Centhini Bong

Benjamin Setiadi dan istrinya, Maryam Setyaningsih, sudah menikah selama dua tahun, tetapi belum dikaruniai seorang momongan pun. Mereka adalah pasangan yang aslinya berasal dari Semarang, Ungaran tepatnya. Namun, keduanya bertemu di Pekanbaru, provinsi Riau, pulau Sumatra. Setelah berpacaran sebentar, mereka kemudian memutuskan untuk menikah dan pindah ke sebuah kota kepulauan di seberang pulau Sumatra daratan karena Benjamin diterima menjadi pegawai negeri dan ditempatkan disana.

Selama dua tahun pernikahan itu, Benjamin sudah dua kali mendapatkan tugas ke Kalimantan Barat. Disana, ia mengunjungi Pontianak, Mempawah, Sanggau dan Singkawang sebagai bagian dari tugasnya di Departemen Sosial.

“Mah, kowe harus ikut aku ke Singkawang kali ini. Kita berangkat minggu depan,” ujar Benjamin kepada istrinya.

“Lah, kok mendadak? Ujug-ujug ngajak aku ke Kalimantan ki piye to, Pak? Warungku gimana?”

“Udah, to. Manut wae. Nanti aku jelaskan sambil kesana. Mumpung aku dapat cuti.”

“Tapi Bapak kan baru ke Kalimantan minggu lalu. Kok sudah mau kesana lagi? Ada apa sih, Pak? Bikin aku penasaran aja.”

Benjamin Setiadi, laki-laki tinggi, tampan dengan wajah kebulean, tetapi ngeyel mengaku sebagai orang Jawa itu sungguh tak mau membocorkan tujuannya sampai hari yang sudah ditentukan.

Sesampainya mereka di Singkawang, barulah Maryam tahu apa mau suaminya. Bayi itu menggeliat menggemaskan, tujuh bulan usianya. Namun, Maryam sudah jatuh hati. Ia cantik luar biasa, bahkan ketika masih berbentuk orok, meskipun kondisi kesehatannya sedikit memprihatinkan.

Keluarga miskin itu tidak merasa mampu mengurus anak ke-11 mereka. Sang suami mendadak sakit-sakitan sehingga pekerjaannya di pabrik kertas tidak bisa berjalan dengan baik. Istrinya masih harus bekerja menjual bubur babi di pagi dan sore hari sekaligus mengurus serta membantu membiayai sisa anak-anaknya yang lain – yang jedanya diantara mereka hanya setahunan.

“Bapak mau jadikan anak ini sebagai pancingan?” tanya Maryam berbisik kepada suaminya.

“Awalnya gitu, Mah. Tapi, aku kok kesengsem ya sama anak itu. Mau nanti kita punya anak ataupun nggak, kita urus bayi ini ya, Mah?”

Saat itu, keluarganya belum memberikannya nama. Mereka hanya memohon agar pasangan suami istri dari Sumatra tersebut tetap memberikan marga keluarga Hakka-nya kepada sang bayi, Bong. Maka, Benjamin dan Maryam sepakat menamai bayi tersebut dengan Centhini, Centhini Bong.

Ternyata selama ini Benjamin diam-diam sudah terlebih dahulu mengurus keperluan untuk mengadopsi bayi itu, bahkan sejak sang ibu masih mengandung Centhini. Itu sebabnya, tugasnya di Kalimantan membuatnya beruntung karena bisa sekaligus mengurus semuanya terlebih dahulu, sampai tinggal Maryam yang memberikan restunya pula.

Benjamin dan Maryam sama sekali tidak menutupi kenyataan bahwa Centhini adalah anak angkat mereka. Mereka juga tidak melarang bila kelak Centhini ingin kembali atau paling tidak menengok kedua orang tuanya ketika telah dewasa.

“Lha, mana mungkin menyembunyikan kenyataan kalau Centhini bukan anak kandungku, to. Wong matanya sipit, kulitnya putih. Anak TK juga tahu Centhini itu gadis Cina,” ujar Benjamin kepada rekan sejawatnya suatu kali.

