I Need You (3)

"Nora Aurora, saya sangat sering menonton tayangan ulangnya di internet, dalam berbagai acara dan realiti show-nya. Dia wanita yang memiliki kecantikan Indonesia yang khas, dia cerdas dan profesional, patut di contoh. Terutama dalam memasak, Nora Aurora adalah panutan saya, keahliannya dalam bidang memasak sudah di akui sejak dia menerima penghargaan bintang Michelin yang berharga. Sayangnya, saat ini Nora sudah vakum dari dunia entertainment. Pasti para fans merindukan kehadirannya sesekali di TV, pun oleh saya pribadi yang terlambat mengaguminya ketika Nora sudah benar-benar hilang dari layar kaca." Celoteh Anna.

Devan melipat kedua tangan di dada sambil memperhatikan lipstik berwarna coklat coral yang sudah memudar, melapisi bibir milik Anna yang sebenarnya merah alami.

"Anna, kau memang banyak bicara ya, otakmu sepertinya lancar sekali memproses informasi." Devan malah menanggapinya dengan sedikit gurauan.

"Ya, itu karna anda yang bertanya terus," jawab Anna, tentu saja dalam hati. "Saya memang seperti ini pada orang-orang tertentu," ungkapnya pelan. Entah mengapa, di hadapan Devan, sejak pertemuan pertama itu, Anna secara alami akan mengeluarkan vibes kemurniannya yang positive, yang berbeda dari biasanya.

Mendengar jawaban Anna, Devan sedikit merasa tersanjung, karena sudah jelas orang tertentu yang maksud oleh Anna adalah dirinya. "Nora Aurora tidak akan muncul lagi ke permukaan sampai kapanpun, aku bisa memastikan itu." Akhirnya Devan memberikan tanggapan yang lebih serius pada ucapan Anna yang terkait dengan Nora, Ibunya.

"Bagaimana anda bisa menjamin kepastiannya? apakah anda adalah putranya?" tanggap Anna ngelantur. Usus di perutnya sudah mulai terasa tidak karuan, nyeri, perih dan tentunya sakit. Tanpa Anna sadari perutnya bergejolak mengeluarkan bunyi, tanda kelaparan.

Devan tersenyum tipis mendengar pertanyaan Anna yang tepat sasaran, nice shoot! Devan memang putra sang Artis terkenal itu, Nora Aurora. Namun tentu saja wanita yang sudah memberi sinyal tanda lapar itu tidak menyadarinya, bahwa tebakannya yang asal itu memang benar adanya.

"Apa kau benar-benar mengidolakannya?" tanya Devan ingin tahu.

"Sejauh ini saya hanya mengidolakan Leonardo da vinci dan Yayoi kusama. Tapi, seorang Nora Aurora pun pantas di idolakan, di mata para fansnya, dia hampir tidak memiliki kekurangan. Sejauh saya menonton segala aktifitasnya di internet, saya benar-benar mengaguminya seraya berfikir, Nora Aurora benar-benar hidup dengan baik dan memanfaatkan seluruh waktunya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dia menjadi seorang ahli dalam bakat memasaknya, di sisi lain dia juga seorang Aktris, Singer, dan di kenal sebagai seorang Intertainer terbaik yang pernah ada."

Sebenarnya yang membuat Anna begitu tertarik mengikuti tentang satu-satunya Artis kebanggaannya adalah, karena sosok Nora yang sejak kecil memiliki kebebasan penuh atas hidupnya dan melangkah maju tanpa rasa takut mengejar segala impiannya, hingga mampu berkembang menjadi seseorang yang pantas di idolakan. Itu berbanding terbalik dengan keadaannya sendiri, yang sejak kecil terpenjara dari dunia.

Devan bisa menangkap apa yang di maksud oleh Anna. Yang di sukai oleh wanita cupu itu hanyalah tentang kebebasan dan juga keberuntungan seorang Nora Aurora. "Maksudmu, dengan kata lain hidup artis itu nampaknya memang berjalan sempurna, ya. Tak ayal jika branding tersebut membuat seorang pengusaha besar jatuh cinta padanya, dan kini dia telah menjadi Nyonya besar di keluarga konglomerat, juga memiliki putra-putri yang sangat mencintainya."

"Iya kah? itu benar-benar kehidupan yang sempurna, dan dia juga benar-benar sangat beruntung." Sorot mata Anna berembun.

"Di dunia ini kesempurnaan hanya milik Tuhan, sedangkan kehidupan manusia selalu ada celah kerusakannya." Devan mencoba memberikan pandangan yang objektif. Entah mengapa obrolan ringan seperti ini berubah menjadi sedikit bermakna.

"Eh? Iya, yang anda katakan itu benar adanya." Kalimat yang di ucapkan Devan mampu mengobati hati Anna yang sedikit terasa menyedihkan. "Tapi, apakah ada diantara anak-anaknya yang mengikuti jejak Ibunya?"

"Ada, tapi hanya sebentar saja, kemudian menghilang. Sehingga tidak banyak yang mengenalnya. Jika kau tau, apa kau akan mengidolakannya?"

"Mungkin saja kalau dia memiliki branding yang sama bagusnya dengan Ibunya. Wah, anda benar-benar tau banyak hal tentang kehidupan seorang Artis, apa anda suka menonton gosip?" Dalam sekejap sorot mata Anna berubah menjadi polos.

Devan tersenyum hambar. Di dalam otak manusia yang genius dalam satu hal, ternyata bisa terisi oleh beberapa hal lain yang begitu bodoh. Wanita cupu di depannya ini sangat unik.

Devan pun kembali teringat masa itu, masa dimana ketika dirinya menghilang di tengah-tengah kepopulerannya karena satu kejadian besar yang membuat Devan terpaksa harus menghentikan karirnya. Kemudian di terbitkan peraturan baru oleh Ayah yang melarang mempublikasikan privacy keluarga dalam bentuk apapun kecuali dalam momentum tertentu. Jadi, hampir tidak ada di temukan di internet foto anggota keluarga Artyom kecuali semuanya sudah di perintahkan untuk di deleted. Bahkan media yang mempublikasikan nya tanpa izin akan di kenai tuntutan berat. Kecuali untuk tujuan tertentu yang sudah di setujui, seperti biografi dan keperluan pendataan lainnya.

Berawal dari ketika Devan masih berusia 15 tahun, pernah mengawali karir di dunia entertainment sebagai model, dengan branding seorang Ibu yang menjadi artis senior, tentu saja menjadi perhatian publik. Sehingga membuat wartawan dari berbagai media selalu menyoroti keluarganya, bahkan sampai mendatangi kediaman pribadinya.

Hal sekecil apapun menjadi besar dalam berita, setiap gerak-geriknya terpantau dari berbagai sudut kamera, bahkan Nora yang sudah tidak bekerja di dunia entertainment pun tak luput dari pemberitaan, kembali di korek sekecil apapun tentangnya.

Keluarga Artyom saat itu benar-benar menjadi pusat perhatian, hingga ke arah bisnis apa saja yang dikelolanya. Sehingga gelombang fans maupun haters sangat mempengaruhi perkembangan bisnisnya.

Karena itu Ayah membuat keputusan penting secara mendadak dan meminta media menarik seluruh data di internet yang berkaitan dengan Devan, tentu saja di tebus dengan harga yang tak sedikit jumlahnya. Begitulah semuanya menghilang tak berjejak.

"Lalu, apa kau sudah mencicipi makanannya?" Devan mengalihkan topik pembicaraan.

"Tidak mungkin, mana berani saya lancang me—"

Devan langsung memotong ucapan Anna, "kalau begitu dari mana kau bisa tau rasa makanan ini enak atau tidak, jika kau tidak pernah mencicipi nya. Apa kau yakin akan memberikan makanan ini padaku?"

Mendengar itu Anna jadi kehabisan kata-kata. Di cicipi salah, tidak di cicipi salah. Tapi walaupun Anna belum mencicipinya, ia yakin makanan yang di buatnya ini sangat layak untuk di nikmati oleh Devan. Jika seandainya tidak sesuai dengan yang di harapkan, apakah siang ini ia harus pulang karena di pecat?

Ah! Bekerja melayani Boss bagaikan naik roller coaster yang setiap saat di kunjungi oleh perasaan cemas yang mendebarkan. Anna dihadapkan dengan beragam situasi yanh naik turun, yang mana dalam keadaan apapun dia seolah di tuntut untuk bersikap profesional, dan wajib mengikuti apapun tuntutan sang Boss. Pantas saja hampir semua orang tidak berani mengambil tanggung jawab yang mengerikan ini. Entah mengapa dengan penuh kepercayaan diri Anna justru maju sebagai juru selamat. Meskipun begitu, bagi Anna pribadi ada sisi yang menyenangkan ketika berbincang ringan dengan Devan seperti barusan yang mengalir apa adanya.

"Kenapa kau diam? ambil sendok dan piring, kemudian cicipi." Devan menunjuk ke arah lemari dapur.

Anna bertumpu pada meja untuk turun dari kursinya, pergi beberapa langkah dari tempat duduknya, mengambil peralatan makan di lemari dapur. Sedangkan Devan memperhatikan setiap langkah yang Anna buat tanpa berkedip. Punggung wanita berkemeja usang itu, mengapa nampak rapuh. Namun Devan juga tau, wanita yang penuh misteri itu tidak bisa di kasihani begitu saja. Sebab, di balik tampilannya yang buruk dan lemah, dia sebenarnya begitu luar biasa.

Begitu Anna kembali, Devan sudah menyodorkan Luxury Soup Bowl miliknya tepat di depan Anna. Anna menyempatkan diri melirik Devan yang sedang memberikan isyarat untuk segera mengambil makanan itu. Dan hanya satu sendok makan saja yang Anna ambil dan letakkan di atas piringnya.

"Ambil lah yang banyak!" perintah Devan yang masih memperhatikan setiap gerak gerik Anna.

"Eh?!" Anna melotot ke arah Devan dengan penuh keraguan. Seolah sedang mempertanyakan apakah ia benar-benar boleh memakannya.

Lalu Pria itu langsung memberi anggukan pasti. Dan Anna pun melakukan apa yang Devan inginkan. Tanpa ragu-ragu Anna mengambil soup dalam jumlah banyak. Hampir separuh dari makanan, kemudian mencicipinya terlebih dahulu.

"Wah enak!" Anna memuji masakan nya sendiri. Entah mungkin karna efek lapar yang membuat soup ini menjadi terasa gurih dan lezat, yang pasti Anna sangat menikmati nya. Dan tanpa sadar, ia menghabiskan semua yang ada di piringnya sampai tanpa sisa.

Melihat itu, Devan justru terpaku menyangga dagu dengan tangannya, Ia memperhatikan Anna, lekat-lekat.

"Boss, anda tidak makan?" tanya Anna kemudian, merasa tidak enak hati karna menikmati makanan ini terlebih dahulu.

Apa mungkin Boss akan memakan sisa makanan yang kini hanya tinggal separuh itu. Ah, Anna mengutuk diri sendiri karna bertindak selancang ini. Meskipun di izinkan untuk mencicipi, bukankah ini terlalu berlebihan sampai menghabiskan separuhnya? tenggelam saja kau Anna ke dasar bumi, memalukan! teriak hatinya.

"Baiklah, aku makan," Devan meraih sendiri mangkok soup itu dari depan Anna, lalu mengambil separuh makanan untuknya dan separuh sisanya lagi ia berikan kepada Anna. "Makanlah yang banyak," lanjutnya.

Anna mematung mendapatkan perlakuan aneh dari Boss nya. "Ini maksudnya mencicipi atau memang sengaja di suruh makan bersama. Entahlah!" Anna tak perlu pusing memikirkannya, yang penting sekarang ia harus menghabiskan makanan ini untuk menghargai Devan.

Devan terlihat memakan bagiannya dengan lahap. "Bahkan sampai masakanmu pun enak, kau memang serba bisa," puji Devan di sela-sela itu.

"Kalau tidak bisa pasti aku akan di ancam pecat," Anna hanya mampu menimpali dalam hati. Kali ini ia tidak ingin terjebak oleh permainan Devan, yang tiba-tiba tegas, tiba-tiba manis, tiba-tiba galak. Anna seperti terombang ambing di atas perahu kecil yang ada di permukaan laut dengan badai nya.

"Terimakasih," jawab Anna, hanya kata itu yang paling aman untuk di katakan.

"Apa sepatu kerja yang ada di Devaradis berkualitas buruk?" Devan mencoba membuka perbincangan untuk mencari tahu sebuah jawaban yang dia inginkan.

"Kenapa tiba-tiba membicarakan sepatu? apa aku di minta untuk menilai kualitas produk yang di gunakan di perusahaan?" Anna semakin bingung dengan arah bicara Boss nya. "Tidak sama sekali, Boss. Sepatu yang anda berikan untuk pegawai cleaning service seperti kami, sangat nyaman di gunakan. Ringan dan juga empuk, tidak menyakitkan sama sekali." Jelas Anna.

"Oke. Katanya kau tidak bisa menggunakan motor, apa itu benar?" Devan kembali memberikan pertanyaan yang berbeda pada Anna.

"Iya benar."

"Jadi, apakah kau membeli barang di luar sana dengan berjalan kaki?"

"Iya. Tapi tidak masalah, kecepatan langkah saya bisa mengimbangi sepeda motor." Anna mencoba meyakinkan Boss nya, karena tidak ingin mendapatkan poin yang buruk dalam mengatur waktu.

"Apa kau bisa menggunakan lift?" pertanyaan yang berbeda terlontar kembali, namun sedikit konyol.

"Tentu bisa."

"Lalu mengapa kau menggunakan tangga?"

Sendok yang ada di tangan Anna terlepas seketika, bibirnya terbuka dengan mata yang membulat sempurna menatap wajah Devan. "Ya? Bagaimana anda bisa tau?"

"Jadi itu benar. Padahal aku hanya menebak asal."

"Meskipun saya menggunakan tangga, kecepatan naik turun saya bisa di bandingkan dengan lift. Meskipun ada sedikit perbedaan, tapi saya berusaha memaksimalkan agar tidak membuang waktu dengan percuma." Anna masih mencoba memberikan keyakinan bahwa ia bisa melakukan pekerjaannya dengan baik, meskipun dengan cara manual.

"Lain kali, jangan gunakan tangga darurat. Pakailah lift pribadiku," tukas Devan dengan nada yang terdengar tulus.

"Boss, itu agak,,, terdengar berlebihan untuk saya." Anna menolak secara tidak langsung.

"Kenapa? bukankah kau juga sudah menggunakan kamar mandi pribadi ku? lalu apa masalahnya dengan lift?"

"Bukan begitu maksud saya. Hanya saja, jika sampai ada karyawan lain yang melihat, saya pasti dalam masalah besar. Katanya, menggunakan sarana pribadi milik Boss adalah pelanggaran etika yang berat."

"Karena hal itu, apa kau ingin menolak perintahku? apa kau ingin aku membuat pengumuman resmi bahwa karyawan bernama Anna Isadora boleh menggunakan sarana pribadiku, agar tidak ada yang berani mengkritik mu." Devan tidak kehilangan akal untuk memaksa wanita itu menuruti perintahnya.  Semua itu ia lakukan agar Anna tidak perlu kesulitan dalam bekerja, terutama karena saat ini kaki wanita itu nampak lecet dimana-mana.

"Ti-tidak perlu. Baiklah akan saya lakukan sesuai keinginan anda." Anna mengalah, memang tidak ada pilihan lain selain harus patuh.

"Bagus. Kau sudah bekerja keras sampai siang ini, karena itu habiskan makananmu. Kau belum makan apapun sejak pagi kan? meskipun kau bersikap profesional, wajahmu yang pucat seperti mayat itu menjelaskan segalanya." Devan meminta Anna untuk segera menghabiskan makanannya.

"Terimakasih," jawab Anna, kemudian fokus menyuap makanan yang terasa lembut memanjakan lidah. Tidak ada yang bisa dia katakan lagi, memang kata terimakasih adalah penyelamat dalam segala kondisi.

"Lalu, aku akan mengambil air minum." Devan langsung berdiri untuk mengambil air di kulkas.

Anna juga langsung berdiri untuk mencegat pria itu. Ini adalah tugasnya sebagai pelayan, bagaimana mungkin Boss mengambil air untuk dirinya sendiri. "Boss. Biarkan saya— uhhuk!" Anna langsung terbatuk karna tersedak.

"Diam disana, dan duduklah." Devan menghampiri Anna kemudian menekan bahu wanita itu agar mau kembali duduk di kursi.

Anna menepuk-nepuk dadanya, sedangkan Devan bergegas pergi mengambil air minum. Setibanya ia di depan Anna, ia langsung menyodorkan kepada Anna segelas minuman yang ia tuangkan sendiri. "Ini dia, minumlah!" ujarnya.

Setelah melirik Devan sesaat, Anna langsung meraih gelas panjang yang berisi air putih dari tangan Devan, lalu menenggak nya dalam sekali tegukan. Seketika, lehernya terasa plong, dan makanan yang tersangkut di dadanya sudah luruh.

"Terima kasih, Boss. Saya memang buruk dalam melayani anda dan justru merepotkan. Saya tidak pantas menerima permakluman dan kebaikan anda. Tolong berikan saya sangsi untuk ini." Anna menyesali perbuatannya sebagai pelayan yang tidak tau diri, sampai harus membuat sang Boss yang berbalik melayani nya. Ia mengutuk dirinya sendiri pada akhirnya. Kemana kesombongan nya tadi pagi yang begitu menyala? apakah sudah pudar oleh rasa lapar dan lelah?

"Bukankah kau terlalu banyak berterimakasih, itu terdengar menyebalkan. Mari makan, dan habiskan yang tersisa." Devan pun kembali ke tempat duduknya.

Tiba-tiba, sebuah suara lain membuyarkan suasana makan siang yang berlangsung antara pelayan dan sang Boss.

"Saya masuk!" seru pak Ali langsung membuka pintu, dan masuk begitu saja ke dalam ruangan.

Mendengar suara itu Anna secara langsung refleks berdiri, dan melangkah pergi membawa piringnya ke arah wastafel. Meskipun terlambat dan sudah tertangkap basah telah makan bersama dengan Boss. Entah bagaimana pak Ali akan mengartikan situasi yang tidak normal ini, seorang wanita rendahan makan bersama dalam satu meja dengan seorang Boss besar di hari pertama nya bekerja.

"Oh, apa saya salah timing?" kata pak Ali yang merasa bersalah, telah mengganggu makan siang tuannya.

Devan menoleh ke arah pak Ali yang berdiri di tak jauh darinya. "Lain kali, jangan masuk jika belum ada izin dariku." Jawab Devan dengan nada kesal.

"Baik tuan, maafkan kelancangan saya." Pak Ali menyesali tindakannya yang ceroboh.

"Lalu, ada apa kau buru-buru datang kemari, bukankah jam makan siang masih tersisa sepuluh menit lagi?" masih terdapat nada kesal dalam nada bicara sang CEO.

"Mohon maaf sebesar-besarnya, tuan. Ada hal yang sangat penting untuk saya sampaikan."

"Iya, katakan!" seru Devan sambil ekor matanya melirik ke arah Anna yang sedang sibuk dengan wastafel nya.

Pak Ali segera datang mendekat kepada Devan yang masih menikmati makan siangnya. Dengan ragu-ragu pak Ali membuka mulutnya, "beberapa investor mengeluh mengenai masalah terkait penjiplakan desain produk unggulan kita, padahal laporan belum sampai kepada mereka, entah bagaimana itu bisa terjadi. Dan mereka mengabari kalau mereka sedang dalam perjalanan kunjungan menuju Devaradis, mungkin akan tiba dalam waktu satu jam ke depan. Lalu baru saja di group chat, para dewan direksi meminta di adakannya rapat darurat untuk membahas masalah ini, dan menuntut Anda untuk segera melakukan tindakan cepat. Mereka khawatir kalau proyek kita kali ini mengalami kegagalan, pasti akan menyebabkan kebangkrutan bagi Devaradis." Lapor pak Ali dengan wajah cemas.

Ck! Devan langsung melempar sendok perak yang di genggamnya ke atas mangkok bulat seputih susu, hingga menimbulkan suara dentingan yang begitu nyaring di telinga, tangannya lalu mengambil segelas air yang sudah tersedia di depannya, dan meminumnya hingga habis hanya dengan sekali teguk.

"Pak Ali, segera persiapkan tempat pertemuan darurat secara privasi antara aku dan tamu kita, berikan penyambutan yang sempurna, jangan sampai mengecewakan aku. Kabari aku nanti setelah tiga puluh menit! Dan juga setelahnya, kita akan langsung melakukan rapat direksi untuk memberitahukan pada para pemegang saham kalau Devaradis akan baik-baik saja. Aku sudah membangun perusahaan ini dari titik nol dengan segala rintangan nya sampai kepada titik ini. Jadi masalah ini—akupun akan menemukan jalan keluarnya." Devan berkata dengan penuh percaya diri.

"Siap laksanakan!" jawab pak Ali kemudian bergegas pergi meninggalkan Tuannya untuk menikmati makan siangnya yang sempat terganggu olehnya.

"Anna. Kemari lah, pak Ali sudah pergi." Panggilnya.

