Antara Hulu Dan Hilir
Sebuah bus memasuki terminal pedesaan. Setelah bus berhenti, seseorang turun dari sana, ia adalah Ardi, seorang pemuda dengan tas di bahunya yang turun dari bus asal kota. Ardi tampak sangat kelelahan walaupun waktu masih menunjukan sekitar pukul delapan pagi. Sebab ia telah melewati perjalanan jauh semalaman menuju tempat itu. Tiba-tiba ponsel dari sakunya, berbunyi, yaitu sebuah smartphone yang sudah mulai tampak ketinggalan jaman. Ardi mengangkatnya.
“Ya pak, saya baru saja sampai pak. Saya tahu.. saya akan dapatkan beritanya. Sebenarnya ongkos ini sangat pas-pasan pak..”
“Eh ini tahun 2006 ya! Bahkan sebenarnya untuk wartawan magang seperti kamu, saya seharusnya tidak memberi kamu ongkos sepeserpun. Karena saya tertarik dengan cerita kamu tentang pastor itu makanya saya kasih kamu kesempatan untuk jadi penulis utama di bagaian softnews majalah kita minggu ini. Ingat, kalau kamu tidak berhasil mendapatkan profil pastor itu, saya tidak bisa menjamin kamu terlalu lama di perusahaan ini. ini adalah tulisan pertama kamu. Seharusnya ini bisa menentukan karir kamu selanjutnya.” Ancam bosnya, Pak Hanif.
Ardi menghelah nafasnya. Ia mengurut dadanya sambil mulutnya tampak komat-kamit beristigfar.
“Baik pak, saya mengerti..” ujar Ardi kemudian menutup teleponnya.
Ardi adalah seorang wartawan magang disalah satu perusahaan media di Ibu kota. Masih muda dan wajahnya cukup tampan. Walaupun saat itu wajahnya juga berkeringat dan tampak kelelahan. Ia sejenak tampak terdiam diantara keramaian terminal itu. Ardi kemudian merogoh sakunya, mengambil sebuah catatan kertas berisi sebuah alamat. Setelah melihatnya, ia membawa pergi catatan tersebut ditangannya. Orang-orang lalu lalang didekatnya. Ardi mencegat seorang pedagang asongan pria yang lewat didepannya.
“Permisi, kalo mau ke alamat ini saya harus naik apa ya mas?”
Pria itu melihat ke catatan yang ditunjukan oleh Ardi,
“Akh.. kalau mau kesini cukup jauh mas. Mendingan mas rental mobil sama supirnya aja kesana. Dipertigaan ini ada rental mobil, mas kesana aja dan liatin alamat ini.” ujar si pedagang asongan.
“Wah, terima kasih mas. Mari…” Balas Ardi kemudian menuju ke pertigaan.
***
Sampai dipertigaan, Ardi memang menemukan sebuah rental mobil. Tepatnya sebuah rental mobil tua, Dan semua mobilnya tampak tua. Ardi kemudian mulai memilih mobil mana yang akan digunakannya. Pemilik rental melihati Ardi dengan seksama.
“Yang ini aja mas.” Ujar Ardi
“Yang itu Rp 700.000,- saja”
“Mahal sekali..” protes Ardi.
“Saya tidak bisa kasih murah mas. Ke desa hulu itu jauh, jalannya juga jelek. Lagian kalo mas mau yang murah, pake yang ini saja.” Tunjuk pemilik rental pada sebuah mobil berwarna coklat tua dan jelek. Dipandangnya mobil jelek itu oleh Ardi, wajahnya tampak berpikir.
“Kalo pakai mobil itu biayanya berapa?"
“Rp500.000 saja, sudah dengan sopirnya”
Ardi merogoh dompetnya. Didalam dompetnya masih tersisa beberapa lembar lagi dan memberikan sejumlah uang yang diminta pemilik rental.
***
Mobil tua melaju walaupun tidak kencang. Ardi berada di dalam mobil kapsul tua sewaannya, menuju ke sebuah desa kecil yang bernama desa hulu. Perjalanan jauh, matahari terik, dan jalanan yang gersang, serta mobil tua yang panas membuat Ardi semakin gerah dan kepanasan untuk bertahan berada didalam mobil sewaannya. Ardi mengeluarkan sapu tangan, mengelap leher dan wajahnya. Tiba-tiba mobil mendadak jalan tersendat-sendat lama-kelamaan mobil berhenti berjalan.
“Ada apa mas?” Tanya Ardi pada sopirnya.
“Biasa mas mobil tua. Sebentar ya mas..” ujar sopir kemudian segera keluar memeriksa mesin. Ardi menunggu di dalam. Wajahnya tampak semakin lelah, ia merebahkan kepalanya ke jok mobil. Setelah cukup lama dalam perbaikannya, mobil itu dapat berjalan lagi, lalu mereka melanjutkan perjalanan dengan mobil tua itu.
***
Akhirnya sampai juga Ardi di desa hulu. Ardi melihat jam di tangannya dan ia tersenyum. Ia tetap datang tepat waktu walaupun mengalami banyak hambatan. Ardi keluar dari mobil jelek itu dan melihat sebuah gereja tua di depannya. Dengan langkah yang pelan ia berjalan menuju gereja. Di depan gereja terdapat patung-patung menghiasi halaman gereja. Ardi melihatinya dengan seksama sambil terus melewatinya perlahan.
***
Sesaat saja Ardi telah tiba di depan pintu gereja.
Matanya melihati sekeliling isinya. Gereja itu cukup besar ternyata.
“Permisi? permisi? Ada orang disini?”Ardi mencoba memanggil-manggil seseorang dari pintu gereja, namun tidak ada yang menjawab. Ardi melihat ke sekeliling gereja yang sepi. Ardi berjalan pelan ke tengah. Namun tak ada seorangpun ada di sana yang muncul. Karena keadaan yang tampak sepi, Ardi membalikkan tubuhnya untuk segera keluar, Ardi kemudian segera berjalan menuju pintu keluar, ia tahu sedang tidak ada siapa-siapa disana. Ketika Ardi keluar terburu-buru, seorang suster paruh baya hampir saja menabrak Ardi di pintu gereja. Melihat Ardi yang asing dan terburu-buru, suster itu mengetahui Ardi tampaknya adalah orang yang datang dari luar. Suster itu melihati Ardi, kemudian bertanya,
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya suster itu ramah.
“Ah.. saya.. saya Ardi” Ujar Ardi menunjukkan kartu pengenalnya, suster tersebut segera mengambil dan melihat kartu pengenal di tangan Ardi. Ardi melanjutkan pembicaraannya.
“Saya wartawan dari majalah Dulisudan. Saya ada janji dengan pastor Romi. Saya bermaksud untuk mewawancarai beliau untuk...”
“Oh.. iya iya.. pastor Romi sudah memberi tahu saya. Dia sudah menunggu anda. Mari ikuti saya..” ujar suster itu tersenyum, dan segera berjalan keluar gereja. Ardi kemudian mengikuti suster itu berjalan ke belakang gereja.
***
Ternyata jalan yang mereka lewati itu menuju sebuah sekolah yang ada dibelakang gereja dan asrama serta beberapa rumah kecil untuk petinggi atau pemuka agama di sana. Terlihat beberapa anak bermain di sekitar lapangan itu. Suster itu kemudian berhenti berjalan sehingga Ardi pun berhenti berjalan. Suster itu menunjuk kesebuah rumah kecil.
“Itu… itu rumah Pastor Romi. Pastor Romi sudah menunggu anda. langsung saja kesana, saya akan terus ke sekolah ya mas” ujar suster itu.
“Terimakasih Suster..“ Ujar Ardi, suster tersebut tersenyum kemudian meninggalkan Ardi.
***
Seketika Ardi telah berada didepan rumah itu. Ia berjalan mendekati pintu dan melihat sekeliling rumah. Kecil namun cukup rimbun dengan tanaman pot dan bunga. Ardi kemudian mendekati rumah itu dan mengetuk pintu rumahnya.
“Permisi? permisi?” ujar Ardi sambil terus mengetuk pintu rumah.
Suara dari dalam menyahuti panggilan Ardi, kemudian terdengar suara langkah pelan mendekati pintu, orang itu membukakan pintu dan Ardi menanti kedatangan orang itu dengan matanya yang semakin membesar, ia terlihat sedikit gugup, ia berusaha melihatnya. Saat pintu itu terbuka perlahan, muncul seorang pria yang tampak sangat tua, tampak sangat tenang. Ia berpakaian panjang dengan warna hitam seperti seorang pastor pada umumnya, hanya saja ia lebih tua renta dari perkiraan Ardi. Tidak salah lagi itulah pastor Romi.
Terdiam sejenak melihat Ardi. Kemudian tersenyum Pastor Romi bertanya,
“Apakah mas ini adalah wartawan yang saya tunggu?”
“Ya Pastor. Saya Ardi, wartawan yang waktu itu menelepon dari kota..”
“Ah,.. Silahkan masuk Ardi…” Ujar Pastor Romi tersenyum dan memperbolehkan Ardi masuk. Ardi kemudian masuk kedalam rumah.
"Wajahmu terlihat familiar Ardi.. Seperti diriku dimasa lalu yang aku tunggu.." ujar Pastor Romi tersenyum.
"Ah.. Pastor bisa saja.." ujar Ardi tersenyum. Ardi bingung harus menjawab apa, mereka baru saja bertemu untuk pertama kali. Ardi adalah anak yang tidak banyak bicara, dia tidak terlalu bisa basa-basi.
“Sebentar ya, aku akan buatkan teh hangat..”
“Tidak usah repot-repot Pastor Romi..”
“Tidak apa-apa. aku masih kuat kalau hanya untuk menyeduh teh..” ujar Pastor tersebut.
Pastor Romi berjalan pelan menuju dapurnya meninggalkan Ardi diruang tamu. Ardi melihat sekeliling ruang tamu kecil itu. Perabotannya tampak tua namun bersih. Ada banyak foto-foto tua dan using, menghiasi dinding dan bufet tua di ruang tamu. Ardi duduk di sofa menaruh tasnya. Ia kemudian berdiri dan mulai melihati foto-foto tersebut. Ia melihati banyak foto muda pastor Romi dengan para jemaatnya, dengan teman-teman, dan keluarga. Tiba-tiba mata Ardi tertuju pada sebuah yang berada diatas bufet, ia menyentuh foto tersebut dan memegangnya, foto muda Pastor Romi dengan tiga orang muda lainnya, seorang gadis muda berambut panjang duduk di kursi di tengah-tengah tiga pria yang sedang berdiri. Ardi tampak terpana melihat gadis muda itu, ia lalu tersenyum dan bergumam. “Cantik…”
Ardi berbalik, seketika ia melihat Pastor Romi sudah berdiri dibelakangnya sehingga membuat Ardi tampak kaget. Pastor Romi mendekat dengan membawa dua gelas teh di tadah bawaannya.
"Cantik? Gadis itu cantik ya.." ujar Pastor Romi tersenyum.
"Ah iya.." ujar Ardi tersenyum segan, kemudian menaruh kembali foto tersebut dengan cepat diatas bufet ruang tamu.
"Berarti selera kita sama menilai orang cantik.." ujar Pastor Romi menaruh tehnya diatas meja. Suara geretakan gelas teh terdengar dari getaran tubuh Pastor Romi yang telah tua.
“Ini silahkan diminum Ardi..” lanjutnya.
“Oh terimakasih pastor Romi..” ujar Ardi segera duduk ke ke kursi.
"Kau tidak mau bertanya itu siapa?" tanya Pastor Romi.
"Ah.. Hehe" ujar Ardi tampak malu, dia takut menanyakan hal pribadi pada Pastor Romi. "Gadis cantik pasti mengenai hal yang pribadi" pikir Ardi. Kemudian mengambil gelas teh dan meneguknya.
"Dia adalah Abidah Cinta pertamaku, sahabat baik ku, teman sekolah.." ujar Pastor Romi terus terang. Ardi tampak tersedak.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Pastor Romi memberikan tisu.
"Ohok.. Ohok.. Maaf tersedak pastor.." ujar Ardi. Tampak mengetahui sesuatu.
"Apakah aku terlalu blak-blakan..? Hahaha.. Masa muda akan dikenang, jangan pernah melewatkannya.." ujar Pastor Romi tertawa.
Ardi tersenyum kaget, ia segera mengeluarkan dan mempersiapkan tape recorder untuk merekam pembicaraan mereka.
“Pastor, pikir nak Ardi akan datang terlambat. Karena tempat ini sulit sekali dijangkau. Biasanya beberapa orang akan tersesat dulu sebelum sampai kemari.”
“Saya sempat mikir begitu juga, Pastor, tapi karena saya berangkat lebih awal, jadi tidak telat. Padahal tadi dijalan mobil yang saya tumpangi sempat mogok..”
