Tubuh Anna terguncang hebat di bahu pria itu. Ia meraung, memukul-mukul punggung kekarnya, berusaha melepaskan diri. “Lepaskan aku! Biarkan aku mati! Aku mau mati! Mati lebih baik daripada ternodai!” teriaknya dengan suara serak.
Namun pria itu tetap berjalan dengan langkah tegap nan mantap menembus lorong kapal yang temaram. Bahunya kokoh, dekapannya kuat, tak memberi celah pada perlawanan gadis yang nyaris putus asa itu.
“Diamlah!” bisiknya rendah nan tegas, tetapi ada ketenangan yang aneh di balik nada itu. “Aku tidak akan menyakitimu, justru aku akan menolongmu," ujarnya untuk menenangkan gadis yang meronta di bahunya.
Kata-kata itu menusuk ke dalam hati Anna. Tangannya masih bergetar, air matanya hendak jatuh, namun akhirnya tubuhnya terkulai antara percaya dan tidak percaya pada janji seorang pria asing.
Tanpa menunggu balasan, pria itu membawa tubuh Anna menjauh dari pagar kapal. Mereka menuruni tangga menuju lorong yang sepi, meninggalkan sorak dan denting gelas dari pesta megah di atas dek. Di langit malam, bintang-bintang tetap berkilau, seolah menyaksikan arah baru yang baru saja mengubah hidup Anna.
Pria itu membawanya ke sebuah kamar lain yang sama mewahnya dengan yang ia tempati sebelumnya, berlapis karpet tebal, lampu gantung kristal bergoyang ringan mengikuti riak kapal.
Anna diletakkan di atas ranjang besar dengan seprai putih berlapis sutra. Namun kepala gadis itu masih pening, darah berdesir tak beraturan, membuatnya tak lagi sanggup bangkit untuk melawan.
Belum sempat Anna mengeluarkan pertanyaan, siapa pria ini dan apa maunya, benarkah ia benar-benar akan menolongnya, sosok itu mendekat. Tubuh kekarnya tiba-tiba menindih untuk menahan ruang geraknya. Anna terperanjat, jantungnya melonjak, napasnya tercekat di dada.
“Tidak! Kumohon, jangan… jangan lakukan itu!” tangannya terangkat refleks, menahan dada bidang pria itu. Ia memalingkan wajah, menutup matanya rapat, ketakutan membuat tubuhnya bergetar.
Namun suara berat itu justru membisik di telinganya, dekat, hangat, menembus gemetar tubuhnya. “Percayalah padaku. Jika kau ingin selamat, kau harus mengikuti rencanaku," suara itu menekan gejolak emosinya.
Anna membeku sesaat. Ia tercekat dalam dilema, terperangkap di antara rasa takut dan samarnya harapan. Pandangannya mulai kabur, wajah pria itu tak jelas terlihat, hanya seperti bayangan samar, seakan terbungkus kabut tebal. Tapi sorot mata biru itu begitu tajam menembus kekalutannya. Bukan tatapan binatang buas yang hendak merenggut tubuhnya, melainkan keyakinan aneh, seolah ia sedang dipaksa percaya pada penyelamat yang tak dikenal.
Seketika, suara gaduh terdengar dari luar kamar. Derap langkah kaki mendekat berat dan terburu-buru. Pintu kamar berguncang, suara bentakan dalam bahasa lokal dan asing terdengar, diiringi hentakan keras.
Pria itu seketika bangkit, mematikan lampu utama. Ruangan itu hanya diterangi lampu tidur kecil yang remang, membuat segala sesuatu terjerat bayangan samar. Dengan gerakan kilat ia membuka kancing kemejanya, menurunkannya hingga dada bidang dan perut atletisnya terbuka. Resleting celananya dilonggarkan, seolah ia tengah larut dalam keadaan mesra.
“Bersiaplah, ikuti instruksiku,” bisiknya tajam. Ia menindih tubuh Anna, mengapitnya di tengah paha jenjangnya, kemudian menarik sebuah selimut untuk menutup bagian kepala Anna rapat-rapat, menyembunyikan rambut emasnya yang terlalu mencolok. “Buka bajumu, sembunyikan di bawah selimut. Sekarang.”
Anna masih membeku. Wajahnya memerah hebat, perasaan bercampur antara malu, takut, dan getir. Tangannya bergetar, jari-jarinya terasa kaku. Tapi suara pintu yang terus dihantam dari luar membuatnya kehilangan waktu untuk ragu. Dengan nafas tersengal, ia menurunkan gaun tipis yang melekat di tubuhnya sampai ke mata kaki, lalu menyelipkannya di bawah lipatan selimut.
Pria itu sengaja berpaling untuk menjaga sedikit kehormatannya. Tapi ia kembali menunduk, suaranya kembali berbisik di dekat telinga Anna, lebih rendah, lebih menekan. “Ketika mereka masuk, kau harus sedikit berakting. Mengeranglah, seolah kita sedang berhubungan intim. Itu satu-satunya cara untuk mengelabui mereka.”
"Tidak mungkin!" Anna menolak seraya menahan napas, tubuhnya mulai menegang hendak memberontak. Malu yang menusuk, takut yang mencekik, dan rasa tak percaya bercampur jadi satu. Namun pintu kamar bergetar semakin keras. Ia tahu, tak ada pilihan lain selain menuruti instruksi pria ini.
Degup jantung pria asing itu membentur keras di telinga Anna, seiring suara berat pintu yang terbuka mendadak.
Brakkk!
Empat pria berbadan besar menerobos masuk dengan serentak, langkah-langkah tegas mereka bergema di ruangan, disusul siluet beberapa pria memasuki ruangan—para pengawal. Jas hitam ketat melekat di tubuh, wajah mereka garang seperti algojo. Tatapan dingin mereka langsung menyapu keadaan, membuat udara yang sudah menegang semakin menyesakkan.
Cahaya lampu tidur menyingkap bayangan samar seorang pria muda tanpa baju menindih seorang gadis yang sudah tanpa busana, selimut bergoyang menutupi gerakan sandiwara mereka.
Pria penolong itu menunduk, bibirnya menyapu bibir mungil Anna. Gadis itu tersentak, ingin membuat suara erangan, namun suara tercekik di tenggorokannya tak mampu keluar.
Pipinya memanas, matanya terpejam rapat seiring dengan lumatan bibir pria itu yang semakin liar. Dalam gemetar, ia juga menggigit bibir pria itu, lalu memaksa dirinya mengeluarkan erangan lirih, suara asing yang bahkan tak dikenalnya sendiri.
Ciuman pria itu bergeser ke leher, menggerayangi kulit tipisnya disana, lalu turun ke bahu pucatnya yang rapuh. Sesekali gigitan ringannya meninggalkan tanda samar. Ciumannya kini berpindah ke dada Anna bagian atas. Anna sampai tersentak, tubuhnya membuat getaran asing, dan erangan berikutnya lolos tanpa bisa ditahannya lagi. Ia tahu betul semua ini hanyalah sandiwara, namun tubuhnya tak sanggup berbohong terhadap sensasi yang merambat di nadinya.
“Ahh…” desis Anna pecah, bercampur antara protes dan kenikmatan aneh yang memabukkan.
Tangan kekar itu mencengkeram pinggang rampingnya, mengangkatnya sedikit agar selimut bergoyang lebih meyakinkan. Anna terhuyung dalam pelukan itu, kedua tangannya refleks mencengkeram bahu kokoh pria itu erat-erat, seolah mencari pegangan.
“Hanya sebentar, bertahanlah,” bisik pria itu, suaranya berat, terdengar seperti rayuan.
Anna tak mampu membalas, hanya desahan kecil yang kini lolos begitu saja di antara bibirnya. “Aaahh… uumhh…” erangnya lirih dan terputus, namun justru terdengar begitu nyata.
Detik-detik itu terasa begitu panjang bagi Anna. Napasnya terengah, tubuhnya panas, dan tanpa sadar desahan panjang meluncur dari bibirnya, keras, nyaring, menusuk ruang remang itu.
Pria itu berhenti sejenak, kepalanya menoleh ke arah pintu. Sorot matanya membara, dingin sekaligus menusuk.
“Tidak tahu malu!” suaranya menggelegar, membuat udara kamar seolah bergetar. “Masuk ke ranah pribadi seorang tamu tanpa izin, menonton dari pintu seperti binatang tak berakal!”
Para pria di ambang pintu terdiam. Beberapa menelan ludah, beberapa lainnya saling berpandangan, ragu antara mundur atau justru melangkah lebih jauh. Tatapan mereka panas, jelas tergoda oleh pemandangan samar di bawah selimut itu.
“Keluar!” bentak pria itu lagi, suara beratnya penuh ancaman. “Atau kalian memang ingin perang di atas kapal ini?!”
Keraguan mereka pecah menjadi kegaduhan kecil. Satu-dua langkah maju terdengar, niat jahat mereka makin nyata. Anna gemetar di pelukan pria itu, tubuhnya kaku menahan napas.
Namun tiba-tiba, kerumunan itu terbelah. Enam pria bersetelan rapi muncul tergesa, tubuh mereka besar, wajah mereka tegas, dan sorot mereka mereka seperti binatang buas yang siap menantang siapapun yang memasuki wilayah Rajanya.
“Berani sekali kalian mengganggu Boss kami!” salah satunya menghardik lantang. Tangannya terangkat, memperlihatkan sebuah kartu nama elegan, bercetak timbul, berkilau terkena cahaya lampu tidur yang temaram.
Di atas kertas itu, huruf-huruf tegas terukir jelas. Devan Artyom.
“Boss kami adalah tamu kehormatan Tuan kalian,” lanjutnya, suaranya penuh tekanan, “datang kemari dengan tujuan kerjasama bisnis. Dan kalian berani mencemarkan namanya dengan cara ini?”
Nama itu membuat para pria yang tadinya garang jadi terdiam. Bahu mereka yang menegang perlahan merosot, meski bibir salah satu dari mereka masih mencoba membantah.
“Kami hanya mencari seorang gadis,” ujarnya, nadanya kini terdengar lebih gugup daripada galak. “Perempuan milik Tuan kami yang melarikan diri. Jika tidak diserahkan sekarang juga, kami akan—”
“Diam!” bentak pengawal Devan, mereka maju selangkah, membuat lawannya terhuyung mundur. “Apa kalian buta? Tidakkah kalian lihat, Boss kami sedang menikmati kesenangannya?” Ia menunjuk ranjang dengan tatapan menusuk. “Berani-beraninya kalian mengintip dan mengganggu ranah pribadi seorang Artyom! Jika kalian tak segera pergi, kapal ini akan jadi kuburan kalian sebelum fajar.”
Hening sesaat. Kata-kata itu menebas seperti pedang yang membara. Para pengawal lawan saling berpandangan, wajah mereka memerah, antara malu dan takut. Satu-dua orang menundukkan kepala, mundur perlahan. Tak ada lagi bantahan, tak ada lagi keberanian untuk menantang.
Akhirnya, mereka mengalah, berbalik dan pergi, langkah-langkah mereka terdengar berat dan penuh kerikil amarah yang tertahan.
Pintu tertutup kembali.
Pria bernama Devan itu menarik napas panjang, sorot matanya yang tadi menyala kini meredup sedikit. Ia memberi perintah singkat pada pengawalnya. “Ambilkan sepasang pakaian untukku. Letakkan di meja. Tunggu di luar sampai kupanggil kembali.”
Salah seorang pengawal itu segera bergegas pergi mengambil apa yang diperintahkan Boss-nya. Tak lama kemudian ia kembali, masuk hanya untuk meninggalkan bungkusan kain halus di atas meja kecil, lalu keluar lagi dengan menunduk hormat.
“Jaga pintu di luar,” tambah Devan, tatapannya menusuk. “Dan jangan ada yang masuk sampai aku perintahkan untuk tugas selanjutnya.”
Devan kemudian bangkit dari atas tubuh Anna, dadanya masih naik turun karena sandiwara yang baru saja ia mainkan.
Ia meraih kemejanya yang tergeletak di kursi, menyarungkan kembali ke tubuhnya, lalu mengancing seadanya. Ia menarik resleting celana yang sempat longgar. Gerakannya cepat namun tetap tenang, seolah tak ingin meninggalkan celah bagi siapapun untuk melihat lebih dari yang seharusnya.
Dengan satu tarikan, ia mengambil bungkusan pakaian di meja dan melemparkannya ke ranjang, tepat di samping Anna yang masih terbaring.
“Kenakanlah ini," ujarnya.
Anna hening. Tak ada jawaban apapun darinya. Bahkan ia tampak tak bergerak sama sekali.
Kening pria asing bernama Devan itu berkerut. Ia menoleh, ingin menegur gadis itu, namun langkahnya terhenti, mengamati.
Anna nampak terbaring kaku, wajahnya semakin pucat, kelopak matanya terpejam rapat, dan napasnya tersengal tipis. Melihat tanda-tanda yang menghawatirkan, pria itu segera menghampiri, ia menunduk lebih dekat, menjulurkan tangannya menyentuh dahi, tubuh itu memancarkan panas yang menusuk telapak tangannya.
“Nona!” suara Devan terdengar gusar. Ia segera melompat ke ranjang, meraih tubuh lemah itu ke dalam dekapannya. Jemarinya bergetar saat menyentuh leher halus Anna, meraba denyut yang mulai samar.
Devan tercekat, jantungnya mendadak menghantam rusuknya dengan sangat keras. Untuk sesaat ia terpaku, menyalahkan dirinya sendiri karena mengira gejolak panas itu hanya akibat sandiwara mesra tadi. Sejak kapan gadis ini tak sadarkan diri?
❤️❤️❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
fickzu
Dia pikir kebaikan itu kelemahan, mungkin. banyak manusia yg kyk gitu soalnya. krna dia baik makanya sabaran orgnya. pendapat cewek ini melihat kebaikan dlm sisi yg berbeda keren bgt.
2025-04-21
1
Muffin🧚🏻♀️
Aku kasih gift buat tuan devan meskipun cara menolongnya agak menguntungkan dirinya jugaaa kekw
2025-08-21
0
Serenarara
Wiidiih...Anna...ucapanmu bisa dianggap rayuan pulau kelapa olehnya yang sedang rendah diri...
Kecuali kau bisa mempertanggungjawabkan konsekuensinya.../Chuckle/
2025-03-24
1