02. Orang-orang dalam Ingatan Romi

Ada tiga desa yang berdekatan di daerah kami yaitu desa hulu, tengah dan desa hilir. Ketiga desa ini sebenarnya berada dalam satu ruang lingkup, hanya saja dipisahkan dalam hutan-hutan dan rerimbunan. Dipisahkan pula dengan perbedaan. Perbedaan adat, budaya, dan agama. Tetapi disatukan oleh satu sungai yang panjang. Sejak awal hubungan antara ketiga desa tidak begitu baik. Desa hulu merupakan tempat tinggal dari penduduk asli. Desa tengah sebenarnya bersifat lebih netral karena karena pasar dan sekolah berada di desa tengah dan penduduknya juga merupakan campuran penduduk asli dan pendatang. Sementara Desa hilir ditempati oleh para pendatang dari berbagai budaya yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Namun sebenarnya selain berada dalam satu daratan, desa-desa ini juga dihubungkan dengan satu aliran sungai.

Aku lahir di desa hulu. Aku tidak pernah meninggalkan desa kelahiranku. Desa hulu ini cukup jauh dari kota, namun merupakan jalan yang harus dilewati orang-orang dari desa-desa lain jika ingin menuju ke kota. Kenang pastor Romi, ia merasa kembali ke masa lalu...

***

Sejak kecil aku bermain dan belajar di sini. Ibuku seorang ibu rumah tangga biasa yang sesekali membantu suaminya mencari nafkah dengan berternak babi di belakang rumahnya. Ayahku adalah seorang pedagang sayur dan daging borongan untuk di jual lagi ke pasar-pasar di kota. Saat itu keluarga kami dianggap sebagai keluarga pedagang berpunya dan dianggap memiliki penghasilan di atas rata-rata dari penduduk desa lainnya. Karena pada saat itu, hanya anak-anak dari keluarga terpandang atau keluarga mampu yang dapat bersekolah didesa tengah bersama anak-anak keturunan Belanda. Dan karena penghasilan orang tua ku itu juga aku bisa bersekolah di desa tengah.

 Sekitar Tahun 1935, Disaat pagi-pagi buta, Ibuku Dena sudah memanggil-manggil anak semata wayangnya, sambil sibuk di belakang rumahnya melemparkan beberapa sayuran untuk ternak babi. Ia tampak sibuk namun terus memanggil ku untuk datang padanya.

 “Romiiii Romiiiii!!”

 Usiaku saat itu kira-kira 16 tahun, di zaman ku ini adalah usia yang sudah matang untuk menikah. Banyak teman-temanku menikah diusia 15 tahun. Beberapa diantaranya lebih cepat lagi. Namun banyak juga yang menikah diatas 18 tahun. Walaupun sudah 16 tahun, aku masih dimanja seperti anak 6 tahun. Mungkin karena saat itu aku adalah anak satu-satunya di keluarga kami. Adikku muncul ke dunia setelah 5 tahun kemudian. Karena itu juga sifatku walaupun tenang tapi sedikit kekanak-kanakan.

 Ku pikir wajahku cukup tampan untuk pemuda seusiaku. Tubuhku cukup tinggi, dan badanku berisi. Aku percaya diri dan aku tahu ada banyak gadis yang menyukaiku.

 Malas sekali rasanya mendengar teriakan Ibuku. Suaranya terdengar nyaring juga, mendengung di telinga. Saat itu aku tengah membantu Ayahku,

Teo ayahku, mengangkut sayuran keatas mobil bak buka belakang di halaman rumah. Ayah tengah menghitung ada berapa ikat karung sayur yang telah ia beli dari beberapa petani didekatnya. Petani-petani itu membantu Ayah memasukkan sayur-sayur mereka keatas mobil. Ayah dan Aku masih mendengar suara teriakan Ibu yang nyaring, dari kejauhan.

 “Rom, temuilah ibumu dibelakang, sudah mau putus pita suaranya..” ujar ayahku sambil terus menghitung.

 Aku mengangguk pada ayah ku, aku lalu segera membantu menaikkan satu karung lagi barang dagangan yang akan dijual kepasar dibantu oleh seorang petani. Seusai itu aku segera menuju kebelakang rumah.

 Aku datang dan mendekati Ibu ku yang baru saja masuk ke dapur dari pekarangan belakang rumah kami.

 “Ibu kan tahu aku sedang bantu Ayah di depan. Kenapa teriak-teriak begitu..”

 “Ibu tahu kamu mau bantu Ayah mu, tapi ini sudah waktunya kamu untuk segera berangkat ke sekolah. Karena kamu akan mampir dulu kerumah kepala desa. Ini Ibu mau titip lauk untuk kepala desa, kemarin pak Ruri dia bantu ayahmu mengurus tanah kita.. setidaknya Ibu harus kasih sedikit tanda terimakasih kan. Berangkatlah sekarang nanti telat, sini peluk Ibu dulu” ujar Dena merangkul anaknya yang kemudian anaknya itu berusaha melepaskan rangkulan Ibunya. Tapi Ina berhasil memeluk anaknya ini dari belakang.

 “Akhh Ibu..” ujar ku setelah terlepas dari rangkulan Ibuku. Aku tidak tahu kenapa ibuku memperlakukanku seperti anak kecil, padahal pemuda-pemuda seusiaku yang tidak sekolah rata-rata sudah punya seorang istri dan dua anak kecil. Aku sudah bukan anak kecil lagi yang harus dimanja. Ibu kemudian menyerahkan mangkuk kayu yang ditutup dan diikat dengan kain, kepada anaknya ini. Aku mengambilnya kemudian mencium tangan Ibu dan segera masuk kerumah.

 “Aku berangkat dulu..” ujar ku.

 “hati-hati dijalan!” ujar Ibu melambaikan tangan.

 Sejak pertama masuk sekolah, prestasiku cukup baik, aku selalu mendapatkan peringkat tiga besar di kelas. Oleh karena itu Ayah dan Ibu mempertahankan ku untuk bersekolah, karena mereka merasa bangga. Walaupun tidak tahu nanti setelah tamat mau bekerja di pemerintahan atau tidak. Keluargaku tidak terlalu berharap aku untuk bekerja di pemerintahan karena gaji pegawai pemerintahan pribumi saat itu sangat kecil. Masih jauh lebih besar pendapatan meneruskan usaha keluarga ini.

 Aku masuk kerumah, lalu mengambil kantong kain yang ku jadikan tas sekolah milikku. Di depan Rumah aku bertemu lagi dengan Ayah dan mencium tangan Ayahku kemudian segera beranjak pergi ke sekolah setelah menggandeng tas kainku.

 “Hati-hati dijalan, belajar yang rajin!” ujar Ayah.

 Itulah Romi muda, Romi muda tidak lagi melihat-lihat kebelakang, bukan karena tidak ingin membalas pesan orang tua yang sangat menyayanginya, namun ia tidak ingin terlihat oleh orang-orang seperti anak manja yang ada di bawah ketiak orang tuanya.

 Romi muda berjalan menyusuri jalanan, melewati pinggiran sungai di pagi hari yang biasa ia lewati untuk sampai ke sekolahnya. Ia dilihatin gadis-gadis yang sedang mencuci pakaian. Beberapa gadis berhenti memukulkan pakaian nya ke batu, saat mencuci karena melihat Romi lewat dari atas jalanan. Mereka terlihat berbisik-bisik dengan sesamanya kemudian tersenyum-senyum pada Romi muda. Romi muda melihat sekilas, walaupun ia tetap pura-pura tidak melihat. Salah seorang gadis setelah bicara dengan temannya tampak menggila kemudian berteriak,

 “Romi!!” Panggilnya. Seketika teman bicara itu kaget, sehingga karena kesal segera tenggelamkan gadis yang memanggil Romi ke dalam sungai. Romi muda menoleh kearah gadis-gadis itu, dan tidak melihat gadis yang memanggilnya karena semuanya tampak diam terpaku. Dengan tenang Romi kemudian segera melanjutkan perjalanannya. Suasana sungai menjadi ricuh dengan suara gadis-gadis yang berteriak kegirangan karena Romi sempat menoleh.

 Romi muda melewati jalanan hutan dan pedesaan yang sangat rimbun, namun terlihat indah untuk dipandang mata. Ia melewati persawahan dan perbukitan. Akan ada banyak hal yang kita lihat dalam perjalanan ke sekolah, misalnya kau bisa menemukan ular lewat di depanmu. Atau gadis-gadis yang sengaja menunggu mu di sebuah simpang jalan hanya untuk melihatmu. Kadang-kadang gadis-gadis itu berani memberimu sesuatu, misalnya bungkusan bekal makanan, bungkusan ubi rebus dan makanan lainnya untuk bekal makan siangmu di sekolah. Kadang Romi muda enggan menerimanya jika sudah terlalu sering. Lebih baik ia berlari hingga dapat menghindari mereka. Sebuah mitos yang sering terdengar di desa-desa setempat pada masa kawin, siluman-siluman ular akan menjelma menjadi manusia untuk mendapatkan suami manusia, karena mereka juga menyukai pria-pria manusia. walaupun beberapa diantara yang sering memberikan Romi makanan adalah gadis-gadis yang Romi kenal dari desanya, tapi ia tetap takut dengan mereka saat mereka mencegat Romi yang sedang berjalan menuju sekolah. Barangkali siluman ular menjelma menjadi gadis-gadis brutal untuk mencari suami.

 Romi terus berlari saat melihat seorang gadis di pinggir jalan.

 “Romi!” panggilnya. Ia mengejar Romi kemudian menarik tas kain Romi. Romi terpaksa berhenti. Gadis itu memberikan Romi sebuah bungkusan.

 “Makanlah di sekolah.. Aku Narti dari desa tengah..” Ujarnya meletakkan bungkusan daun berisi beberapa lepat ubi di tangan ku sembari memperkenalkan diri sambil tersenyum malu-malu dan segera pergi. Aku cukup popular ternyata. Bahkan gadis dari desa tengah datang ke sini pagi-pagi untuk menghampiriku.

 Aku senang karena gadis itu segera pergi. Sehingga aku bisa melanjutkan perjalananku ke rumah pak Ruri sebelum ke sekolah.

 Romi muda mulai melihat sebuah rumah dari kejauhan, yang tampak rimbun dihiasi oleh tanama-tanaman pot disekelilingnya. Ia mendekati rumah tujuannya tersebut, tiba-tiba seorang pemuda seusia dengannya berlari keluar dari rumah itu dengan terpingkal-pingkal menuju salah satu sudut pekarangan rumah, pemuda itu berlari sambil berteriak-teriak, tidak lama kemudian diikuti oleh ayahnya yang mengejarnya dengan sebuah balok kayu. pemuda itu terus berlari mengelilingi pekarangan rumahnya, Kemudian melihat kearah Romi.

 “Romiiiii!!” Panggilnya berlari menuju Romi muda. Nah pemuda ini namanya Ramori. Teman ku sejak kecil yang paling pengecut tapi baik hati.

 “Jangan lari kau Ramori! Dasar anak nakal! Tidak pernah mau dengar perkataan orang tua! Sudah di kasih tau jangan main kearah utara tempat markas para koloni Belanda, atau ke desa hilir yang banyak pendatang muslim, masih saja kesana!” teriak Pak Ruri, kepala desa hulu yang juga ayah Ramori. Ramori kemudian berlari dan bersembunyi dibalik tubuh ku. Ramori memegang lenganku. Sampai merembes air keringat tangannya di baju ku.

 “Ahk.. Ramorr.. tangan mu basah lagii..” Ujar ku, Aku tak tahu apakah kali ini karena ia sedang takut hingga tangannya berkeringat banyak sekali. Namun kesehariannya tangan Ramori memang sering mengeluarkan keringat hingga tangannya sering basah. Jika ia punya kekasih, kekasihnya pasti tidak mau memegang tangannya.

 Sebenarnya aku dan seorang temanku lah yang mengajak Ramori memancing ikan di desa tengah disungai dekat sekolah beberapa waktu lalu, karena di sana sepi dan lebih banyak ikannya. Sifat aslinya Ramori adalah anak yang sangat patuh pada orang tuanya.

 “Akhh Akkhh aku tidak pernah pergi ke desa hilir. Aku ke desa tengah beberapa hari lalu untuk main..” ujar si Ramori tampak sedikit histeris melihat balok kayu Ayahnya.

 “Benar itu pak, Ramori selalu main dengan Romi dan Chris. kami tidak pernah mendekati desa hilir..” ujar ku membela Ramori didepan Ayahnya.

 Ayah Ramori tampak menenangkan dirinya. Ia mengatur nafasnya dan mulai menurunkan balok kayunya saat akan bicara pada ku. Wajar Ramori lari berteriak-teriak seperti seorang gadis, ia dikejar dengan balok kayu yang cukup besar.

 “Romi dan Ramori, kalian juga tidak boleh mendekati desa tengah kecuali hanya untuk bersekolah. Berbahaya nak.. berbahaya.. kalian tahukan desa itu perbatasan antara desa hulu dan hilir yang hubungannya sudah lama tidak baik.. Selama desa tengah diapit oleh desa hulu dan hilir, kalian tidak boleh main ke sana.”

 Aku dan Ramori hanya mengangguk-angguk saja, karena takut juga melihat balok kayu Pak Ruri.

 “Pak, ini… makanan dari ibu..” kuserahkan makanan yang Ibuku siapkan dan makanan yang diberikan dari gadis yang kucurigai siluman ular di tengah hutan. Pak Ruri mengambilnya, tampaknya kemarahan dan emosinya pada anaknya sedikit surut dengan makanan-makanan yang akan menjadi sarapannya pagi ini.

 Wajar saja Pak Ruri melarang kami mendekati desa tengah dan hilir. Bahkan semua orang tua dari desa hulu melarang anak-anaknya untuk mendekati tempat tertentu, misalnya kampung sebelah utara yang merupakan markasnya para kolonial Belanda, atau saat libur kami akan dilarang ke desa tengah yang merupakan perbatasan daerah nasrani dan muslim. Begitupula yang terjadi pada pendatang muslim dari desa hilir, mereka melarang anak-anak mereka untuk tidak datang ke desa hulu.

 Desa hulu tempat kami tinggal ini dihuni oleh para nasrani, sementara desa hilir dihuni oleh para pendatang muslim. Sejak lama hubungan kedua desa tidaklah begitu baik. Sementara di desa tengah, desa yang berada diantara desa hulu dan hilir, merupakan desa kecil yang maju karena terdapat sekolah dan pasar mingguan yang besar. Desa ini merupakan desa kecil yang menjadi tempat perdagangan dan pusat pendidikan. Penghuninya adalah campuran dari penduduk pendatang maupun penduduk asli. Sekolah yang ada hanya di desa tengah, membuat para orang tua elit pribumi maupun para orang tua kaum Indo, menyekolahkan anak-anaknya di desa tengah, termasuk juga ayahku yang menginginkan pendidikan yang layak untukku. Karena itu pula aku akhirnya dapat berinteraksi dengan banyak orang diluar desaku.

 Di sekolah ku inilah juga aku belajar dan menemukan banyak hal tentang kehidupan, Banyak hal yang membuatku mengerti bahwa perbedaan seharusnya tidak menjadi alasan untuk tidak saling menghormati dan menyayangi sesama manusia, tidak menjadi pembatas untuk pertemanan. Kita bisa berteman dengan siapa saja walaupun memiliki perbedaan. Aku tidak hanya belajar tentang pelajaran sekolah tetapi juga belajar tentang budaya orang lain, belajar tentang kehidupan orang lain, dengan cara berinteraksi dengan mereka. Dengan begitu aku tidak hanya melihat sesuatu dari sudut pandang ku sendiri tetapi juga dari sudut pandang orang lain. Ada segelintir dari sebagian kelompok dengan kepentingan di dunia ini yang kadang merusak pemikiran kita untuk menerima perbedaan. Namun itu seharusnya tidak membuat kita mengabaikan orang-orang disekitar kita. Bersekolah disana membuka pemikiranku untuk bergaul dengan orang-orang yang berada diluar desaku. di sanalah aku bertemu sahabat-sahabat terbaikku yang aku sayangi dan aku cintai.

***

 Pastor Romi berhenti bercerita, ia terdiam sejenak seolah memikirkan sesuatu. Ardi mendengarkannya dengan sedikit uring-uringan sebab ia belum bisa menemukan titik dari pembicaraan pastor Romi yang mulai terdengar panjang dan membosankan.

"Ahaha apakah ceritaku membosankan?"

"Tidak Pastor Romi.." ujar Ardi tersenyum menghela nafas.

"Ah, Aku bisa mengenali kedatangan seseorang dengan hanya mendengar langkah kakinya.. Tap.. Tap.. tapp.." ujar Pastor Romi menirukan suara langkah kaki, mengenang langkah kaki seseorang. Langkah kaki seorang gadis yang lari terburu-buru.

Gadis berambut panjang, dengan ikatan separuh rambutnya, menggunakan baju kurung dan rok panjang, ia juga membawa tas kain, mengangkat sedikit roknya sambil berlari menggunakan sepatu wangyu sedang berlari terburu-buru mengejar waktu menuju ke sekolah.

***

.

.

.

NEXT

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!