“Romi??” Tanya Pak Guru, membuat teman-teman ku heran kenapa aku belum juga maju. Ramori melihat ke arahku ia kemudian menepuk bahuku hingga menyadarkan ku dari lamunanku. Begitu tersadar aku langsung berdiri dan maju ke depan.
Dari depan kelas aku melihat gerak bibir Abi yang mengeja namaku, “Ro..mi..”
“Iya, dia namanya Romi” ujar Chris menunjukku. Aku tahu Abi baru saja mendengar dan mengeja namaku. Entah mengapa hatiku deg-degan. Senang juga. bukan karena baru saja aku maju ke depan untuk prestasi ku bulan ini. walaupun begitu, aku pura-pura tidak sadar saja apa yang dibicarakan mereka.
Entah kenapa wajahku jadi terlihat sombong didepan Abi. Padahal hatiku sedang berbunga. Mungkin ini adalah mekanisme pertahanan diriku, berapa malu diri ini dilihat oleh gadis yang menurutku cantik.
Wajah Romi memerah didepan kelas, tetapi ekspresinya tampak kesal dan angkuh.
Dari depan kelas Romi melihat gerak bibir Abi yang mengeja namanya, “Ro..mi..”
“Iya, dia namanya Romi” ujar Chris menunjukku. Aku tahu Abi baru saja mendengar dan mengeja namaku. Entah mengapa hatiku deg-degan. Senang juga. bukan karena baru saja aku maju ke depan untuk prestasi ku bulan ini. walaupun begitu, aku pura-pura tidak sadar saja apa yang dibicarakan mereka.
Entah kenapa wajahku jadi terlihat sombong didepan Abi. Padahal hatiku sedang berbunga. Mungkin ini adalah mekanisme pertahanan diriku, betapa malu diri ini dilihat oleh gadis yang menurutku cantik.
Wajah Romi memerah didepan kelas, tetapi ekspresinya tampak kesal dan angkuh.
***
Sampai didepan barulah aku sadar bahwa aku berada diurutan ke dua. Dan ini menandakan bahwa tidak lain dan tidak bukan urutan pertamanya adalah…
“Damar.. maju nak, kamu juara pertama” ujar Pak Guru tersenyum. Jadi lagi-lagi bulan ini aku diurutan kedua, ini membuat wajahku segera berubah kesal. Bulan ini aku sudah belajar sebelum ujian, yang sebelumnya belajar itu tidak pernah ku lakukan tapi hasilnya masih sama saja diurutan ke dua..
“Ayo beri tepuk tangan untuk teman-teman kita” ujar Pak Guru. Semua murid-murid memberikan tepuk tangan untuk kami. Saat itu aku mencoba mengintip kertas ujian Damar. Ia memiliki nilai sempurna, nilaiku setingkat dibawahnya sementara Subesi ia mendapatkan nilai 7 untuk ujian berhitung ini.
Kami semua kembali ke kursi masing-masing. Aku kembali dengan wajah kecewa. Chris kemudian segera menghibur ku.
“Tidak apa-apa Rom, bulan depan kau akan juara pertama..” ujar Chris menoleh kebelakang.
“Romi kau itu sangat pintar, hanya saja kurang teliti...” ujar Ramori Chris mengangguk-angguk melihat kearah ku. Dan pengakuan mereka yang jujur itu membuatku semakin kesal dan murung saja.
Abi mencoba menoleh ku kebelakang melihatku, lalu ia melihat wajahku yang tanpa sengaja melihat mata Abi dengan sinis.
"SIINGGSS...!" seperti ada bunyi pisau keluar dari mataku.
Abi tampak kaget dan segera melihat ke depan lagi. Aku juga ikut kaget, apakah wajahku sesinis itu. Aku mencoba meregangkan wajah dan menggerak-gerakkan bibirku.
***
Saat istirahat sekolah, Aku, Chris dan Ramori berjalan menuju kelas. Kami melihat anak-anak di lapangan yang bermain bola dengan bola rotan. Salah satunya adalah Damar. Ia menendang penuh percaya diri, dan tendangan itu memasuki gawang lawan. Semua teman-temannya tampak mendekatinya karena merasa senang dengan keberhasilan Damar. Aku, Chris dan Ramori masih melihati mereka.
“Dia benar-benar sempurna. Bisa diandalkan. Cerdas dalam kegiatan apapun. Manis pula.” Ujar Ramori terus melihati Damar. Benar-benar mengesalkan pendapatnya.
“Kenapa? Kau suka padanya?” tanyaku masih melihati Damar.
Mataku berusaha ku alihkan dan mataku malah menangkap hal yang lain. Dari kejauhan aku melihat Abi. Abi tampak sedang bersandar seorang sendiri di dinding kelas melihati pertandingan bola. Ia hanya berdiri sendiri tidak bersama gadis-gadis lain yang berkelompok. Kakiku terasa ingin maju melihat ia hanya sendirian saja di sana. Siswi baru mungkin belum bisa segera punya teman. Ingin sekali kaki ini melangkah kearahnya, aku ingin menyapanya seperti seorang teman, namun tiba-tiba terasa berat untuk berjalan. Karena tiba-tiba aku menjadi gugup dan tanganku semakin dingin. Tiba-tiba Chris melewati ku menuju satu arah hingga mengalihkan pandanganku dari Abi menuju ke Chris. Chris berjalan menjauhi kami. Sekarang aku tahu kemana arah jalan Chris. Benar-benar punya naluri hidung belang anak ini.
“Wah Chris benar-benar..” ujar Ramori melihat Chris mendekati Abi.
Dari kejauhan Chris tampak mendekati Abi. Ia lalu mengajak Abi bicara. Mereka terlihat berbincang dan tertawa. Aku memandangi Abi dan Chris. Wajahku mungkin tampak tidak senang. Tiba-tiba Chris melihat kearah kami dan melambaikan tangannya pada kami. Ia memanggil aku dan Ramori untuk datang ketempat meraka.
Setelah meneguk ludah Aku berjalan bersama Ramori mendekati mereka. Semakin dekat jantungku berdetak keras, tanganku rasanya saat itu telah banyak berkeringat, penuh di semua sisi telapaknya. Tanpa berpikir, aku kemudian berbalik dari arah jalan itu dan berjalan menjauhi mereka.
“Eh kemana?” Tanya Ramori bingung melihat arah jalan ku yang berbalik menjauh. Aku berjalan cepat kemudian bersembunyi di balik tembok sekolah. Aku merasa benar-benar bodoh dan bingung saat itu. Kenapa aku harus merasa cemas? Ramori akhirnya mendekati mereka. Aku tidak berani lagi melihat ke belakang.
“Kenapa Romi kesana?” Tanya Chris pada Ramori.
“Tidak tahu.. tiba-tiba saja anak itu…” ujar Ramori bingung.
“Kenalkan, Ramor, ini Abi.”
“Abi, ini teman ku Ramori. Yang tadi itu Romi. Mereka duduk dibelakang kita.”
“Ya aku tahu.. Yang tadi juga aku tahu namanya Romi…” kata Abi tersenyum melihat kearah Romi pergi.
***
Aku berjalan ke kelas. Tiba-tiba saja aku cegukan, aku segera masuk ke kelas. Aku semakin bingung dan berkeliling disekitar kelasku, bertanya-tanya kepada teman-teman apakah ada yang membawa air minum.
“Ada yang bawa air minum? Hik! Boleh aku minta sedikit? Hik!” banyak temanku yang menggeleng karena tidak bawa air.
“Maaf ya Romi, aku tidak bawa air…” ujar Subesi tampak sedih. Dan aku tidak perduli dengan perkataannya. Aku terus saja mencari air.
***
Melamun. Dengan mulut sedikit terbuka. Mungkin itulah yang kulakukan sepulang dari sekolah di teras rumahku. Melihat kearah jalanan tanah yang tampak kosong, dan tampak bingung. Sebenarnya walaupun pandanganku kosong ada hal yang ku pikirkan. Sebuah pemikiran yang tidak bisa ku mengerti saat itu.
“Heh, melamun saja! Nanti kamu kesambet loh!” ujar Ibuku disertai tepukan di bahuku.
Aku melihat ibu, tapi diam saja. Tidak bereaksi apapun.
“Kamu kenapa? Tidak biasanya sore-sore sudah melamun saja. Ada yang dipikirkan nak?” Tanya Ibuku penuh perhatian terhadap anak semata wayangnya saat itu.
“Ah? Tidak..” ujarku singkat.
“Tapi kenapa melamun seperti itu, ini sudah sore loh nanti kamu kesurupan.”
Aku mengerti maksud ibuku tapi saat itu aku tidak ingin membicarakan apapun tentang pikiranku. Karena apa yang kupikirkan menurutku saat itu adalah kebodohan yang tidak ingin diungkapkan laki-laki kepada siapapun apalagi pada Ibunya.
“Ah…” Ujarku mengangguk pada Ibu, kemudian segera perlahan berdiri dari kursi teras, berjalan masuk ke rumah.
“Sudah kesurupan apa dia.. tingkahnya begitu..” dari jauh terdengar suara ibuku bergumam.
***
Makan tak enak tidur pun tak lelap. Itulah yang kurasakan saat itu. Yang kupikirkan adalah kenapa aku bertingkah seperti orang bodoh hari ini. Aku terus terjaga sepanjang malam diatas tempat tidurku. Berputar diatas temat tidurku ke sisi kiri ke sisi kanan berguling-guling diatas kasur. Benar-benar ada sesuatu yang tidak beres, dan aku menyadari hal itu. Aku rasa sumbernya dari hatiku. Mempengaruhi jantung dan otakku.
***
Pagi itu aku datang ke sekolah. Kulihat Chris, Ramori, dan Abi sudah berada didepan pintu kelas sedang ngobrol bersama. Abi tampak tersenyum melihat ku, aku melihatnya dan dengan rasa cemas aku segera melewatinya. Aku yakin rasa cemas ku ini bukan karena takut bahwa Abi adalah siluman ular, karena aku yakin dia juga bukan siluman ular, tapi karena sesuatu yang lain.. Tapi bayangkan jika dia siluman ular yang sedang mencari suami manusia, aku akan...... senang??
Lagi-lagi teman-temanku melihat ku mengabaikan Abi.
“Wah Chris, kenapa temanmu itu.. Abi tersenyum dia tidak balas senyum. Mentang-mentang anak pedagang borongan, aku anak kepala desa saja tidak sombong.” Ujar Ramori kesal.
“Aku anak sekretaris gubernur Belanda saja tidak sombong..” ujar Chris.
Abi lalu tertawa. “Itu kalian sedang sombong..” cetusnya. Ia lalu segera masuk ke kelas.
“Tapikan tidak separah anak pedagang Borongan itu..” kata Ramori membela diri. Chris tertawa. Mereka kemudian mengikuti Abi masuk ke dalam.
***
Aku melihat Abi berjalan masuk dari pintu kelas. Sementara kedua temanku mereka melihati Abi maju mendekatiku dari pintu kelas.
“Deg-deg-deg..” temponya cepat seperti itulah detak jantungku menyadari Abi semakin dekat.
“Hallo, namaku Abi. Kamu Romi kan?” Ujarnya.
Aku melihat kearahnya. Aku tidak tahu mengapa wajahku tampak sangat tenang padahal jantungku sudah mau pecah. Dengan tenang aku mengalihkan pandanganku dan mengeluarkan bukuku. Kemudian aku melihat lembaran-lembaran buku tersebut.
Abi kaget melihat tingkahku. Begitu juga teman-temanku yang melihat dari pintu kelas. Jangankan Abi dan teman-teman, akupun kaget dengan tindakanku.
“Sombong..” Ujarnya pelan tapi terdengar kemudian segera duduk di kursinya.
Teman-temanku segera mendekatiku dan Abi. Mereka segera duduk di kursinya masing-masing.
“Kenapa kau?” Tanya Ramori. Aku diam saja tapi wajahku tampak kesal setelah mendengar perkataan Abi tadi.
***
Malam itu Ibu dan Ayah sedang membaca buku di ruang tengah. Tiba-tiba mereka mendengar suara hentakan didinding berasal dari kamar anak bujangnya.
“Jdug… jdugg… jdugg” bunyinya.
“Ada apa itu? Tanya Ayah pada Ibu. Ibu segera bangun dari kursinya dan segera menuju ke kamarku.
Ibu masuk ke kamarku yang tidak dikunci. Ia melihatku sedang duduk di kasur yang sedang mendorong kepala kearah dinding.
“Heh kenapa anak ku ya Tuhannn….” Katanya mendekatiku dan memegang kepalaku. Mendengar teriakan Ibuku Ayahku segera masuk ke kamarku.
“Hah..? tidak bu.. aku hanya… sakit kepala. Hanya sakit kepala bu…” takut juga aku mereka menangkap basah tingkah aneh ku. aku menghentak kepalaku karena sedikit menyesal. Entah apa yang ku sesali aku juga tak mengerti. Aku tidak mau cerita masalah kebodohanku siang tadi di sekolah pada Ayah dan Ibuku. Apalagi kalau mereka mengetahui keanehanku gara-gara kedatangan murid baru yang merupakan seorang gadis.
***
Keesokannya Aku pergi ke sekolah yang biasa, tapi tidak seperti biasanya. Aku tidak lagi berjalan ke sekolah. Tapi lari. Aku melewati gadis-gadis di penggir sungai tanpa melihat mereka.
“Ada apa dengan Romi, kenapa ia terburu-buru sekali?” Seorang gadis yang kemarin memanggil Romi bertanya kepada temannya yang lainnya dengan bingung.
Aku kemudian melewati gadis yang sering menunggu ku di pinggir jalan hutan dengan bekal makanan.
“Maaf, mulai besok tidak usah buat lagi makanan untukku. Aku sudah punya orang yang ku suka!” ujarku pada gadis di pinggir hutan sambil berlari menuju sekolah.
Gadis tersebut mendengar dan melemparkan makanannya ke tanah. Menoleh ke belakang aku melihatnya terduduk dan memukul-mukul tanah.
Aku kembali melihat kedepan sambil terus berlari bersemangat. Tetapi langkah kakiku ringan, gerak tubuhku cepat untuk mengatakan itu dan kemudian segera kabur. Aku sendiri tidak mengerti apa yang kukatakan. Aku hanya bermaksud untuk membuat gadis itu berhenti menungguku. Saat itu aku tidak ingin pikirkan.
Sesampainya disekolah, berlari menuju ke kelasku. Aku belum menemukan teman-teman ku disana. Ternyata aku datang terlalu pagi. Hanya ada beberapa orang di kelas yang baru datang termasuk juga Damar.
Aku lihat Damar saat itu sedang membaca sesuatu dengan pelan. Saat kulihat dengan jelas ia sedang membaca Al-quran yang berukuran sedang. Baru aku tahu Damar sering datang ke sekolah pagi-pagi. Mengisi kekosongan ia membaca Al-quran di kursinya dengan pelan. Ia tahu bahwa kelas kami dipenuhi dengan orang-orang yang berbeda-beda ras, agama dan suku bangsa. Oleh karena itu ia membacanya pelan untuk dirinya sendiri sebelum kelas menjadi ramai. Aku dengar-dengar Damar memang pandai membaca Al-quran. Ia sering menang perlombaan baca Al-quran di desa hilir, sering dipanggil untuk membaca Al-Quran mengisi acara keagamaan islam. Diantara muslim-muslim lainnya dikelas ku, dia termasuk yang taat.
Aku mengalihkan pandanganku melihat teman-teman lain, Ada yang sibuk menyapu kelas, ada pula yang sibuk ngobrol, ada yang mengulangi tidur di kursinya. Sementara Aku sudah mulai bosan. Masih menunggu teman-temanku mengapa mereka lambat sekali datangnya. Terutama anak baru itu, aku ingin segera melihatnya.
Ramori datang ia segera menyapaku.
“Wah, tidak biasanya datang pagi-pagi.. apa yang membuat kau datang lebih pagi dariku?
“Bukan apa-apa..” Jawabku.
Tidak lama kemudian Chris datang. Dibelakangnya diikuti oleh Abi… Aku kaget melihatnya.
“Kau menjemput Abi kerumahnya, Chris?” Tanya Ramori, ternyata ia juga penasaran.
“Maunya begitu, Tapi kami bertemu di depan kelas.” Ujar Chris si hidung belang tersenyum.
Abi tersenyum saja ia berjalan ke kursinya, tidak melihatku. Aku tahu itu, ia berpura-pura tidak melihatku.
Dia marah. Abi pasti kesal padaku makanya dia tidak menyapaku. Bagaimana caranya agar aku bisa bicara dengannya?
Itulah yang ada di pikiranku. Kemarin aku tidak bermaksud mengabaikannya. Hanya saja tubuhku secara tiba-tiba bertingkah untuk mengabaikannya. Padahal aku ingin dia bicara kepadaku. Seperti dia bicara kepada Chris.
Tiba-tiba tanpa sengaja Abi menoleh ke belakang untuk meminjam sesuatu.
"Ramori boleh aku pinjam grip (sejenis pensil untuk papan Sabak) milikmu..? Grip ku ketinggalan.." ujar Abi bicara pada Ramori yang memiliki beberapa grip, ia letakkan diatas meja.
"Iya boleh, pakailah.." ujar Ramori tersenyum. Abi sama sekali tidak melihat ke arahku. Sementara aku tidak sengaja menatapnya.
***
"Tuhan tolong aku.. Aku ingin bicara dengannya...!" ujarku dalam hati bersungguh-sungguh dan menyadari aku mulai kesulitan dengan tingkahku sendiri.
***
.
.
.
NEXT
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments