"Argh!"
Di dalam kamar dengan nuansa cat putih abu itu, Ameeza sedang mencoret-coret dinding kamarnya dengan spidol, krayon, pilox dan pensil warna.
Beginilah jadinya jika Ameeza sedang dalam mode marah, kesal, atau sedih. Aktivitas yang sering dilakukannya untuk meluapkan kesal dan emosi. Yah, dengan mencoret-coret tembok. Menuliskan semua kata-kata atau kalimat yang ada di kepalanya.
"Astaghfirullah."
Ameeza masih sibuk mencoret-coret dinding menggunakan krayon. Tanpa menoleh pun ia tahu siapa yang berbicara.
Angga berjongkok di samping Ameeza yang sedang mencoret-coret tembok. Lalu mengusap kepala adiknya pelan. Kemudian pandangannya beralih pada tulisan yang tertulis di tembok. Satu persatu Angga membacanya. Sampai pada gambar paling ujung, Angga langsung tersentak. Ia menoleh. "Lo mau bunuh orang, My?"
Tangan Ameeza yang semula menari-nari di atas tembok seketika terhenti mendengar pertanyaan konyol yang dilontarkan kakaknya. Tak sampai satu detik setelah Ameeza menoleh ke arah Angga, ia meledakkan tawanya.
Kening Angga mengerut dalam. "Kenapa?"
Ameeza menyusut air mata dari sudut matanya. "Pertanyaan lo konyol abis. Lo kira gue psikopat?" Setelah menjawab pertanyaan Angga, Ameeza kembali meledakkan tawanya.
Napas Ameeza terengah-engah akibat kebanyakan tertawa. Melihat ekspresi Angga yang masih cengo membuat Ameeza kembali bersuara. "Ngaco lo."
Angga menganggaruk tengkuknya. Merasa malu karena salah menuduh. Kemudian jari telunjuknya mengarah pada gambar orang-orangan dengan kepala besar dan anggota tubuh segaris sebesar lidi diberi nama Erga. Lalu ada tulisan 'mati' di sampingnya diberi tanda panah.
"Gue iseng."
"Tadi Sera katanya nitip sesuatu sama lo."
Pernyataan dari Angga seketika mengubah ekspresi Ameeza menjadi datar. Ia berdiri, lalu mengambil sekantong plastik besar dari dalam tasnya. Bukannya memberikan dengan baik-baik, Ameeza justru melempar kantong plastik itu kasar ke arah Angga.
Beruntung Angga bisa menghindar. Ia mengambil kantong plastik yang terpental tak jauh darinya. Lalu berdiri dan ikutan duduk di tepi kasur di samping Ameeza.
"Bilang sama si Sara, Siera atau siapa itu jangan seenaknya nyelipin barang di tas orang!"
"Katanya lo selalu buang pemberian dia ke tong sampah," kata Angga.
"Kalau iya kenapa? Gak suka? Makanya urus tuh fans fanatik lo. Jangan sampe karena gue adik lo mereka seenaknya kayak gini!"
"My, lo jangan gitu."
Tanpa menjawab, Ameeza mendorong paksa Angga sampai keluar kamar. Tanpa jeda, Ameeza langsung menutup pintu kasar.
"Amy!"
"Dek!"
Ameeza menghiraukan teriakan Angga. Ia memilih kembali melanjutkan mencoret-coret temboknya dengan kata-kata 'Benci Fans Fanatik! Enyah lo!' dengan tulisan besar-besar menggunakan pilox.
Selepas melaksanakan shalat ashar, Ameeza mengganti pakaiannya dengan kaos putih polos dengan cardigan sebatas lutut berwarna abu dan celana jeans hitam. Tak lupa tas kecil berwarna hitam yang ia gendong.
Ameeza nyaris terjungkal dan terantuk pintu karena kehadiran Angga yang tiba-tiba sudah ada di depannya.
"Mau kemana?"
"Cafe."
...-oOo-...
Ameeza menyedot Ice Blend Coffee-nya sambil berjalan menyusuri trotoar. Entah ke mana ia akan pergi. Yang pasti Ameeza hanya ingin menghilangkan sejenak beban pikiran yang menumpuk di kepalanya.
Sepanjang menyusuri trotoar, kaki Ameeza tidak mau diam untuk menendang kerikil yang ada di trotoar. Tak lupa bibirnya pun tidak mau diam untuk terus mendumal.
Ameeza melempar bekas minumannya ke tong sampah terdekat. Setelah itu kembali melanjutkan jalan kakinya. Sesekali ia mendongak menatap langit yang perlahan-lahan berubah jingga.
Suara tangisan membuat Ameeza menghentikan langkahnya. Ia menoleh sejenak. Dan tatapannya terpusat pada seorang nenek yang tengah berjongkok dan seorang laki-laki yang memunggunginya di samping sebuah makam.
Ameeza sempat tak peduli. Toh, itu bukan urusannya juga. Tapi langkahnya kembali terhenti saat nenek itu menyebut seorang laki-laki itu yang memunggunginya dengan sebutan Erga.
"Yang ikhlas, yah." Tangan keriput nenek itu mengusap bahu Erga.
Erga mengangguk.
"Ayo, Nek."
Nenek itu mengangguk pelan, lantas mengekori Erga.
Ameeza terdiam. Tatapannya tidak lepas dari Erga dan seorang nenek yang berjalan beriringan dengannya. Ada banyak pertanyaan di kepalanya terkait kejadian singkat yang ia saksikan tadi.
Siapa orang yang Erga kunjungi di pemakaman?
Namun, buru-buru Ameeza mengenyahkan pikiran mengenai rasa penasarannya terhadap Erga. Memangnya untuk apa Ameeza kepo tentang kehidupan Erga? Toh, tidak ada manfaat juga jika ia tahu tentang Erga. Justru jika ia tahu tentang Erga akan semakin membuat repot dan berakhir masuk terlalu dalam ke dalam kehidupan Erga.
...-oOo-...
Suara hantaman antara buku setebal kamus dengan lantai kelas terdengar nyaring. Ameeza sempat tidak peduli dengan kejadian di kelasnya itu, namun saat tahu siapa orang yang mengalami itu, entah mengapa Ameeza penasaran. Apalagi keadaan kelas kosong karena bel pulang sudah berbunyi sejak lima menit lalu.
"Sorry."
Erga menatap sekilas wajah Adrian, cowok yang tak sengaja menabraknya. Selepas itu ia berjongkok hendak mengambil bukunya. Tapi, sangat disayangkan Adrian sengaja menginjak buku yang hendak diambil Erga.
Tatapan Erga dan Adrian bertemu. Erga yang semula jongkok, kemudian berdiri. Menatap Adrian dingin. Bukannya takut dengan tatapan dingin Erga, Adrian justru menyeringai lebar.
"Lo masih gak mau ngomong?" tanya Adrian.
Erga tetap bergeming dan enggan bersuara. Karena Erga berpikir tidak ada gunanya meladeni manusia emosian seperti Adrian.
Gigi Ameeza gemerletuk geram melihat kejadian itu. Ada rasa marah dan iba melihat Erga diperlakukan seperti itu. Tapi, gengsinya jelas lebih tinggi daripada kepeduliannya. Dengan langkah yakin Ameeza melesat keluar dari kelas.
Sementara Erga sempat tersenyum kecut. Walau tidak terlalu jelas. Padahal ia berharap ada orang yang membantunya menghadapi Adrian. Tapi, harapannya pupus saat orang itu bahkan tak berani sejengkal pun maju menghadap Adrian.
Bodoh. Erga merasa bodoh mengharapkan sebuah pertolongan yang jelas-jelas tidak akan ia dapatkan.
"Lo masih gak mau ngomong? Kalau gitu gue bakal hancur—"
"Apa mau lo?"
Belum genap dua detik Erga selesai berbicara. Adrian tanpa aba-aba melayangkan bogeman di sisi wajah Erga. Pukulan tiba-tiba itu tentu tidak bisa Erga hindari. Ia bahkan sempat termundur ke belakang beberapa meter. Namun, ia tak sampai jatuh tersungkur karena masih bisa menguasai keseimbangan tubuhnya.
...-oOo-...
Ada perasaan bersalah di hati Ameeza karena meninggalkan Erga sendirian di kelas. Apakah tindakannya itu keterlaluan? Ameeza menggeleng. Pasti Erga bisa menghadapi Adrian 'kan? Toh, dia 'kan laki-laki.
Bibir Ameeza mengatakan ingin pulang, tapi kakinya tidak mau bergerak seinci pun dari koridor kelas X. Lama termenung dengan segala macam pikiran. Suara langkah kaki membuat Ameeza tersentak. Lebih mengejutkan lagi Erga keluar dari kelas dengan wajah sedikit memar.
Laki-laki itu itu tetap mempertahankan wajah datarnya saat melewati Ameeza. Tak ada sapa, teguran bahkan omelan. Ameeza hanya menerima terpaan angin sesaat ketika Erga melewatinya. Bibirnya hendak bersuara, namun urung. Sebab Erga sudah terlalu jauh melangkah.
Peluh membanjiri kening Ameeza. Seragam bahkan rambutnya sudah berantakan. Semua ini karena perasaan bersalah yang tiba-tiba timbul saat melihat wajah Erga memar. Ia merasa benar-benar menjadi manusia yang tidak tahu balas budi. Padahal Erga bahkan sudah pernah menolongnya dua kali. Saat HP Ameeza low, tanpa diminta Erga mengulurkan tangan. Dan saat di UKS Erga sangat peka dengan keadaan saat Ameeza tak kunjung meminum obat sakit kepalanya. Lantas mengapa Ameeza sejahat itu pada Erga.
Ritme jantung Ameeza masih tak beraturan. Pandangannya sedikit agak buram karena beberapa kali matanya terkena debu jalanan. Ia menoleh ke sana ke mari mencari ke mana perginya Erga. Dan tatapannya berhenti saat melihat Erga sedang membeli bunga di salah satu toko bunga yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Ameeza sedikit memberi jarak saat menguntit Erga. Ia penasaran ke mana Erga akan pergi?
Erga memasuki area pemakaman. Lalu meletakkan bunga di salah satu kuburan berlapis keramik. Ia mengelus pelan batu nisan yang sama sekali tidak terlalu jelas menurut penglihatan Ameeza, karena ia bersembunyi di salah satu pohon kamboja.
Selesai berdoa, kedua bahu Erga bergetar menahan isak tangis yang selama ini selalu ia tahan setiap kali berkunjung ke pemakaman bersama neneknya. Ia hanya tidak ingin memberi beban pikiran pada neneknya, karena Erga masih belum bisa melupakan kejadian yang amat menyakitkan hingga merenggut nyawa orang yang paling disayanginya.
Ameeza yang bersembunyi di balik pohon kamboja ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Erga. Isak tangis Erga teramat pilu, bahkan terdengar menyakitkan.
Sebenarnya kehidupan Erga itu seperti apa? Apakah selama ini Erga menderita?
...-oOo-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments