"Hubunganku dengan tunangan ku itu sebenarnya tidak begitu dekat. Tidak ada interaksi yang berlebihan di antara kami meskipun tunanganku itu kerap menginginkannya. Aku mungkin terkesan terlalu menjaga diri, aku tidak tau mengapa aku bertingkah seperti itu padanya. Selebihnya, aku pikir aku butuh waktu untuk menumbuhkan rasa. Tapi bukan itu point utamanya. Karena aku adalah tipe orang yang berkomitmen dengan sebuah hubungan, aku rasa itulah alasan mengapa aku merasa sangat putus asa ketika di khianati olehnya," ungkap laki-laki itu dengan bibir yang bergetar.
Anna menyimak dengan serius. "Aku mengerti maksudmu, tuan. Setelah di khianati, perasaan apa yang tersisa pada tunangan mu itu?"
"Aku masih tidak tahu pasti, hatiku terasa kosong. Saat ini aku hanya sedang berusaha membuang segala bentuk emosi buruk yang hendak menguasai hatiku. Aku merasa menjadi manusia paling bodoh di dunia. Sebab setelah semua kejahatan yang mereka lakukan terhadapku, aku tidak bisa benar-benar membenci gadis itu dan juga orang-orang yang telah menyakiti ku," ungkapnya dengan suara yang semakin melemah.
"Hatimu begitu murni, tuan. Aku menjadi rendah diri di hadapanmu, karna hatiku tidak selapang itu untuk menahan diri agar tidak membenci orang yang telah menyakitiku."
"Kau salah. Aku sungguh seorang pendendam, kebencian itu bukannya tidak ada sama sekali, aku hanya tidak ingin memeliharanya. Karena itulah aku mengutuk diriku, mengutuk betapa lemahnya jiwaku." Kesepuluh jemari laki-laki itu menyilang, saling bertautan, ia semakin mempereratnya hingga menonjolkan ligamen yang melekat pada tulang. Jelas sekali ada tekanan emosi yang coba ia normalkan.
"Lalu, apa yang kau harapkan saat ini dari gadis itu? apa kau senang dia pada akhirnya kembali padamu?" Anna mencoba mengeluarkan semua isi hati laki-laki yang terlihat sudah mulai berbicara nyaman dengannya.
"Kesenangan seperti apa yang kau maksud? apakah aku harus merayakan kembalinya seseorang yang telah berkhianat? dia yang telah membuatku merasa tidak berharga dan putus asa, bahkan ketika aku merasa ingin mulai menyukainya dengan tulus."
"Kalau begitu apa tujuanmu datang ke tempat ini, apa yang kau cari, atau kau hanya sedang melarikan diri dari kenyataan hidup yang pahit?" Anna semakin menodong laki-laki itu dengan sebuah senjata tanya untuk menumbuhkan benih rasionalitas nya yang seharusnya mengakar kuat di dadanya.
"Mungkin, aku datang untuk bertemu denganmu yang memaksaku menceritakan seluruh keluh-kesahku yang telah kehilangan arah—harus aku apakan diriku saat ini."
"Kau tidak berniat untuk bunuh diri kan?" tanya Anna serius.
"Tadinya seperti itu," jawab laki-laki itu, enteng.
"Hey! Semesta akan menangis kehilangan manusia semurni dirimu!" teriak Anna tak tertahan. Ia tidak bisa mengontrol nada bicaranya ketika mendengar pengakuan laki-laki di depannya ini yang memiliki niat seburuk itu.
Bibir laki-laki itu justru tergerak untuk tersenyum, namun lagi-lagi di urungkan. "Tapi kau datang dan menyelamatkan ku dari pikiran buruk itu."
Anna menghela nafas puas. Kali ini ia merasa bangga karena tindakan nekatnya ini telah menyelamatkan nyawa seseorang. Sebuah kebanggaan yang tidak berlebihan, bukan?
"Tuan, dengar! seperti halnya kejahatan yang bisa di lakukan secara bebas oleh seorang penjahat, maka kebaikan pun juga begitu. Tuan, kau jangan berfikir bahwa kebaikan itu terbatas jalannya. Tidak! kebaikan dan kejahatan di berikan porsi yang sama, kebebasan yang sama untuk di lakukan. Jika kejahatan membuat manusia menjadi kuat, maka kebaikan pun memiliki hak yang sama untuk membuat manusia menjadi lebih berani. Bukankah begitu? jadi yang sebenarnya membuat mu merasa lemah tak lain adalah karena kau tidak mempercayai kebaikan yang ada dalam dirimu, Tuan."