Orang yang di panggil segera mendekat. "Iya, Boss. Apakah makan siang anda sudah selesai?" tanyanya memastikan. Karena kalau sudah, Anna akan langsung membereskan semuanya.

"Belum. Duduklah dan lanjut makan. Jangan sampai menyia-nyiakan makanan seenak ini." Jawab Devan.

"Apa barusan Devan sedang memuji masakanku? Dia bilang enak kan? Apa aku salah dengar?" wajah Anna memerah. Dengan ragu-ragu Anna kembali duduk pada tempatnya dan meraih kembali piring berisi makanan yang tersisa.

"Oiya, selesai makan, persiapkan pakaian terbaik untukku pada ruang ganti!" pintanya seraya menghabiskan makanan yang ada di depannya. Kali ini Devan memperlihatkan bagaimana dia menikmati makanan yang di buat oleh Anna.

Anna yang melihat itu semakin terpengarah, "baik, akan saya siapkan," sanggupnya terburu-buru.

Selesai makan, Devan bangkit dari duduknya dan berjalan melewati Anna dari jarak yang sangat dekat, sehingga membuat wanita itu secara refleks bergeser menghindar sampai menempelkan diri pada meja. Devan melirik ekspresi tegang yang di nampak kan wanita cupu itu, termasuk wajahnya yang bersemu merah telah memberitahukan segala yang di rasakan nya. Devan tersenyum kecil seraya melanjutkan langkahnya menuju wastafel untuk membersihkan tangan.

Sedangkan Anna sendiri sampai menahan nafas karena hembusan angin hangat yang di timbulkan oleh tubuh Devan menyebar bau harum yang merangsang detakan jantung menjadi lebih cepat. Aroma wangi yang kuat itu menyeruak dari pakaian Devan yang sempat menyerempet sisi kirinya. Seketika, membuat Anna langsung menyadari bahwa sejak tadi hanya mereka berdua saja yang mengisi ruangan yang luas ini. Sama seperti ketika mereka mengisi ruang gelap malam hanya berdua, kala itu. Benar, untuk kedua kalinya dalam hidup, Anna menemui kembali situasi yang rasanya sangat mendebarkan ini. Setelah yang pertama kalinya, lima tahun yang lalu, ketika Devan mendekapnya begitu erat.

Saat Devan kembali setelah mencuci tangannya, si wanita cleaning service itu nampaknya masih mematung dengan pandangan kosong. "Apa yang sedang kau pikirkan? Cepat lanjutkan pekerjaan mu." Tegur Devan sebelum melanjutkan langkahnya menuju ruang pribadinya.

"Siap, segera saya lakukan!" Anna langsung berdiri tegak seraya meraih piring kotor itu untuk di kumpulkan.

Devan pun pergi kemudian masuk ke dalam ruangan berbentuk persegi panjang dengan dinding kaca crystal yang mengelilingi seluruh bagiannya, yang itu adalah kamar mandi miliknya. Sedangkan Anna, setelah membersihkan bekas makan siang mereka, ia segera meninggalkan dapur menuju ruang ganti yang begitu ia tiba, pintu kaca itu langsung terbuka secara otomatis.

Namun sialnya, ketika Anna menoleh ke samping, sebuah pemandangan yang tidak seharusnya dia lihat terpaksa di lihatnya, yang membuat mata Anna terkunci sesaat—tidak bisa mengalihkan pandangan dari siluet indah yang seakan menari di dalam sana, tertutup samar oleh air yang mengalir menutup seluruh bagian kaca.

"Apa tadi aku terlihat seperti itu dari luar?" pikirnya ketika membayangkan dirinya yang tadi sempat berganti pakaian di dalam ruang sempit itu. "Ouh! Ya ampun! Ya Tuhan!" Anna berteriak cukup nyaring, ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya. Hingga lengkingan suaranya itu mengganggu Devan dari aktivitasnya—membersihkan diri di dalam kamar mandi dengan model transparan.

"Teriakan mu seperti sedang melihat hantu di siang bolong!" Devan berkomentar dari dalam sana.

"Bu-bukan!" jawab Anna langsung menormalkan suaranya. "Aku seharusnya tidak berfikiran yang kotor." Anna menunduk lemas, menyadari betapa kotor pikirannya yang menuduh orang lain dengan prasangka yang tidak-tidak.

"Apa kau terkejut melihat aktifitas seorang Boss yang seperti ini? biar aku beritahukan padamu, ini adalah area pribadi ku. Bukankah sebagai pelayan, sebaiknya kau bisa menjaga pandanganmu dan diam saja?" Devan sepertinya sudah bisa menyadari situasi yang terjadi saat ini.

"Maaf," Anna berucap begitu lirih namun masih tertangkap di telinga Devan.

"Oh satu lagi. Jika kau berfikir mataku bisa menembus dinding ini dan berusaha melihatmu mengganti pakaian, jangan merasa kau begitu pantas untuk aku lihat. Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk menolehkan wajahku ke arah tempat ini sedikitpun." Devan menegaskan apa yang sebenarnya di khawatirkan oleh Anna.

"Iya." Tidak ada kata-kata yang bisa menyelamatkan Anna lagi, walau kata maaf sekalipun rasanya sudah tidak berguna. Anna mengakui kesalahannya dan mengutuk kebodohannya dalam hati. Setelah itu, Anna bergegas masuk ke dalam ruang ganti dengan lutut yang bergetar menahan rasa malu.

Di dalam sana, Devan menyunggingkan senyum aneh yang entah apa maknanya. "Benar-benar polos," gumamnya.

Kini, Anna sudah berdiri di dalam sebuah ruangan yang di dalamnya di kelilingi oleh beragam koleksi fashion milik sang CEO, Anna mencoba melupakan kejadian barusan dan berfokus untuk menyiapkan beberapa jenis pakaian dan aksesoris yang memiliki kesan percaya diri nan kuat, yang di butuhkan Devan pada pertemuan penting kali ini.

Deretan barang mahal berjejer di dalam lemari kaca yang bercahaya, termasuk pakaian dan sepatu mewah yang pasti harga satuannya mampu membeli seluruh organ tubuhnya. Ginjal, jantung, mata, hati. Ah, mungkin saja semua itu masih belum cukup.

Belum lagi koleksi jam tangan dari berbagai brand ternama dunia yang memenuhi laci besar berbentuk persegi ini, kemudian pada tingkatan laci ke dua terdapat koleksi belt yang semuanya adalah karya ekslusive dari para desainer terbaik dunia. Termasuk koleksi dasi yang juga memenuhi laci ke tiga. Semua itu semakin menyadarkan Anna betapa tingginya derajat seorang Devan, yang pernah ia temui lima tahun yang lalu.

Anna memilih style formal dengan warna blue ocean untuk celana dan jasnya. Kemeja dark ash dengan dasi yang juga berwarna senada namun terdapat motif polkadot, serta sapu tangan berwarna gold silver yang senada dengan kancing jas—list pada saku—juga lingkaran lengan. Begitu juga dengan jam rolex edisi terbatas dengan warna gold begitu mewah sebagai pelengkapnya. Terakhir adalah, sepatu kulit barker black ostrich cap toe—dengan sapuan warna hitam pada ujungnya, menambah kesan berkelas, elegan, dan mematikan.

Sejurus kemudian, Devan muncul dengan hanya menggunakan handuk dari bawah pusar hingga di atas lutut. Aroma sabun mewah segar menyeruak memenuhi ruangan. Anna tak mampu memalingkan wajah dari keindahan makhluk ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Butiran sisa air yang membentuk kristal pada otot perut Devan yang terlihat kotak-kotak itu membuat Anna meneriaki diri dalam hati. "Hai wanita murahan! alihkan pandanganmu!!!"

"Kenapa kau mematung? kemari lah, pakaikan padaku benda yang kau pajang itu!" tunjuk Devan pada perlengkapan fashion nya yang sudah di persiapkan dengan sempurna oleh sang stylish kontrak, selama dua hari kerja.

"A-aku?" tunjuk Anna pada dirinya sendiri. "Memakaikan baju untuk Boss?!" batinnya. Yang mana reaksi terkejutnya itu begitu di nikmati oleh sang Boss yang memang sedang mengerjainya.

Terpopuler

Comments

Nana💫✨

Nana💫✨

Apakah Devan benar-benar melihatnya? berarti dia harusnya tahu dong/Chuckle//Chuckle/

2025-03-26

1

Filanina

Filanina

Adegan seperti ini kayaknya begitu penting di novel wanita.

2024-12-11

1

Serenarara

Serenarara

Oh cakep dan popularitasnya warisan ortu ... /Slight/

2025-03-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!