Bayi Centhini ternyata anteng, tenang, tidak rewel sama sekali. Seakan-akan bayi itu tahu bahwa ia akan diasuh oleh sebuah keluarga yang merawatnya dengan penuh cinta.

Sekembalinya pasangan suami istri itu ke rumah di kota kepulauan itu, mereka merayakannya dengan bercinta.

Benjamin mencumbu tubuh Maryam dengan sepenuh hati. Tubuhnya yang tinggi dan kukuh itu menghimpit Maryam dari atas, menghimpitnya dan menghujaninya dengan tekanan-tekanan yang tak beraturan, sebelum akhirnya ia melenguh dan keduanya meledak berkeping-keping karena hasrat yang memuncak.

Hasilnya, sebulan kemudian, Maryam sadar ia telah hamil.

Bayi laki-laki berambut tebal tetapi acak-acakan, dengan wajah kebule-bulean mirip sekali dengan Benjamin lahir ke dunia beberapa waktu kemudian.

“Ini benar anakmu, Pak. Lihat hidungnya. Bayi sudah mancung seperti itu,” ujar Maryam.

Centhini Bong, sang kakak, yang belum genap dua tahun usianya itu berseru-seru nyaring dan girang. Menciumi bayi laki-laki itu dengan penuh sayang.

Beberapa tahun kemudian.

Centhini Bong, sang kakak, berseru-seru nyaring dan girang. Menjambaki rambut masai laki-laki muda itu dengan penuh semangat.

“Kita bakal ke Singkawang, Yan. Bulan depan. Bapak yang bilang. Liburan semester, kita sekeluarga bakal ke sana,” ujar Centhini.

Seperti biasa, gadis itu tidak pernah absen untuk masuk ke kamar Dihyan, mengganggunya, atau hanya sekadar mengabsen keberadaan adiknya tersebut.

“Mbak, kalau ke kamarku tu yang sopan. Nggak kasian apa sama aku? Aku ini laki-laki, lho,” keluh Dihyan sebagai respon atas cerita bersemangat kakaknya itu.

Centhini, mengenakan celana super pendek serta tanktop yang menunjukkan lengannya yang ramping dan tungkai kakinya yang jenjang, serta kulitnya yang putih itu.

“Halah, dulu aja kita sering mandi bareng, kok.”

“Dulu itu kapan, Mbak? Seingatku SD aja kita sudah pisah kamar, kok. Masih bayi maksudnya, Mbak?” protes Dihyan.

Centhini cuek saja dengan keluhan adiknya itu. Ia malah begitu saja menghempaskan tubuhnya di kasur Dihyan dan terlentang di sana.

Dihyan menghela nafasnya panjang.

Ia melirik ke arah kakaknya. “Mbak, nggak deg-degan apa mau ketemu keluarga … ehm, keluarga asli?”

Centhini yang terlentang menatap langit-langit mengernyit mendengar pertanyaan Dihyan. Ia bangkit dan duduk di tepian kasur. Dihyan duduk bersila di lantai menghadapnya.

“Keluarga asli?”

“Iya, orang tua dan saudara-saudara kandung Mbak, lah.”

Centhini memandang Dihyan lekat-lekat, kemudian tersenyum. Ia mendekat dan duduk di samping adiknya itu.

“Sampai saat ini, yang aku tahu, kamu itu adikku, Bapak dan Ibu adalah kedua orang tuaku. Mau kandung atau tidak, itu sama sekali tidak mengubah fakta bahwa kalian adalah orang-orang yang aku kenal dan mengenalku dengan baik. Mengapa aku bersemangat karena mau ke Singkawang? Bukan karena terus aku mau hidup dengan mereka, tetapi karena, ya aku penasaran gimana wajah dan keadaan mereka, yang mungkin secara fisik bakal mirip aku. Sama-sama sipit dan putih. Nggak kayak kamu yang kayak bule tersesat,” ujar Centhini sambil mencolek hidung Dihyan yang mancung itu.

“Berarti malu sama fisik keluarga kita?”

“Kalau sama Bapak ya nggak lah. Ganteng gitu. apalagi Ibu. Kalau kamu … ya iya, malu aku.” Centhini tertawa.

Dihyan merengut. “Aku tu sebel sama kamu, Mbak. Kamu cantik banget, padahal nggak dapat DNA dari Bapak Ibu. Cuma, sekarang dengar kamu seneng banget mau ketemuan sama keluarga biologismu, Mbak, aku kok sedih banget ya. Takut kamu, ehm ….”

Centhini melingkarkan lengannya di bahu Dihyan. “Jangan gitu, dong, ah. Aku nggak akan kemana-kemana. Kita adalah satu keluarga selama-lamanya.”

Centhini mengecup pipi Dihyan, kemudian mengacak-acak rambutnya yang memang sudah dah selalu masai itu.

“Janji ya, Mbak. Sumpah?”

“Iya, sumpah. Emangnya aku rela ada orang lain yang membully kamu selain aku?”

Centhini kembali tertawa. Tapi kali ini Dihyan ikut tertawa, sedikit lega. Perasaan aneh memang datang mengganggu batinnya ketika mengetahui bahwa mereka sekeluarga akan mengunjungi keluarga asli Centhini di Singkawang sana. Meskipun Centhini berkali-kali meyakinkan bahwa ia sekadar penasaran dan ingin berlibur ke Singkawang, sedikit banyak Dihyan merasa gamang.

“Karena aku adalah seorang pecundang,” ujar Dihyan selalu di depan cermin, menatap ke arahnya sendiri.

Terpopuler

Comments

@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸

@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸

kayaknya kalau dihyan pangkas cepak, rambutnya bakal bisa rapi. iya gak sih?

2025-02-01

1

🍁мαнєѕ❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ

🍁мαнєѕ❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ

seingatku di buku pelajaran sejarah ada SERAT CENTHINI bener gak ya.. 😅😅

2024-11-14

1

🍁мαнєѕ❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ

🍁мαнєѕ❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ

mbak ini tega lah 😅😅

2024-11-14

0

lihat semua
Episodes
1 Dihyan Danumaya
2 Camelia Green
3 Centhini Bong
4 Benjamin Setiadi
5 Maryam Setyaningsih
6 Veronica Bungas
7 Stefani Indri
8 Mahluk Serupa Kadal Serupa Manusia
9 Vivian Chandra
10 Vivian Chandra Kembali
11 Santy Gouw
12 Martha Ng Lian Fang
13 Katarina Cheng Jing
14 Septiani
15 Septiani Kembali
16 Steven Markus
17 Septiani Lagi
18 Alexander Cu
19 Semar
20 Mimpi, Alexander dan Semar
21 Septiani dan Dihyan
22 Centhini dan Camelia
23 Tamyang
24 Wardhani
25 Dihyan dan Dihyan
26 Dihyan dan Vivian
27 Vivian dan Dihyan
28 Lagi-Lagi Vivian dan Dihyan
29 Vivian, Dihyan, Mendadak Ada Centhini
30 Dihyan dan Centhini, Vivian Masih Ada Dalam Bayangan
31 Vivian Mengunci Tatapan Dihyan
32 Ashin
33 Ashin Remaja
34 Nurmaya
35 Ashin dan Nurmaya
36 Ashin dan Nurmaya Kembali
37 Centhini dan Mimpinya
38 Centhini Berbagi
39 Ling Ling
40 Centhini Takut, Dihyan Panik
41 Ashin dan Semar
42 Ashin dan Ling Ling
43 Ling Ling, Ashin dan Kesepakatan
44 Ashin dan Sang Ampek
45 Ling Ling Menagih Janji
46 Ashin Menepati Janji
47 Centhini Terbangun
48 Dihyan Sadar Akan Sesuatu
49 Stefani dan Mimpi
50 Dihyan dan Centhini Bersepakat
51 Dihyan, Centhini dan Veronica
52 Stefani Indri dan Sigmund Freud
53 Benjamin, Keluarganya dan Gajah Mada
54 Sumiyati
55 Durga Mahisashuramardini
56 Camelia Menyapa
57 Ratnasari
58 Sandra Joanne Martini
59 Sandra dan Gengnya
60 Sandra dan Dihyan
61 Dihyan dan Sandra
62 Sandra, Suhita, dan Andrea Ketika Bertemu Dihyan
63 Dihyan, Sandra dan Gelato
64 Sandra Diperbudak
65 Dihyan Menguasai Permainan
66 Suhita
67 Suhita Ikut Terkena
68 Suhita dan Dihyan
69 Andrea
70 Ashui
71 Suhita dan Dadanya
72 Sandra sang Hamba
73 Suhita dan Kamarnya
74 Sandra dan Suhita
75 Sandra Dalam Abstraksi Waktu
76 Mengapa Centhini Merasa Hampa?
77 Dialog Antara Dihyan dan Centhini
78 Agustina Jafar
79 Camelia, Centhini dan Dihyan
80 Agustina dan Ashin
81 Katarina-lah Orangnya
Episodes

