Setelah kejadian itu, Nesa tidak lagi ke kampus dan memilih menutup diri, ia memilih terus diam di kamar. Ada rasa sedih dan trauma yang menggantung dihati dan pikirannya. Ia menghindari semua orang termaksud keluarganya.
Hari ini adalah hari dimana keluarga Devan akan datang melamarnya, sedih sekali menikah dengan lelaki yang tidak ia cintai, bagaimana nantinya mereka akan menjalani kehidupan rumah tangga jika keduanya bersama tak berdasarkan cinta.
Ketika Ibu Ningrum—Ibu kandung—Devan mengetahui tentang kehamilan Nesa, ia bukannya terkejut, atau menolak perempuan itu yang hanya dari keluarga sederhana, ia malah senang dan bahagia akhirnya ia akan memiliki cucu.
Ningrum senang sekali ketika mendengar kabar itu, kabar yang membuat hatinya berdebar ketika putranya akan menjadi ayah. Sedangkan ia tahu bahwa putranya itu memiliki perempuan yang dicintainya.
Suara ketukan pintu kamar terdengar, Nesa diam saja, sesaat kemudian Ranti—sahabatnya—datang dengan senyum mengambang di wajahnya.
Nesa menatap wajah Ranti.
"Ya ampun calon pengantin kok masam begitu wajahnya?" tanya Ranti, menutup pintu kamar dan menghampiri sahabatnya yang kini duduk didekat jendela yang tertutup tirai. "Dan kenapa juga ini tirai nggak kamu buka. Dasar pemalas."
"Ranti?"
"Hem. Ini aku," ucap Ranti, seraya menganggukkan kepala. "Kamu gugup?"
Nesa menggelengkan kepala, dan berkata, "Tidak kok."
"Ya sudah. Kamu mau makan apa? Biar aku buatkan. Jangan menghukum dirimu seperti ini donk, Nes," kata Ranti, menggelengkan kepala melihat kondisi sahabatnya.
"Kamu sudah nggak marah?" tanya Nesa.
"Marah? Iya sih. Aku emang marah sama kamu, marah itu karena kamu terlalu lemah dan mudah di bodohi sama mereka. Apa kamu tahu apa yang ku lalukan pada mereka sebelum kemari?"
"Apa?"
"Aku sudah memberikan mereka peringatan."
"Peringatan?"
"Hem. Aku membuat mereka bertekuk lutut padaku," seru Ranti, membuat Arnesa tersenyum. "Jadi, kamu nggak usah menutup diri seperti itu, yang lalu biarlah berlalu."
"Bagaimana bisa aku beranggapan yang lalu biarlah berlalu, Ran? Aku hamil anak lelaki yang tidak aku kenali, bahkan kami akan menikah diusiaku yang masih muda, aku baru 19 tahun, kuliah juga masih disemester awal. Bagaimana bisa aku menikah secepat itu," kata Nesa, membuat Ranti mengangguk.
"Nes, yang namanya jodoh kita nggak tahu. Mungkin jodohmu emang harus seperti ini cara ketemunya."
"Mana aku hamil diluar nikah, sungguh memalukan, melihat diriku saja, aku nggak bisa," gumam Nesa.
Ranti menganggukkan kepala. "Aku tahu dan aku paham apa yang kamu rasakan."
Nesa menghela napas panjang, ia tak menyangka jodoh itu ternyata memiliki cara sendiri.
"Kamu mau makan apa? Biar aku masakkan," tanya Ranti.
Nesa menggelengkan kepala. "Nggak nafsu makan, Ran, aku juga udah makan tadi pagi."
"Itu tadi pagi loh, sekarang udah sore ini."
"Masih kenyang aku."
"Gimana badan nggak kurus kayak gini, kalau makanmu dikit banget."
Nesa tersenyum dan memeluk sahabatnya. "Maafin aku, Ran, aku salah."
"Salah apa?"
"Aku nggak pernah dengerin kamu kalau kamu ngasih saran, bahkan aku mengabaikan kamu. Dan, aku udah sadar, hanya kamu yang ada disisiku disaat sedih maupun senang."
"Udah nggak usah dibahas, yang lalu biarlah berlalu. Itu aja sih, asalkan kamu udah sadar dan mau memperbaiki diri, aku udah maafin kok."
"Kamu memang sahabat yang terbaik, Ran."
"Ya sudah. Sekarang kamu siap-siap, malam nanti kan ada pertemuan keluarga. Kamu harus ikut hadirin."
Nesa menganggukkan kepala.
Sesaat kemudian, pintu kamar terbuka. Santi—Ibu tiri Nesa—berdeham dan menatap tajam ke arah putri tirinya itu.
"Apa yang kau lakukan seharian, Nesa? Tidak membantu Ibu?" tanya Santi, dengan suara keras. "Kamu itu sedang hamil. Masih kecil sudah hamil saja. Memberikan contoh yang tidak baik untuk Kinan, bikin malu saja."
Nesa terdiam, ia tahu sekali jika ia melawan itu hanya akan memperkeruh masalah. Apalagi di sini ada Ranti yang memperhatikan dan berusaha diam saja.
"Ayo bantu Ibu, banyak kerjaan noh di dapur," kata Santi.
"Nesa biar siap-siap dulu, Tante, saya yang akan membantu Tante untuk kerja di dapur," kata Ranti beranjak dari duduknya dan menoleh melihat sahabatnya lalu memberikannya isyarat.
"Untung saja calon suamimu itu kaya, kalau enggak, kamu bakal mempermalukan kami. Jadi anak jangan bandel, ikuti nasehat orangtua, jangan bergaul sana-sini akibatnya lihat sendiri. Kamu hanya membuat kita malu." Santi menunjuk ke arah Nesa yang memilih diam saja.
"Sudah, Tante, ayo kita ke dapur."
"Dengerin orangtua nggak pernah. Tapi pas hamil luar nikah ngerepotin orangtua iya." Santi berjalan meninggalkan kamar Nesa dengan omelan yang tidak berhenti. "Untung saja saya bisa mengatakan alasan yang masuk akal pada Ibu-ibu kompleks. Jika tidak, benar-benar akan membuatku malu."
"Kamu siap-siap gih," kata Ranti, membuat Nesa menganggukkan kepala.
"Ada apa lagi sih, San?" tanya Hakim—Ayah kandung Nesa.
"Itu putrimu bikin malu aja, di pasar dan dimana-mana kalau saya ketemu mereka, pasti pada nanya kenapa Nesa udah mau nikah saja."
"Ya jawab aja udah jodoh."
"Saya jadi pengen acara pernikahannya cepat selesai, supaya nggak ngerepotin," gumam Santi.
"Tante, kerjain apa nih?" tanya Ranti.
"Irisin wortel sama kentang itu, Tante mau buat sup," kata Santi menunjuk wadah yang berisi sayuran.
"Udah tahu sebentar ada pertemuan keluarga tetap saja di kamar seharian. Haduh anak itu udah gede masih bikin kesal dan repot aja," celetuk Santi, sedangkan Ranti dan Hakim memilih diam. "Seharusnya dia bantuin saya di dapur. Tapi kerjaannya di kamar aja."
"San, kamu kan tahu, Nesa sedang hamil, moodnya berubah-rubah," kata Hakim yang masih membaca koran.
"Kalau bisa kamu pergi dari sini, jangan menampakkan wajahmu didepaku, kamu pengangguran nggak berguna," bentak Santi, membuat Hakim terdiam, dan menutup rapat bibirnya.
"San—"
"Apa? Kalau nggak mau di usir, lebih baik diam saja."
"Kamu ini, selalu saja begitu," gumam Hakim.
"Ngomong lagi ku banting semua yang ada di sini," ancam Santi, membuat Hakim menoleh sesaat pada Ranti yang sibuk mengiris wortel dan kentang.
"Oke oke, saya diam," ucap Hakim.
"Bapak sama anak sama saja, sama-sama bikin kesal," kata Santi. "Makasih ya, Ran, kamu udah mau bantuin tante."
"Iya, Tante, nggak masalah."
"Jangan kayak Nesa ya, Nak, dia itu kerjanya hanya ngerepotin, sudah hamil, malas lagi," celetuk Santi, membuat Ranti memilih diam.
"Ya sudah. Kamu lanjutin kerjanya, Tante ke kamar kecik dulu. Begini lah nasib orang miskin, apa-apa semua dikerjakan sendiri, nggak ada pembantu dan nggak ada uang pulak," celetuk Santi, dan terus saja mengomel.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Jirlin Virgo
awas anak ibu jg perempuan awas karma bu
2021-05-21
1
Ratih Tiyawan
gak capek buk ngomel terus...
2020-10-26
0
Lia Eka Pratama
makin cepat tua bu marah2.terus
2020-09-22
0