"Ahaha apakah ceritaku membosankan?"
"Tidak Pastor Romi.." ujar Ardi tersenyum menghelah nafas.
"Ah, Aku bisa mengenali kedatangan seseorang dengan hanya mendengar langkah kakinya.. Tap.. Tap.. tapp.." ujar Pastor Romi menirukan suara langkah kaki, mengenang langkah kaki seseorang. Langkah kaki seorang gadis yang lari terburu-buru.
Gadis berambut panjang, dengan ikatan separuh rambutnya, menggunakan baju kurung dan rok panjang, ia juga membawa tas kain, mengangkat sedikit roknya sambil berlari menggunakan sepatu wangyu sedang berlari terburu-buru mengejar waktu menuju ke sekolah.
***
Pastor Romi melihat ke atas meja. Ia melihat teh di atas mejanya. Ardi kemudian memperhatikan Pastor Romi yang istirahat sejenak dari ceritanya. Pastor Romi kemudian mengambil gelas teh di atas meja. Gerakan tangannya mengangkat gelas tampak sangat pelan dan lamban, tangannya juga tampak gemetaran, semua itu seolah memperlihatkan, telah lama perjalanan hidupnya hingga akhirnya tubuhnya mencapai tubuh renta itu. Sejenak pria tua itu memberhentikan kata-katanya dan meneguk teh hangatnya. Setelah menaruh gelasnya diatas meja, ia mulai bercerita lagi.
“Saat itu sekolah hanya berada di desa tengah… anak-anak yang bersekolah di sana pun memiliki latar belakang yang berbeda.” Ujar pastor Romi sambil tampak mengenang.
***
Ramori berlari meninggalkan ku. Wajahnya tampak sangat kesal.
“Hei Ramori” panggilku memegang bahunya, namun ia mengelakkan bahunya hingga tanganku terlepas dari bahunya. Ia terus berjalan, susah juga mengejarnya untuk beriringan. Kami terus berjalan menuju sekolah yang telah dekat jaraknya. Ramori terus mengelak dari ku setiap aku mengejarnya.
Dengan wajah kesal Ramori masuk ke kelas dan aku mengikutinya dari belakang. Karena sekolah hanya ada di desa tengah, anak-anak yang bersekolah pun memiliki latar belakang yang berbeda. Didalam satu kelas itu, mereka membentuk kelompok bermain yang sesuai dengan latar belakang mereka. Ada kumpulan anak-anak nasrani, kumpulan anak-anak muslim, dan kumpulan anak-anak Indo Belanda, duduk berdekatan berdasarkan kumpulan mereka. Tidak dikumpulkan secara sengaja, namun begitulah keadaannya. Mereka berkumpul duduk berdekatan berdasarkan pengelompokan mereka dengan sendirinya.
Seorang anak laki-laki berwajah Indo, dari kursinya di sudut bagian depan kelas, sedang dikelilingi oleh beberapa gadis pribumi dan gadis indo di kelas kami. Gadis-gadis itu tampak duduk di kursi, mengelilinginya dan mengajak anak laki-laki tampan tersebut bercanda. Ketika kami masuk ke kelas anak laki-laki itu langsung melihat kearah kami, tersenyum sambil melambaikan tangannya pada kami. Melihat kami mendekati kursi kami, gadis-gadis itu segera meninggalkan bangku yang mereka duduki dan mengucapkan salam perpisahan pada pemuda itu. Aku membalas sapaannya dengan mengangkat tangan kanan ku. Ramori diam saja melihat kami, masih dengan wajah kesal di mukanya. Anak laki-laki itu tampak heran melihat Ramori yang sedang tampak kesal.
“Hei Chris!” panggil ku pada pemuda yang melambaikan tangan itu. Ia tersenyum lagi. Dari wajahnya yang indo itu, semua orang tahu bahwa ia masih keturunan Belanda.
Chris duduk di pojok depan sendirian. Sejak awal ia tidak ingin duduk dengan orang lain dan memilih kami sebagai teman bermainnya. Aku ingat saat pertama kali masuk sekolah Chris datang terlambat sehingga ia tidak dapat memilih tempat duduk karena sudah penuh. Hanya kursi didepan kami yang kosong. Tapi ia tidak segan-segan mendatangi setelah menyapa kami, untuk duduk didekat ku dan Ramori. Aku sendiri dan Ramori tidak duduk di deretan anak-anak nasrani, tapi kami cukup berdekatan dengan anak-anak nasrani yang berkumpul duduk di tengah, anak-anak muslim duduk di deretan belakang dari setiap deret kursi, dan anak-anak Indo duduk di deretan depan pojokan lainnya.
Aku akui sejak kecil, selain tampan dari wajah-wajah indo lainnya, Chris sudah tampak penuh pesona. Pesona yang ada pada pria-pria hidung belang. Di sekitar desaku Aku cukup popular, tapi Chris, ia dikenal semua orang karena ketampanannya yang setengah indo Belanda itu. Apa lagi di sekolah. Ia disukai banyak gadis di kelasku, beberapa mata gadis selalu memperhatikannya. Entah mata-mata dari kelompok gadis-gadis Belanda, para mata dari kelompok gadis pribumi nasrani, ataupun mata-mata dari kelompok gadis pribumi muslim. Tetapi ada satu gadis yang sangat konsisten hanya mengganggu ku, ia dapat memandangiku seharian, gadis itu adalah Subesi. Ia adalah seorang gadis terpintar di kelas kami dari kalangan anak-anak nasrani. Ia selalu mendapatkan peringkat ke tiga dikelas. Ia memiliki seorang sahabat namanya Tatik, dan Tatik adalah pengagumnya Chris.
Masih ada lagi seorang anak yang paling aku ingat di kelas ku, namanya Damar. Ia adalah seorang muslim dan duduk di deretan belakang. Ia ketua kelas kami. Dia adalah jenis anak-anak pendiam yang sangat tenang, dapat dipercaya dan dapat diandalkan sehingga dapat mengendalikan kelas. Guru-guru senang padanya dan sebenarnya dia bukan tipe penjilat seperti beberapa anak-anak berprestasi lainnya. Dia selalu juara satu dikelas dan dia adalah ketua kelas. Itu tidak masalah bagiku, sialnya adalah aku adalah juara dua, dan aku adalah wakil ketua kelas. Aku seperti bayang-bayang darinya.
Aku dan Ramori duduk di kursi kami. Ramori duduk tepat dibelakang Chris, dan aku duduk disebelah Ramori. Sudah sejak lama Chris duduk sendirian tidak berpasangan walaupun ia memiliki meja yang panjang untuk belajar jatah dua orang.
Chris melihat wajah Ramori yang tampak kesal. Ramori kemudian duduk di kursinya setelah menaruh tasnya. Aku mengikuti kemudian duduk disebelah Ramori.
“Ada apa dengannya?” Tanya Chris padaku.
“Dia habis kena marah pak Ruri. Sepertinya ada yang mengadu pada ayahnya kalau kita bermain di desa tengah minggu lalu” jawabku.
“Ada yang habis cari gara-gara dengan kepala desa sepertinya.. sebentar lagi akan diusir dari desa hulu..” goda Chris kemudian tertawa cekikikan.
“Pokoknya setelah ini aku tidak mau diajak main ke desa tengah ini lagi. Ini semua gara-gara ide mu Chris! Kenapa kalian kalau main, maunya kemari.. coba lihat-lihat keadaanku.. kau enak, di rumah hanya dengan ajudan, tidak ada yang berani melarang mu, ayah mu juga jarang di rumah karena ia kerja ke kota. Nah aku, ayah ku selalu mengawasi ku, dia bisa membunuh ku dengan balok kayunya itu!” ujar Ramori tampak kesal.
“Ayah yang jarang di rumah itu bukan hal yang menyenangkan.. memang tidak ada yang mengawasi hidupku! Lagi pula aku juga tidak mengajak mu, kau saja yang mau ikut!” ujar Chris keras, tiba-tiba moodnya ikut berubah jelek.
Aku kemudian menepuk bahu Ramori untuk menegurnya.
Ramori hanya melihatiku masih dengan wajahnya yang kesal, namun ia tampak menyadari kesalahannya.
Aku berbisik, cepat tanpa suara, “Jangan menyinggung tentang keluarganya”. Ramori mengetahui maksud perkataanku dan menggaruk kepalanya. Ia tampak bingung menyadari ia telah seenaknya bicara, walaupun semuanya diawali dari gurauan Chris yang keterlaluan. Ramori ini kadang memang kurang perasaan.
Wajar saja Chris tersinggung dengan perkataan Ramori. Untuk berharap diperhatikan orang tuanya, Chris bahkan jarang bertemu Ayahnya yang bekerja di kantor pemerintahan Belanda di kota. Ayah Chris merupakan warga asli Belanda. Sewaktu muda Ayah Chris bertugas di desa hulu, kemudian jatuh cinta dan memutuskan menikah dengan seorang kembang desa hulu. Bisa dibayangkan wajah Chris seperti apa? Dia lahir seperti malaikat. Wajahnya terlalu indah untuk orang biasa. Oleh karena itu Chris lahir dan tinggal di desa hulu.
Namun saat Chris masih kecil, Ibunya meninggalkan Chris dengan ayahnya dan lari dengan lelaki lain. Ayah Chris masih sangat mencintai Ibunya dan memutuskan untuk tidak pindah rumah ke kota ketika ia dipindah tugaskan di kota. Ayahnya masih berharap agar Ibu Chris pulang kerumah dan tidak kehilangan jejak mereka. Sejak kepergian Ibunya, Chris tidak pernah bertemu dengan Ibunya lagi. Ayah Chris tinggal di rumah dinas di kota, dan pulang ke desa itu setiap sebulan sekali. Chris sebenarnya adalah anak yang kesepian, walaupun ia hidup dengan berkecukupan, tapi haus kasih sayang ayah dan ibunya.
Bel berbunyi, dibunyikan oleh seorang guru. Anak-anak masuk ke kelas mereka masing-masing. Pak guru lalu masuk ke kelas kami, ia masuk bersama seorang gadis. Seorang gadis yang setengah rambut panjangnya diikat dengan pita coklat muda. Gadis itu segera menjadi pusat perhatian kelas.
Subesi dan Tatik, melihat gadis yang ada didepan kami dengan pandangan ingin tahu. Damar, ia tampak senang melihat teman baru kami itu. Sementara aku, Ramori dan Chris mata kami terus tertuju pada gadis muda itu. Gadis yang cantik dan tampak riang. Gadis berambut lurus dan panjang, dengan mata besarnya yang berbinar. Wajar saja menarik perhatian anak-anak yang melihatnya. Dan lagi ia adalah gadis pribumi yang tidak pernah terlihat sebelumya disekolah ini.
“Anak-anak, hari ini kalian kedatangan teman baru dari kota. Namanya Abidah Rahma. Mulai hari ini ia akan belajar bersama-sama kalian.” Ujar pak guru kemudian matanya mencari-cari tempat untuk Abidah duduk.
“hmmm…” Pak guru melihat ke sekelilingnya, ruangan kelas kami memang telah penuh, kecuali di bangku sebelah Chris.
“Duduk sana ya Abi..” tunjuk Pak guru pada bangku kosong disebelah Chris.
“Baik pak!” ujar Abi bersuara keras sambil mengangguk kemudian tanpa ragu ia berjalan mendekati kami. Saat ia melangkah mendekati kami,.. maksudku mendekati kursinya yang berada di depanku, jantung ku tiba-tiba berdegup kencang, karena takut ia akan duduk di depan ku mulai hari itu. Tapi akhirnya kusadari ia mendekati kursi dan duduk di sebelah Chris, pria tertampan di kelas. Entah mengapa aku langsung merasa iri pada Chris. Ku pikir Chris beruntung sekali hari itu, dan keberuntungannya sepertinya akan berlangsung lama. Itulah yang terpikir olehku sejenak.
Sejak awal kedatangan Abi, aku bahkan telah iri pada Chris, begitu juga dengan beberapa gadis-gadis penggemar Chris yang melihati mereka saat itu. Mereka duduk berdampingan, dua orang yang diciptakan Tuhan dengan wajah yang rupawan. Sepertinya bapak guru baru saja memasangkan pangeran dan putri dikelas kami. Saat Abi duduk di sebelah Chris ia meletakkan tas kainnya dan mengeluarkan batu sabak nya. Chris lalu mengajak Abi untuk berbincang-bincang.
“Hallo, aku Chris.” Ujar Chris sambil tersenyum. Aku bingung kenapa cepat sekali Chris menyesuaikan diri dengan gadis-gadis cantik. Prilaku Chris yang seperti inilah yang ku sebut dengan pesona hidung belang. Aku berusaha untuk menguping pembicaraan mereka.
“Aku Abi!” Jawab tubuh kecil bersuara besar itu, suaranya terdengar keras dan riang. Tampaknya aku tidak perlu menguping pembicaraan mereka karena sudah bisa didengar tanpa pasang telinga yang lebar. Chris terus mengajak gadis itu bicara, dan gadis bernama Abi itu terus menjawab pertanyaan basa-basi Chris.
"Kau kesini dengan walimu Abi?"
"Tidak, orang tua ku hanya mengurus sekolahku kemarin. Aku tidak perlu diantar sampai ke kelas kan.."
"Iya betul.. Kau pindah sekeluarga kemari?"
"Iya.."
"Tinggal dimana?"
"Desa hilir.."
"Oh.." Ujar Chris tersenyum.
"Kau sampai keringatan, tadi kesini lari ya..?" tanya Chris.
"Iya Kris, aku takut terlambat dihari pertama.."
"Tentu saja kewalahan, kau lari dengan batu Sabak.."
"ini tidak terlalu berat.. Asal tidak jatuh keatas kaki.." ujar Abi.
"Huehehuehe.." Mendengarnya Chris tertawa aneh bersama Abi. Mungkin karena gaya humor mereka nyambung.
Apalah yang mereka bicarakan sehingga terlihat seru sekali hingga mereka tertawa bersama. Aku juga ingin berkenalan dengan gadis itu, tapi ku pikir aku tidak bisa seperti Chris yang mudah bergaul dengan seseorang dengan sangat cepatnya. Aku juga bukan orang yang tidak pandai bergaul, tapi menjadi sulit untuk berbicara saat itu, menyela pembicaraan mereka yang terdengar sangat menarik. Dari belakang aku hanya bisa melihati gadis itu. Dan memperhatikan mereka diam-diam.
“Hari ini bapak akan mengumumkan hasil ujian matematika kalian. Yang bapak bacakan di depan kelas ini hanya peringkat satu sampai tiga, bapak mulai dari nomor tiga..” ujar pak guru, sementara aku masih melihati Abi dan Chris yang terus bicara.
Semua orang terlihat harap-harap cemas. Terutama Subesi, ia berharap namanya disebutkan lagi bulan ini.
“Urutan tiga, Subesi.. silahkan maju kedepan nak” ujar Pak Guru. Benar saja, Subesi dipanggil lagi bulan ini sebagai peringkat tiga. Dengan sangat senang Subesi segera maju untuk berdiri di depan kelas . Ia kemudian berdiri disebelah Pak Guru.
“Urutan ke dua, Romi…”
Aku saat itu masih melihati Abi dari belakang.
“Romi??” Tanya Pak Guru, membuat teman-teman ku heran kenapa aku belum juga maju. Ramori melihat ke arahku ia kemudian menepuk bahuku hingga menyadarkan ku dari lamunanku. Begitu tersadar aku langsung berdiri dan maju ke depan.
Dari depan kelas aku melihat gerak bibir Abi yang mengeja namaku, “Ro..mi..”
“Iya, dia namanya Romi” ujar Chris menunjukku. Aku tahu Abi baru saja mendengar dan mengeja namaku. Entah mengapa hatiku deg-degan. Senang juga. bukan karena baru saja aku maju ke depan untuk prestasi ku bulan ini. walaupun begitu, aku pura-pura tidak sadar saja apa yang dibicarakan mereka.
Entah kenapa wajahku jadi terlihat sombong didepan Abi. Padahal hatiku sedang berbunga. Mungkin ini adalah mekanisme pertahanan diriku, berapa malu diri ini dilihat oleh gadis yang menurutku cantik.
Wajah Romi memerah didepan kelas, tetapi ekspresinya tampak kesal dan angkuh.
***
.
.
.
NEXT
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments