Benjamin Setiadi

Seperti yang sudah selalu orang tuanya katakan, keluarga Dihyan bukan orang miskin, meskipun bukan juga orang yang kaya raya. Paling tidak itu yang diucapkan Benjamin dan Maryam. Namun, Dihyan mulai curiga bahwa sang ayah sebenarnya memiliki kekayaan melimpah yang tidak ia ketahui dengan pasti. Ia tidak bodoh. Meski ayahnya selalu menjelaskan bahwa ia adalah orang Jawa asli, anak buruh di Ungaran, wajah bulenya tak mungkin bisa menipu. Mungkin sekali ayahnya adalah keturunan londo, Belanda, yang pernah menjajah negeri ini selama ratusan tahun – kata Bung Karno. Selain itu, sebagai seorang pegawai negeri, ayahnya mampu mengadopsi Centhini sekaligus mengurus Dihyan dalam rentang waktu yang tidak lama. Bahkan keduanya sekolah sampai kuliah di saat yang sama. Berapa yang dikeluarkan untuk biaya itu semua?

Dan … kali ini, mereka semua berangkat ke Kalimantan, Singkawang tepatnya, untuk berlibur dan bertemu dengan keluarga biologis Centhini. Semua akomodasi sudah disiapkan oleh Bapak. Dari tiket pesawat pulang pergi berempat sampai hotel di Pontianak maupun Singkawang. Uang darimana itu, coba?

“Bapak sudah janji kepada orang tua Centhini kalau suatu saat, pas ada rezeki dan waktu, kita akan mengunjunginya. Bapak juga sebenarnya agak menyesal karena belasan tahun baru bisa kesampaian,” ujar Benjamin kepada kedua anaknya tersebut.

“Ini nggak bakal mengubah apa-apa to, Pak?” tanya Dihyan sedikit segan.

“Apane? Apanya yang diubah? Centhini dadi Centhono, gitu?” Benjamin tertawa. Centhini lebih lagi. Kedua Bapak-Anak bukan kandung itu malah kompakan. Dari cara mereka melucu, sampai keusilannya mengganggu Dihyan.

“Ra lucu, Pak,” jawab Dihyan kesal.

“Ya, nggak, lah, Yan,” ucap Maryam. Ia mendekat dan menguyel-uyel rambut anak laki-lakinya tersebut sembari meletakkan semangkuk sayur bayam bening di atas meja. Mereka sekarang berada di meja makan. Besok pagi-pagi sekali, keluarga Setiadi akan berangkat ke Pontianak.

“Benar kata Bapak. Apanya yang mau diubah? Wong Centhininya saja nyante gitu, kok. Dia kan mbakyumu, Yan. Sampai kapan pun tetap mbakyumu. Lagipula, kamu itu lho, sudah kuliah gini kok masih muruuung wae, sediiih terus,” lanjut sang ibu.

“Soale nggak punya pacar katanya, Bu,” tukas Centhini.

Dihyan mendelik ke arah kakaknya.

“Lah, beneran? Kamu sedih gini terus ternyata karena belum punya pacar, po?” sang ayah ikutan. “Ya dicari, dideketin siapa yang kowe taksir, terus diomongke, bilang kalau kamu suka. Ngono wae kok repot.”

“Nggak pede, Pak. Katanya Bapak ganteng, Ibu ayu, tapi dia kok kayak bule tersesat,” lanjut Centhini.

Benjamin bukannya lanjut memberikan motivasi kepada Dihyan, malah kali ini ikutan tertawa bersama Centhini.

“Mbak, kamu nggak usah ikut pulang ke rumah ya nanti. Tinggal di Singkawang aja, sama keluargamu,” ujar Dihyan ketus.

“Enak aja. Kamu itu yang tinggal di Singkawang. Wong kayak bule tersesat gitu, nggak mirip sama Bapak,” balas Centhini.

Dihyan menyerah dengan serangan kakak dan bapaknya itu. Ia melarikan kekesalannya pada tempe goreng dan kuah bening masakan ibunya diiringi tawa Centhini dan Benjamin.

Namun, sejujurnya, Dihyan sungguh sadar bahwa ayahnya hanya bercanda. Benjamin memang seperti itu. Sang ayah mampu menyeimbangkan antara lelucon dan kasih sayang. Dua-duanya berada di dalam satu paket. Semakin nyeleneh leluconnya, berarti semakin sang ayah menunjukkan rasa cintanya.

Dihyan dan Centhini dapat merasakan kasih sayang ini dengan baik. Sama kental, dan sama tebalnya. Itu sebabnya, jauh di dalam hati, Dihyan paham bahwa Centhini tak mungkin mau melepaskan keluarga ini untuk kembali kepada keluarga biologisnya. Kakaknya itu sudah mendapatkan cinta yang utuh di keluarganya. Uniknya, Benjamin pun mampu membuat Centhini tidak membenci keluarga aslinya karena telah melepaskannya bahkan sewaktu ia masih di dalam kandungan. Tidak peduli seberapapun menjengkelkan kakaknya itu, kata ‘benci’ dan ‘dendam’ tidak pernah ada di dalam kamus Centhini.

Hanya satu hal yang selalu mengganggu pikiran Dihyan sampai ia berusia hampir 19 tahun ini: Bapak itu bule, kan?

“Bapak itu misterius, lho, mbak,” ujar Dihyan.

Seperti biasa Centhini mampir ke kamar Dihyan. Ia berbaring terlentang menghadap langit-langit kamar. Dan seperti biasa, Dihyan selalu dibuatnya risih dengan pakaian Centhini yang serba mini dan terlalu santai itu.

“Maksudmu opo, Yan?” tukas Centhini.

“Ya, asal-usul Bapak. Kita belum pernah ketemu simbah kakung dan putri yang selalu diceritakan Bapak sebagai buruh di gudang tembakau. Terus, coba Mbak hitung, berapa pengeluaran Bapak buat kita semua berangkat ke Singkawang besok. Berapa juta itu? Belasan? Puluhan?” ujar Dihyan.

Centhini terkekeh, kemudian mengikik, seperti kuntilanak. Untung cantik, kalau tidak Dihyan sudah berlari keluar kamarnya sendiri ketakutan.

“Apa sih isi otak kamu itu, Yan? Terlalu banyak pikiran, deh. Gini lho, aku bercanda tadi pas lagi makan. Kamu itu jelas anak Bapak dan Ibu. Miripnya juga kelihatan. Tingginya, hidung dan matanya, itu semua punya Bapak. Terus, bibirmu itu jelas mirip punya Ibu yang agak-agak kayak Arab gitu. Nah, kalau aku? Sampai sekarang aku nggak ngerti gimana wajah Ibu Bapakku yang asli. Baru besok kita berangkat ke sana. Jadi, aku maklum aja kalau Bapak nggak begitu gimana buat memperkenalkan kita ke orang tuanya, simbah kita. Kita nggak tahu apa yang terjadi di masa lalu Bapak. Ibu juga sama kan? Malah lebih misterius. Ibu itu keturunan Arab, India, atau malah Spanyol atau Italia? Hidungnya sama mancung kayak Bapak gitu.”

Centhini menepuk tempat tidur, tepat disampingnya, meminta Dihyan berbaring disana. Dihyan menuruti permintaan kakaknya itu.

“Yang penting sekarang, kita harus memutus rantai itu. Kita harus ingat baik-baik Bapak dan Ibu bagaimana. Nanti kamu ceritakan semua baik-baik sama anak-anak kamu,” lanjut Centhini.

Dihyan memiringkan kepalanya menatap sang kakak. “Mbak, serius, ya, kamu nggak bakal ninggalin aku.”

Centhini memiringkan tubuhnya, menopang kepalanya dengan lengannya, dan balas menatap Dihyan. Ia mencolek hidung mancung Dihyan dengan tangannya yang bebas. “Iya. Kan aku sudah bilang berkali-kali. Masak nggak percaya.”

“Susah percaya kamu, Mbak,” jawab Dihyan asal.

Centhini kembali terkekeh. “Kamu juga nggak bakal percaya aku to, kalau aku bilang kamu itu bagus sebenarnya. Ganteng banget. Lebih ganteng sedikit dari Bapak. Cuma kamunya aja nggak pede, selalu merasa lemah dan tidak beruntung. Terutama karena Bapak punya tampang bule, tapi faktanya dia pegawai negeri, medhok lagi kalau ngomong. Itu alasan yang nggak berdasar, yang membuat kamu nggak pernah bercermin.”

“Ashh … ngapusi, bohong kamu, Mbak. Cuma kata-kata motivasi ala Mario Teguh aja,” ujar Dihyan, sama sekali tak percaya dengan kata-kata Centhini.

“Yowis kalau nggak percaya. Aku juga nggak rugi. Dah, mau tidur. Aku tidur di kamarmu ya. Besok pagi bangunin buat siap-siap. Aku mau bantu Ibu ngurusin koper sama buat sarapan Bapak.”

“Eh, terus aku tidur dimana?”

“Kasurnya besar gini, kok.”

Centhini langsung menutup mata, tapi masih menghadap ke arah Dihyan.

“Aku risih, Mbak.”

“Memangnya aku peduli?” ujar Centhini ketus.

Dihyan menghela nafas panjang. Mana mampu ia melawan kakaknya itu. Dihyan memperhatikan kakaknya dengan perasaan yang campur aduk. Centhini memang sangat cantik, membuatnya kesal karena tidak memiliki pesona seperti kakaknya itu. Tapi di saat yang sama ia merasa bangga serta semakin sayang dengan Centhini.

Esok paginya, perasaan aneh itu masih berada di dalam kepala Dihyan.

“Karena aku adalah seorang pecundang,” ujar Dihyan selalu di depan cermin, menatap ke arahnya sendiri.

Terpopuler

Comments

@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸

@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸

kenapa harus bilang begitu di hadapan cermin dihyan? motivasimu jelek banget

2025-02-01

0

◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺

◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺

Dihyan wajahnya pasti ganteng, diliat dari atasnya😍

2024-11-29

1

🍁мαнєѕ❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ

🍁мαнєѕ❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ

mantramu salah sih Yan.. 😅😅😅

2024-11-14

1

lihat semua
Episodes
1 Dihyan Danumaya
2 Camelia Green
3 Centhini Bong
4 Benjamin Setiadi
5 Maryam Setyaningsih
6 Veronica Bungas
7 Stefani Indri
8 Mahluk Serupa Kadal Serupa Manusia
9 Vivian Chandra
10 Vivian Chandra Kembali
11 Santy Gouw
12 Martha Ng Lian Fang
13 Katarina Cheng Jing
14 Septiani
15 Septiani Kembali
16 Steven Markus
17 Septiani Lagi
18 Alexander Cu
19 Semar
20 Mimpi, Alexander dan Semar
21 Septiani dan Dihyan
22 Centhini dan Camelia
23 Tamyang
24 Wardhani
25 Dihyan dan Dihyan
26 Dihyan dan Vivian
27 Vivian dan Dihyan
28 Lagi-Lagi Vivian dan Dihyan
29 Vivian, Dihyan, Mendadak Ada Centhini
30 Dihyan dan Centhini, Vivian Masih Ada Dalam Bayangan
31 Vivian Mengunci Tatapan Dihyan
32 Ashin
33 Ashin Remaja
34 Nurmaya
35 Ashin dan Nurmaya
36 Ashin dan Nurmaya Kembali
37 Centhini dan Mimpinya
38 Centhini Berbagi
39 Ling Ling
40 Centhini Takut, Dihyan Panik
41 Ashin dan Semar
42 Ashin dan Ling Ling
43 Ling Ling, Ashin dan Kesepakatan
44 Ashin dan Sang Ampek
45 Ling Ling Menagih Janji
46 Ashin Menepati Janji
47 Centhini Terbangun
48 Dihyan Sadar Akan Sesuatu
49 Stefani dan Mimpi
50 Dihyan dan Centhini Bersepakat
51 Dihyan, Centhini dan Veronica
52 Stefani Indri dan Sigmund Freud
53 Benjamin, Keluarganya dan Gajah Mada
54 Sumiyati
55 Durga Mahisashuramardini
56 Camelia Menyapa
57 Ratnasari
58 Sandra Joanne Martini
59 Sandra dan Gengnya
60 Sandra dan Dihyan
61 Dihyan dan Sandra
62 Sandra, Suhita, dan Andrea Ketika Bertemu Dihyan
63 Dihyan, Sandra dan Gelato
64 Sandra Diperbudak
65 Dihyan Menguasai Permainan
66 Suhita
67 Suhita Ikut Terkena
68 Suhita dan Dihyan
69 Andrea
70 Ashui
71 Suhita dan Dadanya
72 Sandra sang Hamba
73 Suhita dan Kamarnya
74 Sandra dan Suhita
75 Sandra Dalam Abstraksi Waktu
76 Mengapa Centhini Merasa Hampa?
77 Dialog Antara Dihyan dan Centhini
78 Agustina Jafar
79 Camelia, Centhini dan Dihyan
80 Agustina dan Ashin
81 Katarina-lah Orangnya
Episodes

Updated 81 Episodes

1
Dihyan Danumaya
2
Camelia Green
3
Centhini Bong
4
Benjamin Setiadi
5
Maryam Setyaningsih
6
Veronica Bungas
7
Stefani Indri
8
Mahluk Serupa Kadal Serupa Manusia
9
Vivian Chandra
10
Vivian Chandra Kembali
11
Santy Gouw
12
Martha Ng Lian Fang
13
Katarina Cheng Jing
14
Septiani
15
Septiani Kembali
16
Steven Markus
17
Septiani Lagi
18
Alexander Cu
19
Semar
20
Mimpi, Alexander dan Semar
21
Septiani dan Dihyan
22
Centhini dan Camelia
23
Tamyang
24
Wardhani
25
Dihyan dan Dihyan
26
Dihyan dan Vivian
27
Vivian dan Dihyan
28
Lagi-Lagi Vivian dan Dihyan
29
Vivian, Dihyan, Mendadak Ada Centhini
30
Dihyan dan Centhini, Vivian Masih Ada Dalam Bayangan
31
Vivian Mengunci Tatapan Dihyan
32
Ashin
33
Ashin Remaja
34
Nurmaya
35
Ashin dan Nurmaya
36
Ashin dan Nurmaya Kembali
37
Centhini dan Mimpinya
38
Centhini Berbagi
39
Ling Ling
40
Centhini Takut, Dihyan Panik
41
Ashin dan Semar
42
Ashin dan Ling Ling
43
Ling Ling, Ashin dan Kesepakatan
44
Ashin dan Sang Ampek
45
Ling Ling Menagih Janji
46
Ashin Menepati Janji
47
Centhini Terbangun
48
Dihyan Sadar Akan Sesuatu
49
Stefani dan Mimpi
50
Dihyan dan Centhini Bersepakat
51
Dihyan, Centhini dan Veronica
52
Stefani Indri dan Sigmund Freud
53
Benjamin, Keluarganya dan Gajah Mada
54
Sumiyati
55
Durga Mahisashuramardini
56
Camelia Menyapa
57
Ratnasari
58
Sandra Joanne Martini
59
Sandra dan Gengnya
60
Sandra dan Dihyan
61
Dihyan dan Sandra
62
Sandra, Suhita, dan Andrea Ketika Bertemu Dihyan
63
Dihyan, Sandra dan Gelato
64
Sandra Diperbudak
65
Dihyan Menguasai Permainan
66
Suhita
67
Suhita Ikut Terkena
68
Suhita dan Dihyan
69
Andrea
70
Ashui
71
Suhita dan Dadanya
72
Sandra sang Hamba
73
Suhita dan Kamarnya
74
Sandra dan Suhita
75
Sandra Dalam Abstraksi Waktu
76
Mengapa Centhini Merasa Hampa?
77
Dialog Antara Dihyan dan Centhini
78
Agustina Jafar
79
Camelia, Centhini dan Dihyan
80
Agustina dan Ashin
81
Katarina-lah Orangnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!