Hari ini seperti biasanya Ameeza mengendarai mobil sendirian. Tidak seperti saat awal masuk sekolah yang wajib diantar supir. Mengingat itu Ameeza merasa tak enak. Kenangan buruk saat pertama kali masuk ke SMA Antares. Bagaimana ia jadi pusat perhatian dan lebih mengesalkan lagi ia terpaksa gabung di salah satu club yang dipilih asal, karena tidak ada pilihan lain.
Meskipun koridor lenggang, Ameeza sempat berpapasan dengan beberapa siswa-siswi rajin yang tentunya selalu berangkat pagi, sekedar menyapa atau tersenyum singkat padanya. Mendapat perlakuan seperti itu Ameeza hanya cuek tak membalas walau sekedar senyuman singkat, tipis bahkan samar pun Ameeza enggan. Ameeza hanya berpikir jika sekali saja ia menunjukan sikap ramah pada orang-orang itu atau lebih tepatnya pada fans kedua kakaknya dan sepupu-sepupunya. Mereka pasti ngelunjak. Lagi pula Ameeza sudah sangat mengerti maksud mereka yang mencoba dekat atau bersikap ramah padanya. Apalagi jika bukan numpang popularitas atau untuk mendapatkan hati kedua kakaknya dan sepupu-sepupunya.
Setelah melewati beberapa kelas termasuk kelasnya, Ameeza berhenti di tempat jejeran loker-loker khusus kelas X. Ameeza merogoh saku roknya, lantas membuka loker yang tertulis namanya.
Mata Ameeza langsung membola begitu mendapati lokernya penuh dengan berbagai macam kotak, dari yang ukuran kecil hingga besar. Dari yang warna tak mencolok sampai warna yang sangat mencolok. Pokoknya macam-macamlah. Sampai-sampai lokernya tidak muat menampung semuanya. Alhasil beberapa kotak banyak yang berjatuhan ke lantai.
Kepala Ameeza menengok sekitar. Sepertinya sekolah masih sepi. Jadi, Ameeza tidak perlu takut ketahuan marah-marah tidak jelas. Tanpa buang waktu, Ameeza mengeluarkan seluruh kotak dan beberapa sticky notes yang memenuhi lokernya. Setelah mengeluarkan, tanpa perasaan Ameeza menginjak-injak kotak dan sticky notes itu.
Ameeza menghentikan kegiatannya saat merasakan HP-nya terus bergetar tiada henti. Ia merogoh saku roknya lantas melihat apa yang membuat HP-nya sedari tadi terus bergetar.
Susah payah Ameeza menahan emosinya kala membaca setiap pesan dari kedua kakaknya dan sepupu-sepupunya. Ameeza tidak peduli mereka mengirim pesan dengan jutek, to the point, atau pun ramah. Ia rasa sama saja. Tetap membuat kepalanya mendidih. Tanpa menunggu lama kepala Ameeza seolah meletus bagai gunung yang menyemburkan magmanya. Ameeza membanting HP-nya hingga membentur lantai dan beberapa loker.
"Amy."
Ameeza menoleh. Setelah itu kembali melanjutkan aktivitasnya memungut kepingan-kepingan HP-nya yang sudah hancur.
Shaula sempat terkejut melihat seberapa kacau tempat loker kelas sepuluh. Mulai dari kotak hadiah hancur dan sticky notes yang kotor. Sampai pada hancurnya HP Ameeza. Shaula mendekat. Membantu Ameeza memungut kepingan-kepingan HP-nya.
"Lo kenapa?"
Ameeza hanya diam membisu.
...-oOo-...
Ameeza meneguk minuman dingin rasa jeruk yang ia beli di kantin tadi. Tatapannya berubah teduh menatap ruang kelasnya yang sepi. Mungkin hanya beberapa orang yang masih ada di kelas. Selebihnya mereka pergi ke kantin. Tentunya anak-anak kelas X MIPA 2 berani keluar kelas saat sedang jamkos.
Bersyukurlah jam pertama kosong. Untuk sementara Ameeza bisa menenangkan sejenak kepalanya yang panas akibat kelakuan fans kedua kakaknya dan sepupu-sepupunya yang kelewat bar-bar.
"My, kita kapan latihan buat tugas musikalisasi puisinya?" tanya Siska.
Melva ikut menambahi, " Iyah, tinggal H-2 lagi soalnya. Sedangkan kita belum ada persiapan."
"Gue sih ngikut kapan aja. Asal jangan hari minggu," tutur Eza.
"Lha, kenapa lo?" Siska menyenggol pelan lengan kiri Eza.
"Mau rebahan."
Tanpa diduga Siska memukul lengan kiri Eza geram. Dari situ terjadilah keributan.
Sedangkan perempuan dengan rambut dicepol itu sedari tadi tidak fokus pada percakapan. Pandangan Ameeza terfokus pada Erga yang sejak tadi tampak berusaha untuk membuka suara. Tapi, selalu saja ada yang menghalanginya. Berakhirlah Erga yang memilih bungkam dan memandang keluar jendela.
Ameeza yang menjadi saksi dari sikap Erga sedikit berpikir, apa mungkin Erga sedang berusaha untuk gabung mengobrol? Karena yang Ameeza lihat belakangan ini Erga tak pernah awet mengobrol panjang. Cowok itu selalu saja menanggapi singkat yang membuat sebagian teman-teman di kelas merasa kesal. Wajar sih.
Saat jam istirahat tiba, Ameeza menghampiri Erga. Ia merasa aman karena keadaan kelas sepi. Jadi, ia bebas mengekspresikan diri sesuai dengan keadaan hatinya saat ini.
"Erga," panggil Ameeza pelan.
Erga mendongak, menatap Ameeza dengan kerutan dahi dan alis kanannya naik sebelah. Ameeza membasahi sekilas bibirnya yang terasa kering. Kemudian mengutarakan maksudnya. "Lo mau gabung di kelompok gue gak buat musikalisasi puisi?"
Belum genap dua detik Ameeza selesai bicara, Erga mantap menggelengkan kepalanya. Erga hanya berusaha memegang teguh prinsipnya untuk tidak menerima bantuan orang yang jelas ingin mengasihaninya. Erga tidak butuh dikasihani. Apa se-menyedihkan itu Erga di mata semua orang? Sampai mereka berusaha mengulurkan tangannya. Berharap dengan uluran tangan itu perasaan Erga jauh lebih baik. Tapi kenyataannya semua rasa peduli itu tiada guna. Bukannya merasa lega karena telah dibantu, Erga justru merasa terhina.
"Lo serius? Ini tinggal H-2 lagi, sedangkan lo belum dapet kelompok," bujuk Ameeza sekali lagi. Ia hanya merasa kasihan pada Erga. Semenjak kejadian di mana Ameeza meninggalkan Erga di kelas dan berakhir wajah Erga memar. Dan lagi Ameeza mengingat jelas bagaimana suara tangisan pilu dan menyakitkan itu menusuk gendang telinga Ameeza saat di pemakaman.
Sekali lagi Erga menggeleng.
Merasa tak puas dengan jawaban Erga, Ameeza tak penat untuk kembali membujuk. "Lo yakin gak mau gabung?"
Erga yang semula duduk tenang langsung berdiri begitu Ameeza selesai berbicara. Sorot mata Erga yang semula teduh berubah dingin. Sejenak suasana di sekeliling Erga berubah menggelap. "Saya gak butuh!" sentak Erga, tatapan dinginnya menghunus netra Ameeza.
Mendapat perlakuan seperti itu dari Erga membuat Ameeza shock sesaat. Pasalnya Erga tak pernah sekalipun berbicara sekasar itu pada Ameeza. Terakhir kali Ameeza hanya pernah mendapat peringatan saja dari Erga.
Erga kembali duduk dan memfokuskan diri membaca buku. Tindakan Erga itu seolah tak memberikan Ameeza kesempatan untuk menjawab perkataan Erga tadi.
Sebelum pergi, Ameeza berkata, "Gue peduli. Tapi, lo gak menghargai usaha gue."
Sempat beberapa detik Erga menoleh. Namun, tidak lama setelah itu Erga kembali fokus membaca. Dalam benaknya sempat terpikir. Mengapa Ameeza harus sepeduli itu padanya? Memang ada kewajiban? Erga rasa tidak ada.
Ameeza terus mendumal hingga sampai di bangkuannya. Ia duduk dengan perasaan kesal yang menggunung. Padahal tadi Ameeza berani membujuk Erga untuk gabung dikelompoknya karena ia ingin membalas budi. Walau sempat terlintas untuk apa Ameeza peduli? Tapi, disaat bersamaan perasaan bersalah itu mencuat. Mau tak mau Ameeza memang harus bertindak. Setidaknya perasaan bersalah ini tidak akan terus mengganggunya.
Namun, usaha Ameeza sia-sia rupanya. Melihat bagaimana respon Erga. Perempuan itu tak habis pikir dengan kelakuan Erga. Sesusah itukah Erga mengatakan 'iya' agar hati Ameeza membaik dan tak dihantui perasaan bersalah.
"Dasar gak ngehargain usaha gue. Lo bahkan gak tahu gimana perasaan gue saat ditolak," dumel Ameeza.
Sedangkan di sisi lain Erga menatap kosong pada buku bacaannya. Tangan kanannya meremas pelan kertas buku itu.
Kamu tak akan mengerti keadaan saya.
...-oOo-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments