"Saya terima nikah dan kawinnya Arnesa Putri Maharani binti Hakim Jaya, dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!" kata Devan yang kini duduk didekat Nesa.
"Bagaimana saksi? Sah?"
"*Sah!"
"Sah*!"
Semuanya bertepuk tangan dan meramaikan rumah sederhana Nesa. Devan menoleh sesaat menatap perempuan yang sudah resmi menjadi istrinya tersebut, namun ketika sadar dengan cepat, ia langsung memalingkan wajahnya.
Nesa menitikkan air mata dan menghapusnya cepat, ia tak menyangka sudah resmi menjadi seorang istri.
Setelah akad nikah selesai, Nesa dan Devan duduk berdampingan untuk menyambut tamu yang datang dan pergi.
Sesekali Devan menatap wajah perempuan yang kini berdiri disampingnya, yang sudah sah menjadi istrinya, dan yang merubah statusnya menjadi seorang suami.
Sesaat kemudian, teman-teman yang sudah menjebak Nesa datang menghadiri pernikahannya, Nesa langsung memalingkan wajah dan tak mau melihat teman-teman yang sudah membuatnya berada ditempat ini, andai saja mereka tak jahat padanya, Nesa masih akan kuliah dan masih menjadi seorang gadis.
"Selamat ya," kata Airin, kepala genk yang selama ini semena-mena padanya.
Devan menoleh menatap kekesalan istrinya.
Devan meraih tangan Airin, membuat temannya yang lain melihat dengan seksama.
Devan berkata didekat telinga Airin, "Kalian akan mendapatkan sesuatu yang akan membuat kalian menyesal telah menjebak Nesa."
Airin membulatkan matanya penuh, dan berkata, "Apa Anda yang sudah meniduri Nesa?"
"Menurutmu?"
Airin langsung melepas genggaman tangan Devan, membuat Nesa memicingkan mata melihat suaminya itu menyeringai. Seperti ada dendam dihatinya.
Airin dan teman-temannya berwajah takut dan langsung menuruni panggung dimana Nesa dan Devan sedang menyambut tamu yang datang dan pergi.
"Ish. Dia itu tampan, tapi kok menyeramkan, ya," kata Airin.
"Sepertinya dia dendam sama kita, Rin," kata Ela, salah satu temannya.
"Iya. Aku lihat tatapan matanya itu menyeramkan," sambung Jila.
"Kalian jangan menakutiku donk," kata Airin, bergidik.
"Apa dia akan membalas dendam pada kita?" tanya Jila.
"Wah. Aku jadi makin takut," lirih Ela.
"Ya sudah. Kita pulang aja yuk," ajak Airin.
"Nggak makan dulu kita?" tanya Jila.
"Makan? Yang kamu mikirin makan aja terus, Jil, bikin kesel kamu," tunjuk Airin.
"Wah. Kalian masih punya muka ya menghadiri acara pernikahan Nesa," kata Ranti, membuat ketiga teman kuliahnya itu berbalik.
"Lebih baik kamu abaikan kita saja, Ranti, kita nggak datang kok gangguin Nesa," kata Jila, membuat Ela menganggukkan kepala.
"Kalian memang nggak akan gangguin Nesa, namun melihat kalian di sini sepertinya buat acara nggak berjalan dengan sempurna, yang artinya kalian itu gangguan," kata Ranti menunjuk Airin, Ela dan Jila, membuat ketiga wanita itu menyeringai.
"Lagian kita tahu yang buat Nesa seperti ini, seharusnya Nesa berterima kasih pada kita," kata Ela.
"Nah bener juga omongan kamu, La," kata Airin bersedekap.
"Nesa mau ucapin terima kasih ke kalian? Yang ada dia itu mau nyantet kalian," kata Ranti, membuat
Airin dan dua temannya melangkah mundur.
"Bisa nggak sih kamu tuh mengabaikan kita aja?"
"Bisa sih, tapi kalian gangguan," kekeh Ranti. "Tapi emang bener sih kata kalian, Nesa harusnya berterima kasih sama kalian, karena dia punya suami sempurna, kaya raya, tampan banget, pokoknya perfect man," sambung Ranti bersedekap.
"Tapi kok dia cepet banget nikahnya? Apa Nesa hamil?" tanya Jila.
Ketiga wanita itu menoleh menatap Ranti, seakan meminta jawaban.
"Nesa hamil? Ya nggak mungkin lah, masa satu kali bercinta langsung hamil, perneh denger ya kalian? Aku mah nggak pernah denger kabar Nesa hamil, dan nggak mungkin aku nggak tahu," tepis Ranti berwajah senatural mungkin.
Airin dan kedua temannya saling bertukar pandangan.
"Iya sih, bener juga kata Ranti, nggak mungkin lah Nesa langsung hamil," sambung Jila membenarkan.
"Apaan sih kamu, Jil, nggak usah belain Nesa sama Ranti deh," kata Ela menyikut lengan Jila.
Jila menganggukkan kepala, dan membenarkan perkataan Ela.
"Udah deh, mending kalian pergi saja dari sini," usir Ranti.
"Apa sih, Ran, kita kemari tuh mau ngasih selamat sama Nesa, kita nggak datang buat kamu juga," kata Airin, di susul dengan anggukan Ela juga Jila.
"Tapi kalian itu ganggu banget di sini, biarin lah Nesa bahagia, kalian itu udah nggak bisa manfaatin dia lagi," kata Ranti, membuat ketiga teman kuliahnya itu tersenyum kecil.
"Kok aku nggak percaya ya Nesa bisa nikah secepat ini," gumam Airin.
"Nesa nggak butuh kepercayaan kamu," sambung Ranti. "Nesa malah seneng banget kalau kalian bisa pergi dari sini."
"Ya sudah. Kita pulang aja yuk, lagian di sini itu suasananya dingin banget," kata Airin, menoleh melihat Devan dan Nesa yang menatap kesal ke arahnya.
"Tapi kita kan belum makan, Rin," kata Jila.
"Apaan sih, Jil, kayak nggak punya duit aja kamu," tarik Airin, dan kembali berkata, "Tenang saja. Aku bakal traktir kalian kok."
"Beneran?"
"Iya benar lah," jawab Airin.
Airin dan dua temannya lalu meninggalkan acara, membuat Nesa menghela napas panjang ketika melihat mereka pergi, Nesa hanya takut jika Airin menceritakan kepada kedua orangtuanya tentang hubungannya dengan Devan, yang terjebak disatu kamar yang sama.
"Syukurlah mereka sudah pergi," gumam Nesa.
Devan menoleh menatap wajah istrinya. Wajah yang sedang bernapas lega.
***
Malam menunjukkan pukul 11 malam, setelah acara resepsi selesai di salah satu hotel di Banjarmasin, pasangan biasanya menginap di hotel untuk honeymoon, namun berbeda dengan Devan juga Nesa, yang memilih pulang setelah acara resepsi selesai.
Nesa merasakan jantungnya berdetak kencang ketika Devan menoleh menatapnya.
"Kak, apa aku bisa minta tolong?" tanya Nesa, membuat Devan menoleh sesaat.
"Minta tolong apa?" tanya Devan.
"Bukain per bajuku dibelakang, soalnya aku nggak bisa menjangkaunya," kata Nesa, membuat Devan menghela napas panjang, dan beranjak dari duduknya.
Devan menghampiri Nesa, dan membantunya membuka per baju tunik Nesa, yang memperlihatkan sebagian kulit putih Nesa.
"Makasih, ya, Kak," ucap Nesa, namun tak dibalas Devan.
Devan ingin sekali menolak dan membuat Nesa tak beranggapan bahwa dia menyukai pernikahan ini, namun Devan ingat kata ibunya jika ia harus memperlakukan Nesa dengan baik karena istrinya itu sedang hamil anaknya. Mood Nesa tergantung sikap Devan.
"Mau aku buatkan kopi, Kak?" tanya Nesa, membuat Devan menggelengkan kepala.
"Tidak perlu!" bentak Devan.
"Aku tidur duluan ya, Kak," kata Nesa, lalu naik ke atas ranjang.
Sebenarnya Nesa malas untuk menegur Devan, namun ia merasa jika terlalu canggung tidak menegur suaminya yang satu kamar dengannya, meski jantungnya sudah hampir lompat.
Devan menoleh sesaat dan melihat punggung istrinya, wanita yang lebih muda darinya.
.
Bersambung.
Jangan lupa like dan komentar ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Yuni WP
visual cwenya kyk pernah liat di novel lain. tpi dmna ya lupa
2021-03-12
0
Fitri cantika
palingan tar lagi juga bucin
2020-10-20
1
astri rory ashari
kasar banget...bikin kopinya campur sianida aja buat Devan....langsung gameover😁
2020-09-22
0