< Serenium. Bridge. POV: Osayr >
"Begitu...?" ucap Valendro setelah mendengar alasan Osayr mencari seseorang di dimensi iblis. Saat ini Neoron sengaja meminta semua kru untuk tidak ke bridge terlebih dahulu, karena Osayr sedang melakukan pembicaraan pribadi dengan kantor pusat.
"Hmm... Tapi saya terpaksa tetap akan mengirim seseorang untuk menjagamu disana. Dimensi itu, memiliki sejarah yang kurang enak dengan project kami. Hmm..." Valendro termangu-mangu di depan laptopnya sambil berusaha memikirkan jalan keluar terbaik.
Osayr duduk gelisah, menunggu lawan bicara video call-nya mengambil keputusan. Tampak Valendro sedang mengutak-atik keyboardnya seperti sedang mencari semacam daftar, lalu menerawangnya satu persatu. Terlihat dari matanya yang bergerak ke kanan-kiri.
"Hmm...begini saja, seseorang akan datang melalui kabin teleporter di Serenium. Hingga orang itu datang, kamu harap bersabar dan jalankan Misi ketika dibutuhkan, oke? Aku akan mencoba menghubungi orang ini..." ucap Valendro akhirnya. Namun dengan mencicit Osayr bertanya kembali, berharap dia tak terlalu terdengar kurang ajar memotong pembicaraan.
"A...itu, apakah pencarian seperti ini memungut biaya...?" ucapnya pelan sambil agak menunduk. Valendro menatapnya sejenak.
"Karena ini adalah permintaan pribadi dari Prajurit Waktu, kami disini hanya berharap kamu bekerja lebih giat tentunya...heh. Tidak, tidak... Anggap saja ini bagian dari kegiatan libur kamu, yang sebenarnya bonus yang setiap kru dapatkan. Kamu tenang saja, seandainya Misi pencarian ini terlalu sulit dan memakan biaya terlalu besar, kami ada tim khusus yang akan take-over pekerjaan itu. Terkesan kurang efisien ya hehe... Tapi keterlibatanmu dalam perjalanan perdana, anggap saja sebagai training kamu berhadapan dengan dimensi yang, yah, kurang bersahabat kan?" ucap Valendro, yang membuat Osayr paham mengapa nenek bernama Merry sebelumnya mewariskan jabatannya ke cucunya tersebut.
Setelah itu mereka pun berdiskusi mengenai mekanisme, strategi dan kapan kira-kira utusan Kaunsel Waktu tiba. Barulah setelahnya sambungan Video Call ditutup.
****
"Ini serius, Tan?" tanya Hayate. Saat ini dia dan Esgina sedang berhadapan dengan sebuah jembatan yang terputus sejauh lima meter. Esgina mengangguk antusias.
"Ini baru level awal, boy. Nanti lebih jauh lagi.." ucap Esgina menegaskan. Hayate sudah berlatih banyak hal dibawah arahan Tante bahenol tersebut. Diantaranya lari vertikal memanjat tebing, lari diatas air (yang pemuda itu masih belum lancar), lari untuk melenyapkan kebakaran. Dan sekarang dia harus lari melompati jembatan terputus!?
"Kalau belom pede, gimana kalau lo lanjutin lari di atas air?" lanjut Esgina dengan nada meledek. Dia tau pemuda itu sangat lelah ketika melakukan sesi latihan tersebut. Sangat lelah harus berenang kembali setiap dia gagal, maksudnya Hayate hanya menghela nafas panjang.
"Oke!" ucapnya tegas lebih ke diri sendiri. Dia mulai meregangkan kakinya. Saat ini dia memakai pakaian yang harus anti-panas, karena apabila tidak terpaan dari gesekan angin akan membakar kaosnya yang normal. Esgina segera turun ke bagian bawah jembatan tersebut, yang sebenarnya hanya sekitar tiga meter tingginya.
Hayate mulai berlari cepat, di pakaiannya telah disematkan speed tracker. Sehingga Esgina bisa melihat seberapa cepat pemuda itu berlari.
*sst....ssst...tep!* (bunyi lari cepat diakhirnya lompatan)
*drap!!* (Hayate dapat mencapai lompatan sejauh lima meter itu tapi...) "Whooa...wow..." pendaratannya kurang sempurna, dia terhuyung kebelakang.
"Condongkan badan ke depan, boi!!" teriak Esgina menggema. Hayate segera fokus, di dalam benaknya hanya 'dia harus terjatuh ke depan!' dan berhasil, dia menahan badannya dengan satu kakinya ke depan sebelum jatuh.
"Haha.....YES!!" seru Hayate sambil tertawa senang. Esgina tersenyum mendengarnya.
Setelah sesi itu, Esgina mengajaknya beristirahat. Hayate dengan seru menceritakan rasanya setelah berhasil melompat.
"Tadi mantab sekali, Tan. Apa menurut Tante saya bisa lebih cepat lagi...?" tanyanya bersemangat. Esgina berpikir sejenak, dia seperti teringat sesuatu yang buruk.
"Target latihan lo sekarang cuma supaya lo bergerak cepat tanpa ketahuan orang-orang di sekitar, boi. Jangan melebihi batas itu" ucap Esgina dengan raut wajah serius menatap ke depannya.
"Erm...kenapa, Tan? Apa ada efek samping kalau kelebihan...?" tanya Hayate lagi berusaha mengimbangi langkah cepat Esgina.
"Ehem.... Soal itu, gue rasa ada baiknya lo konsultasi dulu sama Sam atau Berliana. Gue... ga yakin bisa jelasin tanpa emosi, sori ya boi!" jawab Esgina menatapnya dengan wajah bersalah. Dia pun berlalu meninggalkan Hayate yang berdiri terpaku di tempatnya.
****
< Suatu sudut kota Braildesh, Ring'o'Dawn >
"Baiklah, Nona Yugra. Ini resep anda dan tebuslah obatnya dan ingatkan diri anda untuk memakannya, oke?" ucap seorang dokter wanita kepada pasiennya yang merupakan wanita ras Dwarf. Pasiennya mengidap penyakit pikun walau usianya masih muda untuk ukuran seorang Dwarf. Tak lama, pasien itu pun meninggalkannya.
*tok....tok...* baru saja dokter itu meregangkan tangannya. Terdengar ketukan di kantornya tersebut.
"Dokter, ada seseorang mencari anda.." seorang Saturnian wanita mengenakan baju suster hanya menunjukkan kepalanya di pintu, membuat sang dokter menatap malas asistennya tersebut.
"Siapa?" tanya si dokter dengan nada malas.
"Entah, tapi dia manusia wanita yang sudah tua..." ucap si suster agak ragu. Sang dokter, karena rasa penasarannya selalu mendominasi dirinya, dia pun segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu kantornya. Si suster memberinya ruang untuk berjalan lebih dulu.
Si suster, walau Saturnian, tingginya agak diluar standar tinggi ras-nya pada umumnya. Rambutnya yang berwarna biru ber-shadow putih membuatnya tampil memukau, apabila menjadi model. Namun sayangnya, dan sang dokter pun tau, suster itu agak bodoh dalam mengingat lokasi obat-obatan. Sehingga sang dokter hanya menyuruhnya menerima tamu dan terkadang membantunya ketika ada operasi di klinik kecilnya ini.
Sang dokter sebaliknya, dia sendiri adalah mantan ahli medis di ekspedisi pesawat waktu. Dirinya pensiun ketika sang kapten tidak lagi meneruskan karirnya sebagai kapten. Bagi sang dokter, tanpa si kapten, dia merasa kurang minat untui melanjutkan karirnya di pesawat itu. Namun hal ini dia rahasiakan dari siapapun koleganya saat itu.
Hanya sekitar lima tahun berselang setelah dia "keluar", dia mendapat ide untuk membuka klinik ini. Toh dirinya bukanlah ras yang menua dengan cepat. Walau dia sekarang rada sulit mendapat suplai "makanan". Hidup Damai mungkinlah alasan tersendirinya. Baginya lebih baik hidup damai berkecukupan, ketimbang hidup kenyang tapi mempertanyakan nasib setiap harinya.
Sang dokter menghentikan langkahnya sejenak untuk melihat arah kirinya. Dua buah bilah pisau Stilleto dia pajang dengan ditutupi kaca. Dia memandangnya miris sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya menuju ruang tunggu pasien.
Ketika dibukanya ruang tunggu, dia segera tertegun dengan seorang wanita tua yang duduk di kursi roda. Berkacamata dan ditemani seorang pemuda gagah mengenakan jas laboratorium. Pria itu juga berkacamata. Namun sang dokter lebih mengenal si wanita tua.
"Bos Merry...?!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments