Esok paginya, Nesa bangun duluan dan kini membantu Santi menyiapkan sarapan, meski Santi tidak pernah menyukainya, namun Nesa selalu berusaha baik pada ibu tirinya itu.
Ia tidak menyalahkan siapa pun, pada hidup yang kini ia jalani, karena yang saat ini ia jalani, adalah hidup yang Allah takdirkan untuknya.
"Mana suamimu?" tanya Santi, membuat Nesa menoleh menatap ibunya.
"Di kamar, Bu, masih tidur," jawab Nesa.
"Kebiasaan yang buruk," gumam Kinan, membuat Nesa menoleh menatap adiknya itu.
"Kenapa, Mbak? Marah aku bilangin suami Mbak itu punya kebiasaan buruk?" tanya Kinan, seringai muncul dari wajah cantiknya, Kinan dan ibunya memang tidak pernah memperlakukan Nesa dengan baik, dan Nesa sudah kebiasaan.
"Nggak kok, Mbak nggak marah," jawab Nesa.
"Mbak jangan suka marah, kan Mbak sedang hamil," kata Kinan.
Nesa menghela napas panjang, dan mencoba tak menanggapi perkataan Kinan yang menurutnya tak perlu membalasnya, karena Kinan memang punya kebiasaan yang selalu mengganggu dirinya.
"Masak itu, jangan hanya melongo aja," kata Santi, menunjuk nasi yang sudah ia bumbu dan harus di goreng.
"Baik, Bu," jawab Nesa.
"Mbak mau ke Jakarta?" tanya Kinan.
"Jakarta? Nggak tuh." Nesa menggelengkan kepala.
"Nesa, sini dulu, Nak," panggil Hakim, membuat Nesa menoleh.
"Iya, Yah," jawab Nesa, lalu melangkah meninggalkan ibu dan adik tirinya itu.
"Nesa, ini pekerjaanmu belum selesai!" teriak Santi, membuat Nesa menggelengkan kepala.
"Maaf, Bu, suruh Kinan melanjutkan," kata Nesa setengah berteriak.
"Ish anak itu, dasar!" kata Santi, membuat Kinan menghela napas panjang. "Sana kerjakan."
"Aku malas, Bu," rengek Kinan.
"Ya sudah. Biar Ibu yang melanjutkan," kata Santi, lalu memutari meja makan dan menuju ke kompor.
"Ada apa, Yah?" tanya Nesa, duduk disamping ayahnya.
Hakim lalu melihat kanan kiri, dan mengeluarkan amplop coklat dan diberikan pada putrinya.
"Ini apa, Yah?" tanya Nesa.
"Ini peninggalan ibumu," jawab Hakim.
"Tapi ini apa?"
"Ini beberapa aset ibumu yang ditinggalkannya untuk kamu jika sudah menikah," jawab Hakim.
"Tapi, Yah—Ayah pasti membutuhkannya," kata Nesa.
"Ini peninggalan ibumu, kamu harus menyimpannya, Ayah sudah tua, nanti Ayah juga pasti tidak bisa menyimpan ini lebih lama, Santi bisa saja melihatnya," kata Hakim, membuat Nesa menerimanya dan menganggukkan kepala.
"Baik, Yah, Nesa akan menyimpannya," kata Nesa.
"Ya sudah. Simpan baik-baik," bisik Hakim.
Nesa menganggukka kepala, dan berkata, "Terima kasih karena Ayah sudah menjaga amanah ibu kandungku."
"Ayah memang harus melakukan itu, karena Ayah hanya bisa memberikan itu, semua harta Ayah sudah menjadi harta Santi," jawab Hakim menghela napas panjang.
Sesaat kemudian, suara deheman terdengar, membuat Nesa dan Hakim menoleh.
"Kakak sudah bangun? Biar aku buatkan teh," kata Nesa, lalu beranjak dari duduknya.
"Tidak perlu," kata Devan. Selalu saja menolak apa yang akan Nesa buatkan untuknya.
"Ayo sarapan," teriak Santi, membuat Nesa tersenyum dan kembali menatap suaminya.
"Ayo, Kak, kita sarapan dulu," ajak Nesa, membuat Devan menggelengkan kepala.
"Tidak perlu, saya masih kenyang," jawab Devan. "Saya harus kembali ke Jakarta, ada rapat mendadak yang harus saya hadiri," lanjut Devan.
"Kamu tidak akan kembali?" tanya Hakim.
"Iya. Saya harus tinggal di sana karena pekerjaan saya ada di Jakarta," jawab Devan.
"Kalau memang begitu, kamu bisa membawa Nesa," kata Hakim, membuat Devan menggelengkan kepala.
"Tidak perlu, Om, dia kan kuliah di sini," jawab Devan.
