Sudah tiga hari pria tinggi besar itu berkeliaran di sebuah perumahan elit yang sebagian besar di huni para pejabat. Ia dan beberapa rekannya tengah melakukan pengintaian. Salah satu rumah besar yang berada di ujung jalan di curigai sebagai rumah salah satu gembong narkoba.
Pekerjaan ini tidaklah sekeren yang terlihat di sebuah drama. Saat mengintai pria itu harus rela kehilangan kebutuhan dasar sebagai manusia normal. Makan tak teratur, bahkan terkadang perut hanya diisi roti dan air putih. Tidur hanya beberapa jam, itupun harus bergantian. Dan yang paling membuat jiwa jomblonya memberontak adalah tentang kesempatan mematut diri yang hilang.
Ia memang bukan penganut paham kaum metroseksual akut, tapi setidaknya mandi dan parfum adalah hal wajib baginya. Dan selama melakukan tugas ini jangan berharap Ia bisa mandi dan keramas, bahkan berganti pakaian urung dilakukan. seperti saat ini, penampilannya bahkan lebih mirip dengan gem*el.
Setelah begadang semalaman, Ia menuju minimarket yang jaraknya hanya beberapa meter dari lokasi intaian. Dirinya butuh beberapa booster agar badan besarnya tak tumbang. Dalam kondisi seperti ini, sebisa mungkin Ia harus menghindari kontak dengan orang lain. Namun nyatanya, Ia malah harus bertabrakan dengan seorang gadis. Lebih tepatnya, Ia ditabrak karena gadis itu tidak melihat keberadaannya.
Gadis yang lucu. Gadis yang mungkin tingginya hanya seratus enam puluh, terlihat mungil untuk tubuh tinggi besarnya. Wajahnya yang diliputi rasa malu saat menyadari dompetnya ketinggalan, membuat pria itu tak tega. Akhirnya Ia memutuskan membayar belanjaan pentingnya. Dua bungkus pem**lut wanita.
Sebuah pertemuan mengesankan yang selalu membuat pria itu tersenyum mengingatnya. Dan rupanya, Tuhan memberi kesempatan padanya untuk bertemu dengan gadis itu lagi di tempat yang layak. Kesempatan itu adalah sebuah keyakinan baginya, bahwa mungkin gadis itulah pemilik tulang rusuknya yang hilang.
**
Risa memandang Fajar yang tengah membereskan berkas laporan dan alat perekam. "Apa semua sudah selesai?" tanyanya pada Fajar.
Pria itu hanya mengangguk. "Laporannya sudah selesai, tetapi mungkin akan ada yang disampaikan Pak Arif ke Mba Risa," ucapnya.
Risa tertegun. Bukankah tadi pria itu memanggilnya tanpa embel-embel apapun, kenapa sekarang Ia dipanggil 'Mba'. Benar-benar aneh, pikirnya.
"Untuk yang kemarin ... saya ucapkan terimakasih, ya," ujar Risa. Matanya menatap ke arah pria yang sedari tadi sibuk.
Pria itu tersenyum lalu mengangguk. "Apa Mba Risa tinggal di daerah sana?" tanyanya mengingat pertemuan mereka di minimarket.
Risa mengangguk. " Sekitar sekilo dari minimarket, di klaster H" ucapnya. " Apa kamu juga tinggal di daerah situ?" tanya Risa.
Fajar tertawa, membuat Risa mengernyitkan keningnya. "Saya tidak cukup kaya untuk bisa punya rumah di sana, Mba ... kemarin kami ada tugas pengintaian," ucap Fajar.
Risa hanya manggut-manggut. Pantas saja pria itu bisa bertemu dengannya di sana. Tak mungkin orang luar mampir ke minimarket yang berada di lingkungan perumahan bukan.
"Sambil menunggu Pak Arif selesai rapat, apa Mba Risa mau ikut saya berkeliling di kantor ini?" tawar Fajar.
Risa tampak menimbang tawaran Fajar. Ia melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Masih satu jam menuju jam makan siang. Ia pun mengangguk setuju.
Fajar berbinar. Tak percaya langkahnya mendekati gadis itu bersambut.
**
Jam menunjukkan pukul dua belas siang. Fajar telah selesai mengajak Risa berkeliling seluruh tempat di kantor kepolisian. Ruangan terakhir yang Ia tunjukkan adalah ruangan Tim Brimob, karena di sanalah Arif berada. Atasannya itu baru saja selesai rapat koordinasi dengan tim di sana, dan Ia tahu Fajar mengajak Risa berkeliling. Untuk itu Arif menghubungi Fajar agar membawa Risa menemuinya di ruangan yang penuh polisi berseragam gelap.
Arif hanya menyampaikan beberapa hal ramah tamah saja. Itu dilakukannya karena permintaan sahabat yang menjadi atasan gadis itu di PT. NPP. Arif tak ingin menimbulkan kesan tak mengindahkan permintaan Dedi untuk memperlakukan Risa dengan baik.
Fajar mengantar Risa meninggalkan ruangan yang digunakan Arif menemui gadis itu. Mereka menyusuri ruangan penuh dengan meja yang diisi oleh beberapa polisi berseragam hitam. Melihat Fajar diikuti seorang gadis cantik, beberapa rekan yang dikenal Fajar menggoda pria tinggi besar itu. Godaan yang hanya dibalas senyum merekah dari Fajar, namun senyum dengan rasa malu dari Risa.
Risa mengamati perlakuan Fajar terhadap rekan-rekannya sesama Polisi. Risa merasa kagum dengannya. Fajar tampak supel dan sopan menyapa setiap rekan sesama polisi, dan hal ini membuat Risa sesekali membungkuk mengikuti Fajar untuk menyapa polisi yang mereka lewati.
Risa juga menilai Fajar orang yang humoris. Pria itu terlihat lebih apa adanya saat mengantar Risa berkeliling melihat-lihat keadaan kantor polisi tadi. Sesekali gombalan receh Fajar membuat Risa tertawa tanpa menjaga imej-nya. Sikap Fajar pada Risa mampu membuat Ia merasa nyaman. Siapa yang menyangka laki-laki yang memiliki tibuh tinggi besar dan rahang tegas itu ternyata memiliki sifat yang humoris dan supel.
Risa adalah seorang gadis yang agak tertutup untuk orang yang belum dikenalnya. Ia lebih menahan diri untuk terlalu mengenal orang baru. Tetapi rupanya sifat Fajar yang ditunjukkan tadi mampu meruntuhkan kehati-hatian Risa.
"Semua sudah selesai Mba Risa. Besok kalau ada kekurangan atau ada yang perlu saya tanyakan kembali terkait penyelidikan saya akan langsung menghubungi Mba Risa lewat telpon," kata Fajar.
"Sama-sama Pak Fajar. Terimakasih juga sudah membantu saya dan menemani berkeliling," ujarnya.
Risa kembali tersenyum. Ia tak menyadari bawa senyumannya sedari tadi membuat hati Fajar cenat cenut. Jiwa jomblonya bersorak bahagia, meskipun panggilan 'Pak' yang Risa katakan sedikit mengganggu pendengaran. Rupanya gadis itu sudah mencuri hatinya.
"Setelah ini langsung pulang atau ke kantor Mba?" tanya Fajar pada Risa. Saat ini mereka sudah berada di lobi kantor polisi.
Risa melirik jam tangannya lagi. "Saya langsung ke kantor Pak, karena hari ini saya hanya ijin setengah hari saja," jawabnya. Risa teringat sedari tadi dia mengabaikan ponselnya. Melihat banyak panggilan dari dua nomor yang dikenalnya, Risa menjadi tak nyaman. Mendadak air mukanya berubah.
Hal itu rupanya disadari oleh Fajar. Ia pun berencana merubah suasana hati Risa.
"Mba, memangnya wajah saya keliatan tua ya?" tanya Fajar. Risa mengernyitkan dahinya tampak berpikir. "Maksudnya?" tanya Risa kembali.
"Habis dari tadi Mba Risa panggil saya pakai embel-embel Pak, kesannya saya tua banget gitu. Apalagi kalau yang panggil Mba Risa yang berwajah imut," ucap Fajar mengulum senyum.
Ucapan Fajar sukses membuat suasana hati gadis itu kembali ceria lagi. "Bukan imut mungkin Pak, tapi pendek maksudnya," ujarnya menahan tawa.
Akhirnya tawa keduanya pecah. Risa dan Fajar menyadari perbedaan tubuh mereka sangat mencolok. Fajar gagah dengan seragam polisi ternyata memiliki tinggi 185cm. Sedangkan Risa tinggi badannya hanya 160cm. Saat berjalan beriringan seperti ini perbedaan itu sangat terlihat.
"Saya panggil anda dengan sebutan Pak karena untuk menghormati anda," terang Risa.
"Ya-ya, kalo dikantor sih tidak apa-apa Mba ... tapi kalau di luar sana jangan ya Mba. Nanti saya betulan dikira bapaknya Mba Risa lho," canda Fajar
"Toh usia kita tidak jauh beda Mba, hanya selisih setahun saja," - Fajar lalu mendekatkan dirinya ke arah Risa lalu menatap gadis itu- "Bagaimana kalau kita saling memanggil nama saja, hem-hem?" Fajar menaik turunkan alisnya. Membuat Risa tak dapat menahan tawanya.
"Oke, oke baiklah," kekeh Risa. Sungguh ia tak bisa menolak cara Fajar dan pesona humorisnya.
Mereka terus memainkan peran seolah orang yang baru berkenalan, mengabaikan beberapa orang yang memandang tingkah lucu mereka.
"Kok kamu bisa tahu kalo umur kita hanya selisih satu tahun Jar?" tanya Risa penuh selidik. Risa merasa Ia sama sekali tak pernah menyebut tanggal lahirnya pada Fajar. Lagipula mereka baru mengenal beberapa jam saja.
"Kamu lupa ya, saya polisi," jawab Fajar. Ia tersenyum menang melihat wajah Risa seolah-olah kecolongan. Tentu jawabannya tadi adalah kebenaran. Karena satu jam setelah bertemu Risa di ruangan Pak Arif Ia segera meminta bantuan temannya menyelidiki latar belakang Clarissa Gardenia.
"Saya juga Kaget, ternyata kamu lebih tua dari saya lho Ris," terang Fajar.
Ucapan Fajar sontak membuat Risa membelalakkan matanya tak percaya. "Bohong!" ucapnya. Fajar hanya mengendikkan bahunya. Seolah membenarkan kenyataan yang tak dipercaya oleh Risa.
"Tenang saja Ris, kalau kita bersanding kita tetap terlihat seperti pasangan yang pantas kok. Kamu imut, saya gagah. Lagipula selisih usia setahun ga terlalu banyak," kelakar Fajar.
Risa hanya memandang tak percaya pada Fajar. Entah darimana sifat percaya dirinya berasal. Dan Risa begitu terpancing dengan gurauan jenaka Fajar. Tanpa sadar Ia melampiaskan kekesalannya dengan memukuli lengan Fajar. Tentu pukulan kecil Risa tak sebanding dengan kokohnya lengan yang dimiliki Fajar. Tapi dengan sifat humorisnya, Ia tetap mengaduh seolah-olah merasakan pukulan yang menyakitkan.
Mereka tak menyadari bahwa interaksi mereka membuat seseorang yang sedang berada dalam mobil menatap keduanya penuh amarah.
"Ris, inikan pas makan siang. Gimana kalau kamu makan siang dulu sekalian, supaya pas sampai kantor nanti perut kamu sudah terisi," ucap Fajar. "Tenang saja, kali ini aku yang akan traktir kamu, sebagai tanda perkenalan kita, gimana?"
Risa tampak berpikir. Bari saja akan menjawab ajakan Fajar mereka dikejutkan oleh panggilan seorang pria.
"Yang ...!"
Fajar dan Risa menoleh ke arah suara. Dari arah parkiran muncul sosok pria yang dikenal oleh Risa. Dia Faris, tunangannya. Orang yang sedari tadi menelpon ponsel Risa. Ada dua puluh panggilan di sana.
"Kamu kok ga ngabarin aku sih Yang, kalo hari ini ada jadwal ke sini?" tanya Faris sambil berjalan menuju ke arah Risa dan Fajar.
Risa menyadari sengaja tak memberi tahu Faris tentang jadwalnya ke kantor polisi. Tapi Ia tak menyangka jika tunanganya akan menyusul ke sini.
Belum sempat mengatasi keterkejutannya, Risa dibuat kaget dengan sikap Faris yang tiba-tiba memeluk lalu mencium keningnya. Jujur Risa merasa malu dengan tindakan Faris. Ia tak pernah mengumbar kemesraan di depan orang lain. Apalagi ada Fajar di sana.
Faris berdiri tepat di hadapan Risa, dan menggenggam tangan gadis itu. "Untung tadi aku ke ruangan mu, jadi Siska bisa kasih tahu aku kamu dimana," ucapnya.
Pandangan Faris beralih ke sosok pria di sebelah tunangannya. "Siapa ini Yang?" tanya Faris kepada Risa.
Risa mengenalkan Faris ke Fajar, begitu sebaliknya. "Kenalkan Mas, beliau ini polisi yang tadi merekam laporan saksi, namanya Fajar. Fajar ini Mas Faris,--"
"Tunangan Risa," potong Faris dingin, sambil tangannya terulur ke hadapan Fajar.
"Fajar!" ucap pria tinggi besar itu.
Faris acuh dengan perkenalan Fajar. Ia malah berbalik menghadap ke arah kekasihnya. Dengan sedikit memaksa mulai menggenggam jemari Risa. "Sudah selesai 'kan Yang urusannya, yuk balik," ujar Faris.
Fajar yang menyadari ketidaknyamanan Risa karena perlakuan Faris kemudian tersenyum. "Kembali ke kantor saja dulu Ris, makan-makan nya lain waktu. Takut nanti kamu terlambat ngantor," ujarnya.
Risa menatap Fajar. Wajahnya menunjukkan penyesalan. Fajar hanya tersenyum. Akhirnya Ia harus menurut saat Faris mulai membawanya melangkah meninggalkan Fajar.
Fajar hanya bisa menatap kepergian Risa dengan wajah datar. Lalu Ia tersenyum.
"Sebelum janur melengkung, masih halal buat di tikung," gumam Fajar
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Baiq Dwi Yunita Ratmawa
pak fajar buat aku aja thor😁😁😁
2020-10-23
0
ARSY ALFAZZA
🐾🐾🐾😳
2020-10-12
0
reni
Masih menerka nerka
2020-09-09
2