dengan lembut punggung putrinya. Berusaha membuat tenang Asha dan mengambil obat dari tasnya.
"Kafka boleh tante minta tolong carikan air minum?"
"Kafka ambil dulu tan." Kafka menuju rak obat-obatan, biasanya selalu ada air mineral yang memang di sediakan di sana. Kemudian memberikannya pad bunda Maira.
"Terimakasih sayang."
"Sama-sama tante," Kafka melihat bunda Maira terlihat sedikit memaksa Asha untuk bisa menelan obatnya.
"Sayang, bunda mohon telan dulu ya obatnya" Sekuat tenaga Maira menahan air matanya, melihat putrinya yang kembali merasakan sakit membuatnya benar-benar ikut terluka.
"Sa .. sakit bun, sakit sekali bun." Dengan suara yang lirih dan tersendat serta napas yang tidak beraturan itulah kondisi Asha yang saat ini Kafka lihat.
Saat ini Asha sudah lebih tenang setelah Maira berhasil membuatnya menelan Naproxen, rasa nyeri yang di rasakan Asha mulai mereda setelah beberapa saat kemudian. Kafka keheranan untuk apa Asha minum obat anti inflamasi non-steroid (NSAIDs), dia tahu karena akhir-akhir ini sedang belajar ilmu kedokteran untuk persiapannya masuk jurusan kedokteran Standford.
Malvin meminta pak Maman untuk segera membawa mobil masuk ke dalam sekolah. Kafka melihat Malvin tampak menghubungi seseorang menggunakan bahasa inggris, dari raut wajahnya terlihat panik. Dia tidak bisa mendengar semua pembicaraan itu, hanya mendengar jika Asha membutuhkan pertolongan segera karena kembali mengalami sesuatu yang Kafka tidak terlalu dengar.
Malvin menggendong Asha menuju mobil bersama Maira, pak Maman diminta pulang dengan mobil yang tadi di kendarai Malvin. Kafka hanya diam membeku melihat semua hal yang baru saja terjadi, semua pertanyaan tentang apa yang terjadi pada Asha menyeruak dalam pikirannya.
Apakah kepergiannya enam tahun lalu berkaitan dengan hal tersebut, kafka tidak dapat menyimpulkan apapun. Mungki dia akan mendapatkan jawaban dari mamanya saat nanti pulang ke rumah.
Saat ini Asha di bawa terbang kembali ke SGH dengan jet pribadi orang tuanya, setelah sebelumnya Malvin menghubungi dokter Sahnaz yang tak lain adalah dokter Asha selama enam tahun terkahir. Asha kembali melakukan sejumlah tes kesahatan untuk memastikan kondisi cidera traumanya kambuh sampai tahap mana dan tindakan apa yang harus dia kembali jalani.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments