“Bella, kemana saja kamu selama aku pergi?” Arnold yang baru saja tiba dirumah tampak duduk di sofa yang ada dikamarnya, terlihat wanita cantik yang satu tahun terakhir ini menjadi istrinya, membongkar isi koper Arnold yang berisi oleh-oleh.
“Aku tidak kemana-mana,” jawab Bella. Perempuan berparas ayu itu tampak tidak memperhatikan suaminya, lebih asyik dengan oleh-oleh dari suaminya yang baru saja pulang dari Paris.
“Kata Mbok Sanah kamu tiap malam keluar rumah dan pulang setelah pagi hari,” desis Arnold.
“Ah, sayang! Kamu kayak nggak tahu aja! Bisnisku adalah berlian, jadi kadang wajar aku kadang janjian dengan teman di club malam untuk membawakan berlian pesanannya bukan? Kamu kenapa sih selalu kemakan omongan pembantu tua itu!? Harusnya dia sudah dipecat, ganti sama yang lebih muda, kuat dan energik,” kata Bella dengan nada ketus, seakan tidak suka dengan keberadaan asisten rumah tangga Arnold yang sudah lebih dari 15 tahun mengabdi pada keluarga Arnold.
“Kamu berani memberhentikan Mbok Sanah maka kamu harus berhadapan dengan Renaya, dia asisten rumah tangga kesayangan putriku,” balas Arnold.
Pria itu lalu melangkah masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, rasa lelah mendera tubuhnya setelah perjalanan jauh dari Paris. Sementara Bella ngedumel kesal pada suaminya.
Bella mendengus kesal, melemparkan satu botol parfum dari koper suaminya ke atas meja sambil merutuk dalam hati. Ah, benar-benar tidak masuk akal! Arnold selalu percaya omongan asisten rumah tangga tua itu—Mbok Sanah yang selalu mengawasi, mengomentari, seolah-olah dia punya hak untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan!
Dia menata barang-barang lain dari koper Arnold, masih berusaha mengendalikan kekesalannya. Padahal aku ini istrinya, bukan anak kecil yang harus diawasi. Apa salahnya kalau aku keluar malam? Lagipula ini bukan sembarang keluar, ini untuk urusan pekerjaan!
Saat itu ia mendengar suara pancuran air dari kamar mandi dan menyadari Arnold sudah mulai mandi. Bella menatap pintu kamar mandi dengan wajah cemberut. Selalu saja seperti ini... Arnold berpikir aku ini sekadar istri yang menghabiskan waktu di rumah saja, tanpa ambisi atau keinginan untuk maju! Kalau saja dia tahu betapa kerasnya aku berjuang dalam bisnis ini! Lagi pula aku bisa ketemu dengan Ruben sesukaku kan?
Setelah menyelesaikan mandinya, Arnold keluar dan melihat Bella tengah mengeluarkan sebuah tas dari brand terkenal Paris, berwarna ungu muda.
“Itu untuk Renaya, jangan kamu ambil,” kata Arnold.
Seketika Bella mendelik tidak percaya, “Dia masih kuliah dan kamu belikan dia tas seharga ratusan juta? Yang benar saja?” tanya Bella.
“Apa salahnya? Dia putriku, aku hanya ingin membahagiakan dia!” jawab Arnold, “Masukkan kembali ke tempat semula!”
Bella hanya bersungut-sungut saja memasukkan kembali tas yang sebenarnya dia incar, justru malah sang suami berikan pada putri tirinya itu.
Bella merasa dadanya bergemuruh, namun berusaha menahan diri. Dia menatap tas itu sejenak sebelum akhirnya memasukkannya kembali ke dalam koper Arnold dengan hati berat. Tas semahal ini, tas yang sudah aku incar sejak lama—dan ternyata malah untuk Renaya! pikirnya, penuh kejengkelan. Aku ini istrinya, tapi sepertinya Arnold lebih peduli pada Renaya daripada aku. Bukankah aku juga layak mendapat perhatian?
Sambil bersungut-sungut, Bella mulai merapikan barang-barang lainnya, tapi pikirannya terus melayang pada tas tersebut. Dia bahkan tidak menanyakan apa aku suka tas itu atau tidak. Semua perhatian dan kemewahan hanya untuk Renaya, seolah-olah aku ini tidak penting.
Arnold, yang masih berada di kamar, tampaknya sudah bersiap untuk keluar. Namun, Bella tidak bisa menahan rasa kesal yang terus mengganjal. Akhirnya dia memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.
"Arnold, kamu tahu nggak kalau aku juga ingin merasa dihargai sebagai istrimu?" tanyanya dengan nada yang lebih lembut, meski ada sisa kekesalan di sana. "Renaya memang putrimu, aku paham itu. Tapi kita juga menikah, dan aku berharap kamu bisa mengerti kalau aku juga ingin diperhatikan. Kadang aku merasa seperti orang luar di antara kamu dan putrimu."
Arnold berhenti sejenak, menatap Bella dengan pandangan bingung. "Bella, kamu tahu aku mencintaimu. Tapi Renaya hanya punya aku sebagai ayahnya, dan aku merasa bertanggung jawab untuk memberikan yang terbaik untuknya."
Bella menghela napas panjang. Aku tahu Arnold mencintai putrinya, dan itu bukan salahnya. Tapi aku hanya ingin dia sadar bahwa aku juga bagian dari hidupnya sekarang.
"Baiklah, Arnold," Bella berkata dengan nada menyerah, "Aku akan masukkan kembali tas itu untuk Renaya. Tapi kuharap kamu juga mengerti kalau aku ingin merasa lebih dihargai di sini, sebagai istrimu."
Arnold hanya mengangguk, tampak bingung dengan permintaan Bella. Bella keluar dari kamar dengan langkah kesal seperti biasa.
“Kenapa dia?” tanya Arnold, “Memangnya belum cukup apa aku membelikan dia tiga tas dan tiga sepatu? Perempuan susah amat dipahami kalau sudah ngambek!”
**
**
**
Pagi itu, Renaya masuk ke kantor Arnold dengan senyum lebar dan mata berbinar. Begitu melihat ayahnya, ia segera berjalan cepat, lalu memeluk Arnold erat dengan hangat khasnya, seolah mereka sudah lama tak bertemu.
"Papi, mana oleh-olehku?" tanyanya dengan antusias, matanya menatap penuh harap.
Arnold tertawa kecil, mengangguk ke arah meja di sebelahnya. "Tuh, sayang, di atas meja," ujarnya, menunjukkan sebuah tas berwarna ungu muda dengan logo brand ternama yang sudah tidak asing bagi Renaya.
Mata Renaya langsung membesar penuh kegembiraan begitu ia melihatnya. "Aaaa! Aku suka ini, Papi!" serunya dengan suara melengking, tak bisa menyembunyikan kegirangannya. Ia bergegas mengambil tas itu dan duduk di sofa, memeluknya seolah itu adalah harta karun.
Arnold tersenyum hangat, senang melihat betapa bahagianya putrinya. "Syukurlah kalau kamu suka, sayang!" ujarnya lembut, bahagia bisa memberikan sesuatu yang berharga untuk putrinya tersayang.
Arnold lalu duduk di sebelah Renaya yang tengah asyik dengan tas barunya.
“Sayang, kamu kapan pulang ke rumah? Papi kangen seperti dulu lagi, pulang kerja ada kamu yang selalu memeluk Papi,” tanya Arnold.
“Aku lebih nyaman di apartemen sekarang, Pi,” jawab Renaya. Perempuan cantik berdarah campuran Indonesia-Amerika itu tentu tidak mungkin mengatakan jika di apartemen dia tinggal bersama Mario, pria yang selama ini menjadi sugar daddynya.
Renaya bukanlah perempuan kekurangan uang, seperti pada umumnya wanita menjadi sugar daddy para pria sukses dan mapan hanya demi uang dan kemewahan. Renaya punya segalanya dengan seorang ayah yang merupakan pemilik 5 perusahaan besar. Renaya menjadi sugar baby-nya Mario karena satu hal, Mario memberikan apa yang tidak dia dapatkan kalgi di rumah setelah meninggalnya sang Mami 2 tahun lalu, yaitu kasih sayang Arnold setelah ada Bella muncul sebagai ibu tirinya.
“Memangnya rumah sudah tidak membuatmu nyaman?” tanya Arnold sambil membelai rambut putrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
MIMPI BURUK MU
sempurna aduh jadi iri sama renaya 😆😆
2024-11-17
0
Aidah Djafar
Renaya daddymu perhatian lho 🤔
2024-11-21
0