Binar mata laki-laki itu memancarkan silau biru yang pekat dan dalam. Terdapat lubang kekuatan yang mulai tergali untuk menancapkan tiangnya yang kokoh. "Kebaikan seperti apa yang bisa mendatangkan kekuatan?"
Lalu Anna tidak membuang kesempatan itu untuk terus merasuki otak laki-laki itu dengan petuahnya. "Tuan, kau sungguh bukan lelaki yang lemah. Kau hanya terlampau bijaksana pada kehidupan. Dan kau tidak menyadari satu point utama dalam kebaikan, bahwa hanya kebaikan lah yang memiliki kebenaran, dan hanya pada kebenaran lah terdapat sebuah keadilan. Terkadang hidup bukan hanya soal kebijaksanaan, tapi juga menetapkan keadilan, itulah bentuk kekuatan. Tolong, berbuat adil lah pada dirimu sendiri. Bukankah melawan bentuk kejahatan juga termasuk keadilan? jadi memberikan hukuman setimpal pada orang-orang yang menyakitimu, bukanlah dosa."
"....."
"Jadi, apa kau masih mengaku sebagai laki-laki yang lemah? apa itu benar-benar pantas di rasakan oleh laki-laki perkasa seperti dirimu. O lihatlah, jika melihatmu sekilas, tentu saja membuat merinding karena betapa kekarnya dan tingginya tubuh yang kau miliki, tatapan yang setajam mata elang itu, cukup mengerikan. Juga wajah datar mu itu seolah bisa membekukan seluruh lautan." Kedua alis Anna bertautan, memastikan bagaimana reaksi laki-laki itu ketika mendengar ucapannya.
Laki-laki yang sedang fokus menyimak setiap kata yang tercurah dari kedua bibir Anna itu pun membuang satu hembusan nafas lega. "Nona, aku selama ini mencari-cari jawaban yang selalu aku pertanyakan dalam diriku, tapi ternyata kunci jawabannya ada padamu, nona," ucapnya dengan nada bicara yang berat dan kuat, jauh berbeda dari sebelumnya. Bahkan pandangannya yang kini sedang berfokus kepada Anna pun menyala kuat, seumpama inti bumi.
"Kan sudah aku katakan, ketika kau menanyakan apa yang bisa aku berikan padamu, tadi. Nyatanya sudah kau dapatkan sekarang." Anna menyunggingkan senyum dengan tatapan sedikit menyombongkan diri.
"Terima kasih," sahut laki-laki itu, parau.
Anna terbahak pelan sambil mengibas tangannya di depan laki-laki itu. "Ah, kau tidak perlu berterimakasih. Sebaliknya, apa kau mau dengar ceritaku juga?" tanya Anna.
"Iya silahkan, dengan senang hati," lelaki itu mengangguk pelan.
"Baiklah. Akupun tidak akan segan padamu."
"Ceritakan saja, nona. Aku disini siap mendengarkannya." Laki-laki yang kini merasa dadanya sudah plong, ringan dan kosong dari beban masalah yang awalnya terasa berat dan menggunung, telah membuka diri sepenuhnya kepada gadis asing ini.
Anna menarik nafas dalam-dalam sebelum memulai kisahnya. Ia mencoba mengukuhkan hatinya sesaat agar tidak terlalu hanyut dalam kesedihan saat bercerita. Oke, aku siap!
"Sebenarnya... aku juga sedang kabur dari rumah ke kota asing ini, karena sebuah masalah yang seolah mendorongku untuk harus melarikan diri darinya. Baru saja setahun berlalu setelah hari kelulusan SMA ku, Ibuku langsung menjodohkan ku dengan pria tua berwajah mesum dengan rangkaian perhiasan emas berlian yang mengitari jari tangannya. Jelas sekali kalau Ibu ku hendak menjual ku pada pria kaya itu. Mungkin saja Ibu ku hanya berpikiran instan hingga gelap mata menyerahkan aku ke tangan orang kaya, sebab Ibu ingin aku memiliki kehidupan yang lebih baik demi masa depanku, tanpa perlu bekerja bersusah payah seperti dirinya. Meski begitu, jiwaku tetap memberontak, tidak menerima alasan apapun untuk membenarkan perjodohan ini. Aku sungguh tidak bisa menuruti kehendak Ibu untuk perkara yang satu ini."
"....."
"Jadi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melawan Ibu dengan mengancam kalau aku lebih baik mati bunuh diri dari pada harus menikah. Tentu saja ucapanku itu membuat Ibu murka, mengeluarkan amarah besar yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Yang mana, jiwaku benar-benar tidak tidak mampu menampung amarah sebesar itu, hingga akhirnya aku nekat memutuskan untuk melarikan diri darinya."
"....."
"Kejadiannya pada suatu malam, Ibuku berubah menjadi aneh, terlihat seperti seorang psikopat. Ketika aku tertidur nyenyak setelah pertengkaran hebat pada siang harinya, malamnya Ibu tiba-tiba menyeret rambutku kuat-kuat hingga membuatku terbangun dengan rasa terkejut yang luar biasa ketika tubuhku terjatuh dari atas ranjang. Ibu membawaku menuju kamar mandi dengan posisi terseret di lantai, meskipun aku meronta tak ada gunanya, karena kekuatan Ibu lebih dari biasanya, sungguh sangat sakit seakan kepalaku hendak putus dari tubuhku."
"....."
"Di dalam kamar mandi, Ibu mulai menyiksaku dengan menelanjangi ku terlebih dahulu, lalu menenggelamkan ku pada bathtub yang telah terisi oleh air yang sangat dingin. Ketika kepalaku muncul di permukaan maka Ibu akan menekan nya lagi hingga menyentuh dasar bathtub. Dadaku serasa sesak oleh air yang masuk melalui hidung dan mulutku, kepalaku seolah akan meledak sebab oksigen yang sudah hampir habis."
"....."
"Setelah merasa puas melihat aku yang hampir mati, Ibu memukul punggungku secara membabi buta dengan tangannya, bahkan semua benda yang ada di kamar mandi itu mendarat di permukaan kulit punggungku. Aku terbatuk-batuk memuntahkan sejumlah air yang menghalangi jalur nafasku. Rupanya Ibu membantuku mengeluarkan air yang tersumbat di dada, menyelamatkan nyawaku dengan cara yang menyakitkan."
"....."
"Aku tidak mengerti maksud Ibu, aku di siksa sampai mau mati, tapi tak di izinkan untuk mati. Lalu setelah itu Ibu membawa dua buah pisau tajam ke hadapanku. Satunya dia berikan padaku, dan satunya lagi dia genggam erat di tangannya. Ibu mengatakan jika aku berani melukai tubuhku sendiri dengan pisau itu, maka Ibu akan melakukan hal yang sama pada dirinya. Bahkan jika aku berani bunuh diri, makan Ibu pun akan melakukan hal yang serupa juga. Jadi malam itu Ibu memberiku kebebasan untuk memilih, tetap hidup bersama atau mati bersama."
"....."
"Seketika, pisau yang ada dalam genggamanku jatuh begitu saja dari jemariku yang lemas. Tubuhku bergetar hebat, terguncang oleh perasaan sakit yang tak terhingga, ngilu, aneh dan mengerikan. Aku tidak tau bentuk perasaan macam apa itu, terasa lebih buruk dari kematian. Meski dalam hati aku sangat membenci Ibu, ternyata cintaku padanya jauh lebih tinggi dari yang aku tau. Sesakit apapun luka yang aku dapatkan dari Ibu, ternyata membayangkan luka yang sama menggores tangan Ibu itu rasanya jauh lebih menyakitkan. Aku pun menyerah, terserah Ibu ingin berbuat apa pada diriku, malam itu aku berjanji akan menyerahkan hidup dan matiku hanya untuk Ibu."
"....."
"Kemudian aku bertahan di dalam kamar ku selama lima hari untuk memulihkan diri, dan mengobati luka-luka ku seperti biasa. Tapi seperti tanpa simpati, Ibu selalu terdengar mengomeli aku dari luar sana, memintaku mengerjakan pekerjaan rumah seperti yang seharusnya, meski tubuhku sedang tak bertenaga dan menanggung rasa sakit yang masih tak berkurang. Sedangkan sekitar tiga minggu berikutnya aku akan di pertemukan kembali dengan pria yang berbeda, katanya dari negara timur sana."
"....."
"Sehingga aku sudah tidak tahan lagi. Bukan berniat untuk memberontak, tapi aku harus benar-benar pulih, jika ingin memenuhi tuntutan Ibu untuk tampil cantik paripurna saat pertemuan itu tiba. Dalam kondisi buruk seperti itu bagaimana mungkin aku bisa merealisasikan nya. Jadi aku memikirkan cara lain untuk mempercepat pemulihan ku dengan melarikan diri ke tempat ini. Aku butuh istirahat, butuh kekuatan lebih, untuk bertahan dalam kenyataan yang seperti di neraka."
"....."
"Jika menengok jauh ke belakang. Sejak kecil, Ibu membuatku merasa menjadi manusia yang tidak di inginkan di dunia ini, bahkan oleh Ibuku sendiri. Pandangan Ibu yang seakan ingin muntah setiap kali menatapku membuatku berpikir apa aku seburuk itu di mata Ibu? Aku selalu menanyakan pada diriku sendiri, sebenarnya apa salahku, sehingga Ibu begitu membenciku dan selalu mengkritik ku. Ketika mulai beranjak dewasa, ada hasrat alami yang menghembuskan rasa ingin terlihat cantik, sexy, dan memiliki pengetahuan yang tak terbatas akan dunia. Tapi semua itu seperti halusinasi yang tak berarti apa-apa bagiku, ku kehilangan seluruh kepercayaan diriku, bahkan ketika aku berdandan pun, aku melihat diriku di cermin seperti seorang penyihir buruk rupa."
"....."
"Dalam waktu yang lama, aku selalu mencoba menggali keindahan, kebaikan, dan kelebihan dalam diriku, untuk di berikan hanya untuk Ibu, untuk membuat Ibu senang dan mau menerimaku. Aku bekerja keras setiap hari untuk menemukan apa yang bisa aku berikan untuk Ibu, sesuatu yang berguna yang mungkin ada dalam diriku. Dan ada banyak waktu dimana tanpa alasan yang jelas aku selalu menerima pelampiasan amarah dari Ibu, amarah yang entah datangnya dari mana, yang siap menghancurkan mental dan juga fisikku. Dan sialnya, bisa-bisanya aku berfikir, mungkin dengan menjadi samsak hidup, setidaknya aku sedikit berguna untuk Ibu, setidaknya hidupku ada artinya bagi Ibu, ada tubuhku yang masih bisa di gunakan Ibu sesuka hati. Selebihnya, aku tidak mengizinkan diriku mempertanyakan apa sebab Ibu memperlakukan aku seperti itu, apapun yang aku lihat dan aku terima dari Ibu, aku akan selalu berserah diri sepenuhnya."
"....."
"Yah... seperti itulah aku hidup. Aku sama sekali tidak menyesali kehidupan seperti ini, dan juga aku tidak ingin menyerah meski nyawa di tenggorokan. Sampai titik terakhirku, aku harus tetap bertahan, dan berjuang sekuat tenaga walau tak memegang satu harapan pun. Setidaknya aku bisa membuktikan pada semesta bahwa kematian pun tidak akan membuatku takut."
Dada Anna bergetar menahan gejolak kesedihan ketika mengingat kejadian mengerikan minggu lalu serta perjalanan hidupnya yang begitu kelam. Ternyata menceritakan nya kembali seolah membongkar luka-luka yang telah berusaha ia kubur dalam-dalam. Bahkan rasa sakitnya pun tak berkurang meski hanya berupa kata-kata.
Laki-laki itu memperhatikan Anna dengan seksama seolah ikut hanyut dalam gejolak batin yang di rasakan gadis pemilik wajah kecil nan oval itu.
Kali ini Anna memang tidak bisa menyembunyikan secara total ekspresi terlukanya, nampak dengan sangat jelas dari sudut matanya yang mengalirkan air bening yang hendak menetes jatuh. Anna mengerjap-erjap menahan air bening itu agar tidak tumpah. Pandangan yang memantulkan cahaya itu mendadak padam, air wajah yang penuh semangat itupun berubah muram. Anna mengigit bibir bawahnya dan meremas ujung dress-nya erat-erat. Mencoba menormalkan gejolak kesedihan yang memaksanya untuk runtuh.
"Jangan bersedih," lirih laki-laki itu lembut, matanya mengerjap lambat penuh arti.
"Apalah arti kesedihan pada jiwa yang telah mati," sahut Anna yang kemudian mematung sebentar, pandangannya nanar menatap genangan air yang membuat gelombang kecil di depannya.
Laki-laki itu menganga dalam diamnya, tidak tau harus berkata apa untuk sebuah cerita yang begitu lekat dengan luka. Ia bahkan belum pernah mendengar sebuah kisah suram dari seorang anak manusia melebihi yang ia dengar dari gadis belia ini.
Laki-laki itu tiba-tiba merasa sesak, seperti seekor ular berbisa yang mulai mematuk-matuk relung hatinya. Ia meremas Coat yang di pakainya dengan kuat, menahan aliran darah yang terasa mendesir mendidihkan kepalanya. "Andai itu aku, aku pasti akan menitikkan air mata kala bercerita, tapi gadis ini bahkan tak bergeming sedikitpun."
"Lalu, mengapa tadi kau mengungkapkan seolah Tuhan itu maha baik? melihat jalan takdir yang sudah di berikanNya padamu itu seolah menggambarkan yang sebaliknya," laki-laki itu merasa harus mengetahui rahasia lain dari si gadis asing ini. Mungkin saja jawaban yang di berikan Anna bisa ia jadikan sebuah keyakinan kuat untuk bertahan hidup ke depannya.
Anna menelan ludahnya yang terasa pahit seperti empedu. "Bukankah kita belum sampai di penghujung jalan? karena itu, aku harus melangkah sampai ke titik akhir untuk melihat apakah benar Tuhan itu maha baik sesuai dengan keyakinan ku. Hanya itulah satu-satunya hal yang menuntutku untuk bertahan sampai detik ini." Bibir gadis tangguh itu bergetar. Perang dingin antara hati dan logikanya yang bersebrangan keyakinan tentang kebaikan Tuhan menimbulkan rasa mual yang tiba-tiba melilit perutnya. Namun rupanya ia tetap memilih untuk menetapkan prasangka baik itu sehingga reaksi tubuhnya kembali normal.
Laki-laki itu mencermati dengan mata basah setangkup wajah didepannya yang penuh duka, serta pandangan mata yang telah kosong. Hatinya begitu pecah, nyeri, amat sangat, menjulang menerobos air hujan yang masih turun dari langit, seolah benar-benar sedang mewakili jiwa yang terluka.
Meskipun rasanya ingin mendekap Anna ke dalam pelukannya teramat kuat, tapi laki-laki itu berusaha bersikap normal layaknya laki-laki dewasa. Karna ia tahu betul bahwa yang di butuhkan gadis ini tak lain hanyalah sebuah kekuatan, bukan rasa iba.
"Jadi apakah kau memutuskan untuk kembali saat ini—guna memenuhi kehendak Ibumu, adalah untuk menyenangkannya? alasannya demi cinta, cinta mu kepada Ibumu jauh lebih besar dari rasa sakit yang kau terima darinya, iya kan?" suara laki-laki itu begitu serak.
"Yaah... cinta selalu lebih besar dari pada amarah ataupun dendam. Aku rasa begitulah manusia yang bermartabat menjalani hidup," jawab Anna pelan dengan ekspresi yang tidak menampakkan segurat sedih meski di jiwanya menjerit kesakitan.
Lelaki itu manggut-manggut sambil tersenyum, ia sengaja memberikan senyuman itu untuk menguatkan Anna. "Ya, kau benar, kita adalah manusia yang bermartabat," tangkasnya. "Hei nona, kau tau? aku sungguh-sungguh begitu kagum padamu," ungkapnya kemudian penuh tekanan keyakinan.
"Eh, apa?" mata Anna membulat, meragukan apa yang baru saja di dengarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Nana💫✨
Ya Tuhan, aku tertampar dengar kalimat ini🥺 aku putus asa, pernah. Aku berada di titik terendah, pernah🥺 sempat berpikir bahwa dunia tidak adil, tapi.. aku berusaha kuat, melawan mental yang nyatanya sedikit membunuh bahkan mencekikku.
2025-03-25
1
Serenarara
Wiidiih...Anna...ucapanmu bisa dianggap rayuan pulau kelapa olehnya yang sedang rendah diri...
Kecuali kau bisa mempertanggungjawabkan konsekuensinya.../Chuckle/
2025-03-24
1
Filanina
waduh hehe... dingin tapi tidak kejam /Joyful/
2024-12-06
1