"Lalu apa gunanya kalian menikah jika kalian harus tinggal terpisah? Itu bukan pernikahan namanya, memang benar kalian menikah karena alasan Nesa hamil, karena itu Nesa harus tinggal bersamamu, agar kamu bisa bertanggung jawab pada kehamilannya," kata Hakim, membuat Devan menoleh dan mendongak menatap istrinya itu.
Devan menghela napas panjang, ia tidak ingin membawa Nesa ke Jakarta, karena alasan Lestari yang tidak mengizinkannya, dan menyuruh ia meninggalkan Nesa di Banjarmasin.
Apa yang akan di katakan Lestari jika ia membawa Nesa ke Jakarta.
"Jika kamu tidak membawa Nesa bersamamu, tentu saja yang akan saya lakukan adalah menuntutmu," ancam Hakim.
Nesa menggelengkan kepala mendengar perkataan ayahnya.
"Yah, kok Ayah ngomong gitu? Kan Kak Devan harus kerja, kenapa memaksanya membawa Nesa? Apa Ayah sudah tidak senang lagi Nesa tinggal di sini?" tanya Nesa menatap ayahnya penuh kekesalan.
"Bukan tidak senang, Nak, itulah gunanya Ayah mengizinkanmu menikah, itulah gunanya pernikahan, dimana suamimu pergi di situ kamu harus ikut, begitu lah pernikahan terlepas dari apa yang menjadi alasan kalian menikah," lanjut Hakim, dengan nada sedikit keras.
"Kasihan banget Mbak Nesa nggak di inginkan ikut suaminya, dasar. Makanya jangan hamil," gumam Kinan, dengan tawa yang mengejek.
Santi menyeringai, ia memang tidak ingin anak suaminya itu sukses apalagi bahagia, yang ia inginkan bahagia hanya lah Kinan seorang, putri kandungnya.
"Bagaimana? Mau membawa Nesa bersamamu, atau saya tuntut?" tanya Hakim, kali ini suaranya mengeras, membuat Devan menganggukkan kepala dengan helaan napas.
"Baiklah. Nesa akan saya bawa ke Jakarta, namun saya harus berangkat sekarang," kata Devan, membuat Hakim menoleh menatap putrinya dengan perasaan yang sedih. Ia sebenarnya lebih senang jika Nesa tinggal di sini bersamanya, namun Nesa sudah menikah, jadi ia terpaksa memaksa Devan membawa putrinya.
"Apa tidak sarapan dulu?" tanya Santi menghampiri suaminya.
"Tidak perlu. Saya masih kenyang," jawab Devan.
Devan lalu beranjak dari duduknya, dan berkata, "Saya permisi dulu, dan saya tunggu di luar," kata Devan yang memang tidak membawa pakaian sehelai pun ke rumah Nesa.
Hakim menoleh menatap putrinya, dan berkata, "Ayah sedih, Nak," lirih Hakim.
Nesa memeluk ayahnya dan menangis di pelukannya, ia tak menyangka harus berpisah dengan ayahnya, selama ini meski sehari ia tidak pernah sekali pun meninggalkan ayahnya. Apalagi ketika ia tahu bagaimana sikap Santi.
"Jangan menangis, Nak," kata Hakim. "Nanti Ayah pindahkan kamu kuliah ke Jakarta."
"Apa sekarang kalian sedang drama? Aku juga mau di pindahin ke Jakarta," kata Kinan yang memang tidak sopan sejak dulu.
"Tidak boleh. Kamu tetap di sini!" bentak Hakim.
"Ayah memang pilih kasih," kata Kinan, lalu setengah berlari menuju kamarnya.
"Apaan sih kamu, memang pilih kasih," sambung Santi.
"Santi, Nesa ke Jakarta itu karena suaminya."
"Lalu kamu mau membuat Nesa melanjutkan kuliahnya di Jakarta? Di sana apa-apa mahal, nafkahin kami saja masih susah, sekarang mau kuliahin Nesa di Jakarta," celetuk Santi, membuat Hakim menggelengkan kepala.
Santi memang tidak tahu bahwa Hakim menyimpan harta benda ibunya Nesa, jadi tak akan susah masalah keuangan jika Nesa kuliah di luar negeri sekali pun.
Nesa bersyukur bisa mendapatkan aset peninggalan ibunya yang disimpan ayahnya baik-baik selama ini.
.
.
***Bersambung.
Penasaran nggak sama hari-hari Nesa di Jakarta? Mau tahu diperlakukan baik atau nggak baik sama suaminya?
Ahh tetap di sini, dan jangan lupa berikan saran kalian, dan jangan lupa juga buat tekan suka.
Salam cinta***.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
astri rory ashari
ohhh...jd Nesa punya harta karun y Thor...baguslah kalo Devan macam2 tinggalin aja...😁
2020-09-22
2
Lia Eka Pratama
lanjut
2020-09-22
0
Ela Nurlaila
tetap semangat
2020-09-04
0