Bolpoin di apit ke dua jari tangannya di putar-putar perlahan. Manik mata coklat kelam itu tak lagi fokus pada buku yang terlentang pasrah di atas meja belajar. Vian telah menyelami alam mimpi. Meninggalkan dirinya yang masih duduk melamun di atas kursi. Garis bibirnya terangkat tinggi ke atas.
Gila.
Ya, seperti nya keturunan Mafia satu ini sudah sangat gila. Wajah anak perempuan yang baru kali pertama ia temui di perpustakaan yang membuat Sean Yamato menggila.
Jika gadis itu tersenyum. Hanya sebuah bayangan saja, telah tergambar di benak Sean.
"Astaga!" serunya pelan. Sebelum ke dua telapak tangannya menepuk ke dua sisi wajah gagahnya. Bolpoin yang di apit tangan kanannya tergolek jatuh di atas meja belajar.
Ke dua matanya menggerjab-nggerjab pelan. Sean berdiri dari posisi duduknya, ia butuh udara segar. Ke dua tungkai kaki panjang nya melangkah menuju pintu kayu. Melangkah cepat menuruni satu persatu anak tangga. Waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam. Orang-orang yang tidak memiliki tugas mengawasi kediaman besar Yakuza, tentu nya telah terlelap di dalam dunia mimpi.
"Aku harus pergi kemana?" monolognya ragu.
Manik mata nya mengedar. Menatap banyak pintu, sebelum pada akhirnya ia melangkah menuju taman belakang. Udara di musim panas cukup hangat di malam hari. Berbeda dengan musim-musim lainnya.
Anak remaja ini duduk di taman menatap hamparan taman bunga mawar yang mekar sempurna. Garis senyum terlihat merekah.
"Apa yang kau lakukan di sini, Son?" seruan di belakang tubuh di sertai derap langkah kaki bersinggungan dengan rerumputan menyapa gendang telinga Sean.
Anak ini tidak menoleh kebelakang sekedar menatap suara berat yang mengalun menyapa diri. Kursi kosong di samping tubuh nya telah terisi. Hiro duduk menyandarkan tubuh yang masih sangat bugar di usia yang tak lagi muda. Peluh membasahi tubuh Hiro. Seperti nya, Bos Mafia ini berlatih sampai malam.
"Papa sendiri kenapa di sini?" ujarnya membawa pandangan matanya pada wajah gagah sang ayah.
"Papa mu ini tentu selesai berlatih ketangkasan. Papa tak ingin kalah dengan anak muda seperti mu," kata Hiro.
Sean menipiskan bibirnya. Sebelum membawa tatapan mata ke arah hamparan bunga mawar yang mekar. Aroma harus samar-samar di hirup. Kala angin malam bertiup bermain bersama kelopak bunga yang mekar.
"Bunganya indah bukan?" Hiro membuka pembicaraan antara ia dan sang putra. Setelah Sean membuang tatapan ke depan.
Kepala Sean mengangguk."Tentu, bunga Mawar ini indah karena Mama yang menanam dan merawat nya. Apa yang di tanam dan di rawat Mama ku selalu indah, Pa!" banga Sean.
Hiro terkekeh pelan. Sean menoleh dengan dahi berlipat. Kekehan yang keluar dari bibir Hiro terasa aneh di telinga nya. Hiro melipat ke dua tangannya di depan dada.
"Ada apa dengan mu, Son?"
"Heh?"
"Kau terlihat berbeda."
"Aku berbeda?" ulang Sean tak percaya,"Harusnya aku yang bertanya pada mu, Pa. Kau terkekeh dengan nada aneh di gendang telinga ku," lanjut nya.
Hiro tak berucap. Pria ini malah berdiri dari posisi duduk nya. Membuat Sean menengadah mengikuti pergerakan Hiro.
"Papa melihat tatapan itu, persis seperti tatapan Papa pada Mama mu, saat pertama kali bertemu. Tingkah mu juga seaneh aku saat muda dulu, Son!" papar Hiro. Tanpa mau mendengarkan jawaban atau bantahan dari Sean, Hiro melangkah meninggalkan taman. Sembari menurunkan tangan yang ia lipat di depan dada.
Kepala Sean berputar. Mengikuti kemana Hiro melangkah. Meninggalkan Sean dalam seribu tanda tanya.
"Ahh!" Sean mengerang. Sebelum mengusap perlahan wajah tampannya.
...***...
Kelopak mata Sean tampak menghitam dengan kantong mata. David di sisi tubuh nya menyegol pelan siku Sean. Membawa keturunan Mafia ini menoleh ke samping. Di depan sana Infocos tengah menyala. Memperlihatkan pelajaran Biologi tentang Anatomi tubuh yang lebih mendalam lagi. Dengan penjelasan, guru di depan sana menekan remote control. Mengarahkan laser di tangannya untuk menunjuk ini dan itu.
"Apa ada masalah dengan mu, Sean?" tutur David dengan suara pelan.
"Tidak."
Jawaban singkat itu membuat David berdecak kesal. Pria Miyaki ini selalu berdecak kesal jika tidak mendapatkan jawaban yang tidak diinginkan. Meski telah terbiasa dengan jawaban dingin Sean. Tetap saja, rasa kesal menggelayut di hati pria bermata hijau bening ini.
"Kau terlihat aneh dari kemarin saat selesai mengambil buku di rak Perpustakaan bung!" desaknya. Sifat alami pewaris media masa terbesar Jepang ini tak bisa di hilangkan.
Sean memutar malas bola matanya."Jangan terlalu cerewet, Dav! Aku ke toilet dulu!" Ujarnya sembari berdiri dari kursi.
Tanpa pamit Sean keluar dari ruangan. Guru Biologi di depan sudah terbiasa dengan sikap Sean. Jika Sean meminta izin keluar ruangan, sudah pasti anak perempuan satu persatu akan keluar dari ruangan dengan berbagai alasan. Hingga para guru mengatakan pada Sean untuk keluar tanpa pamit.
David menatap punggung belakang Sean. Pria bertampang khas bule ini mendesah pelan. Sebelum kembali menatap ke depan. Kembali ke Sean, anak remaja berusia sembilan belas tahun ini melangkah lewati lorong-lorong.
"Kelas mana ya, dia?" Serunya di sela langkah kaki yang di ayunkan.
Suara di kelas kesenian membuat langkah kaki Sean berhenti dengan sendirinya. Pria ini melangkah mendekati pintu yang terbuka sedikit. Ke dua matanya memicing, menatap seorang gadis remaja yang terlihat sangat serius dengan tuns-tuns Piano. Jari jemari lentik itu bergerak lihai. Wajah nya terlihat sangat serius. Mata indahnya terlihat bergerak sesuai dengan pergerakan jari di atas tuns Piano.
Cantik. Dimata Sean, gadis itu sangat cantik dan mempesona. Lagu Kiss The Rain dari penyanyi Yiruma mengalun. Orang di dalam sana terlihat menikmati alunan nada. Guru Seni dari Sekolah terlihat memejamkan mata menikmati pertunjukan dari sang murid didik. Kala petikan akhir menutup nada, tepuk tangan bergemuruh terdengar mengisi ruangan.
Gadis cantik itu berdiri. Dan membungkuk pada guru dan teman-teman nya. Sang guru melangkah mendekati Adella.
"Perkenalkan dia adalah Adella Putri, murid pindahan dari Indonesia. Adella mendapatkan beasiswa penuh untuk sekolah di sini. Dia juga sebenarnya di lirik oleh Sekolah terkemuka di Paris untuk kesenian. Tapi lebih memilih sekolah kita untuk di jadikan tempat berbagi," jelas sang guru.
Erangan kagum dari orang-orang terdengar. Anak kesenian di dominasi mulai dari para calon penyanyi, teater dan bahkan juga seorang yang sudah menjadi penyanyi.
"Adella?" lirih Sean tak percaya dengan pendengaran nya. Anak perempuan satu itu tidak pernah mau membalas surel yang ia kirimkan. Bahkan surat juga tak di balas. Sedangkan, Vian! Kakak lelaki nya itu yang selalu mendapat balasan. Meski kecewa, pria ini tak menampik ada rasa aneh menyelimuti dirinya.
Apalagi di saat Adella tersenyum.
"Hallo! Semuanya. Saya Adella Putri dari Indonesia. Seperti yang Bapak guru sampai kan, saya adalah murid baru dari jurusan seni. Saya tidak sehebat yang Bapak guru sampai kan tadi," ujarnya merendahkan diri. Gemuruh ketidak percayaan mengundang senyum lembut dari Adella.
Sean mengigit pelan bibir merahnya. Ini kali pertama ia melihat senyuman langsung dari Adella. Tanpa di tutupi oleh rambut panjang. Sudah berapa lama ini? Sean tak ingat. Kapan terakhir ia melihat senyum itu.
"Aku pikir kau telah salah memilih negara ini, Del!" monolog nya. Sebelum senyum miring tercetak di wajah.
***
Kotak bekal berjejer di atas meja. Pria bertubuh tegap itu terlihat membungkuk setelah selesai meletakkan makanan untuk tuan muda Yakuza. Ia keluar dari ruangan khusus markas anak-anak populer ini.
"Selamat makan!" Seruan keras dengan penuh semangat terdengar.
Hanya nada berat Sean yang tidak terdengar. Anak lelaki itu masih terlihat berpikir keras. Di saat yang lainnya telah menyumpit ini dan itu di atas meja. Makanan buatan Dera dan Sari selalu laris manis.
"Hai! Bukanya kamu harus diet?" tanya David kala Delta mengigit paha ayam panggang.
Pergerakan anak perempuan itu terhenti. Menatap kesal David.
"Kau mau diet?" tanya Vian tak percaya.
"Tubuh mu sudah seperti lidi begitu mau diet?" cibir Willlem.
Kontan ke tiganya tertawa keras. Delta mencabik sebelum membawa pandangan matanya pada wajah si pria yang tengah merenung di samping nya.
"Sean!" panggil Delta manja,"Mereka meledekku lagi!" Kesal Delta menggoyangkan bahu Sean.
"Ah?" Seru Sean bak orang linglung.
Dahi Delta berlipat."Kau tidak mendengar perkataan ku?" tanya dengan nada kecewa.
"Apanya?" Sean malah balik bertanya.
"Sean memang lagi tidak konsentrasi, Ta!" seru David.
"Di rumah kemarin juga begitu!" Vian melipat sebelah tangan nya menatap curiga sang kembaran.
Sean berdecak."Aku mau ke toilet dulu!" Ujarnya seraya berdiri dari posisi duduk nya.
"Itu kemana?" tanya Willem kala Sean melangkah menuju pintu keluar bukan pintu toilet di dalam ruangan.
"Toilet!" Balas Sean tanpa henti melangkah.
"Toiletnya kan ada di sana!" Tunjuk David ke arah pintu toilet.
Langkah Sean terhenti. Ia membalikkan tubuhnya. Menghadap ke arah meja.
"Aa—aku, mau ke bawah sekalian mencari buku bacaan!" jawabnya tergagap.
Serentak ke empat nya menatap Sean dengan pandangan curiga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
bunda s'as
hai ... thor ternyata novelmu seru yah ini udah aku unduh lama banget tapi baru sempet baca ...
2023-01-04
0
yaumi
jangan ada perprcahan saudara dianatara sean dan vian...tdk seru bacanya...
serunyaa tuh kalau mereka kompak lawan musuh mereka dgn adu tak tik...
2021-09-17
0
gina Ristanti
Adella cantik n imut binggo.. Pantesan Sean klepek 2
2021-04-13
0