Updated 81 Episodes

1
Dihyan Danumaya
2
Camelia Green
3
Centhini Bong
4
Benjamin Setiadi
5
Maryam Setyaningsih
6
Veronica Bungas
7
Stefani Indri
8
Mahluk Serupa Kadal Serupa Manusia
9
Vivian Chandra
10
Vivian Chandra Kembali
11
Santy Gouw
12
Martha Ng Lian Fang
13
Katarina Cheng Jing
14
Septiani
15
Septiani Kembali
16
Steven Markus
17
Septiani Lagi
18
Alexander Cu
19
Semar
20
Mimpi, Alexander dan Semar
21
Septiani dan Dihyan
22
Centhini dan Camelia
23
Tamyang
24
Wardhani
25
Dihyan dan Dihyan
26
Dihyan dan Vivian
27
Vivian dan Dihyan
28
Lagi-Lagi Vivian dan Dihyan
29
Vivian, Dihyan, Mendadak Ada Centhini
30
Dihyan dan Centhini, Vivian Masih Ada Dalam Bayangan
31
Vivian Mengunci Tatapan Dihyan
32
Ashin
33
Ashin Remaja
34
Nurmaya
35
Ashin dan Nurmaya
36
Ashin dan Nurmaya Kembali
37
Centhini dan Mimpinya
38
Centhini Berbagi
39
Ling Ling
40
Centhini Takut, Dihyan Panik
41
Ashin dan Semar
42
Ashin dan Ling Ling
43
Ling Ling, Ashin dan Kesepakatan
44
Ashin dan Sang Ampek
45
Ling Ling Menagih Janji
46
Ashin Menepati Janji
47
Centhini Terbangun
48
Dihyan Sadar Akan Sesuatu
49
Stefani dan Mimpi
50
Dihyan dan Centhini Bersepakat
51
Dihyan, Centhini dan Veronica
52
Stefani Indri dan Sigmund Freud
53
Benjamin, Keluarganya dan Gajah Mada
54
Sumiyati
55
Durga Mahisashuramardini
56
Camelia Menyapa
57
Ratnasari
58
Sandra Joanne Martini
59
Sandra dan Gengnya
60
Sandra dan Dihyan
61
Dihyan dan Sandra
62
Sandra, Suhita, dan Andrea Ketika Bertemu Dihyan
63
Dihyan, Sandra dan Gelato
64
Sandra Diperbudak
65
Dihyan Menguasai Permainan
66
Suhita
67
Suhita Ikut Terkena
68
Suhita dan Dihyan
69
Andrea
70
Ashui
71
Suhita dan Dadanya
72
Sandra sang Hamba
73
Suhita dan Kamarnya
74
Sandra dan Suhita
75
Sandra Dalam Abstraksi Waktu
76
Mengapa Centhini Merasa Hampa?
77
Dialog Antara Dihyan dan Centhini
78
Agustina Jafar
79
Camelia, Centhini dan Dihyan
80
Agustina dan Ashin
81
Katarina-lah Orangnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!