Pastor romi tersenyum mendengar cerita Ardi.
“Bagaimana bisa kita mulai Pastor Romi?”
“Ya, bisa. Silahkan…”
“Ok.. Tes-tes..” Ardi mulai menghidupkan tape recorder nya.
“Ok, kita mulai Pastor Romi. Kita telah mengetahui sejak lama, Pastor Romi sejak mudanya dikenal sebagai mediator konflik agama perwakilan Katolik. Setiap ada konflik agama yang menghubungkan agama nasrani, Pastor Romi pasti membantu mendamaikan. Tidak semua orang mau melakukan hal itu. Boleh Pastor Romi berbagi pengalaman-pengalaman Pastor.”
“Manusia terlalu banyak memikirkan perbedaan sementara sebenarnya mereka mengabaikan banyak persamaan.. Saya mencintai perdamaian. Perbedaan buat saya bukan sebuah halangan untuk saling menyayangi dan saling menghargai sesama manusia. Saya menyadari hal itu sejak masih remaja. Saya ikut mendamaikan beberapa peristiwa kecil dikota ini dan beberapa peristiwa nasional yang berhubungan dengan konflik agama, suku dan antar wilayah.”
“Baiklah, maukah Pastor Romi ceritakan awal mula, kenapa Pastor Romi mau untuk menjadi salah satu mediator dan ceritakan satu persatu peran dan..” pembicaraan Ardi disela oleh pertanyaan Pastor Romi yang tiba-tiba menatap Ardi dengan tatapan penuh tanya.
“Sebelum masuk ke pembicaraan kita, di telepon nak Ardi sempat menyinggung peristiwa 18 Juni 1937 di desa ini kan. Dari mana nak Ardi tahu tentang kejadian hari itu?” Tanya Pastor Romi menatap Ardi penuh rasa ingin tahu.
Ardi berhenti bicara. Ia terlihat kaget dan bingung untuk menjelaskan pertanyaan Pastor Romi.
“Saya mengetahui dari sumber kami Pastor..”
“Tapi pada saat itu daerah kami masih cukup terisolir. tidak banyak dari warga desa maupun warga kota yang mengetahui peristiwa 18 juni itu…”
Lagi-lagi Ardi tampak terdiam. Ia menghirup nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan sambil terus diam menatap Pastor Romi. Ardi takut Pastor Romi ragu padanya kemudian mengurungkan niatnya untuk memberikan berita. Menyadari keadaan mereka yang telah hening, Pastor Romi mengabaikan keingintahuannya dan akhirnya mulai bercerita.
“Baiklah… Aku akan ceritakan awal mula keputusan ku untuk mau ikut serta menjadi mediator konflik agama dan antar suku. Ini ceritanya panjang sekali. Ku harap kamu mau mendengarkan dari awal hingga akhir ceritanya…”
“Saya akan mendengarkannya Pastor, ceritakan lah dengan senyaman mungkin yang Pastor inginkan.”
“Baiklah, aku akan mulai dari masa kecil ku…” ujar Pastor Romi tampak mengenang sesuatu dalam ingatannya. Ia kemudian melanjutkan cerita nya.
***
Ada tiga desa yang berdekatan di daerah kami yaitu desa hulu, tengah dan desa hilir. Ketiga desa ini sebenarnya berada dalam satu ruang lingkup, hanya saja dipisahkan dalam hutan-hutan dan rerimbunan. Dipisahkan pula dengan perbedaan. Perbedaan adat, budaya, dan agama. Sejak awal hubungan antara ketiga desa tidak begitu baik. Desa hulu merupakan tempat tinggal dari penduduk asli. Desa tengah sebenarnya bersifat lebih netral karena karena pasar dan sekolah berada di desa tengah dan penduduknya juga merupakan campuran penduduk asli dan pendatang. Sementara Desa hilir ditempati oleh para pendatang dari berbagai budaya yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Namun sebenarnya selain berada dalam satu daratan, desa-desa ini juga dihubungkan dengan satu aliran sungai.
Aku lahir di desa hulu. Aku tidak pernah meninggalkan desa kelahiranku. Desa hulu ini cukup jauh dari kota, namun merupakan jalan yang harus dilewati orang-orang dari desa-desa lain jika ingin menuju ke kota. Kenang pastor Romi, ia merasa kembali ke masa lalu...
***
.
.
.
NEXT
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments